Prologue

Monster
Prologue
*****
 
“SEMUANYA KELUAR! ALARM KEAMANAN UTAMA MENYALA! SEMUANYA KELUAR!!!”
Chanyeol berteriak bersamaan dengan derap langkah cepatnya melewati lorong dengan banyak cabang ke segala arah. Ia seharusnya menutup mulutnya, meminimalisir suara apapun yang bisa ia timbulkan, bahkan ia harus berlari lincah tanpa suara jika memungkinkan. Tapi kali ini persetan dengan itu semua, suara sirine yang terus-menerus mendengungkan telinganya terlanjur menandai bahwa pergerakannya terlihat. Pergerakan mereka terlihat.
“HINDARI PINTU DAN RUANG UTAMA!”
Teriaknya lagi, masih berlari. Tangan kanannya ia posisikan di telinga kanan, meyakinkan diri bahwa in-ear yang terpasang di telinganya berfungsi dengan baik hingga dapat meneruskan teriakannya kepada kawanannya yang mungkin juga tengah berlari mencari celah untuk keluar dari mansion megah itu.
“Ah sial!” Chanyeol mengumpat rendah saat matanya menangkap beberapa bayangan tegap di ujung lorong yang bergerak mendekat, reflek ia berbelok pada salah satu cabang lorong tersebut.
‘Pasukan keamanan mengepung titik awal, aku berpindah ke titik dua kilometer arah jam empat dari titik awal. Ku ulang, dua kilometer arah jam empat dari titik awal.’
Sebuah peringatan terdengar dari in-ear yang terpasang di telinganya, juga telinga kawanannya. Chanyeol meresapi informasi baru itu dengan baik tanpa menurunkan kecepatan berlarinya.
 
*****
“Suho. Berbalik arah! Kau menuju ruangan utama!”;
“Chen. Berhenti bergerak, hambat pasukan keamanan di titik itu.”;
“Chanyeol. Temui Chen, lorong keempat kanan. Keluarlah dari balkon di ujung lorong. Kalian berada di sisi kanan gedung.”;
“Kai. Berbalik arah! Kau terlalu jauh. Kau berada di sisi paling kiri gedung.”
Ujar seorang lelaki tanpa jeda, tangannya terus memastikan in-ear yang digunakannya terhubung dengan yang lain. Mata bulatnya tak pernah meninggalkan layar tab di tangannya yang menggambarkan pergerakan kawan-kawannya di dalam mansion.
“Seriuslah cepat! Atau aku harus bergerak mengubah posisi lagi!” gerutu seorang lelaki lain di samping di mata bulat. Tangannya mencengkeram erat roda kemudi, matanya awas mengawasi sekelilingnya.
“Jika kita berpindah posisi lagi, aku bisa memperingati mereka, Baek. Kau tahu benar ini bukan pertama kalinya kita terlacak,” respon si mata bulat terhadap gerutuan si pengemudi itu tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar tab.
“Yeah, yeah. Ini bukan pertama kalinya kita terlacak. Tapi ingatlah, D.O, kita bukan di pertokoan pusat kota seperti biasa. Ini Indigo Place, dengan keamanan tingkat tingginya,” balas si pengemudi.
D.O, si mata bulat, tak menjawab lebih lanjut. Batinnya mengiyakan perkataan Baekhyun, si partner. Mereka bukan hanya menerobos pusat kota kali ini, namun mereka menerobos Indigo Place, kediaman keluarga Wu, keluarga aristokrat yang memegang kuasa tertinggi Seoul saat ini.
Hampir sepuluh menit berlalu hingga pintu mobil dibuka dari luar. Dan dua orang dengan perawakan yang berbeda masuk dengan terburu-buru.
“Sial! Tadi itu hampir saja!” gerutu salah satunya yang berperawakan lebih pendek entah kepada siapa.
“Suho dan Kai?” tanya si rambut merah singkat, tak menggubris gerutuan kawan berlarinya tadi. Tak heran ia begitu was-was, ia memimpin pergerakan mereka kali ini.
“Mereka masih di dalam,” jawab D.O sebelum melanjutkan. “Suho sudah mendekati sisi kanan gedung, tinggal mencari celah untuk melompat keluar dan Kai...” lelaki itu berdecak malas. “Si idiot Kim itu terus bergerak ke sisi kiri gedung.”
‘D.O! D.O! Katakan padaku ujung lorong terdekat!’
Sebuah suara mengintrupsi situasi di dalam mobil melalui alat mirip radio kecil yang terpasang di dashboard. Salah satu anggota mereka yang masih berkeliaran di dalam Indigo Place menghubunginya.
“Suho. Cabang keenam di sebelah kiri, masuk ke sana dan ikuti lorongnya, ambil kanan saat di ujung, akan ada balkon yang menghadap utara. Titik itu berada agak di bagian depan Indigo Place, kemungkinan penjagaan tinggi, berhati-hatilah!” jawab D.O.
Empat kepala di mobil itu sedikit merasa lega mengetahui Suho setidaknya sudah memiliki panduan untuk kabur. Dan sekarang, tinggal satu orang...
 
*****
‘Kai! Kai! Kau bisa mendengarku?’
“Yeah,” jawab si pirang seketika ia mendengar suara kawannya melalui in-ear yang ia kenakan.
‘Bagus. Dengar, kau berada di sisi kiri gedung yang langsung berbatasan dengan taman pribadi yang kemungkinan sudah dijaga ketat, akan sulit melarikan dari dari sana. Jadi ambil belokan pertama ke kanan, itu akan membawamu ke sisi kanan gedung.’ Sambung D.O dari kejauhan.
“Ohh...” hanya itu respon Kai, si blonde, sambil terus melangkah dengan hati-hati tanpa mengikuti panduan arah yang diberikan D.O.
Langkahnya masih santai, melihat situasi sekitarnya lebih tenang daripada di ruang utama tadi. D.O bilang ia berada di sisi kiri Indigo Place, dan kawan pendeknya itu juga bilang bahwa sisi ini berbatasan langsung dengan taman pribadi.
Kai mengartikan informasi D.O itu dengan kemungkinan bahwa sisi kiri ini adalah sisi utama Indigo Place yang ditempati keluarga Wu. Karena oh ayolah, siapa bangsawan yang tak ingin bangun tidur dengan pemandangan taman yang indah di jendela kamarnya?
Dan mungkin saja dengan sedikit tour tambahan, ia dapat membawa pulang beberapa bongkah permata yang tersimpan di balik salah satu pintu-pintu tinggi dengan ukiran mewah itu. Yeah, Kai hanya tak ingin kehilangan kesempatan bagus itu.
‘Demi Tuhan, Kai! Kita tak punya banyak waktu!’ teriakan D.O kembali terdengar dari in-ear-nya.
Kai bersiaga seketika. Bukan, bukan karena teriakan D.O, tapi karena samar-samar ia mendengar pergerakan dari ujung lorong. Dengan gerakan cepat Kai bergerak berlawanan arah dengan datangnya suara samar yang ia pastikan adalah pasukan keamanan itu.
Kai berbelok ke kiri, berpindah lorong, namun entah sial baginya karena matanya menangkap bayangan lain di ujung lorong yang ia ambil. Dan ia tak mungkin kembali berbalik ke lorong sebelumnya yang sudah pasti dikuasai pasukan keamanan. Tanpa pikir panjang ia berlari ke pintu terdekat dan membukanya, menyembunyikan diri di baliknya.
‘Sialan kau, Kai!’ in-ear-nya kembali berbunyi, kali ini menyuarakan umpatan D.O.
Kai hampir merutuki dirinya sendiri karena tak menuruti arahan D.O sejak awal. Hampir, karena setelah itu ia menyadari kondisi ruangan tempatnya bersembunyi. Sebuah kamar. Begitu luas, begitu rapih, begitu nyaman. Kai yakin ini salah satu kamar anggota keluarga Wu.
‘Kai! Demi Tuhan aku akan mematahkan lehermu jika kau tak berusaha keluar sekarang juga!’
Kai mengabaikan serapah yang keluar dari in-ear yang dikenakannya. Ia mengunci pintu besar itu dan melangkah pelan untuk lebih meneliti sekeliling ruangan.
‘Kai! Kau bi-‘
Kai melepas in-ear dari telinganya dan menggantung kabelnya asal di bahu, membuat suara D.O tak dapat lagi didengar. Kai berjalan terus mendekati ranjang dan berhenti di depan nakas berukuran sedang yang diposisikan di ranjang kamar tersebut.
“Berhenti!”
Baru akan meraih gagang laci untuk membuka nakas itu, ia dibuat beku oleh sebuah suara. Dan bukan, sudah pasti bukan suara D.O. Kai menarik kembali tangannya dan berbalik ke arah sumber suara. Kai memiringkan kepalanya heran mendapati sosok di hadapannya. Seorang gadis dengan tangan bergetar yang menggenggam pistol yang diarahkan langsung kepadanya.
“Siapa kau?” tanya gadis itu dengan bibir bergetar dan nada rendah, nyaris menggumam.
*****to be continued.....
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet