Something Distracting

Midnight Awakening
Please Subscribe to read the full chapter

Bangunan bercat putih itu berdiri tegak ditengah-tengah pekarangan bersalju. Para penduduk mempercayainya sebagai pabrik kertas, padahal bukan.

“Status, Cleopatra?” tanya suara berat laki-laki di telinga Narae.

Narae menekan alat komunikasi itu ke telinga. “Sesuai jadwal, Red Robin.”

“Sistem alarm sudah dimatikan. Kau bisa bergerak bebas, tapi tetap hati-hati.”

“Mengerti, Red Robin.”

Narae keluar dari mobil yang diparkirkan di seberang pabrik. Ditatapnya pabrik kertas gadungan tersebut. Menurut informasi dari Red Robin, pabrik tersebut sebenarnya digunakan untuk produksi narkotika berbahaya. Red Robin menugaskan Narae untuk membawa pemiliknya—yang mereka namakan Big Boss— hidup-hidup kembali ke markas agar bisa diinterogasi.

Hanya Narae. Itulah yang membuat Narae menggerutu terus sepanjang perjalanan. Ada ratusan anak di markas, sementara hanya dia yang Red Robin utus untuk misi ini.

Tandanya Red Robin menaruh kepercayaan besar bahwa kau bisa melakukannya sendirian, Cleopatra.

Itu kata Peacekeeper, ahli strategi mereka. Niatnya memang untuk menyemangati Narae, tapi tidak berhasil. Narae masih tidak yakin akan kemampuannya sendiri.

Bagaimanapun, tugas tetap tugas. Narae harus menyelesaikan misinya sebelum malam berakhir agar tidak menimbulkan kecurigaan pada masyarakat.

Ada sebuah pos sekuriti di pintu masuk. Saat penyusunan strategi dengan Peacekeeper, Narae sudah ditugaskan untuk melumpuhkan si sekuriti.

Mudah melakukannya. Si sekuriti sedang terkantuk-kantuk sehingga tidak sadar ada Narae yang mendekat dari belakang. Tanpa suara, Narae menyuntikkan obat tidur padanya. Si sekuriti berjengit, lalu ambruk ke depan.

Layar yang memperlihatkan rekaman kamera pengawas masih menyala. Narae mengeceknya satu persatu. Diingat-ingatnya deskripsi Big Boss menurut Red Robin. Gemuk, selalu berdasi kupu-kupu dan memakai suspenders.

“Dapat,” kata Narae. “Dia ada di ruang kerjanya.”

“Bagus. Lanjut ke tahap berikutnya, Cleopatra. Jangan lupa matikan kameranya.”

Pagar pabrik cukup tinggi sehingga Narae harus memanjat. Untung memanjat adalah bagian dari latihan, jadi Narae dapat melakukannya dengan cepat dan tanpa hambatan. Narae menjejak sepatu ketsnya dengan sempurna diatas salju. Tanpa jatuh, tanpa bunyi alarm.

Narae mencabut pistol tranquillizer dari sabuknya di pinggang. Sambil berlari melintasi halaman, pistol itu diposisikan di depan dada. Ada dua penjaga lain di depan pintu, meninggalkan tugas dan malah bermain kartu, sampai tidak sadar daritadi ada penyusup. Narae segera melumpuhkan mereka berdua dengan pistolnya.

Melangkahi dua penjaga tak sadarkan diri, Narae membuka pintu. Lorong remang-remang menyambutnya. Ada sekitar sepuluh orang tak bersenjata disana yang dengan mudah Narae lumpuhkan. Narae kemudian menyusuri lorong yang berakhir pada tempat produksi. Narae mengintip dari balik tembok. Hanya ada seorang wanita sedang memunggunginya. Sebisa mungkin tanpa suara, Narae berjalan cepat menghampiri wanita itu dan menodongkan pistol ke belakang kepalanya.

“Dimana ruang kerja bosmu?”

Tubuh wanita itu menegang di bawah cengkeraman Narae. “La—lantai dua. Ruangan pertama disamping tangga darurat.”

“Jangan berisik,” Narae membiusnya.

“Status, Cleopatra?”

“Menuju ruang target.”

Tangga darurat itu tersembunyi dibalik pintu hijau. Beruntung Narae mengenakan sepatu kets yang tidak menimbulkan banyak suara, jadi dia bisa menaiki tangga cepat-cepat. Begitu pintu hijau lain dengan tulisan angka dua muncul dihadapan, Narae mendorong pintu itu, menemukan lorong lain.

Ada pintu kayu mahoni di samping pintu darurat. Pintu itu terbuka, membuat Narae dapat mendengar percakapan yang terjadi didalamnya. Big Boss sedang berbicara dengan salah satu karyawannya mengenai distribusi produk mereka. Ketika Narae mengintip, Big Boss sedang menunduk untuk membaca berkas-berkas di mejanya. Kesempatan ini Narae manfaatkan untuk menembak si karyawan dari belakang.

Big Boss mendongak ketika mendengar suara tubuh karyawannya yang berdebam dengan lantai. Narae berdiri di ambang pintu, menyeringai sambil menutup pintu.

“Selamat malam—“ Narae membaca pelat nama di meja Big Boss. “—Mr Kim.”

“Siapa kau?” seru Big Boss. “Sekuriti!”

“Sekuritimu tidak ada disini untuk membantumu,” kata Narae. “Sekarang, ikuti perintahku atau aku akan melukaimu. Jujur saja, aku lebih suka pilihan pertama.”

“Kau pasti akan melukaiku setelahnya,” Tuduh Big Boss.

“Oh, tidak akan,” kata Narae. “Paling hanya memenjaramu.”

Big Boss kehilangan kesabaran. Dia menarik laci dengan kasar dan mengambil pistol dari sana. Dia menembak Narae yang dengan sigap menunduk, membuat pelurunya menghantam pintu di belakang Narae.

Narae mencibir. “Sayang sekali, kau membuatku tidak punya pilihan lain, Mr. Kim.”

Narae menarik pelatuk pistol, tapi tidak ada yang terjadi. Pelurunya habis.

“Sial!” umpat Narae, tapi dengan cepat mencabut pistol lain ketika Big Boss kembali menghujaninya dengan peluru.

Salah satu peluru itu berhasil mengenai lengan Narae. Gadis itu tersaruk ke ujung ruangan, merintih. Big Boss tertawa, menghampiri Narae untuk mengacungkan senjatanya. Ujung dingin dari pistol menempel di kening Narae yang basah akan keringat. Big Boss mengambil ancang-ancang untuk menarik pelatuk.

“Kau tidak seharusnya ikut campur urusan orang lain, little lady.”

Narae menatap Big Boss kaget. Suara Big Boss berubah. Bukan suara serak pria tua itu lagi, melainkan suara dalam seorang remaja. Suara seorang remaja yang membangkitkan memori masa lalu Narae.

Kelebatan memori itu hilang. Dengan tangannya yang tidak cedera, Narae menangkis senjata Big Boss sampai mental bermeter-meter jauhnya. Dia memelintir tubuh Big Boss berlawanan arah. Big Boss menjerit kesakitan. Narae mencabut senjatanya yang lain, menembakkan isinya ke punggung Big Boss.

Big Boss jatuh terjerembap ke depan. Narae berdiri, menatap musuh yang berhasil dia kalahkan. Darah merembes keluar dari kemeja putih Big Boss.

Saat itu Narae tersadar, dia sudah menggunakan senjata yang salah.

--

“Misi A gagal.”

Hologram Big Boss berkata berulang-ulang. Merasa sebal, Narae menembaknya lagi. Hologram itu pecah, namun langsung kembali ke wujud asal dalam hitungan detik, mengatakan hal yang sama.

“Hansol, buat dia tutup mulut!” seru Narae. Dia langsung menyesal sudah berkata demikian.

Dari sebuah kaca lebar, Narae dapat melihat ruang pengawasan. Seluruh anggota timnya ada disana. Hansol, Jisoo, Seokmin, Yoora, Jihye, dan Seungkwan. Disana juga ada Soyeon, mentor mereka. Soyeon menatap Narae kecewa, lalu meninggalkan ruangan.

“Kau tidak seharusnya berbicara seperti itu ketika gagal, Narae,” Jisoo berbicara lewat alat komunikasi di telinga Narae.

“Aku keceplosan!” balas Narae. “Sumpah, aku sebal sekali sampai lupa Soyeon ada disini.”

“Jangan diulangi lagi. Hari ini lagi-lagi kau—“

“Mengecewakan?” potong Narae. “Ya, aku tahu.”

Narae melangkah menuju ruang pengawasan, meninggalkan ruang simulasi dengan hampa. Begitu sampai disana, dia melepaskan segala peralatannya. Alat komunikasi, sabuk senjata beserta isinya. Setel

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
fairy98 #1
Chapter 2: Waaaa, gak sabar nunggu lanjutannga. Penasaran juga dengan seungchol. Jangan-jangan, dia tim lawan?
keyhobbs
#2
Chapter 2: ah,,,sejauh ini seungcheolnya cuman muncul sebentar aja ya? Humm~~kasian hansol, pasti kecewa bnget tuh ,,btw, d tunggu lho lanjutannya hehe