Arti Kepulanganmu

Arti Keluarga

Setelah beberapa kali pertemuan selama bertahun-tahun ditinggalkan, ia masih tidak menemukan ujung sapaan kecuali mengangkat dagu dan menarik napas tipis ke dalam paru-parunya. Kris Wu merasa was-was tetapi juga lega.

 

Terlalu dekat... terlalu dekat... udara yang Kris angkat serasa hasil pernapasannya yang selalu khas aroma manis gula atau coklat. Sosok di sebelahnya sibuk berpura-pura Kris tidak ada dan menatap layar ponsel begitu lama. Kris sudah melirik satu kali, dua kali, dan serius ia ingin membuat suara.

 

"Kita benar-benar harus bicara, Yiyun..." Kris merasa sesuatu menghimpit dadanya ketika pemilik nama pertama kali menatapnya terang-terangan, membalasnya terlambat dengan tangan mendarat di atas sofa.

 

"Aku pikir kau yang mau bicara?" Jawaban ini disertai nada enggan, dan tatapannya menatap Kris malas-malasan.

 

Mungkin Kris Wu Yi Fan lupa ada sesuatu mengenai istrinya yang sudah berubah. Istrinya sekarang sudah kembali menyandang nama gadisnya, Amber Liu, seorang penyanyi terkenal di Korea. Tetapi dimatanya, Amber Liu ataupun Wu Yi Yun tetaplah kenangan menyakitkan yang menggantung hidup-hidup cinta mereka. Sifat blak-blakannya sedikit rahasia. Ya, Amber memang selalu Amber. Masalahnya Kris Wu juga selalu Kris Wu, dan ia kesulitan berkata-kata. Biasanya disaat seperti ini Amber yang mengambil tugas bicara.

 

Tarik napas, Kris...

 

"Tolong berhenti memainkan ponselmu..." Dada Kris seperti ditusuk sesuatu yang lembut. Tapi ia tetap melanjutkan. "Jangan sampai aku merembutnya dan melemparkannya ke luar jendela."

 

"Yang bicara itu mulut, Yifan, buat apa kau mempermasalahkan ponselku?" Amber memang selalu pintar berkata-kata, membalas sarkatis dengan sengaja.

 

Kemudian Kris menarik napas manual di bawah mata lawan bicaranya. Sesuatu yang lembut itu semakin rajin menusuk dadanya.

 

"Aku serius, Wu Yiyun!" Ia membiarkan pegangannya lepas begitu saja.

 

Dengan cepat Amber melempar ponselnya ke sudut sofa. Menahan gertakan gigi serta perasaan tidak suka atas bentakan tadi. Lalu berkomentar apa adanya seolah tertawa, "Kau masih saja tempramental."

 

"Kau yang memaksaku." Kris mencoba mempelajari gaya Amber yang tenang meski dadanya semakin sesak. "Hargai aku sedikit saja, aku masih suamimu."

 

Kali ini gelak tawa Amber yang membalas lebih dulu.

 

"Suami?" Ia mendengus satu detik kemudian. "Kita sudah tidak tinggal bersama selama empat tahun."

 

"Itu tidak merubah kenyataan bahwa kau masih istriku."

 

Hamburan tawa dari orang yang sama.

 

"Setelah bertahun-tahun tidak perduli padaku? Sungguh?" Amber bertanya sebelum menggeleng pelan.

 

Sepertinya Amber memang tidak tertarik dengan pembicaraan mereka. Namun Kris tetap ingin berjuang sekuatnya. Ia mengambil duduk di meja tepat di depan Amber dan kembali berkata-kata, "Semuanya belum terlambat kalau kita berusaha memperbaikinya dari sekarang."

 

Kris berpikir untuk meraih tangannya, namun Amber malah melipat lengan di depan dada sembari menyandar ke sandaran sofa di belakangnya.

 

"Thanks, but no thanks..." Ada sendu sedikit yang terpancar dari matanya, sayangnya Kris tidak dapat menyadari karena mata itu menatap ke arah lain.

 

"Bukan untukmu, Yiyun, dan juga bukan untukku." Kris menatap lekat-lekat satu sisi wajah di depannya. "Untuk anak kita."

 

"Aku kira kau mengajakku bertemu karena sudah setuju mengajukan perceraian kita ke pengadilan." Akhirnya Amber mengijinkan pandangan mereka bertemu lagi. "Kalau aku tahu kau hanya ingin membuang waktuku, aku tidak akan mau jauh-jauh datang kemari."

 

"Anakmu membuang waktumu?"

 

Dan hasil dari usaha Kris menyelesaikan satu kalimat menyakitkan itu adalah hamburan tawa yang kesekian kalinya.

 

"Di saat seperti ini kau bilang dia anakku?"

 

Udara kembali menipis. Padahal jendela kamar Kris terbuka dan mengijinkan udara keluar-masuk seenaknya.

 

Tarik napas lagi, Kris...

 

"Tolong pertimbangkan lagi, Yiyun... Anak kita sangat membutuhkan keluarga. Jangan hanya karena keegoisan kita, Yilin menjadi korban."

 

"Aku tidak mau mendengarkanmu kalau kau tetap membicarakan ini." Raut wajah Amber mengeras, menarik napas sepelan mungkin yang tiba-tiba terasa berat. "Aku datang kemari untuk mengurus perceraian kita. Ini sudah terlalu lama. Sampai kapan kau mau menundanya?"

 

"Aku tidak menundanya, aku tidak mau menceraikanmu." Ujar Kris tegas dengan ekspresi tak kalah tegang dari kepunyaan istrinya.

 

"Sebenarnya apa sih yang kau inginkan?!" Kali ini Amber yang gagal mempertahankan pegangan. Ia berdiri dan menatap Kris yang mendongak untuk tetap menyambung pandangan. "Bukankah dengan bercerai kau bisa mendapat hak asuh Yilin sepenuhnya!"

 

"Dan kau bisa menikah lagi dengan artis Korea itu, iya 'kan?!" Kris menyela sambil ikut berdiri. "Selama ini kau sudah menginjak-injak harga diriku sebagai suamimu, apa kau belum puas juga? Aku hanya minta tolong sedikit saja, perhatikan Yilin lebih banyak." Suara Kris sudah lebih pelan, tetapi Amber tidak melunakkan tatapannya.

 

"Apa sebenarnya kau sudah tidak mau mengurus Yilin, hah?" Ia melipat tangan di depan dada, mencoba tenang. "Kalau kau memang tidak mau, aku akan membawanya pulang ke California besok pagi. Orang tuaku akan sangat senang kalau cucunya bisa kembali."

 

Untuk kali ini Kris mencoba tidak membalas dengan gegabah. Walau bagaimana pun tujuannya adalah menyelamatkan hubungan mereka. Mungkin ia perlu belajar beberapa kalimat agar bisa membujuk istrinya.

 

"Aku tidak mau menitipkan Yilin pada siapapun, dia adalah anakku." Amber mendengus, namun Kris mencoba mengabaikan dan terus melanjutkan. "Yiyun... Kau sudah berdiri di tempat yang kau impikan, kau sudah berhasil meraih cita-citamu. Sekarang berperanlah sebagai seorang ibu."

 

"Aku selalu menjadi seorang ibu untuk Yilin, tapi aku tidak mau mempertahankan pernikahan sialan ini."

 

"MAMA!" 

 

Adu pandangan mereka langsung berhenti bersamaan seruan ceria gadis kecil yang baru saja menerjang pintu kamar itu. Amber membiarkan senyum membentuk bibirnya, lalu meraih sosok lima tahun itu ke dalam dekapannya.

 

"Mama! Aku rindu sekali sama Mama!"

 

"Mama juga rindu pada, Yilin!" Amber mengecup pipi gemil putrinya sambil tertawa. "Yilin sudah makan?"

 

"Beluuum! Habis tadi nenek bilang Mama sudah tiba, jadi Yilin tidak mau makan, Yilin mau ketemu Mama!" Bocah empat tahun dengan gigi gingsul itu memeluk leher Amber dengan erat.

 

"Heh, harusnya Yilin makan dulu..." Amber melepaskan pelukan mereka, menurunkan Yilin dari gendongannya. "Ini malah belum ganti baju."

 

Bocah lucu itu nyengir menggemaskan.

 

"Ayo ganti baju, setelah itu Mama suapi."

 

"Yeey!" Ia melompat ceria sebelum menarik tangan Amber keluar dari kamar. "Yilin akan makan banyak kalau Mama yang suapi!"

 

"Janji?"

 

"Jaanjii!!"

 

Bersamaan dengan perginya dua sosok itu, sesuatu yang menusuk dada Kris pun berhenti. Ia tersenyum tipis sembari mendengarkan celotehan lucu anak mereka yang berasal dari kamar sebelah, dan juga tawa Amber yang membalasnya.

 

.

 

.

 

.

 

Kris berjalan ke pintu kamar putrinya dan berdiri di depan. Yilin sedang sibuk mengerjakan PR, duduk di kursi kecil menghadap meja belajar kecil yang menyerupai kepala lama. Di saat yang sama Amber duduk di sofa coklat yang tidak jauh dari Yilin, menunduk menatap ponsel.

 

"Yilin," Ia berjalan masuk dan berjongkok di samping Yilin. "Perlu bantuan?"

 

"Tidak! Tidak!" Gadis kecil dengan rambut berkuncir satu di belakang itu menggeleng. "Yilin mau belajar sama Mama! Papa jangan ganggu!"

 

Kris melirik ke arah Amber lalu menghela napas sambil mengusap kepala Yilin. Kris merasa heran mengapa Amber tidak pernah memiliki kepekaan seorang ibu. Sejak Yilin berusia enam bulan, Amber sudah meninggalkan rumah untuk mengejar cita-cita. 

 

Tiba-tiba Yilin berdiri dan menjauh darinya. Dia membawa buku dan pensil ke dekat Amber.

 

"Mama, yang ini bagaimana?"

 

Amber tersenyum kecil dan meletakan ponsel ke sofa, mengambil alih buku Yilin lalu menuliskan jawaban di sana.

 

"Sudah selesai." Kata wanita 25 tahun itu.

 

"Waah... Mama pintar sekali!" Yilin berseru girang sebelum kembali duduk di kursi kecil yang tadi.

 

Kris menatap buku Yilin yang kini diletakan di atas meja dengan pandangan datar.

 

"Yilin, Gurumu akan memarahimu kalau kau tidak menulisnya sendiri." Gumam Kris sambil mengambilkan penghapus.

 

"Jangan, Papa!" Yilin menangkupkan kedua lengannya di atas buku. "Inikan tulisan Mama! Tidak boleh dihapus!"

 

"Yilin."

 

"Tidak mau!" Kepala Yilin menggeleng cepat-cepat.

 

"Kau itu ada masalah apa sebenarnya?" Entah sejak kapan Amber sudah berdiri di samping mereka, menatap Kris tidak suka. "Kau tidak suka kalau aku mengajari Yilin mengerjakan PR?"

 

"Aku tidak akan keberatan kalau kau memang mengajarinya, bukan menuliskannya." Kris berdiri mensejajarkan pandangan mereka.

 

"Kau memang tidak pernah menyukai apapun yang aku lakukan untuk Yilin, iya kan!" Amber membalas dengan bentakan.

 

"Yiyun!"

 

"Papa!" Yilin tiba-tiba mendorong Kris meski tenaga gadis kecil itu sama sekali tidak mampu menjatuhkan ayahnya. "Papa jangan teriak sama Mama! Kalau Mamah... Kalau Mama pulang! Yilin akan marah sama Papa!"

 

Kris menunduk menatap putrinya yang menangis sambil memukul-mukul kakinya. Hatinya terhenyak saat itu juga.

 

"Yilin... jangan menangis sayang..." Amber mengusap rambut Yilin. Yilin langsung berlari ke pelukannya.

 

"Mama jangan pulang, ya? Yilin masih rindu sama Mama!"

 

"Tidak... Mama tidak akan pulang, Mama akan menginap satu minggu di sini." Katanya, kemudian menggendong Yilin. "Sudah jangan menangis..."

 

Amber membawa Yilin keluar dari kamar sambil mengusap air mata di pipi putrinya. Kris melihat kepergian mereka lalu menunduk ke arah buku di atas meja. Satu helaan napas darinya. Kris menutup buku Yilin dan meletakan pensil serta penghapus di dekatnya. Ia kemudian mengambil ransel berwarna merah muda milik putrinya di lantai dan memindahkannya ke atas kursi kecil. Pria 27 tahun itu hendak pergi saat mendengar suara lagu keluar dari ponsel di atas sofa.

 

Kris berjalan mendekat, berdiri di samping sofa lalu mendapati panggilan telpon di layar ponsel itu lengkap tulisan Choi Minho.

 

Notes:

Semoga ceritanya cukup menarik. Mohon saran dan kritiknya, saengs^^ 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
abigailileo
#1
Chapter 2: wah....parah, kq amber gitu yah...
ajol_fxonee
#2
Chapter 2: Ini kok mandet...
Semoga cepet dilanjutin yah?!
Ceritanya seru lain daripada yg lain...
Gimana caranya agar mereka bisa kembali bersatu jadi keluarga harmonis...
Jaeabannya hanya satu CINTA
LianaPark
#3
Chapter 2: Thor kenapa belum dilanjutin ? Bagus nih, disini keliatan Amber ibu yang gegabah banget atau bahkan kayak kekanakan begitu, sedangkan Kris dia udah dewasa banget. Sabar banget deh jadi Kria ngehadapi Amber yang kaya gitu. Ayo lanjutin dong
watdaaa #4
Chapter 2: Eini kapam di lanjut ;(((
ajol_fxonee
#5
Chapter 2: Lanjutin donk...
Jangan berhenti disini please eeeee
dewipur
#6
Chapter 2: Geregetan juga sama Karakter Krisber disi..

jadi kasian sama Yilin nya...
juma940204 #7
Chapter 2: kasian anaknya :( ambernya kok gitu yaa? dulu kris jahat kali ya? makanya amber jadi gitu sikapnya.

ceritanya baguss. d tunggu lanjutannya XD
denihilda
#8
Chapter 2: Wah wahh amberrr ga dewasa banget kan kasian yilin nya jadi korban kalian;((
LadyBelKim
#9
Chapter 2: Poor little baby! Why does she have to suffer having such a parents?
krisber_1806 #10
Chapter 2: kalo menurutku kris itu sikapnya sebagai ayah udh bener kok protektifnya jg ga berlebihan.
apalagi dy cuma punya yilin doang amber mah ngambekan egois jg.
malah kabur begitu aja br dikasik omongan sama kris yg terakhir.
seharusnya dewasa dikit amber hahahahhaaa...
baper dahhh qta para reader