Something Worth Fighting For

Midnight Awakening
Please Subscribe to read the full chapter

New York, 30 Mei 2008

“Siapa namamu?”

“Kau sendiri siapa?”

Laki-laki muda itu tidak menggubris. Sebaliknya, dia kembali bertanya, “Siapa namamu?”

“Vernon,” jawab anak itu akhirnya, walaupun dia masih tidak bisa mempercayai orang dihadapannya. Bagaimana dia bisa percaya jika tubuhnya terikat alat pendeteksi kebohongan seperti ini? Tadi, mereka bilang mereka ingin menyelamatkannya, tapi sekarang mereka memperlakukannya seperti seorang penjahat. Memang, dia baru saja berbuat jahat untuk melindungi diri, tapi dia tetap benci pembohong.

“Nama lengkapmu?”

“Kenapa kamu mau tahu?”

“Jawab saja dia!” seru laki-laki lain disana dengan jengkel. “Dan ini semua akan cepat selesai.”

Anak itu cemberut. “Hansol Vernon Choi.”

“Darimana kamu berasal?”

“Korea Selatan.”

“Bisakah kamu berbicara dengan bahasa asalmu?”

“Ne.”

Si penginterogasi tersenyum, lalu berbicara dalam bahasa Korea. “Ceritakan tentang kisahmu, Hansol. Aku ingin mendengarnya.”

Hansol tidak langsung menjawab. Dia menunduk, menatap tangannya yang bertautan di atas pangkuan. Dia sudah hidup selama sepuluh tahun. Tentu dia memiliki banyak kisah. Tapi, dia harus mulai darimana? Setelah dia lahir? Setelah dia dijual?

Seakan membaca pikirannya, si penginterogasi berkata, “Ceritakan bagaimana kau bisa menjadi seperti ini.”

Hansol berdeham. “Dua tahun lalu, aku sedang berlibur bersama keluargaku. Ayahku, ibuku dan adik perempuanku. Kami mengunjungi kebun binatang. Saat itu kami sedang menonton pertunjukkan gajah. Dan aku melakukan kesalahanku.”

“Kesahalan apa itu, Hansol?”

“Seseorang berkata sebentar lagi pertunjukkan lumba-lumba dimulai. Aku mau melihatnya, tapi keluargaku tidak tertarik. Aku pun meninggalkan mereka tanpa permisi. Selesai menonton pertunjukkan lumba-lumba, aku kembali ke tempat pertunjukkan gajah. Pertunjukkan telah lama usai. Tempat itu sudah sepi. Hanya ada beberapa orang, dan tidak ada diantara mereka yang merupakan keluargaku.

Aku tidak bisa menemukan mereka dimana-mana. Aku duduk di pinggir jalan sambil menangis. Kemudian, seseorang menghampiriku. Wanita, seingatku mengenakan kemeja biru. Dia bertanya kenapa aku menangis. Aku bilang aku kehilangan keluargaku. Dia tersenyum kemudian menawarkanku minum. Aku, yang memang kehausan, menerimanya. Ternyata minuman itu dicampur obat bius.”

“Lanjutkan,” pinta si penginterogasi.

“Aku terbangun di dalam sebuah mobil. Tanganku terborgol. Disekitarku banyak anak-anak seusiaku yang tangannya juga diborgol. Mobil itu berhenti di sebuah wilayah kotor, namun ramai. Kami dipaksa turun di sana. Ada sebuah panggung. Bergantian kami naik ke atas sana. Aku memerhatikan dan mendapatkan jawaban. Kami akan dijual sekaligus dilelang.”

Hansol melirik si penginterogasi. Laki-laki itu masih menyimak dengan saksama. Dia mengangguk, menyuruh Hansol melanjutkan.

“Aku dijual dengan harga besar pada seorang laki-laki tua berwajah barat. Aku dibawa olehnya ke kota ini. Dia bilang dia ingin membantuku. Nyatanya, aku kembali dijual pada keluarga busuk yang memperkerjakanku sebagai budak tanpa dibayar. Itu alasan mengapa aku tidak mempercayai kalian. Sudah ada yang pernah bilang ingin membantuku, tapi ternyata dia berbohong. Aku tidak mengulang kesalahan yang sama kembali.”

Si penginterogasi tidak membalas, mengira Hansol masih akan bercerita. Ketika Hansol mengangkat alis, dia pun berkata, “Kami benar-benar ingin membantumu, Hansol. Bukan hanya kau, juga jutaan anak-anak lain yang bernasib sama denganmu.”

Hansol mengerutkan kening. “Kalau begitu, kenapa kalian tidak menyelamatkan Walder?” dia menyebutkan nama teman seperjuangannya di rumah keluarga itu.

“Walder adalah salah satu dari kami,” jawabnya. “Kami sengaja mengirimnya ke rumah keluarga Chandler untuk memata-matai.”

“Aku tidak mengerti. Siapa yang kau sebut ‘kami’? Kau, Walder dan orang ini?” Hansol menunjuk laki-laki lain di ruangan kotak itu.

“Di tahun ketiga ini, jumlah kami sudah semakin banyak, Hansol. Kau tidak akan pernah mau menghitungnya satu persatu,” dia berkata. “Sekarang, jawab aku. Kamu ingin belajar?”

“Kalian ingin menyekolahkanku?”

“Kurang lebih seperti itu. Bedanya, kau akan belajar hal-hal yang tidak pernah dipelajari murid-murid di sekolah formal. Kau akan belajar hal-hal yang lebih berat, tapi aku yakin kau bisa melakukannya.”

Hansol menatapnya keheranan. “Belajar apa?”

“Kau masih tidak mengerti juga, Hansol? Kami akan membuatmu menjadi seperti Walder. Menjadi seorang mata-mata.”

--

“Bangun semuanya!” teriak Jisoo.

Jihye yang pertama bangun, disusul oleh Hansol yang berguling jatuh ke lantai, lalu Seokmin terkaget sampai kepalanya terbentur kepala tempat tidur. Yoora dengan santai duduk dan merentangkan tangan lebar-lebar. Tersisa Seungkwan dan Narae, masih terlelap tanpa ada tanda-tanda akan bangun.

Jisoo menyibak selimut dari tubuh Seungkwan, membuat anak itu menggigil karena udara pendingin ruangan tiba-tiba menerpa kulit. Ditarik Jisoo, Seungkwan akhirnya bangkit dari kasur walaupun matanya masih terpejam. Narae sendiri dibangunkan oleh Jihye dengan cara digelitiki.

“Oke, oke, aku bangun—Astaga, hentikan!” Narae menggeliat kesana kemari sambil tertawa-tawa.

Saat keenam anggotanya sudah berdiri berjejer di depan deretan tempat tidur susun, Jisoo berkata dengan penuh wibawa seorang pemimpin. “Hari ini adalah hari simulasi yang akan menentukan masa depan kita di UE. Aku ingin segalanya berakhir dengan sempurna. Yang perlu kalian lakukan adalah fokus dan percaya pada kemampuan masing-masing. Jangan lupa sarapan yang cukup setelah ini. Sekarang, kalian harus mandi. Seperti biasa, perempuan terlebih dahulu.”

Dengan itu, Seungkwan terjungkang ke tempat tidur dan kembali mendengkur. Jisoo menghela napas pelan. Dia akan mengurusi Seungkwan belakangan.

--

Di Episentrum, meja Cassiopeia selalu kedatangan pengunjung. Seluruhnya mampir untuk mengatakan semoga beruntung. Kebanyakan dari mereka adalah perempuan, yang Narae yakin hanya datang untuk mencari perhatian Hansol. Terbukti dengan mereka yang terlihat susah payah menahan napas ketika Hansol melempar senyum.

“Hari ini kita jadi populer diantara gadis-gadis,” kata Seungkwan kegeeran.

“Wah, Seungkwan,” kata Narae. “Sepertinya, yang lebih tepat itu Hansol yang populer diantara gadis-gadis.”

Hansol menoleh, tertarik. “Jadi, kau menganggapku populer?”

“Yah, siapa yang tidak?”

“Kau juga gadis,” kata Hansol. “Berarti aku juga populer pada dirimu?”

“Kecuali aku,” sahut Narae tak acuh.

Seungkwan menahan tawa. “Gagal strategi, bung!” Dia berkata tanpa suara. Hansol hanya mengangkat bahu, walaupun dalam hati malu sekali.

Saat seluruh piring sudah kosong, Jisoo berdiri. “Masih ada waktu dua jam lagi sebelum simulasi. Agar tidak stres, kalian kubebaskan untuk melakukan apa saja. Tapi, jangan lupa untuk berkumpul tepat waktu nanti. Awas, ya, kalau ada yang terlambat.”

Seungkwan melompat. “Aku mau main Metal Gear!”

“Jangan lupa dirapikan lagi!” seru Jisoo pada Seungkwan yang sudah berlari. “Gara-gara kau, aku kena tegur para senior, tahu!”

“Sudah, sudah,” lerai Yoora, sambil menyelipkan lengannya pada lengan Jisoo. Dia berkata dengan manis. “Lanjut nonton Spectre saja, yuk?”

Jisoo melunak. Dia balas tersenyum, sama manisnya. “Ayo.”

Seraya Jisoo dan Yoora melangkah keluar Episentrum, Jihye mengelap mulutnya asal-asalan. “Rasanya aku butuh sesuatu untuk ditonjok. Aku mau latihan fisik saja.”

“Ikut!” seru Seokmin.

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
fairy98 #1
Chapter 2: Waaaa, gak sabar nunggu lanjutannga. Penasaran juga dengan seungchol. Jangan-jangan, dia tim lawan?
keyhobbs
#2
Chapter 2: ah,,,sejauh ini seungcheolnya cuman muncul sebentar aja ya? Humm~~kasian hansol, pasti kecewa bnget tuh ,,btw, d tunggu lho lanjutannya hehe