Satu

Nevermind

Taehyung mengulang tiap kata yang tertera dalam kotak kecil di layar laptopnya. Setelah memastikan kalau ia tidak salah membaca, ia langsung tersenyum lebar dan segera menekan tulisan forward. Jimin harus tau soal ini, pikirnya. Surel itu adalah sebuah pemberitahuan dari pihak penyelenggara sayembara cerita bergambar untuk anak-anak yang ia ikuti beberapa bulan lalu. Ceritanya memang terpilih menjadi cerita terbaik, tapi Taehyung tidak percaya kalau mereka benar-benar akan menerbitkannya. Taehyung tidak bisa berhenti tersenyum membayangkan cerita bergambar pertamanya akan segera diterbitkan untuk dibaca oleh anak-anak se-Korea. Makanya, kebahagiaan ini tidak akan ia simpan sendiri. Ia harus memberitahu Jimin!

Selang beberapa menit, sebuah pesan masuk. Ia tidak menyangka Jimin akan membalas secepat itu, apalagi sekarang adalah jam kerja. Tapi, Taehyung tetap bergegas membuka kembali layar laptopnya. Agak kecewa, Taehyung tetap membuka kotak surelnya walau nama yang tertera bukan nama Jimin. Ia semakin kecewa saat mengetahui bahwa surel itu adalah pemberitahuan soal reuni lulusan SMA-nya yang akan diselenggarakan akhir bulan nanti. Jika surel sebelumnya membuat Taehyung tidak bisa berhenti tersenyum, surel kali ini berhasil membuatnya tidak bisa tersenyum sama sekali. Rasanya sedih, membayangkan reuni yang sama sekali tidak Taehyung harapkan itu. Taehyung bisa membayangkan teman-temannya akan memandangnya seperti apa. Apa yang akan ia katakan nanti, ketika teman-temannya menanyakan soal pekerjaan? Atau soal bagaimana kuliahnya di kedokteran? Kenapa bisa dropout? Ah, pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya begitu menyiksa. Taehyung berhasil melewati saat-saat yang menyiksa itu, tapi, jika sekarang harus mengulangnya di hari reuni, Taehyung tidak bisa membayangkan harus bersikap bagaimana. Terutama, jika Jungkook akan datang. Jeon Jungkook. Ah, apa kabar anak itu?

Sejenak, Taehyung terpikir untuk membuka laman facebook yang telah hampir lima tahun tidak pernah ia buka. Tapi, untuk apa? Kabar soal Jungkook belum tentu ada di sana. Lagipula, pun jika ada, Taehyung juga tidak tahu harus berbuat apa. Makanya, Taehyung memutuskan untuk mematikan laptopnya dan merebahkan diri di sofa. Ini bukan saatnya tumbang dan menumbuhkan kekhawatiran soal masa lalu. Apalagi, ketika ia sudah berhasil sejauh ini menghindarinya.

 

*

 

Senin. Bukan hari yang selalu menyenangkan, tapi setidaknya hari ini adalah hari buku cerita bergambarnya diterbitkan. Taehyung bergegas pergi ke toko buku di kampusnya seusai kelas. Ia sempat berpapasan dengan Sungjae, anak perfilman yang juga teman sekelasnya sewaktu SMA. Sungjae sempat mengingatkan soal reuni, tapi toh Taehyung tidak peduli soal reuni. Pikiran soal reuni bisa nanti-nanti. Saat ini, ia cuma butuh melihat bukunya yang diterbitkan dan memamerkannya pada Jimin.

Mata Taehyung berbinar-binar saat ia menemukan buku cerita bergambarnya di rak bagian buku anak-anak. Taehyung sebenarnya sudah mendapatkan buku itu dari penerbit pagi tadi, tapi, ia tidak bisa menahan keinginan untuk melihat bukunya langsung di toko buku. Buku dengan cover bergambar seorang pangeran kecil dan seekor rubah. Taehyung tersenyum sendiri. Dulu, saat membuat cerita ini, ia mengambil karakter Jungkook yang pemarah dan kekanakan sebagai pangeran kecil. Sedih juga, sekarang hubungan mereka tidak sebaik dulu. Bahkan, Taehyung tidak bisa memamerkan buku ini padanya seperti yang akan ia lakukan pada Jimin.

Taehyung sedikit malu untuk melakukannya, memamerkan buku cerita bergambar pada seseorang yang sudah bekerja di perusahaan besar, tapi, Jimin sendiri yang meminta bukti kalau bukunya benar-benar diterbitkan. Makanya, Taehyung mengambil beberapa foto bukunya di rak dan menulis caption: Sekarang kamu percaya kan? Bukunya sudah terbit!!!! Taehyung menambahkan beberama emoticon sebelum mengirimkannya. Ia baru akan menekan tombol kirim saat ia melihat pojok non-fiksi dan mengingat kalau salah satu dosennya menyarankan ia membaca beberapa buku sejarah untuk dapat melakukan penggambaran visual jaman pertengahan.

Taehyung sedang memilih beberapa buku sejarah ketika ia melihat sebuah pojok new arrival. Ah, terbitan jurnal baru? Taehyung tertarik karena cover bukunya yang cukup mencolok. Ia semakin terkejut ketika melihat nama yang tidak asing di barisan penulisnya. Jeon Jungkook. Tidak mungkin. Masih tidak percaya, Taehyung akhirnya membuka-buka buku itu untuk memastikan bahwa Jungkook yang menulis buku itu adalah Jungkook yang sama dengan yang ia kenal dan kenyataan terasa pahit. Di biografi tertulis bahwa Jeon Jungkook adalah lulusan Hukum Harvard. Tidak salah lagi. Jeon Jungkook, orang yang selama ini ia hindari selama lima tahun, rivalnya selama sekolah, telah menerbitkan jurnal yang membahas perdamaian dan hukum perbatasan Korea Selatan dan Utara. Tuhan, apa ini serius?

Taehyung meratap. Dia baru saja bangga dan ingin memamerkan diri karena berhasil menerbitkan buku cerita bergambar untuk anak-anak sementara rivalnya, Jeon Jungkook, baru saja menorehkan hasil pemikirannya soal perdamaian dunia. Taehyung langsung menghapus pesan foto yang belum sempat ia kirimkan pada Jimin. Ini, kebanggaan kecil ini bukan sesuatu yang patut dibanggakan, Taehyung mengingatkan dirinya. Taehyung menaruh kembali buku Jungkook dan meninggalkan toko buku dengan perasaan (sedikit) kalah.

*

Hampir semalaman Taehyung memandang laptopnya dengan muram. Inspirasi seolah pergi jauh dan yang ia pikirkan hanya Jeon Jungkook. Lagi, ia mengingatkan dirinya kalau tidak, ia tidak boleh merasa kalah. Ini kan cita-citanya sejak dulu. Ini kan jalan yang ia pilih. Kan, ia sendiri yang memutuskan untuk keluar dari sekolah kedokteran dan memilih untuk masuk ke seni visual. Ini bukan hal yang harus ia sesali, tekannya lagi. Tapi, tetap saja, kenyataan kalau sekarang Jungkook jauh lebih baik darinya membuatnya frustasi. Kalau saja ia tidak mengenal Jungkook, seharusnya ia bisa bahagia-bahagia saja menjalani hidup yang ia pilih.

Ia tersadar dari pertarungan batinnya saat pintu rumah sewanya terbuka. Jimin datang dan membawa beberapa kotak makanan. Jimin memang biasa mampir sepulang kerja dan membawa makanan seolah memaksa Taehyung untuk makan malam. Padahal, Taehyung bersikeras kalau dia adalah manusia kuat yang cukup hanya dengan dua kali makan, pagi dan sore. Tapi, Jimin tidak memedulikannya dan masih sering datang dan menemani Taehyung begadang. Selain karena kantornya dekat dengan rumah sewa Taehyung, juga karena diam-diam Jimin khawatir. Jimin biasa datang untuk sekedar memastikan bahwa Taehyung tidak mati karena lupa makan. Terakhir Jimin membiarkan Taehyung mengerjakan proyeknya sendirian, Jimin harus membawa Taehyung ke rumah sakit karena tumbang akibat tidak makan dan tidur lebih dari dua hari.

Jimin memandang Taehyung aneh. Semalam, ia mendapatkan pesan dari Taehyung kalau hari ini bukunya diterbitkan. Tapi, ia sama sekali tidak mendengar kabar soal itu seharian. Lalu, Jimin mengambil dugaan bahwa mungkin saja buku Taehyung gagal diterbitkan? Jimin takut untuk membahas soal itu, makanya ia memutuskan untuk diam dan membuka laptopnya. Ia harus meneruskan beberapa laporan pertanggungjawaban untuk perusahaan yang belum saja selesai. Ia duduk di samping Taehyung yang belum juga membuka pembicaraan.

Taehyung menghela nafas sembari meneruskan proyek tugas akhirnya yang seperti siput, berjalan sangat lambat. Ini bukan kali pertama Taehyung menghela nafas panjang dan pada akhirnya, mau tidak mau, Jimin yang merasa risih itu akhirnya mempertanyakan alasan di balik sikap putus asa Taehyung yang amat jarang terjadi. Taehyung sedikit ragu untuk jujur pada Jimin, tapi pada akhirnya dia memutuskan untuk menceritakan penyebab kegamangannya malam itu.

“Inget Jeon Jungkook?” Sudah lama Jimin tidak mendengar nama itu lagi. Sekitar lima tahun ini, ia hampir tidak pernah mendengar kabar tentang lelaki yang lebih muda dari mereka itu. Tapi, lima tahun tanpa kabar tentang Jungkook bukan berarti Jimin semudah itu melupakannya.

“Ya, kenapa dengan si anak aksel itu?” Sebaliknya, Jimin sangat mengingat Jungkook. Ingat hingga ke tahap untuk susah melupakannya. Bahkan julukan ‘anak aksel’ masih melekat setiap kali Jimin mengingat Jungkook. Dulu di sekolah mereka, Jeon Jungkook adalah anak yang dikenal karena dia berhasil akselerasi hingga dapat sekelas dengan Jimin dan Taehyung padahal mereka selisih dua tahun. Banyak cerita soal kehebatan Jeon Jungkook tapi Jimin terlalu malas mengingatnya satu per satu. Ia lebih penasaran soal kenapa tiba-tiba Taehyung menyebut namanya lagi.

“Ng…Tadi saat di toko buku, aku tidak sengaja melihat jurnal… terbitan kementrian luar negeri… dalam bahasa Inggris… dan salah satu penulisnya adalah Jeon Jungkook yang itu.” Taehyung menjawab. Kini Jimin bisa menebak-nebak apa hubungan kekhawatiran Taehyung dan nama Jeon Jungkook.

“Dia sudah lulus dari Harvard. Entahlah, Jimin. Mungkin dia akan datang di acara reuni nanti.”

Jimin menghentikan sejenak laporan keuangannya. Sejenak memandang wajah sahabat tercintanya yang tampak berantakan. Rambut kelewat panjang dan awut-awutan, poni diikat, kacamata besar menggantung di hidungnya. Dan dari wajahnya yang muram, Jimin menduga kalau kemungkinan besar, Taehyung belum mandi seharian. Entah apa yang ia lakukan, Jimin tidak mengerti. Jimin memandang sosok Taehyung di hadapannya yang terlihat sangat mengenaskan. Makanya Jimin mengerti, tentu bayangan soal sesukses apa Jungkook sekarang sedikit banyak membuat Taehyung kepikiran. Tentu, mereka berdua adalah rival semasa sekolah. Jeon Jungkook yang memang tidak mau kalah itu, selalu bersikeras untuk selalu ingin melampaui Taehyung yang saat itu lebih baik dari Jungkook dalam banyak hal.

“Memang kenapa kalau dia datang? Bagus kan, udah lima tahun juga kita gak ketemu dia.” Jimin seolah mempertanyakan sesuatu yang retoris. Padahal, bahkan tanpa bertanya, Jimin sudah mengetahui bahwa tentu kedatangan Jungkook di reuni nanti akan menimbulkan masalah. Terutama bagi batin Taehyung yang selama lima tahun ini tak hentinya menghadapi masa-masa sulit.

“Entahlah. Mungkin aku akan pura-pura sakit, atau apalah.” Taehyung melanjutkan helaan nafas beratnya.

“Dia pasti akan ikut memandangku dengan menyedihkan seperti yang lain. Dia baru saja menerbitkan sesuatu soal perdamaian dunia, Jimin. Sementara aku cuma menerbitkan cerita bergambar anak-anak saja bangga… Dia lulusan Harvard, aku bahkan masih jalan di tempat dengan tugas akhirku.” Suara Taehyung memelan tapi Jimin masih bisa mendengar gumamannya dari posisinya. Jimin selalu kesal setiap kali Taehyung merendahkan diri. Oke, mungkin dalam waktu lima tahun, dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya yang lain, Taehyung bisa termasuk lamban. Saat ini Taehyung masih seperti jalan di tempat dengan tugas akhirnya sementara Jimin sudah lulus dari Manajemen dan Bisnis dan sekarang sudah bekerja di salah satu perusahaan yang walau bukan perusahaan raksasa setidaknya mampu mencukupi hidupnya –dan kadang juga hidup Taehyung. Jimin mengerti betul beban sosial yang ditanggung Taehyung sebagai mantan siswa nomor satu di sekolahnya dulu. Makanya Jimin sedikit bersyukur karena sejak SD hingga SMA dia selalu menjadi murid yang biasa-biasa saja. Dia tidak bisa membayangkan beban yang ditanggung Taehyung sebesar itu. Apalagi mengetahui kalau siswa nomor dua se-sekolah di angkatan mereka baru saja lulus dari Harvard. Pasti itu benar-benar beban.

Tapi, Jimin tidak pernah menyetujui pendapat Taehyung soal ‘betapa menyedihkannya’ dirinya. Ya, memang, dalam jangka lima tahun ini Taehyung masih belum lulus dari S1-nya. Bahkan dia masih stuck dengan tugas akhirnya saat teman-temannya yang lain sibuk mencari kerja. Sebaliknya, Jimin malah menaruh kekaguman yang sangat besar pada sahabatnya itu. Terutama karena keteguhan dan keberanian Taehyung untuk mengikuti kemauan hatinya. Alih-alih meneruskan sekolah di kedokteran seperti yang diharapkan kedua orangtuanya, Taehyung memilih untuk pindah ke jurusan seni visual seperti cita-citanya selama ini. Jimin tahu bahwa dalam menentukan pilihan selalu ada harga yang dibayar. Dan untuk menebus pilihan itu, Taehyung harus membayar sangat mahal. Termasuk mendapatkan penolakan dari sekelilingnya. Jimin ingat sekali bagaimana Taehyung sangat hancur ketika kedua orangtuanya marah besar saat mengetahui Taehyung berhenti dari sekolah kedokteran di akhir tahun pertamanya. Tentu saja. Orang tua mana yang tidak sedih saat anak satu-satunya melepaskan kesempatan besar untuk menjadi dokter demi meneruskan mimpi kanak-kanaknya –menjadi seorang komikus?

Bahkan Jimin masih mengingat bagaimana suara tamparan yang mendarat di pipi Taehyung seolah bergema saat Jimin tidak sengaja mendengar pertengkaran mereka. Pandangan tidak percaya kedua orangtuanya dan mata Taehyung yang berkaca-kaca saat mengetahui bahwa bahkan orangtua yang melahirkannya ke dunia ini tidak menyetujui kehidupan yang Taehyung pilih. Taehyung terus mempertanyakan soal itu. kenapa bahkan saat kedua orangtuanya memberikan kehidupan, Taehyung tidak mendapatkan kesempatan untuk benar-benar hidup?

Cara berpikir Taehyung yang unik itu terkadang sering membuat Jimin iri karena mau bagaimanapun, tidak semua orang mampu menentukan jalan hidup setegas itu. Bahkan sekarang, Jimin hanya pegawai kantoran pada umumnya yang menjalani sebagian besar hidupnya menjadi budak kapitalis. Kerja delapan jam sehari dan bahkan di rumah masih harus lembur mengerjakan laporan keuangan seperti ini. Terkadang setiap melihat Taehyung yang bekerja begitu keras dan menikmati hidupnya seperti itu, Jimin sering merenungkan apa yang sebenarnya dia cari dalam hidup. Tapi, Jimin terlalu takut jika ia menemukan jawabannya. Ia takut jika kelak ia tak seberani Taehyung.

“Hey, Jimin?” Taehyung menyadarkan Jimin dari pergolakan batin di dalam dirinya.

“Udah cek grup line?” Jimin tidak menjawab tapi segera membuka smartphonenya. Terlihat puluhan notifikasi dari aplikasi chat itu dan benar saja, Jungkook telah masuk grup reuni mereka.

“Kayaknya aku benar-benar harus cari alasan untuk gak datang.” Taehyung bergumam lagi.

“Nggak. Pokoknya kamu harus datang.” Jimin menjawab tegas. Jimin tahu Taehyung minder dengan Jungkook. Tapi, Jimin justru malah ingin mempertemukan mereka dan membuktikan bahwa Taehyung yang selama ini direndahkan oleh kebanyakan teman-temannya adalah orang yang paling luar biasa yang ia kenal. 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
chann17 #1
Eonnii.. Lanjutttnya kapaann?
Kepo nunggu jeka temu taehyuungg
woosansweetkins #2
Kalau boleh tau siapa ukenya disini???
dhaifinafa #3
ditunggu kaaa chapter 1 nya!!!