Arti Yilin Bagimu

Arti Keluarga

Kris Wu memeriksa laporan kerja dari bawahannya yang dikirimkan melalui email. Hari ini ia sengaja mengambil libur untuk menyambut kepulangan istrinya, meski pada akhirnya mereka hanya bertengkar seharian tanpa menyentuh seujung kuku pun dari kesepakatan yang berusaha ia ajukan.

 

Libur kali ini justru terasa melelahkan.

 

Sembari menggerakkan mouse di tangannya, Kris melirik pintu kamar yang terbuka. Amber baru saja lewat sambil menggendong Yilin yang baru selesai mandi. Kris tersenyum. Putrinya selalu bersikap manja saat Amber pulang, padahal biasanya Yilin tidak pernah minta dimandikan. Kris menyadari Yilin lebih menyayangi ibunya meski keduanya jarang bertemu. Yang terakhir hampir enam bulan yang lalu mungkin?

 

"YILIN! Yilin jangan nakal!"

 

Jari-jari Kris terbeku di atas mouse. Pria 27 tahun ini langsung beranjak dari kursi, berlari ke kamar sebelah di mana bentakan Amber barusan berasal. Ia berdiri di muka pintu, menatap Yilin yang menahan tangisan. Gadis kecil itu baru mengenakan kaos dalam tipis dan celana dalam putih, dan di depannya Amber berdiri sambil meremas gaun soft-pink.

 

"Yilin, ada apa?" Kris bertanya dengan sabar, maju ke arah putrinya yang sedang menggigit bibir bawah.

 

Gadis kecil berusia lima tahun itu berlari ke arahnya dan langsung memeluknya. Kris menggendong Yilin sambil menatap Amber dingin. Sungguh, Kris pun lelah jika harus kembali bertengkar. Ia memutuskan membawa Yilin keluar sambil menahan emosi.

 

"Ada apa, Yilin?" Kris menurunkan Yilin di atas ranjangnya, mengusap rambut putrinya yang masih basah.

 

"Yilin, mau ikut Mama..." Jawabnya sambil menangis tertahan, dan mengusap-usap matanya yang berair

 

"Memangnya Mama mau kemana?" Tanya Kris, kini berjongkok di depan Yilin.

 

"Mama... Mama mau ke..." Yilin menarik ingus beberapa kali. Melihat hal itu, dengan cepat Kris meraih tisu di atas meja dan mempergunakannya untuk membersihkan hidung Yilin. "... makan malam, di restoran."

 

Kris menarik napas panjang. "Yilin makan malam sama Papa saja ya? Yilin mau makan apa?"

 

"Tidak mau!" Yilin menggeleng pelan, dan air matanya kembali keluar. "Yilin maunya makan malam sama Mama..."

 

Untuk sekarang Kris belum bisa mengatakan apa-apa agar bisa membujuk putrinya. Ia membekap Yilin ke dalam pelukan, melindunginya dari hawa dingin sekaligus berusaha menenangkannya. Kris tidak mungkin menyuruh Amber untuk mengajak Yilin, bisa jadi istrinya akan makan malam dengan rekan kerja, atau lebih buruk, dengan pria yang bukan sekedar teman. Kris tidak akan membiarkan putrinya bertemu dengan orang-orang yang tidak semestinya.

 

"Yilin..." Amber mengetuk pintu kamar Kris yang terbuka sejak tadi.

 

Kris melepaskan dekapannya ketika merasakan Yilin menggeliat, mencoba mencari jalan untuk mendongak Amber yang kini berjalan mendekat.

 

"Yilin marah ya sama Mama?"

 

"Um." Yilin menggeleng, lalu melompat turun dari ranjang dan memeluk Amber. "Yilin tidak akan ikut, tapi Mama jangan pulang."

 

Hati Kris terasa pedih. Ia mengalihkan mata dari mereka berdua dan berdiri. Menarik napas.

 

"Yilin boleh ikut sih, asal Papa mengizinkan."

 

Mendengar dirinya disangkut pautkan, Kris berbalik dan menghadap mereka. Yilin langsung menatapnya penuh harapan, sedangkan Amber malah mengalihkan mata setelah pandangan mereka sempat bertemu satu detik.

 

"Soalnya Mama mau ketemu sama produser. Biasanya sama Papa tidak boleh." Lanjut Amber sambil membentangkan gaun soft-pink seukuran badan Yilin.

 

"Papa..." Yilin berjalan ke dekat Kris, kemudian menarik-narik saku celana ayahnya. "Boleh ya?"

 

"Boleh, tapi Yilin tidak boleh nakal..." Kris membungkuk dan mensejajarkan wajah mereka.

 

"Yeii!" Yilin langsung berseru girang, kembali pada Amber.

 

Amber menuntun tangan Yilin dan diajak keluar. Setelah mereka berdua tidak terlihat lagi, Kris memijit kedua sisi keningnnya menggunakan tangan kanan. Ia ingin melarang, tetapi tatapan Yilin membuatnya tidak tega.

 

.

 

.

 

.

 

"Yilin, ingat." Amber memegang bahu putri kecilnya dan menatap bola mata hasil replika matanya yang lebih bulat dan lugu itu. "Yilin tidak boleh nakal, tidak boleh berisik, tidak boleh lari-lari, dan tidak boleh pergi tanpa seizin Mama."

 

"Um!" Yilin mengangguk sekali dengan mantap.

 

Amber tersenyum dan menggenggam lengan kecil Yilin. "Ayo kita masuk."

 

Ia menggandeng putrinya masuk ke dalam restoran bergaya eropa. Melewati beberapa meja, dan masuk ke salah satu ruang VVIP yang sudah dipesan sebelumnya. Amber tersenyum ramah ketika melihat seorang pria dan seorang wanita telah menunggunya di dalam ruangan itu. Ia melepaskan lengan putrinya dan mendekat ke arah mereka.

 

"Selamat malam, Tuan Huang dan Nyonya Song." Amber menjabat tangan mereka satu per satu, di belakangnya Yilin berjalan dengan ragu-ragu.

 

"Selamat malam Amber," Wanita bermarga Song itu membalas. "Siapa yang kau bawa ini?"

 

Amber menengok Yilin, lalu tersenyum canggung pada nyonya Song. "Dia putriku, Yilin."

 

"Putrimu sangat cantik." Wanita berkaca mata besar itu menatap kagum pada Yilin, Yilin langsung bersembunyi di belakang ibunya.

 

"Ajak putrimu duduk, dia kelihatan sedikit takut." Tuan Huang mengusulkan, telah duduk terlebih dulu.

 

Amber mengangguk, lalu mengangkat Yilin, mendudukkannya di kursi sebelum ia duduk di kursi yang tepat berada di sebelahnya.

 

"Ini untuk pertama kalinya aku melihat putrimu. Kenapa kau menyembunyikannya selama ini? Aku dengar wartawan pun tidak bisa mendapatkan fotonya." Kata nyonya Song, masih menatap Yilin kagum. "Bagaimana kalau kau mengajaknya ke acaraku?"

 

Senyum di bibir Amber langsung musnah. "Itu... ayahnya... mn..." ia diam sebentar dan menengok Yilin sebelum melanjutkan, "tidak mengizinkan Yilin tampil di depan kamera. Maaf, aku tidak bisa membawanya ke acaramu."

 

"Aku dengar," tuan Huang menarik perhatian mereka, berkata dengan suara pelan, "ayahnya adalah Wu Yi Fan, pengusaha kaya itu, apa itu benar?"

 

Amber berusaha menarik senyum dari bibirnya yang kaku, lalu mengangguk.

 

"Pantas saja wartawan pun tidak bisa mendapatkan foto putrimu. Tidak ada satu orang pun di sini yang berani mencari masalah dengannya." Tuan Huang tersenyum sambil mengalihkan mata ke arah Yilin.

 

"Mantan suamimu sangat kaya, kenapa kau bercerai dengannya?"

 

Perkataan nyonya Song membuat Amber langsung menatap putrinya. Yilin menatap ke arah tuan Huang dengan takut, sepertinya tidak memperhatikan perkataan wanita itu barusan. Amber merasa lega. Kemudian menatap nyonya Song dan buru-buru mengalihkan pembicaraan.

 

"Sebaiknya kita membicarakan acaranya saja."

 

"Oh, kau benar. Maafkan aku." Nyonya Song tersenyum bersalah.

 

Amber tidak membalas apa-apa kecuali menganggukkan kepala. Hanya berjeda satu menit kemudian, pintu ruang itu diketuk dari luar. Amber menengok lalu melihat dua pelayan masuk sambil membawa makanan. Mereka meletakkan empat piring di atas meja, masing-masing di depan kursi yang terisi, lalu meletakan wine putih sebagai pendampingnya.

 

"Maaf, aku tidak tahu kalau seseorang yang kau ajak adalah putrimu," tuan Huang tertawa samar. "Aku akan memesankan yang lain kalau putrimu tidak menyukai makanannya."

 

"Tidak perlu, Yilin anak yang pintar, dia tidak pernah pilih-pilih makanan." Amber tersenyum, lalu mengusap rambut putrinya. "Iya kan, Yilin?"

 

Yilin menatap piringnya sebelum menengok Amber dengan takut. "Tapi Mama, Papa bilang Yilin tidak boleh makan udang..."

 

"Kenapa?" Tanya Amber sambil menaikkan sebelah alisnya.

 

"Katanya kalau Yilin makan udang, monster laut akan marah, lalu... menggigit Yilin..."

 

Tuan Huang dan nyonya Song langsung tertawa. Amber pun tidak dapat menahan tawanya.

 

"Tenang saja, nanti kalau monster lautnya marah, Mama yang akan menghadapinya." Amber tersenyum lebar dan mengusap rambut Yilin dengan gemas. "Sekarang cepat dimakan."

 

Yilin ikut tersenyum, lalu mengangguk.

 

"Aku akan memesan air putih dan jus untuk putrimu." Nyonya Song berdiri setelah melihat Yilin memegang garbu.

 

"Terima kasih." Ucap Amber sebelum menatap pada tuan Huang. "Jadi acara ini akan seperti apa, tuan Haung?"

 

"Uhuk!" Suara Amber terpotong oleh putrinya.

 

"Yilin, hati-hati kalau makan." Ia menengok bocah lima tahun itu sebentar, lalu menatap tuan Huang lagi yang hendak membalas, tetapi Yilin kembali batuk.

 

"Uhuk!" 

 

"Yilin." Amber berusaha tidak meninggikan suaranya meski telah sedikit emosi. "Mama bilang hati-hati..."

 

Tapi setelah itu, Yilin justru muntah dan kelihatan sulit bernapas. Mata Amber langsung membelalak. Ia mendekati putrinya dengan cemas.

 

"Yilin, kau kenapa?"

 

"Amber! Sepertinya dia keracunan!" Seru tuan Huang dengan nada panik.

 

Amber menengok pria itu yang berdiri, hendak mendekati mereka, lalu ia menengok Yilin lagi yang memegangi dada dengan napas tersenggal-senggal.

 

"Ya Tuhan, Yilin!" Ia langsung mengangkat gadis kecil itu, menggendongnya.

 

"Ayo kita bawa ke rumah sakit." Tuan Huang mendorong punggung Amber dari belakang, Amber mengangguk-angguk dengan cepat sambil berjalan.

 

Ia sesekali menunduk melihat wajah Yilin yang terlihat pucat. Mata putrinya nyaris tidak bisa terbuka, dan napasnya masih tersenggal-senggal. Amber merasa panik dan berlari secepatnya. Membekap tubuh Yilin erat-erat dengan air matanya yang tidak bisa lagi dibendung.

 

.

 

.

 

.

 

Amber memejamkan matanya, berusaha menenangkan diri. Ia membukanya kembali setelah merasa tidak bisa tenang juga, lalu berjalan mondar-mandir di depan ruang rawat Yilin. Dokter sudah memastikan padanya kalau Yilin baik-baik saja. Putrinya sekarang sedang tidur karena pengaruh obat. Yang Amber cemaskan justru Kris. Suaminya itu pasti akan mencekiknya begitu sampai di sini.

 

Menarik napas, Amber memutuskan duduk di kursi tunggu rumah sakit. Tetapi baru sebentar ia sudah berlonjak dan berdiri setelah melihat Kris berlari dari ujung lorong. Amber bisa melihat amarah di mata pria berbadan tinggi itu. Ia takut sekali, kakinya terasa dingin seketika.

 

"Dimana Yilin!"

 

Amber berjengit seperti terkena sengatan listrik mendapat bentakan itu tepat di depan mukanya. "Di-di dalam."

 

Kris langsung berlari masuk ke ruang yang Amber tunjuk. Pria itu menemukan putrinya berbaring di atas ranjang dengan selang infus menancam ke pergelangan tangannya yang kecil. Kris merengkuh dan membekapnya erat. Rasanya ia baru ingat cara bernapas setelah melihat Yilin.

 

"Papa..." Yilin terbangun karena dekapan erat itu, menggumam pelan di dalam pelukan.

 

"Yilin," Kris langsung melepaskan pelukannya. "Kau baik-baik saja? Mana yang sakit?"

 

"Yilin cuma makan satu gigit."

 

Kris menatap wajah Yilin yang pucat. Amarahnya menguap melalui air yang memburamkan pemandangannya. "Yilin makan udang? Papa kan sudah bilang..."

 

"Cuma satu gigit, Yilin tidak bohong..." Kepala gadis kecil itu menggeleng lemah.

 

Kris menarik napas dan membekapnya lagi, kali ini tidak terlalu erat. "Papa percaya, tapi lain kali Yilin tidak boleh makan lagi..."

 

Merasakan kepala Yilin mengangguk, Kris melepaskan pelukannya. Ia mengecup pipi putrinya berkali-kali. Ya Tuhan, Kris nyaris saja kena serangan jantung saat Amber menelponnya tadi.

 

"Apa masih ada yang sakit?" Tanya Kris sambil mengusap rambut Yilin.

 

"Perutnya sedikit tidak enak." Yilin mengusap-usap perutnya dan membuat Kris menatap bagian itu yang ditutupi selimut.

 

"Kalau dadanya? Masih sesak tidak?"

 

Yilin mengusap dadanya sebentar, "Tidak..."

 

Akhirnya Kris bisa merasa lega. Ia menengok saat mendengar suara tapak sepatu memasuki ruangan itu, dan secara bersamaan Kris baru menyadari tidak memakai alas kaki apapun saat ini.

 

"Tuan Wu, selamat malam..." seorang pria berbaju dokter menghampirinya, menawarkan jabat tangan.

 

"Selamat malam, dokter..." Kris berdiri tegak lalu menjabat tangannya sejenak. "Bagaimana keadaan putriku?"

 

"Keadaan putri Anda sudah baik, dia bisa dibawa pulang malam ini juga." Pria berseragam putih itu memberi waktu untuk Kris mengangguk. "Apa Anda sudah tahu kalau putri Anda alergi dengan udang?"

 

Kris menengok putrinya sebentar, lalu menatap dokter di depannya lagi. Saat itu Amber melangkah masuk ke dalam ruangan. Kris hanya memberi lirikan, lalu menjawab pertanyaan sebelum ini, "aku sudah tahu."

 

"Bagus kalau begitu." Sang dokter mengangguk sekali. "Setelah ini jangan sampai putri Anda makan udang, bahkan dalam komposisi makanan sekecil apapun dia juga tidak boleh memakannya."

 

"Saya mengerti Dokter, terima kasih." Kepala Kris menunduk kecil.

 

Setelah dokter itu pergi, Kris kembali menghampiri putrinya. "Yilin dengar sendiri kan?"

 

Yilin mengangguk-angguk. "Tapi nanti monster lautnya datang tidak, Papa?"

 

"Papa akan lihat di luar dulu ya? Kalau nanti monster lautnya datang, Papa akan langsung memukulnya." Kata Kris sebelum tersenyum, Yilin mengangguk dengan wajah takut.

 

Kris mencium kening Yilin sebelum beranjak pergi. Senyumnya habis ketika memandang Amber di depan pintu. Ia melangkah cepat menghampiri wanita itu, menyeret lengannya dengan kasar dan mendesis, "Ikut aku."

 

Amber merasakan jantungnya ingin melompat keluar saat itu juga. Kris terus menarik lengannya dengan paksa, menggelandangnya menjauhi kamar rawat Yilin, lalu mendorong punggungnya ke dinding.

 

"Kenapa kau membiarkan Yilin makan udang!"

 

Amber sama sekali tidak berani menjawab. Ia berdiri gemetar di bawah tatapan penuh amarah dari suaminya.

 

"Jawab aku!" Kris memukul dinding di sebelah Amber dengan sekuat tenaga.

 

"A-Aku tidak tahu kalau dia alergi udang..." Amber berusaha tidak menatap mata Kris yang saat ini terlihat sangat mengerikan. "Lagipula, kau tidak pernah memberitahuku kalau Yilin alergi udang..."

 

"Apa kau bilang?" Suara Kris lebih rendah, tapi terdengar lebih mengancam. "Setahun yang lalu aku sudah memberitahumu kalau Yilin masuk rumah sakit karena alergi udang, kau bahkan datang menjenguknya, kan?"

 

Mata Amber melebar. Ia baru ingat kejadian itu. Tapi ia sama sekali tidak ingat alasan apa yang membuat Yilin masuk rumah sakit.

 

"A-aku lupa..." kata Amber takut-tatut. "Aaa!"

 

Amber sempat melihat tangan Kris melesat sebelum ia menutup mata dan menghalangi wajahnya dengan kedua tangan. Tapi ia tidak merasakan tamparan maupun pukulan. Dengan takut ia menurunkan tangannya dan menatap Kris, melihat pria itu sudah berjalan pergi dengan tangan terkepal erat.

 

"Ya Tuhan... dia mengerikan sekali..." Amber menyandar ke dinding dan membiarkan tubuhnya melorot turun. Sedetik yang lalu ia sempat yakin kalau Kris akan membunuhnya. 

 

.

 

.

 

.

 

"Pokoknya Yilin mau tidur sama Mama!" Yilin bersikeras.

 

Kris merasa tidak bisa lagi membujuk putrinya. Padahal ia sangat ingin menemani gadis kecil itu malam ini. Pada akhirnya ia hanya bisa mengangguk, mengalah, lalu menyelimuti Yilin dan mengecup keningnya. Kris berdiri dan berputar, hendak berjalan keluar dari kamar putrinya.

 

Amber sedari tadi hanya menatap dari ambang pintu. Terlalu takut mendekat. Setelah Kris melewatinya tanpa memberikan lirikan sekalipun, Amber melangkah masuk ke dalam kamar. Tidak lupa menutup pintu sebelum naik ke ranjang. Ia langsung mencium pipi gembil Yilin. Yilin masih terlihat lemah, bahkan tidak memiliki tenaga untuk bangun memeluk ibunya.

 

"Yilin, lain kali Yilin harus bilang sama Mama ya kalau Yilin tidak boleh makan sesuatu." Ucapnya sambil membelai rambut Yilin.

 

"Iya, Yilin minta maaf... apa tadi Papa marah sama Mama?"

 

Amber terdiam sebentar sebelum menggeleng. "Tidak... Mama hanya tidak mau Yilin sakit..."

 

"Um." Yilin mengangguk mantap.

 

Amber langsung membekap putrinya, lalu membaringkan diri. Ini hari yang sangat melelahkan baginya. Ia terlelap dengan cepat, bersamaan denganYilin yang berada di dalam dekapannya.

 

Beberapa saat kemudian Kris membuka pintu kamar Yilin. Ia mengintip melalui sela pintu yang dibuka sedikit, lalu menutupnya lagi dengan pelan dan hati-hati.

 

.

 

.

 

.

 

Sore hari, setelah malam itu, Kris baru saja pulang, masih membawa tas kerja saat menemukan Yilin duduk di sofa ruang tengah, memainkan ponsel milik Amber (atau begitulah yang ia kira). Ia menghampiri putri cantiknya, memegang keningnya dan merasakan suhu tubuh Yilin yang normal.

 

Kris meletakan tas kerja ke meja, lalu berjongkok di depan Yilin dan bertanya, "Yilin sudah makan?"

 

"Um." Yilin menjawab tanpa mengalihkan mata dari layar ponsel, mengangguk singkat.

 

Kris mengintip layar dan menemukan putrinya sedang memainkan game Candy Crush Saga, kemudian bertanya lagi, "Sudah minum obat?"

 

"Um."

 

"Sudah mandi?"

 

"Um." Yilin terus menjawab sambil mengangguk dan tidak mengalihkan mata dari layar ponsel.

 

Kris hanya mendengus geli sebelum mengecup kening gadis kecil itu, lalu pergi ke kamar tanpa lupa membawa tasnya. Ia sudah berada di lantai dua saat melihat Amber berdiri di beranda sedang menelpon seseorang. Kris mengalihkan mata ke bawah anak-anak tangga meski tidak bisa melihat sosok putrinya. Menahan pertanyaan, pria muda ini masuk ke kamar dan berganti baju.

 

Kris kembali menemui putrinya setelah itu, sempat melihat Amber masih bicara dengan seseorang di telpon sebelum menuruni tangga. Ia duduk di sebelah Yilin dan mengusap kepalanya.

 

"Yilin, ponsel itu milik siapa?"

 

"Milik Yilin."

 

Melihat Yilin lagi-lagi menjawab tanpa mengalihkan mata dari layar, Kris menarik napas mencoba bersabar. "Yilin, kalau ada yang bicara sama Yilin, Yilin harus memandang orang itu."

 

Jari-jari Yilin berhenti sejenak. Bibirnya sedikit mengkerucut saat mematikan ponsel, lalu menengok ayahnya sambil berkata, "Ini milik Yilin, Papa.... Mama yang belikan sebagai hadiah karena Yilin sudah sembuh."

 

Kris seperti sudah bisa menebaknya sehingga tidak menunjukkan ekspresi berlebihan, sekedar membiarkan bibirnya membentuk garis lurus yang hampir melengkung ke bawah.

 

"Yilin tahu tidak kalau ponsel seperti ini ada racunnya?"

 

Yilin langsung memeluk erat ponsel di tangannya, lalu menunduk sambil menggeleng cepat-cepat. "Ini yang belikan Mama, jadi tidak mungkin ada racunnya."

 

Hanya dari cara Yilin yang menyembunyikan ponsel pemberian Amber, Kris bisa tahu bahwa ia tidak akan bisa menjauhkan benda itu dari putrinya tanpa membuat putrinya menangis. Kris sebenarnya tidak masalah jika Yilin bermain ponsel sesekali, tapi yang ia lihat barusan, Yilin seperti tidak akan berhenti jika ia tidak menegurnya. Selama ini Kris sendiri berusaha keras untuk tidak memegang ponsel jika berada di dekat Yilin, menghindarkan putri kecilnya dari paparan radiasi. Jika Yilin punya ponsel sendiri, Kris benar-benar tidak setuju.

 

"Bagaimana kalau ponselnya Papa tukar dengan boneka barbie yang sangat besar?"

 

"Tidak mau!" Yilin semakin erat memeluk ponsel itu. "Ini dari Mama, tidak boleh ditukar."

 

Kris menarik napas, baru saja, saat tiba-tiba Amber sudah berdiri di samping mereka dan tahu-tahu merebut ponsel Yilin.

 

"Mama!" Seru Yilin kaget, mendongak ibunya yang terlihat kesal.

 

"Sudahlah, Yilin, kalau Papamu bilang tidak boleh, berarti tidak boleh." Amber menatap Kris lurus sebelum melanjutkan, "Kau bisa keracunan kalau menerima sesuatu dariku."

 

"Mama! Tapi Yilin suka sama hadiah Mama!" Yilin berdiri di antara pandangan Kris dan Amber yang masih beradu tajam, memeluk kaki ibunya dengan erat. "Yilin janji tidak akan nakal, tapi jangan diambil! Nanti Yilin simpan di rumah barbie, tidak akan Yilin mainkan lagi!"

 

Kris dan Amber bergeming di tempat dengan pandangan belum juga terputus. Yilin masih merengek di depan kaki ibunya, nyaris menangis. Satu tarikan napas, dari Kris. Pria muda itu berdiri dan langsung berjalan, berhenti tepat di sebelah Amber dan berbisik pelan, "Berikan apapun yang ingin kau berikan pada Yilin, aku tidak akan lagi melarang. Bahkan kalau kau memberinya ular sekali pun."

 

Tapi setelah Kris kembali melangkah, Amber justru berlari pergi meninggalkan Yilin. Ia melewati Kris yang hendak naik ke tangga, masuk ke kamar Yilin lalu memasukan baju-bajunya ke dalam koper. Amber keluar lagi dengan menyeret kopernya, melewati Kris yang sekarang sudah berdiri di pinggir tangga lantai dua.

 

"Mama! Mama mau kemana?" Yilin berlari mengejar Amber yang hampir mencampai pintu depan. Tapi meski mendengar panggilan itu, Amber tetap berjalan. "Mama! Yilin mau ikut Mama!"

 

Amber mempercepat langkahnya, melewati pintu dan setelah itu berlari menuju garasi. Dimasukan kopernya ke bagasi mobil sebelum ia duduk di belakang kemudi dan mengendarai mobilnya meninggalkan rumah Kris dengan kecepatan secepat yang ia bisa.

 

"Mama! Yilin mau ikut Mama! Mama jangan pergi!" Yilin berlari di halaman, mengejar mobil Amber dari belakang. Tapi mobil itu terus melaju kencang dan sudah melewati gerbang. "Mama! Tunggu Yilin! Mama! MAMA!"

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
abigailileo
#1
Chapter 2: wah....parah, kq amber gitu yah...
ajol_fxonee
#2
Chapter 2: Ini kok mandet...
Semoga cepet dilanjutin yah?!
Ceritanya seru lain daripada yg lain...
Gimana caranya agar mereka bisa kembali bersatu jadi keluarga harmonis...
Jaeabannya hanya satu CINTA
LianaPark
#3
Chapter 2: Thor kenapa belum dilanjutin ? Bagus nih, disini keliatan Amber ibu yang gegabah banget atau bahkan kayak kekanakan begitu, sedangkan Kris dia udah dewasa banget. Sabar banget deh jadi Kria ngehadapi Amber yang kaya gitu. Ayo lanjutin dong
watdaaa #4
Chapter 2: Eini kapam di lanjut ;(((
ajol_fxonee
#5
Chapter 2: Lanjutin donk...
Jangan berhenti disini please eeeee
dewipur
#6
Chapter 2: Geregetan juga sama Karakter Krisber disi..

jadi kasian sama Yilin nya...
juma940204 #7
Chapter 2: kasian anaknya :( ambernya kok gitu yaa? dulu kris jahat kali ya? makanya amber jadi gitu sikapnya.

ceritanya baguss. d tunggu lanjutannya XD
denihilda
#8
Chapter 2: Wah wahh amberrr ga dewasa banget kan kasian yilin nya jadi korban kalian;((
LadyBelKim
#9
Chapter 2: Poor little baby! Why does she have to suffer having such a parents?
krisber_1806 #10
Chapter 2: kalo menurutku kris itu sikapnya sebagai ayah udh bener kok protektifnya jg ga berlebihan.
apalagi dy cuma punya yilin doang amber mah ngambekan egois jg.
malah kabur begitu aja br dikasik omongan sama kris yg terakhir.
seharusnya dewasa dikit amber hahahahhaaa...
baper dahhh qta para reader