Dua

Nevermind

Goresan charcoal di atas kertas putih itu merefleksikan apa yang terlihat oleh mata Taehyung. Kursi-kursi taman yang kosong, Lampu taman dengan beberapa tempelan iklan, dan tidak lupa sepasang kekasih bergandengan tangan terlihat sedang menikmati momen yang terabadikan di kertas Taehyung itu. Sore yang biasa. Taehyung sudah menyelesaikan kelasnya yang berakhir sejak sejam yang lalu. Tapi, daripada pulang, ia lebih memilih untuk membuat beberapa sketsa di taman yang tidak jauh dari kampusnya. Menggambar seperti ini terkadang membuatnya rileks, tanpa ada tekanan atau tuntutan soal kesempurnaan.

Taman yang tadinya sepi mulai ramai ketika Taehyung memperhatikan seseorang dengan gitar itu lagi. Ini bukan kali pertama laki-laki berambut pirang itu bermain di sini. Seingat Taehyung, ia sudah sering melihat lelaki itu bahkan sejak rambutnya berwarna hitam. Ia pernah melihatnya dengan warna lain juga, pink, merah, bahkan mint. Tapi, kali ini ia tidak berpikir dua kali untuk membuka lembaran kertas sketsanya untuk sedikit mencuri gambar pria berambut blonde dengan gitarnya itu.

Saat Taehyung mulai menggoreskan pensilnya, lelaki itu memulai memetik gitarnya. Sama. Suara itu masih tetap indah dan menentramkan. Taehyung sering bertanya-tanya, kenapa laki-laki itu tidak melakukan ini dengan lebih serius. Ia punya bakat. Jika ia melakukan hal sesederhana mengunggah permainannya di 

Saat Taehyung mulai menggoreskan pensilnya, lelaki itu memulai memetik gitarnya. Sama. Suara itu masih tetap indah dan menentramkan. Taehyung sering bertanya-tanya, kenapa laki-laki itu tidak melakukannya dengan lebih serius. Ia jelas punya bakat. Tapi, Taehyung berpikir ulang mengenai keseriusan. Jika sebelumnya Taehyung pernah berpikir kalau laki-laki ini tidak serius hanya karena ia tidak pernah mengunggah permainannya di youtube, atau mengadakan konser berbayar, sekarang Taehyung merasa salah. Lalu, apa ekspresi itu kalau bukan keseriusan?

Wajah lelaki blonde itu tampak begitu yakin dan membuat Taehyung sedikit merasa bersalah karena merasa kalau lelaki ini tidak benar-benar serius dengan musiknya. Memangnya kenapa kalau lelaki itu tidak pernah melakukan rekaman atau sekedar mengunggah permainannya di youtube, soundcloud atau situs online lain? Memang kenapa jika lelaki itu tidak mengejar ketenaran? Walau ia yakin laki-laki itu tidak akan membutuhkan waktu lama untuk terkenal. Bahkan dari permainannya, Taehyung yakin kalau laki-laki itu jelas bisa menyaingi Sungha Jung. Tapi, mungkin laki-laki itu punya alasan atas pilihannya. Seperti Taehyung yang juga punya alasan sendiri atas pilihan yang ia jalani.

Taehyung sudah hampir selesai dan tengah memberikan beberapa goresan terakhir saat ia mendengar tepuk tangan. Ah, rupanya tadi lagu terakhir. Seingat Taehyung, laki-laki itu biasanya membawakan empat hingga lima lagu. Tapi, tampaknya hari ini ia cukup pelit dan hanya membawakan tiga lagu. Tapi Taehyung cukup puas karena ia bisa menyelesaikan sketsanya. Ia melihat beberapa pengunjung taman melemparkan koin ke dalam tas gitar yang terbuka tak jauh dari tempat laki-laki itu bermain. Taehyung sedang berpikir untuk memberikan sedikit koinnya kepada laki-laki itu saat ia menyadari kalau laki-laki itu sudah merapikan alat-alatnya. Tapi, Taehyung masih ingin memberikan sedikit ucapan terima kasih karena setidaknya, musik itu telah membuatnya terhibur dan ia juga sudah mencuri sebuah gambar dari laki-laki itu.

Laki-laki itu sedang memasukkan gitarnya ketika Taehyung menghampirinya dan menyodorkannya sebuah kopi dalam kaleng. Karena memberikan koin saat laki-laki itu sudah selesai terasa tidak sopan, pikir Taehyung. makanya, ia memilih membeli minuman kaleng dan memberikannya sebagai ucapan terima kasih. Taehyung sempat menemukan ekspresi kaget tapi bukan penolakan. Tangan pucat itu meraih minuman kaleng. Taehyung sendiri tidak menyangka kalai laki-laki itu akan menggeser gitarnya seraya menyilahkan Taehyung duduk. Dan sedikit pembicaraan tidak akan merugikan siapa pun, kan?

“Musik yang bagus. Walau tidak ada liriknya, tapi justru kurasa itu seolah membuat pendengar menginterpretasikan maknanya.” Taehyung memulai.

“Kecuali, aku tidak memberikan makna tertentu pada setiap lagiku,” ucapan laki-laki itu diselingi tawa dengan menampakan gusi merah mudanya, untuk seseorang yang tampak tegas dan menyeramkan dengan beberapa tindikan di kuping dan tato di lengan, tawa itu termasuk manis.

“Ah, serius? Padahal aku sempat berpikir kelewat keras. Di lagu terakhir, aku sempat membayangkan sesuatu seperti perasaan manis cinta pertama,” Taehyung tertawa dan laki-laki itu seperti tersenyum. Senyuman pelit yang segera ia tarik, seolah menunjukan senyum dan tawa pada orang asing adalah suatu kelemahan.

“Well, itu memang kubuat saat aku jatuh cinta dulu. Tapi bukan cinta pertama. Cinta pertamaku terjadi saat aku masih belum bisa memetik gitar,” laki-laki itu meneguk kopi kalengnya, membuat Taehyung merasa lega karena sebelumnya ia takut kalau laki-laki itu menerimanya hanya karena sungkan.

“Tapi, permainanmu sangat bagus, sungguh. Aku juga sering melihatmu di sini. Apa kamu anak jurusan musik?” karena tidak jarang anak jurusan musik dari fakultasnya datang ke taman ini untuk sekedar latihan. Lagian, taman ini adalah taman terdekat dengan fakultas seni.

“Hm, tidak. Aku tidak sekolah. Aku sudah membuang kkehidupan akademis sejak tahun terakhir SMA. Alasannya? Karena aku tidak punya alasan untuk ada di sana dan aku cukup egois untuk tidak menjadikan orang tuaku sebagai alasan untuk aku ada di sana. Membayangkan harus datang ke bangunan yang sama setiap hari rasanya muak.” Laki-laki itu berhenti sejenak, seolah memberikan jeda agar Taehyung bisa mencerna kata-katanya.

“Dan bahkan, aku tidak ingin menjadikan orang tuaku sebagai alasan agar aku mengenyam pendidikan. Aku tidak mau terus menyalahan mereka jika kelak aku menjalani hidup itu hanya karena pilihan mereka.” Ia menegaskan. Taehyung akhirnya mengangguk. Sedikit kagum karena lelaki ini baru saja membuat Taehyung merasa hina dan kagum sekaligus. Ia bahkan selalu memiliki banyak kekhawatiran, sementara lelaki ini bisa setegas itu menjadi dirinya sendiri?

“Dan kau? Aku melihatmu menggambar, kau anak seni rupa?” laki-laki itu memperhatikan buku sketsa yang masih Taehyung pegang.

“Ah ini? Yeah, semacam itu, seni visual, desain komunikasi visual, apa pun namanya.” Taehyung sedikit mempertimbangkan soal ini tapi, walau hanya orang asing, laki-laki ini memberikan perasaan seolah Taehyung telah mengenalnya. Ia bahkan tidak mengerti kenapa ia benar-benar merasa nyaman dengan percakapan yang awalnya tidak ia bayangkan akan sedalam ini. ia bahkan mulai menjelaskan soal kehidupannya pada si orang asing ini.

“Yeah. Aku suka menggambar. Sejak dulu. Tapi aku masih mengikuti sekolah formal.” Taehyung mengakuinya malu-malu.

Percakapan yang berawal dari niat fatis Taehyung akhirnya terus mengalir. Min Yoongi, lelaki itu, adalah manusia yang benar-benar unik. Ia bisa dibilang adalah manusia bebas. Kedua orang tuanya juga memang tidak sekolot kedua orang tua Taehyung karena mereka memberikan kewenangan penuh soal kehidupannya pada Yoongi sendiri. Ketika Yoongi memutuskan untuk menjalani hidup seperti ini, dan pergi dari rumah hanya membawa sebuah gitar, mereka tidak melarangnya. Mereka hanya meminta Yoongi untuk pulang sewaktu-waktu. Dari percakapan singkat itu, Taehyung mengenal Yoongi sebagai pria yang idealis dan nyaris utopis. Sesuatu yang Taehyung kagumi tapi ia sendiri belum seberani itu. Taehyung punya daftar kekhawatiran-kekhawatiran yang tidak bisa ia sepelekan begitu saja. Tapi, Taehyung juga tidak bisa mengelak kalau sedikit banyak, ia punya beberapa pandangan yang sama dengan pria blonde itu.

“Tapi, Yoongi-ssi, aku memang mengidamkan kehidupan seperti yang kujalani sekarang. Bebas, tanpa paksaan, dan aku merasa bertanggungjawab penuh atas pilihanku, ini bukan sesuatu yang orang lain paksakan. Dan aku menikmatinya, sangat menikmatinya.” Taehyung berhenti sejenak untuk kemudian melanjutkannya. “Hanya saja. Aku tidak bisa berhenti takut.” Ia menghela nafas seolah ragu untuk mengutarakan kalimat selanjutnya, “Aku takut, jika ketika aku sampai pada tujuanku, bagaimana jika aku salah?”

Lalu gambaran masa lalunya mulai bermunculan di kepala Taehyung. Bagaimana orang disekitarnya selalu bilang kalau mereka tahu yang terbaik buatnya dan melarangnya melakukan apa yang ia mau. Bagaimana ia selalu direndahkan karena cita-citanya yang sederhana itu.

“Bagaimana jika aku tidak sanggup melawan kata orang-orang, lalu aku berubah. Aku takut akan ketidakpastian.

Yoongi terdiam. Sejenak memperhatikan laki-laki berambut coklat di sampingnya. Tampak tidak jauh lebih tua darinya, malah, ia tampak lebih muda. Wajahnya memiliki sisi lembut, terutama matanya yang bulat dan besar, mata itu seperti sebuah cerminan yang dengan mudah merefleksikan pikiran soal kekhawatiran-kekhawatirannya. Dan harus Yoongi akui, ini sudah begitu lama sejak Yoongi menemukan seseorang yang langka seperti ini. Seseorang yang bisa membuatnya begitu terbuka dan membicarakan kehidupan seperti ini.

“Well, siapa yang tidak takut akan ketidakpastian? Semua orang pasti takut akan ketidakpastian. Tapi setidaknya, ketika kau memulai sesuatu atas pilihanmu sendiri, kamu akan memiliki kontrol penuh atasnya. Jika kau gagal, kau tidak akan menyalahkan orang lain atas itu, dan kurasa, itu adalah hal yang baik. Tentu. Hari-hari berat akan ada. Itu tak bisa dihindari. Tapi, setidaknya, kamu ada di jalan yang kamu pilih dan kamu pernah menikmatinya.” Jawaban yang sederhana. Taehyung jadi berpikir, kenapa ia tidak bisa sesederhana itu?

“Mm…, maaf aku menanyakan ini, tapi, apa kamu pernah menyesal?” pertanyaan itu dijawab dengan tawa oleh Yoongi. Tawa yang lepas, tidak seperti tawa sebelumnya yang seperti tertahan.

“Menyesal di jalan ini? Menyesal karena tidak mengikuti apa yang orang lain lakukan? Tentu tidak. Aku super bahagia dengan segala kesedihan yang kutemui di jalan ini. Tapi, ada beberapa kali saat aku merasa… merasa bahwa aku tidak cukup. Musik yang kubuat terdengar seperti sampah. Tapi, itulah hidup, kan? Aku bahkan tidak sanggup membayangkan jika hidupku bahagia 24/7. Itu akan sangat membosankan. Kurasa, hari-hari buruk membuatmu bisa lebih banyak merenung. Dan setelahnya, seperti akhir hari hujan, kau bisa benar-benar menghargai sinar matahari lagi.”

Dan begitulah, Taehyung tidak menyangka bahwa obrolan singkat dengan orang asing itu membuat ada perasaan senang dan hangat. Sebuah percakapan yang rasanya seperti pelukan hangat. Sore itu, ia bisa kembali ke rumah dengan langkah kaki yang terasa lebih ringan. Bicara dengan Yoongi sangat asyik. Walau dari segi fisik, usia Yoongi tampak tidak terlalu berjarak dengan Taehyung, tapi, dari pemikirannya, Yoongi seperti telah hidup ribuan tahun. Taehyung sempat berpikir kalau Yoongi memiliki aura bijak seperti kakeknya di Daegu. Ah ya, Taehyung bahkan melupakan kekhawatirannya soal reuni, ia harus berterima kasih soal itu ke Yoongi kelak. Itu pun jika ia bisa bertemu lagi dengannya.

*

Jika percakapan dengan Min Yoongi membuat Taehyung merasa kehilangan beban, percakapannya dengan Park Jimin hanya membuatnya tersiksa. Pasalnya, sahabatnya itu terus memaksanya untuk merapikan kamarnya. Itu memang tidak salah, tapi, ayolah, menata barang, memilah barang, dan membuang barang adalah hal yang paling Taehyung benci. Tapi, perkataan Jimin ada benarnya juga:

“Kamu tahu kenapa inspirasi tidak pernah datang?”

“Kenapa?”

“Hidupmu terlalu berantakan. Lihat saja kamarmu. Bahkan seluruh ruangan ini tampak seperti tempat pembuangan sampah.”

 Maka, begitulah. Akhirnya, Taehyung memutuskan untuk melakukan perubahan besar dalam hidupnya: merapikan rumahnya.

*

Maka, esoknya saat tidak ada kelas, Taehyung memutuskan akan mendedikasikan waktu libur berharganya untuk bersih-bersih. Atas saran dari Park Jimin, Taehyung akan membuang barang-barang yang menurut Park Jimin adalah sekumpulan barang tidak bernilai yang hanya berfungsi sebagai sarang debu itu agar ada tercipta ruang bagi inspirasi untuk bisa bersemayam. Maka, Taehyung mulai membongkar barang-barang lamanya. Koleksi komik dari DC hingga Marvel, manhwa, manga, dan segala macam sebutan cerita bergambar dari berbagai negara yang ia koleksi sejak kecil mulai ia sortir. Dia mulai menimbang-nimbang nilai buku-buku yang sebenarnya sama berharganya. Tidak, tidak mungkin membuang ini. Ah, ini juga, ah, semua penting, pikirnya. Tapi, ia mendadak ingat perkataan Jimin soal bagaimana sempitnya ruang akan menghambat inspirasi untuk datang. Taehyung merasa bodoh karena mempercayai perkataan Jimin tapi ia tetap melakukannya. Ada baiknya dicoba, pikirnya sok bijak.

Taehyung menghabiskan waktu berjam-jam untuk menata ulang dan memilah barang-barang usangnya. Hingga ia menemukan sebuah kotak kayu dengan tulisan Mesin Waktu. Taehyung merasa sangat rindu dengan kotak itu. Ia bergegas menarik kotak kayu berukuran kurang lebih 30 x 40 cm yang dibuatkan oleh ayahnya saat ia kecil. Umurnya lima tahun saat ia merengek pada ayahnya kalau ia ingin mesin waktu seperti yang dimiliki Doraemon. Alih-alih mesin waktu betulan, ayahnya malah memberikannya kotak kayu ini. Ini, simpan barang-barang berhargamu di sini, itu akan membuatmu dapat kembali ke masa lalu setiap kau membuka kotak ini. Taehyung yang saat itu masih sangat naif dan polos percaya saja dan berhenti merengek. Setelah mengetahui kalau dia tidak bisa benar-benar kembali ke masa lalu, ia cukup kesal pada ayahnya, tapi ia tetap senang karena sedikit banyak ayahnya benar. Ia bisa seperti kembali ke masa lalu ketika melihat barang-barang yang ada di dalamnya.

Saat ini, Taehyung sedang ingin kembali ke masa lalu. Makanya, ia membuka mesin waktu itu. Ia cukup terkejut karena sejujurnya, ia sedikit lupa soal barang-barang apa saja yang ia taruh di dalamnya. Jimin pasti akan menyebutnya tukang sampah jika melihat isi kotak berharganya itu karena di dalamnya ada banyak barang dengan nilai fungsional 0 (menurut Jimin si anak bisnis dan manajemen, tapi bagi Taehyung, nilainya tak terhingga). Taehyung langsung senyam-senyum sendiri melihat masa kecilnya di dalam kotak. Ada sebuah tamagochi yang baterainya sudah habis, jam tangan menyala dalam gelap yang bahkan sekarang kandungan fosfornya sudah habis, kartu Yu Gi Oh yang dulu sempat membuatnya menangis karena dicuri tetangganya, ia bisa mengambilnya kembali setelah mengadu. Ini adalah harta berharga Taehyung. Sejak kecil, entah ia belajar dari kepercayaan suku pedalaman di daerah mana, Taehyung selalu mempercayai soal barang-barang mempunyai nyawa. Ia bisa membayangkan bagaimana mereka akan menangis saat Taehyung membuangnya. Makanya, ia tidak pernah tega untuk membuang barang-barang kesayangannya.

Dulu aku bodoh juga, pikir Taehyung. Tapi, kotak itu bukan hanya berisi barang-barang kesayangannya saat kecil. Ia bahkan menemukan sebuah kondom belum terpakai, hadiah dari Jimin yang iseng saja memberinya itu di ulang tahunnya yang ke-17. Ada tulisan di kotak kondom itu: semoga si jaka segera hilang. Harapan yang belum terwujud karena dia enggan menghilangkan si jaka dan syukurnya masih bisa mempertahankan keperjakaannya hingga umur 23 tahun ini. Menemukan kembali barang-barang ini seperti menemukan potongan ingatan yang sempat ia lupakan dan ini menyenangkan. Taehyung terus membongkar isi kotak itu saat menyadari sesuatu seperti lembaran kertas di dasar kotak. Ia tertegun ketika menyadarinya kalau itu adalah sebuah sketsa. Sketsa seekor kelinci putih dengan mata tajam dan wajah galak yang membuat ingatan masa lalunya beberapa tahun lalu keluar tak terbendung…

“Hyung, ayo gambar aku, Hyung!

“Manja sekali. Kan sudah kubilang kalau gambaranku mahal. Uang sakumu tidak akan  cukup.”

“Hyung pelit sekali. Kamu akan menyesal kalau tidak menggambar wajah gantengku ini.”

“Hm…, Baiklah, aku akan menggambarmu.”

“Tada~”

“HYUNG! Ini kan kelinci!”

“Itu kamu kok. Lihat saja dua gigi tengahmu yang menyembul keluar itu, Hahaha”

“Tapi kelinci ini seperti mau membunuh orang.”

“Kamu pikir wajahmu tidak terlihat seperti mau membunuh orang?”

Sial. Ini efek buruk mesin waktu. Bahkan ingatan yang sengaja ia lupakan bisa kembali. Tapi, lucu juga, betapa dulu Taehyung sering menyebut Jungkook kelinci jahat karena dengan wajah seimut itu ia selalu memasang ekspresi galak. Ia memperhatikan sketsa itu. Sejenak, ingatan itu membuat Taehyung memikirkan kembali soal Cookie. Karakter kelinci berwajah pembunuh yang sering mengisi lembaran di buku catatannya saat sekolah. Lalu, entah angin apa yang menggerakannya, Taehyung segera memutuskan untuk membawa kembali Cookie. Yeah, terkadang ide memang datang begitu saja. Dan sebelum ide itu pergi tanpa permisi, Taehyung memutuskan untuk mencatat ide-ide itu dan menghentikan kegiatan beres-beresnya.

Pada akhirnya, Taehyung, 23 tahun, memutuskan untuk tidak merapikan kamarnya di hari itu. Bukan keputusan yang tidak beresiko karena ia harus menghadapi omelan Jimin setelahnya.

 

*

 

“Jadi, sekarang kamu mau bilang kalau akan menunda tugas akhirmu lagi?” Jimin, setelah mengomelinya soal kamar, sekarang malah berlanjut ke episode ke dua, omelan soal tugas akhir. Taehyung kemudian berpikir, apa yang membuat ia bisa betah berteman dengan Jimin si cerewet ini?

“Bukan menunda, aku cuma sedang ingin membuat komik serial, oke? Aku janji akan tetap mengerjakan tugas akhirku.” Taehyung membela diri. Sia-sia karena Jimin masih punya ribuan jawaban untuk melawannya.

Sigh. Baiklah. Lalu, kamu akan menerbitkannya?” Anehnya, Jimin tidak mengomelinya. Taehyung sedikit lega ia tidak perlu mendengar celotehan panjang Jimin soal tugas akhir atau soal tanggal wisuda atau waktu soal yudisium yang tinggal beberapa bulan lagi karena bahkan tanpa Jimin jelaskan, ia tahu betul soal waktunya yang memang terbatas.

Nggak. Aku cuma akan mempostingnya di webtoon. Ini hanya seminggu sekali, Jimin. Aku janji. Enam hari sisanya akan aku dedikasikan untuk tugas akhir, oke?” Taehyung merasa bodoh karena ia tidak bisa melawan egonya dan malah menuruti ide yang muncul mendadak beberapa waktu silam. Apalagi kalau mengingat ide itu berawal dari sketsa yang ia buat untuk Jungkook.

“Oke, asal kau berjanji tidak pernah mengeluh lagi. Lalu, apa judulnya?” Jimin yang penasaran tidak membiarkan Taehyung menjawab dan segera mengintip apa yang Taehyung kerjakan.

Funny Bunny? Judul macam apa itu? Gila. Aku membayangkan sesuatu seperti Batman atau Superman. Funny Bunny? Apa itu? Kelinci mutan?” Jimin mengejek. Tidak sungguhan, dan Taehyung tahu itu.

“Berisik. Kau gak usah baca. Ini cuma cerita sederhana. Lagian, hidupku simpel. Jangan bawel. Lagian, kenapa kamu mampir terus? Tidak kerja? Atau sudah dipecat?” Taehyung menyindir.

“Bodoh, ini hari Sabtu. Besok Minggu, dan besoknya, kau tahu hari apa?”

“Senin?”

“Imlek.”

“Oh.”

“Kamu tidak pulang? Kan ada perayaan tahun baru?”

Nggak. Nggak akan pulang sampai lulus.”

Jimin mengangguk. Walau Jimin meragukan jawaban itu, apakah setelah lulus, Taehyung akan benar-benar pulang dan bertemu orang tuanya atau tidak.

“Kau sendiri? Kenapa tidak pulang?” Taehyung menghentikan sejenak kegiatannya. Menyenderkan kepalanya pada sandaran sofanya. Sofa itu semacam satu-satunya tempat bersandar bagi Taehyung karena pertama, Taehyung jomblo, dan kedua, walau Jimin sahabat terbaik Taehyung, Jimin masih merasa jijik kalau Taehyung bersandar di bahunya. Mungkin nanti, kalau-kalau dibutuhkan, Jimin akan menawarkan bahunya, tapi nanti, hanya dan hanya jika memang diperlukan. Untuk hal-hal sehari-hari, tidak, dia tidak akan menawarkan bahunya. It’s so fkin gay. Bukannya Jimin homophobic. Tapi, entahlah. Coba saja begitu sama sahabatmu sendiri. Jimin sering menegaskan kalau persahabatan mereka persahabatan yang manly. Walau seluruh orang yang mengenal mereka tidak menyetujuinya dan bahkan sering salah paham soal orientasi seks mereka.

“Aku pegawai kantoran, wajar lah kalau tidak pulang sesekali. Bayangkan, libur cuma Senin, Selasa harus masuk. Perjalanan ke Busan kan melelahkan.” Bahkan dengan nadanya yang sok meyakinkan, Taehyung tetap bisa mengetahui kebohongan Jimin. Taehyung tahu kalau saja Jimin berniat, ia bisa saja pergi ke Busan hari ini. Tapi alih-alih pergi bertemu keluarganya, ia malah memilih mendatangi Taehyung. Makanya, kalau sebelum-sebelumnya Taehyung sering tak habis pikir kenapa ia bisa bertahan memiliki teman cerewet, bawel, dan sok ngatur, sekarang Taehyung tidak bisa membayangkan kalau tidak ada Jimin dalam hidupnya. Mungkin ia akan menjadi orang paling menyedihkan sedunia.

“Ayo masak daging!”

Begitulah. Kali ini, Taehyung bersyukur pada Tuhan yang begitu adil karena bahkan setelah segala yang ia alami, Tuhan masih membiarkan Jimin untuk ada di sampingnya dan menjaganya dari pikiran-pikiran negatif seperti bunuh diri misalnya.

*

 


catatan:

nyaris 3000 kata of nonsense. Maafkan.

Lalu, Jungkook belum muncul, maaf alurnya lambat, wkwkwk. Ini sebenarnya chapter edisi spesial Imlek, Selamat Imlek bagi yang merayakan!

Chapter ini sangat dipengaruhi oleh komik webtoon All That We Hope To Be. Maaf jika ada kesamaan konsep dan bahkan kata-kata yang sama.Tapi, komik itu beneran bagus! 

Tinggalkan komentar juga boleh :)

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
chann17 #1
Eonnii.. Lanjutttnya kapaann?
Kepo nunggu jeka temu taehyuungg
woosansweetkins #2
Kalau boleh tau siapa ukenya disini???
dhaifinafa #3
ditunggu kaaa chapter 1 nya!!!