Chapter 1

With a Cherry on Top
Please Subscribe to read the full chapter

 

 

 

Bagi seorang Jung Yunho, satu-satunya jackpot dalam kamus karirnya adalah mendapatkan jabatan kepala editor di perusahaan penerbit buku terkenal. Terlepas dari tidak banyaknya orang yang memandang jabatan itu sebagai jabatan yang super keren karena hanya berkutat dengan literatur semata, Yunho tetap menginginkannya, sebesar ia memimpikannya. Dan orang brengsek paling beruntung di dunia yang mencuri mimpi itu darinya adalah Shim Changmin.

Well, Shim Changmin pernah beberapa kali mendapatkan beberapa penghargaan dari perkumpulan editor bergengsi di Korea Selatan dan juga penghargaan dari Korea Journalist Award. Beberapa hasil karyanya menjadi national best seller – kadang ia merangkap jabatan sebagai seorang penulis lepas – dan salah satu bukunya telah diterjemahkan ke lebih dari lima bahasa. Sekali lagi, seorang penulis lepas, dan Shim Changmin mampu mendapatkan kesempatan emas yang terlalu besar untuk status kepenulisannya itu. Oleh karena itu Yunho berpendapat bahwa Shim Changmin adalah orang yang beruntung – dan berbakat, meskipun ia tidak ingin mengakuinya.

Shim Changmin memuja kesempurnaan dalam setiap pekerjaannya. Setiap cela dalam karya-karya orang lain adalah bahan bakar yang akan mendatangkan keuntungan di sisinya. Walaupun sebagai kepala editor ia selalu sempurna dan sebagai penulis ia lumayan sangat baik, spesialisasi yang benar-benar ia kuasai adalah memecat karyawannya jika ada satu hal saja yang tidak sesuai dengan harapannya. Orang-orang di kantor menyebutnya sebagai seorang ‘Penyihir’. Tak ada yang tidak setuju, termasuk Yunho yang selalu menggunakan julukan itu setiap kali ia berkumpul dengan rekan-rekan kerjanya di cafe dan bergosip tentang Shim Changmin. Namun bukan itu satu hal yang seringkali membuat emosi Yunho naik hingga ke ubun-ubun. Bukan. Changmin yang selalu datang tepat waktu – dan seringkali datang sebelum waktunya – adalah kualitas darinya yang Yunho sangat benci. Hal itu sangat, sangat membuat Yunho sering kesal.

Setelah melihat spesifikasinya di Curriculum Vitae, mungkin saja, Yunho berpikir, Shim Changmin tidak mencuri mimpinya. Mungkin memang dari rahim pun pekerjaan itu sudah ditakdirkan untuknya. Sedangkan dirinya? Manuskrip yang selesai ia tulis enam bulan yang lalu saja tidak mendapat tindak lanjut dari bosnya sendiri. Entah karena memang Shim Changmin benar-benar keterlaluan, atau asumsi paling sinisnya, ia memang tidak berbakat sama sekali untuk menulis. Mimpinya untuk setidaknya menjadi editor tetap saja, masih bermil-mil jauhnya. Agaknya ia harus puas sementara dengan pekerjaannya yang sekarang. Seorang asisten editor. Asisten serabutan untuk Shim Changmin. Tidak ada pekerjaan metropolis yang lebih buruk dari itu.

“Macchiato atau latte?” Yuna, pelayan cafe langganannya, bahkan tak perlu repot-repot menanyakan pesanan lain selain macchiato dan latte, karena dua itulah yang selalu diinginkan Changmin.

“Latte!”

Yunho terburu-buru mengayunkan langkahnya. Pagi ini ia bangun 15 menit lebih siang dari biasanya dan ia sangat sangat yakin bosnya sudah duduk di balik meja kerjanya bahkan sebelum ia bangun. Entah kata-kata pedas apa yang akan ia dapatkan kali ini.

Yunho merapikan kemejanya , menarik nafas dan mengeluarkannya, menegakkan bahunya, sebelum masuk ke ruangan Changmin.

“Jadi, tim mana yang menang?”

Yunho sedikit terlonjak. Ia ingin mengutuk dewa-dewa segala rupa yang bahkan tidak pernah ia ketahui saat mendengar suara Shim Changmin menyapanya dengan kasual seolah suara macam apapun yang keluar dari mulut licik itu tidak pernah mengagetkannya sama sekali, sesiap apapun Yunho saat melangkah masuk.

“Doosan,” jawabnya sambil mecoba tersenyum seramah mungkin. Tidak perlu ia bertanya-tanya bagaimana Shim Changmin tahu alasan ia datang terlambat hari ini. Yunho sudah memikirkannya matang-matang tadi malam saat memutuskan untuk begadang dan menonton ulang final laga pertandingan baseball kesukaannya.

“Sesuai ekspektasimu?”

Yunho mengangkat bahunya, sudah terbiasa dengan basa-basi Changmin sebelum akhirnya bosnya itu akan mengkritiknya. Ia bersiap-siap kritikan apa kali ini. “Tidak masalah hasil akhirnya. Aku hanya menikmati prosesnya.”

Changmin memandangnya seolah Yunho adalah makhluk paling aneh di semua planet.

“Penampilanmu seburuk jawabanmu,” katanya kemudian. Changmin memutar-mutar penanya. Yunho tidak sempat merasa tersinggung karena ia terburu-buru mengecek dirinya sendiri dari ujung sepatu hingga kerah kemejanya. Tak ada yang salah, seperti biasa. Itu berarti bahwa kali ini Changmin mengkritiknya dengan alasan yang tidak berdasar, lagi. Namun karena kali ini ia sangat terlambat, ia melepaskannya begitu saja tanpa memberikan argumennya.

“Aku tahu,” balas Yunho santai. “Ini kopi Anda pagi ini.” Yunho meletakkan cup yang ia bawa di meja Changmin.

Yunho hendak meletakkan tas kerjanya ketika Changmin berseru. “Latte?”

Tidak tahu apa yang Changmin inginkan lagi darinya, Yunho mendesah dan mengangkat alisnya seraya melihat ekspresi Changmin yang campur aduk.

“Kau ingat hari ini hari apa?”

“Senin?”

“Kau tahu apa kesalahanmu?”

Alis Yunho turun pada saat yang sama dengan kedua bahunya. Ia menggerakkan kepalanya ke samping dan merutuk dalam hati saat ia ingat sesuatu.

“Senin sampai Rabu caramel machiatto; Kamis hingga Sabtu latte.”

“Uh-hmm. Dan apa yang kau bawa?”

“Latte.”

Changmin menyipitkan matanya. “Bagaimana bisa kau membuat kesalahan fatal seperti ini, Jung?”

Jika boleh jujur, Yunho gagal memahami apa yang fatal dari kesalahannya. Untuk apa membuat jadwal konyol asupan kopi berdasarkan hari seperti itu? Satu kata untuk Shim Changmin: aneh. Freak!

“Maaf, sepertinya otakku belum berfungsi dengan baik,” ucapnya dengan ragu-ragu.

“Terlambat 20 menit dan membawakan kopi yang salah.”

“Sebenarnya, sepuluh menit –”

“Ya, tapi aku sudah datang 20 menit yang lalu dan jam kerja dimulai tepat saat aku melangkahkan kaki di kantor ini. Sudah berapa lama kau bekerja denganku? Mengapa kau belum juga paham?”

Seketika, sebagian besar energi Yunho terkuras. Semangat kerjanya menurun dan rutukan-rutukan di dalam hatinya semakin ramai. Sayangnya, Yunho tidak mempunyai nyali untuk menyampaikannya di depan Changmin. Lebih baik menyimpan dendam daripada dipecat.

“Saya akan mengingatnya dengan baik, Bos.” Yunho mengatakannya dengan senyum yang mungkin terlihat sangat dipaksakan. “Perlu kuganti dengan yang baru?”

Changmin berpikir sejenak sebelum menggeleng cepat. “Tidak perlu. Itu akan membuang waktu,” kata Changmin. “Apa agendaku hari ini?”

“Panggilan konferensi 30 menit lagi. Membahas marketing buku-buku baru yang akan terbit. Staff meeting pukul 10,” ucap Yunho di luar kepala. “Untuk berjaga-jaga agar Anda tidak melupakannya, besok siang Tuan Ahn ingin bertemu di kantornya.”

Changmin menghisap cup-nya dengan pelan. Kedua matanya dengan cermat dan cekatan membaca baris-baris kalimat di salah satu manuskrip yang minggu lalu baru ia terima meskipun calon penulis telah berkali-kali diingatkan untuk menyerahkan draft terakhirnya paling lambat dua minggu yang lalu – hanya karena menurutnya sayang untuk membuang pendatang baru sepertinya. Biasanya Changmin akan mengeluarkan ultimatum lebih kejam daripada yang satu ini. Menolak manuskrip atau membatalkannya jika sudah ada janji terbit antara kedua belah pihak. Dalam waktu satu tahun, Shim Changmin diperkirakan telah membuat berpuluh-puluh orang menangis.

“Mengapa Kangta ingin bertemu denganku?”

“Urusan kantor pusat, katanya,” jawab Yunho.

“Kantor pusat...” gumam Changmin sambil mengangguk-angguk. “Baiklah, Yunho. Ayo kita lakukan ritual tahunan sebelum conference call dimulai.” Changmin berdiri dari kursinya saat mulut Yunho menganga.

“Lagi?” seru Yunho tak percaya.

 

 

@@@

 

 

 

“That poisonous is a joke!” Lee Kyungjae berseru di sela-sela rasa putus asanya. Wajahnya merah padam dan kedua matanya berkaca-kaca. Suaranya serak seperti gergaji yang memotong kayu. Sejak dua jam yang lalu, kakinya mengetuk-ngetuk lantai dengan resah dan sesekali kepalan tangannya yang gatal menggedor-gedor meja dengan keras, mendatangkan perhatian-perhatian yang tak perlu dari para pengunjung bar, salah satunya tatapan tajam laki-laki berbadan kekar di pojok. Yunho bergidik sambil berjaga-jaga kalau tiba-tiba saja orang itu muak dan memutuskan untuk menggunakan kepalan tangannya dengan cara seefektif mungkin.

Ritual Tahunan Sang Penyihir telah membuat Lee Kyungjae, salah satu editor senior, putus asa. Shim Changmin memecatnya pagi ini dengan cara seprofesional mungkin. Berkata dengan halus tanpa mengurangi rasa hormat, namun tetap saja intinya sangat menyakitkan. Sarkasme termasuk salah satu keahliannya juga. Dan karena Yunho adalah satu-satunya orang yang menyaksikan prosesi pemecatan itu dengan mata kepalanya sendiri, Kyungjae berpendapat bahwa Yunho jugalah yang harus merasakan penderitaannya, yaitu dengan membawanya ke bar dan membuatnya mendengarkan semua dendam yang telah tertimbun selama bertahun-tahun.

“Hmm,” respon Yunho. Tubuhnya juga ikut lemas. Pertama karena Kyungjae tidak akan berada di kantor mulai minggu depan – Kyungjae sering menjadi teman minumnya jika para junior sedang terlalu takut untuk bangun kesiangan, kedua karena Shim Changmin tidak berubah dan ritual tahunan konyolnya terus berjalan tanpa halangan. Siapa tahu tahun depan Yunho-lah yang akan menjadi tumbalnya.

“Kau sudah bekerja keras.” Yunho mengeluarkan pujian terakhirnya untuk Kyungjae dan menepuk-nepuk bahunya keras, seakan hal itu dapat mendatangkan sebuah tawa untuk menutup pesta muram kecil-kecilan mereka berdua malam ini. Yunho sudah lelah mendengarkan ceracau Kyungjae yang diulang-ulang.

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
MaxRen13 #1
Chapter 4: Aaaaahhh... Ending yang maniiiiissssss banget ???????
crystalice02
#2
Chapter 4: Kjhbghhvhbxfgjz gemes bangeeet! Gemes sama ke-tsundere-an chami, gemes jg sama ke-bucin-an yunho!
Padahal udah tau plot utamanya bakalan gimana tp tetep aja ikut baper bacanya T-T
Thank you so much udh update fic ini sampe abis, ditunggu ff homin yg selanjutnya author-nim <3
Bigeast88 #3
Chapter 4: Uwaaaaa update!!
U came to concert??? Aigooo i wish we can meet~~ TT.TT me too i have PCD too lol and after changmin posted on IG about the concert, the PCD is getting worse TTwTT hope we'll see them again in jakarta!!
JiJoonie
#4
Chapter 4: Sksksksk i—i hate you so much yunho-nim T_T why you always make my heart doki-doki?!?!?!?!

Anyway you did amazingly like always ka kina! Thank you for this wonderful story and I still wait for you next Homin story UwU
QueenB_doll #5
Chapter 4: Hahahahaa mereka lucu bgt, makasih untuk menamatkan fic ini authornim, endingnya memuaskan, tapi mereka jadi pasangan yang sibuk ya i see, mirip mereka d dunia nyata wkwkwwkkw.. XDD
vitachami
#6
Chapter 4: Akhirnya update...
Saya senang
Sudah lama menunggu fanfic ini...
Thx sudah update dan semoga sukses terus smua karyanyaa
jungjiym #7
Chapter 3: Omg, I really love this story :') semoga terus lanjut yaa
lusiwonkyu
#8
Chapter 3: Ini ada haehyuk ver nya jgaa..
LMS_239
#9
Chapter 3: Walo Udh pernah nnton film nya n baca remake nya jd homin tp english ver bbrp taun lalu
Tp tetep suka dgn yg indo ver ini XD
English ver n indo ver nya pnya gaya tulisan sndiri yg bikin feel ny tetep beda XD
Fighting!!
upiek8288 #10
Chapter 3: Huhuhu
Chami.. be brave..
Evwn hrs start over bc lg.. to g apa worth it kok.. dtggu uodate brktnya..