1961;

i dream of you (in colours that don't exist)

 1961; 

 

Soojung menemukannya lagi—Jongin, maksudnya—di halaman belakang sekolah. Tempat itu memang tempat kesukaan Jongin untuk membawa gadis yang tergila-gila padanya dan bercumbu di sana.

 

Kamis lalu, seorang junior dari kelas 1-3. Hari ini, Rabu, seorang senior dari kelas 3-2. Soojung takkan terkejut jika suatu hari Jongin membawa seorang guru biologi baru yang masih muda ke sini.

 

Jongin mencium dengan mata terbuka. Kebiasaan, Jongin pernah berkata pada Soojung, musim panas yang lalu. Soojung pernah mendengarkan Jinri membacakan sebuah rubrik di satu majalah dewasa yang dicurinya dari kamar kakaknya. Rubrik itu mengatakan bahwa setiap pemuda yang mencium gadis dengan mata terbuka, itu berarti pemuda itu tak benar-benar mencintai si gadis.

 

Sepertinya rubrik itu benar, Soojung berpikir. Bagi Jongin, yang cukup populer, semua siswi sekolah ini yang menyukainya hanyalah lelucon. Jongin hanya ingin bersama mereka untuk menjadi distraksi dari kejenuhan hidup. Begini kronologisnya: gadis itu menyukai Jongin, jika gadis itu menarik di mata Jongin maka dia akan menggodanya, kemudian mereka akan bermesraan beberapa kali, hingga Jongin bosan dan mencari pengganti gadis itu, kemudian gadis itu akan berusaha membuat perhitungan pada Jongin atau hanya pergi sambil menangis.

 

Hampir seisi sekolah tahu tentang hal itu. Bukan hanya Jongin yang memainkannya, para siswa dan siswi yang populer di sini memang kebanyakan melakukan hal yang sama. Seperti sebuah ritual, peraturan lisan yang terjadi di kalangan siswa sekolah mereka. Tidak banyak yang protes, karena diam-diam mereka juga ingin mencoba—setidaknya sekali. Kau tahu, remaja dengan otaknya yang dangkal dan hasratnya yang impulsif.

 

Jongin mencium dengan mata terbuka, karena itu dia bisa melihat Soojung yang melewatinya. “Hai, Soojung!” Jongin segera berseru—yang berarti, dia berhenti mencium senior itu.

 

Si senior juga menoleh ke arah Soojung. Sekilas Soojung bisa melihat wajah senior itu menjadi merah padam, mungkin malu saat tak sengaja dilihat sedang melakukan hal berdosa seperti itu. Dia segera kabur dan masuk ke dalam gedung sebelum Jongin menyuruh.

 

Soojung masih tak berhenti berjalan. Sambil terus melangkah, dia berkata pada Jongin, “Selesaikan saja urusanmu.” Soojung berada di sini hanya karena dia mendapat tugas piket hari ini, untuk membuang sampah kelas ke tempat pembuangan sampah di belakang halaman, bukannya dia sedang berniat menangkap basah Jongin dan pacar barunya.

 

Di tempat pembuangan sampah, tak lama kemudian, Soojung mendengar derap kaki seseorang menghampirinya. Itu Jongin, yang menepuk punggung Soojung dan berhenti dengan napas terengah-engah.

 

“Apa?” Soojung bertanya, di saat yang sama ketika dia berbalik untuk menemukan sosok Jongin menjulang di hadapannya. Jongin bertambah tinggi sejak dua tahun lalu. Padahal dulu Soojung sempat lebih tinggi daripada Jongin, sekarang tingginya hanya sepundak pemuda itu.

 

Kalau dipikir-pikir, Jongin bertubuh tinggi, memiliki senyum menawan, ahli dalam pelajaran fisika, dan masuk dalam tim sepak bola sekolah. Sungguh, siapa yang tidak memiliki hasrat untuk diperhatikan oleh pemuda seperti dirinya?

 

“Kau sedang datang bulan?” Jongin menarik bagian belakang rok Soojung, memperlihatkan bercak-bercak darah kering yang menempel di kain abu-abu roknya.

 

“Oh, ya ampun.” Soojung segera menghempaskan tangan Jongin dari roknya. Yang Soojung khawatirkan sekarang bukanlah Jongin yang sedang memperhatikan darah menstruasi menodai roknya, melainkan kenyataan bahwa berapa banyak murid yang menyadari hal ini sepanjang perjalanannya dari kelas menuju halaman belakang sekolah.

 

Jongin segera melepaskan sweter yang dipakainya dan melilitkannya di pinggang Soojung. Setidaknya sweter itu menutupi bagian belakang rok Soojung untuk sementara.

 

“Kau tunggu saja di depan ruang kesehatan. Aku akan ambil tasmu dari kelas dan meminta ijin pada dokter sekolah untuk pulang.”

 

Sesungguhnya sangat sulit untuk meminta ijin pulang lebih cepat pada dokter sekolah, seorang perempuan pemarah berumur tiga puluhan yang masih belum menikah. Tapi komunikasi dengan perempuan adalah spesialisasi Jongin, dan dengan gampangnya dia mendapat secarik kertas ijin pulang lebih cepat untuk dirinya dan Soojung.

 

“Apakah kau mendapatkan kertas ini dengan imbalan mencium dokter sekolah itu?” Soojung bertanya pada Jongin di perjalanan pulang dengan sepeda.

 

“Tidak mencium.” Jongin menjawab, senyum jenaka menempel di bibirnya. “Tidak sekarang, maksudku.”

 

“Pemuda gila,” komentar Soojung, membuat Jongin tertawa.

 

Mereka tiba di rumah, disambut oleh ibu yang kebingungan kenapa dua anaknya pulang lebih cepat hari itu. Jongin memberitahu segalanya, seperti biasa, tak ada yang bisa dia sembunyikan dari ibu—bahkan daftar dari setiap perempuan yang pernah dia cium. Sementara Soojung segera berlari ke kamar mandi.

 

Dilepaskannya sweter yang dililitkan Jongin di pinggangnya. Sudah ada bercak darah segar di satu sisi kainnya, memberikan bau besi bercampur amis yang memuakkan.

 

Tapi, di sisi yang lain, masih tersisa wangi parfum Jongin di sana. Parfum milik ayah mereka, yang diberikan ayah padanya beberapa bulan lalu karena ayah membeli parfum baru yang lebih wangi. Aroma kayu cendana bercampur pepohonan menyesakkan paru-paru Soojung.

 

Entah karena wanginya terlalu menusuk, entah karena perasaan bersalah Soojung karena diam-diam jatuh cinta pada Jongin.

 

*

 

Banyak orang menanyakan bagaimana Soojung dan Jongin menjadi saudara. Jongin menjawab mereka dengan senang hati, namun selalu saja menceritakan kebohongan yang direncanakannya secara spontan. Setiap orang selalu mendapat jawaban yang berbeda.

 

Di sisi lain, Soojung menjawab dengan jujur. Namun terlalu sederhana dan tidak detail. Sehingga tidak banyak yang mempercayainya, lebih banyak yang percaya pada Jongin. Mungkin karena mereka menginginkan sebuah kisah yang lebih spektakular, dramatis, dan tragis. Jongin memberikan hal itu pada mereka, cerita yang mereka ingin dengar—meski hal itu hanyalah dusta belaka.

 

Hanya beberapa sahabat sekaligus tetangga Soojung dan Jongin yang mengetahui kisah aslinya, karena mereka juga ada di sana saat segala hal tersebut terjadi. Seungwan dan Sehun, contohnya.

 

Kali pertama Soojung bertemu Jongin saat keduanya berumur sebelas tahun. Soojung menangkap basah Jongin sedang mencuri beberapa kotak obat di klinik dokter Jung —ayah Soojung. Soojung segera menghajar Jongin, memberikan pemuda itu luka robekan di dahi dan empat kali jahitan.

 

Ibu menganjurkan Soojung untuk berbuat baik pada Jongin, karena nasib bocah lelaki itu lebih buruk daripada yang dibayangkan.

 

Ayahnya adalah tentara Jepang, ibunya adalah wanita penghibur. Jongin sendiri hanyalah hasil dari kecelakaan, yang dipertahankan ibunya karena perasaan bersalah. Jongin lahir dan dibesarkan di lingkungan yang cukup memprihatinkan.

 

Dan sejak Jongin berumur sepuluh tahun, ibunya mengidap kanker. Digerakkan oleh belas kasihan, ayah Soojung merawat dan membiayai pengobatan ibu Jongin tanpa meminta imbalan. Hingga di umur Jongin yang ketiga belas, ibunya akhirnya meninggal dunia.

 

Dua minggu sebatang kara, Jongin diangkat sebagai anak oleh keluarga Jung sebelum sempat dimasukkan ke panti asuhan. Yang berarti, Soojung harus berbagi orang tua dengan Jongin.

 

Tidak terlalu sulit menjadi saudari Jongin. Sederhana saja, karena pemuda itu cepat mengakrabkan diri dengan banyak orang dan gampang disukai. Setelah menjadi anggota keluarga Jung—meski dia tetap memilih memakai nama keluarga ibunya, Kim, sebagai sebuah penghormatan—Jongin mendapat banyak fasilitas yang selama ini tidak dia dapatkan.

 

Masuk ke sekolah swasta katolik, diberikan kursus piano, uang jajan yang tak pernah dia dapatkan sebelumnya. Dan Jongin membayar orang tua angkatnya dengan hasil yang memuaskan: mengikuti olimpiade fisika tingkat regional, timnya memenangkan kejuaraan sepak bola antar sekolah, diajak makan malam oleh keluarga walikota karena putrinya menyukai Jongin—sebenarnya yang satu ini bukan prestasi, tapi ayah sangat bangga mendengarnya.

 

Selain menanyakan bagaimana kalian bertemu dan bagaimana kalian menjadi saudara, orang-orang juga bertanya satu hal lagi pada Soojung: tidakkah kau iri pada Jongin?

 

“Maksudku,” Jinri memutar bola matanya, “dia lebih populer darimu, lebih pintar, juga. Aku punya kakak, meskipun sudah jelas aku lebih cantik daripada dirinya, dan kelebihannya daripadaku hanyalah dia diterima di Universitas Seoul. Tapi, tetap saja, aku sangat iri padanya.”

 

Soojung mengerjapkan matanya; sekali, dua kali.

 

Jinri mendesah dan bertanya lagi. “Tidakkah kau iri pada keparat tampan itu?” Keparat tampan, begitulah Jinri memanggil Jongin, setelah Jongin menciumnya satu kali dan mencampakkannya seminggu kemudian. Soojung memberitahu hal itu pada Jongin, Jongin tertawa.

 

“Kenapa harus cemburu?” Soojung mengedikkan bahu, kembali membolak-balik lembaran majalah yang sedang dibacanya. “Lagipula segala yang dia dapatkan bukanlah apa yang kuinginkan.”

 

Jinri menyeringai. Ditutupnya majalah yang terletak di hadapan Soojung. “Apa yang kauinginkan, Soojung?”

 

Soojung hanya bisa tertawa.

 

*

 

Jongin memiliki sahabat baru di tahun senior. Namanya Taemin, seorang siswa dari sekolah negeri. Mereka pertama kali bertemu dalam pertandingan sepak bola antar sekolah. Di dalam lapangan, mereka adalah rival. Di luar, mereka bagaikan saudara yang telah lama berpisah.

 

Soojung tahu betapa berharganya Taemin untuk Jongin, ketika Jongin membawa pemuda itu bermain ke rumah. Jarang sekali Jongin membawa seorang teman ke rumah, kecuali Sehun dan Chanyeol—yang sekaligus adalah tetangga mereka.

 

Jongin adalah tipikal orang yang nampaknya terbuka, yang memberi kesan bahwa dia menceritakan segala sesuatu di hidupnya pada semua orang dan menganggap semua orang adalah sahabatnya. Tapi kau salah, Jongin hanya memakai topeng selama ini. Dia membodohi banyak orang dengan aktingnya, membangun benteng pertahanan sehingga tak banyak orang yang dapat mengenal dirinya lebih dalam.

 

Dan, hebatnya, Taemin sukses merobohkan dinding itu.

 

Kadang Taemin bermain dengan Jongin sampai malam menjelang, hingga ibu menawarkan Taemin untuk makan malam bersama keluarga dan bahkan menyarankan Taemin untuk menginap.

 

Taemin tidak punya masalah untuk menginap, karena dia tinggal bersama pamannya yang memberi kebebasan. Kedua orang tuanya sudah lama meninggal dalam perang. Di tahun-tahun seperti ini, tidak jarang untuk menemukan anak yatim piatu yang orang tuanya mati di peperangan.

 

Jongin selalu punya tempat khusus dalam hatinya untuk anak-anak seperti itu. Mungkin itu sebabnya dia punya hubungan erat dengan Taemin.

 

Meskipun bersahabat, Jongin dan Taemin memiliki sifat yang sangat berkebalikan. Berbeda dengan Jongin yang impulsif dan agresif, Taemin lebih tenang dan tidak banyak bicara. Taemin memberikan kesan pada orang-orang lewat perlakuannya, tidak seperti Jongin yang lewat ucapan. Yang melekatkan mereka hanyalah dua hal: musik, dan sepak bola.

 

Jongin bermain piano, Taemin bermain saksofon. Kadang, mereka bermain tanpa henti hingga telinga Soojung berdenging. Kadang, mereka mendadak bermain di tengah malam hingga Soojung terbangun dan berpikir dia sedang berhalusinasi.

 

Sementara Jongin dan Taemin memainkan instrumen mereka dan membentuk melodi, Soojung akan duduk di sebelah ayah dan menikmati permainan musik mereka.

 

“Kau harus menyanyi.” Jongin berkata pada Soojung.

 

“Kau mau mati?” kecam Soojung, hanya untuk membuat Taemin berhenti memainkan saksofonnya dan tertawa. Musik berhenti sampai di sana.

 

*

 

“Kupikir Taemin menyukaimu.” Jongin berceletuk, suatu pagi, dalam perjalanan menuju sekolah dengan kereta. Hari itu hujan, ciri khas awal musim dingin. Ibu tidak membiarkan mereka berdua menaiki sepeda di tengah rinai hujan. Takkan ada yang boleh sakit di bulan-bulan terakhir mereka menjadi murid sekolah.

 

“Kau pikir begitu?” Soojung mengernyit. Jongin kerap kali membicarakan hal aneh, antara Soojung dan Taemin. Kalian mirip sekali. Sama-sama pendiam. Pembicara sarkastis. Taemin membenci kuning telur, sepertimu. Kau suka penyanyi ini? Kau seperti Taemin. Taemin juga bilang dia bermimpi untuk mengunjungi Yunani suatu hari nanti! Bla, bla, bla.

 

“Ya. Dia terus-menerus melihatmu sepanjang makan malam minggu lalu,” Jongin berkata. “Dia juga selalu tertawa mendengar leluconmu—yang sesungguhnya, tidak terlalu lucu.”

 

Soojung memberikan Jongin sebuah senyum terpaksa. “Terima kasih banyak.”

 

“Ingin kujodohkan dengan Taemin?”

 

“Tidak tertarik. Tapi terima kasih telah menawarkan.”

 

Jongin menghela napas panjang. “Sungguh? Kenapa kau tak pernah tertarik dengan semua pemuda tampan yang kurekomendasikan? Tipe seperti apa yang kau suka? Yang baik? Yang ayahnya pejabat? Yang romantis? Semuanya bisa kucarikan untukmu.”

 

Soojung tersenyum miris. Jongin takkan pernah tahu dan takkan pernah mengerti.

 

Bahwa selama ini yang Soojung inginkan adalah pemuda jahat, yang memainkan hati para perempuan hanya untuk sebuah permainan. Pemuda yang memiliki ayah kandung seorang tentara Jepang miskin dan berjabatan paling rendah, yang tidak sanggup membayar satu malam saja dengan seorang wanita penghibur, sehingga harus meminjam uang atasannya. Yang realistis dan liberal, menolak mentah-mentah akan konsep jatuh cinta pada pandangan pertama dan menganggap novel-novel romansa hanya akan membuat IQ-mu menurun.

 

Soojung menginginkan lelaki seperti itu. Yang meskipun kejam pada gadis-gadis yang disukainya, namun tetap membantu nenek tua untuk menyeberang jalan dan membuat tempat berteduh untuk kucing liar di saat hujan. Yang sangat menyayangi orang tua angkatnya, bagaikan seekor anjing dan majikan. Yang membenci novel-novel romantis, tapi menangis tiap kali menonton The Sound of Music dan tidak malu untuk membeli pembalut di hadapan teman-temannya demi saudarinya.

 

Soojung menginginkan lelaki seperti itu—lelaki seperti Jongin.

 

Dan Jongin tak perlu tahu.

 

*

 

Seminggu setelah Jongin memberondongi Soojung dengan segala kebohongan Taemin-sepertinya-menyukaimu-Soojung, Taemin menginap di rumah.

 

Hari itu akhir pekan, ayah dan ibu pergi ke luar kota untuk mengunjungi sanak saudara yang sakit. Mereka membutuhkan ayah, karena ayah dokter dan masih ada hubungan keluarga, yang selalu disalahartikan dengan penghapusan biaya pengobatan. Sayangnya, ayah terlalu baik hati untuk bisa menolak.

 

Taemin datang, Sehun dan Chanyeol juga. Sehun menyelundupkan dua botol bir  dan beberapa kotak rokok dari toko kelontong ayahnya. Mereka merayakan hari-hari sebelum masa sekolah berakhir. Malam itu cukup hangat untuk musim dingin, seolah-olah memperbolehkan para pemuda itu berpesta hingga subuh di halaman belakang rumah keluarga Jung.

 

Soojung hanya geleng-geleng kepala saat menyibakkan tirai jendela kamarnya dan mengamati api unggun yang mulai dinyalakan oleh Sehun di halaman belakang.

 

Saat Soojung hampir jatuh tertidur, suara piano dan saksofon samar-samar menguar dari lantai bawah menuju kamar Soojung di lantai atas. Jongin dan Taemin bermain lagi. Lagu baru yang dibawakan Elvis Presley, Can’t Help Falling In Love—lagu favorit Soojung dan ayahnya.

 

Soojung tak bisa menahan dirinya untuk beranjak dari ranjang, terseok-seok menuju tangga dengan gaun tidur satinnya yang menyentuh lantai. Soojung sangat menyukai permainan Jongin dan Taemin, kalau mau jujur. Baginya hal itu bagaikan pemandangan yang memanjakan mata, melihat jari-jemari Jongin bermain lincah di atas tuts-tuts piano, dan gerakan tangan Taemin yang bergoyang lembut saat memegang saksofon.

 

Soojung kira hari ini dia dapat menikmati permainan itu sebelum tidur, tapi dia salah. Tepat sebelum Soojung menginjakkan kakinya di anak tangga, dia melihat sosok Jongin dan Taemin di bawah.

 

Mereka duduk di kursi piano, bersebelahan. Taemin berhenti memainkan saksofon, Jongin dan pianonya juga. Mereka mengucapkan beberapa kalimat dengan suara rendah yang lembut, begitu lembut hingga Soojung tak bisa mendengar apa pun.

 

Lalu Taemin mendekatkan wajahnya dengan Jongin. Taemin mencium Jongin. Jongin tidak berkutik, tidak membalas ciuman itu.

 

Soojung berlari dan masuk ke kamar.

 

*

 

Malam itu pesta berakhir lebih cepat dari yang dibayangkan. Soojung mendengar suara siraman air di halaman belakang, sekitar pukul dua belas. Api unggun telah dipadamkan, para pemuda kembali masuk ke dalam ruangan dan bersiap-siap untuk pulang.

 

Jongin masuk ke dalam kamar Soojung beberapa menit kemudian. Dia merangkak ke dalam selimut dan berbaring di sebelah gadis itu.

 

“Soojung.” Jongin berbisik lirih. “Apakah kau masih terbangun?”

 

Tidak mungkin Soojung bisa tertidur. Tidak setelah dia melihat kejadian itu dengan mata kepalanya sendiri. Dia sudah mencoba untuk terlelap sejak dua jam lalu, tapi tak bisa.

 

“Taemin menciumku, di bibir, tadi.” Jongin bergumam, tak peduli apakah Soojung merespon atau tidak. “Dia berkata dia mencintaiku.”

 

Soojung masih berusaha setengah mati untuk pura-pura tertidur. Meski jantungnya seakan melompat-lompat, nyaris keluar. Meski wajahnya terasa panas namun kakinya berkeringat dingin. Meski dia sudah mengepalkan tangannya sejak tadi.

 

“Dia mengatakan padaku bahwa aku adalah cinta pertamanya,” Jongin menyisipkan tawa lemah di jeda kalimatnya, seolah menganggap fakta itu hanyalah lelucon. “Jadi aku mengatakan padanya bahwa kau adalah cinta pertamaku.”

 

Sesaat, pertahanan Soojung mengendur saat kalimat itu dikeluarkan Jongin lewat mulutnya. Sesaat, Soojung lupa bahwa Jongin adalah penjahat ulung. Pembohong. Penipu. Pencuri—lihat, bahkan Soojung bertemu Jongin pertama kali saat pemuda itu sedang mencuri.

 

“Lalu aku mengucapkan selamat tinggal, dan menyuruhnya untuk tak perlu lagi datang ke sini.” Jongin berkata. “Aku juga bilang aku tidak ingin melihat wajahnya lagi. Apa kau pikir hal itu cukup kasar?”

 

Jika Soojung tidak sedang pura-pura tidur sekarang, mungkin dia sedang memicingkan matanya pada Jongin dan menggerutu. Tentu saja itu sangat kasar, Anak muda. Soojung ingin sekali bilang begitu.

 

“Aku akan merindukannya, pemuda brengsek itu.” Jongin tertawa dan keluar dari selimut.

 

Soojung mendengar langkah kaki Jongin, namun nampaknya Jongin masih enggan meninggalkan kamar Soojung. Beberapa saat kemudian, Soojung mendengar suara jendela terbuka. Jongin merokok, Soojung bisa mencium aroma tembakau terbakar yang menggelitiki hidungnya.

 

Udara musim dingin yang bercampur bau rokok membuat Soojung gelisah. Giginya bergemeletuk akibat kedinginan, dia juga terbatuk beberapa kali, meski matanya tetap terpejam.

 

Jongin segera menutup jendela dan mematikan rokoknya. Ditariknya selimut hingga menutupi leher Soojung, sebelum melangkah keluar dari kamar.

 

*

 

Taemin tak pernah lagi datang setelah itu.

 

Jongin tak pernah memberitahu Soojung alasannya. Soojung tak pernah bertanya.

 

Jongin tak pernah memainkan Can’t Help Falling In Love lagi.

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
seungcheoreo #1
re-read it again here
seungcheoreo #2
Chapter 2: I'm addicted
masayu-san
#3
i know this will happen... sumpah, mau sebegimanapun mereka nggak bakal bersatu.... dinding penghalang yang namanya keluarga pasti tetep ada. walaupun ayah-ibu merestui sekalipun, pasti ada sesuatu yang beda. dan Jongin tau itu. Soojung juga tau itu. itu yang gue sayangin. entah mereka terlalu pandai atau terlalu bego, gue juga nggak tau. sedih bangt apalagi pas tau mereka berdua saling suka. tapi ya masak nggak balik si jongin? walau buat jenguk ibunya srkalipun? dingin bener dah.

ri masa depan gw bs bayangin jongin pulang di pemakaman ibu dan duduk bareng soojung, minum arak sampai pagi, nggak nangis tersedu di rumah duka, ngobrol bareng ttg ibu, apa makanan kesukaa sang ibu dan pagi harinya abis org2 pergi, mereka berdua pelukan sedih, murni pelukan campur aduk antara rindu dan sedih..,

sumpah, kata2nya mengalir gitu aja, bawa gue ke jaman2 sephia--jaman2 kayak di Repky 1988 tapi lebih mundur gitu deh! judulnya juga keren banget, ngga ada plothole, keren aja gituu ;_; kesannya cerita ini warnanya tuh warna matahari, trus abu2, truswarna kuning tua di perkamen. susah jelasinnya! pokoknya thumbs up buat kamu yg udh nulis otp aku sekeren iniiii
hasna_ #4
Chapter 2: Se baper ini bacanya, huhuhuhu;;__;;
Bertahun tahun ya ampun memendam perasaan terus Jongin nya gak bakal balik tuh rasanya huwalahhh...
lee-jungjung #5
Chapter 2: kok sedih... T.T

hmm.. cinta terpendam emang rumit yaah.. apalagi kalau penghalangnya berat banget... dulu gak bersatu karena alasan ayah Soojung selingkuh sama ibu Jongin... tapi, sekarang kenapa mereka masih gak bisa bersatu? kayaknya bukan cuma Soojung yang memendam perasaannya... Jongin juga begitu.. ahh.. gak tau deeh mau bilang gimana lagi.. pastinya semoga ini bukan akhir dari semuanya.. semoga suatu saat mereka bertemu lagi... dan berharap bisa bersatu.. amiin ^^
mungkin di chap sebelumnya gak terlalu bahas soal penulisannya.. karena bagiku gak ada yang kurang.. ini rapi banget.. serius... setiap katanya mewakili feel yang mau dibangun... gak ada yang perlu dikoreksi kalau kataku.. ^^ fighting buat lanjutannya
meccaila #6
Bagus banget, keren banget, authornim I Laph u!
Please continue this story until the end, please!
Kaistal is the best! Pokoknya kalo maincastnya kaistal apapun jenis storynya pasti kena dihati

Gomawo
taeyong389 #7
Wuidiii... Kereen iii... Baru baca foreword doang uda begini... Nunggalin jejak and vote dlu sebelum read next chap...
Semangat ✊
And thank you uda buat kaistal ff...
lee-jungjung #8
Chapter 1: nyaris banget ngirain Taemin bakal suka Soojung dan Jongin-Taemin bakal berantem... atau sempet mikir Jongin gay.. dan cukup mengejutkan karena Taemin yang suka Jongin.. Uhh, gak kebayang jadi Soojung habis lihat adegan itu.. aku cukup geli sendiri sama yang berbau siih... tapi, kayaknya Jongin normal kan?
soojungaxox #9
Its cool! I got the feels