arc.

autumn, rain, chance☂
EPILOGUE (ALTERNATE ENDING)
// ARC - AUTUMN, RAIN, CHANCE.
Smo8vxfxWdbsthvkYsrpracw
HONG JISOO ; KIM JIHO ; JEON WONWOO
SEVENTEEN ; OHMYGIRL ; SEVENTEEN
highschool!au
142802929838537370divider.png
Sementara ruang kelasnya berada di lantai kedua gedung sebelah barat, ruang para pengajar justru berada di lantai satu gedung sebelah selatan. Jarak yang perlu ditempuhnya cukup jauh, masih harus menuruni anak tangga dan berputar melewati taman lalu barulah ia akan sampai di tempat yang dimaksud. Di dalam dekapannya kali itu terdapat setumpuk buku tugas yang wajib untuk dikumpulkan, miliknya dan juga milik teman sekelasnya yang lain. Pun, anak gadis Kim ini hanya bisa menggerutu kesal—sebab tak seorang pun teman sekelasnya yang mau memberikan bantuan. Tak seorang pun. Ia tahu, ini adalah salah satu kewajibannya sebagai seorang ketua kelas tapi tidak bisakah para kaum adam di kelasnya melihat fakta bahwa ia adalah seorang gadis disini dan sedang kesusahan membawa tiga puluh buku sekaligus.
Harapannya memang sia-sia, Jiho tahu ia tak seharusnya berharap lebih.
(Buk!)
Bunyi pelan antara kepalanya yang beradu dengan buku membuat sang ketua kelas itu pun menoleh. Kerut di dahinya terlihat jelas, alisnya bertaut—menukik tanda tak senang, bibirnya pun membentuk garis tipis yang terpatri jelas di parasnya itu. Namun ketika melihat siapa yang baru saja menepuknya, sorot tajam yang Jiho lontarkan pun perlahan memudar. "Kamu kenapa disini?" adalah pertanyaan pertama yang terucap dari bibirnya begitu bertemu pandang dengan sosok anak laki-laki yang notabene masih teman sekelasnya. Pemuda Jeon itu mengulum senyum kepadanya, "Sakit? Kaget?" tanyanya. Jiho membalas dengan gerutu kesal sambil memutar bola matanya pada pemuda itu.
Belum sempat Jiho mengatakan apapun, Wonwoo telah mengubah posisi mereka dengan berdiri di hadapan gadis itu. Tumpukan buku teman sekelas yang di dalam dekapannya diambilnya begitu saja tanpa banyak bicara. "Kalau nggak kuat itu bilang," ujarnya. Fakta, memang anak dara itu sendiri yang bertingkah seolah ia menyanggupi, bukan teman sekelasnya yang tidak mau memberikan bantuan. Percayalah, jika Kim Jiho berucap `tolong` maka mereka pasti akan membantu. Sayangnya ketua kelas mereka yang semester ini agaknya unik, sulit sekali mengucapkan permintaan dan mengharapkan bantuan itu datang dengan sendirinya. 
"Goma—"
"Iya, sama-sama." —wo.
Ia pun tersenyum.
 
***
 
"Jiho-ya," 
"Hmm?" 
"Jiho-ya," 
"Hmm?" Masih gumaman yang sama, yang terlontar dari bibir Kim Jiho. Kepalanya bersandar pada pundak pemuda tersebut, kedua matanya terpejam rapat-rapat seolah tak ingin membuka matanya itu lagi sementara tangan pemuda itu memainkan surai hitam legamnya. Pikirannya berlayar kesana kemari, seolah tidak tenang—seolah ada yang mengusiknya. Seharusnya mereka menghabiskan waktu-waktu seperti ini dengan hati yang tenang, tapi mengapa yang terjadi pada diri Jiho justru sebaliknya? 
Jisoo bilang ia mungkin melanjutkan ke Amerika.
Kalimat itu sungguh menganggunya, Jiho bahkan tidak bisa tidur dengan nyaman selama hampir tiga hari berturut-turut. Ia punya alasan untuk berkata demikian, tentunya. Pertama, sebab ia bukan mendengarnya dari Hong Jisoo sendiri melainkan dari sahabat pemuda itu. Kenapa? Kenapa sahabatnya justru diberitahu terlebih dahulu daripada dirinya? Kedua, kenapa pilihannya justru berakhir pada suatu tempat dimana terpaut begitu jauh darinya. Amerika dan Korea Selatan, jarak yang ditempuh bukan main-main, ia tak mungkin dan takkan pernah mendapatkan ijin untuk berkunjung, pasti. 
"Jiho-ya," panggil pemuda itu sekali lagi. Jiho pun mendongak, maniknya bertemu dengan manik milik sang pemuda yang memancarkan sinar yang sama. Terbesit dalam benaknya, apakah ada kemungkinan bagi mereka untuk bisa bertahan? Hubungan jarak jauh tentu bukanlah hal yang mudah, ia tahu itu—dunia pun tahu. Jisoo menepuk kepala sang gadis dengan lembut, menghembuskan napas perlahan sambil menatapnya dengan perasaan bersalah. 
"God," 
Jisoo pun tak mengerti.
Tapi, ia tak bisa menghentikan keinginan ayahnya untuk menyekolahkannya ke Amerika. Lalu—bagaimana caranya untuk memberitahukan pada gadisnya ini jika mereka akan sulit bertemu setelah ini? Pemuda ini membasahi bibirnya, "Aku ingin bilang sesuatu," lega begitu berhasil mengucapkannya. Namun anak dara itu justru menenggelamkan wajahnya ke dalam bahu Jisoo, membuatnya semakin bersalah dan sadar akan satu hal yang ia lewatkan. "Hyejin... sudah bilang ya?" Gadis itu pun mengangguk, Jisoo menghela napas. Tidak ada gunanya membahas tentang masalah ini jika gadis itu sudah tahu, pantas saja—Jiho sejak awal kedatangannya ke rumah gadis itu menjadi sangat diam.
"Menurutmu... bagaimana?" 
(Bagaimana dengan mereka? Bagaimana dengan hubungan yang sedang mereka jalani ini? Bagaimana tentang pendapatnya mengenai pilihan intuk bersekolah ke Amerika? Dan masih ada selusin pertanyaan lagi yang ingin ia ajukan, namun tajuk itu harusnya tidak ia bahas sekarang... Bukan? Terutama ketika mereka sedang menghabiskan waktu berdua seperti sekarang yang sudah sangat jarang sekali.)
"Mau nonton apa setelah ini?"—ya, Jisoo pun tahu pengalihan pembicaraannya kali ini dapat diberi nilai nol besar.
 
Diam saja kamu, Jisoo.
 
 ***
Setiap orang pasti memiliki masa dimana ia tidak ingin didekati, tidak ingin seorang pun ikut campur, dan juga tidak ingin diusik dalam cara apapun. Dan saat itu, bagi seorang Kim Jiho, adalah saat ini. Seolah semua yang terjadi dalam hidupnya adalah salah, tidak satu pun yang benar. Sampai-sampai, Hayoung ataupun Yoobin pun tidak berani mendekatinya hari ini—mereka berdua benar-benar bungkam di sekitarnya. Alasan? Ha. Ya, tentu saja sudah terlihat jelas saat ini. Matanya terlihat sembab, pasti, ia yakin. Dan sorot matanya pun menunjukkan sedang tidak ingin di dekati.
Waktu istirahatnya dihabiskan sendirian, mengamati lapangan sepak bola yang tengah ramai saat ini. Biasanya, jika tidak bersama dengan kedua sahabatnya maka ia akan duduk di bangku ini bersama dengan Jisoo, atau mungkin—sekali waktu, mejadi obat nyamuk untuk Seungcheol-oppa dan Hyejin-eonni. "Hei," tepukan singkat mendarat di pundaknya. Pemuda Jeon itu sekali lagi menghela napas, jika Jiho mengacuhkannya pun ia tak peduli. Sebab tujuan awalnya memang sekedar menghabiskan waktu istirahatnya saja kok, tidak ada maksud lain. Namun ketika anak dara itu hendak berdiri, tangan pemuda Jeon ini segera terjulur, merengkuh pergelangan tangannya dan memaksanya untuk tetap duduk di sebelahnya.
Jiho tetap diam. Wonwoo pun sama.
Dengan helaan napas, pemuda itu mengacakkan rambutnya. "Sudah kubilangkan, masih ingat perkataanku di bus lalu?"
Kalau senior Jisoo membuatmu menangis, aku takkan ragu lagi untuk  mendekatimu.
"Aku sedang tidak berminat membicarakan ini,"
"Iya, aku tahu,"
"Kalian tidak akan mengerti perasaanku,"
"Iya, aku tahu," Jawaban pemuda itu masih tetap sama. Wonwoo tetap tidak menoleh, pandangannya masih lurus pada lapangan sepak bola di depan—menatap satu per satu sahabatnya yang berlarian di tengah lapangan sana seolah mereka adalah hal yang menarik. Hanya ingin mengucapkan apa yang perlu ia sampaikan, dan apa yang perlu gadis itu dengar darinya. Toh, Wonwoo sendiri sudah mendengar tentang kabar burung mengenai gadis ini dan senior Hong yang memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka itu. Satu sekolah sudah ramai membicarakannya. Bagaimana tidak? Seorang model student dengan ketua kelas—pasangan yang bahkan disetujui oleh para guru memutuskan untuk berpisah. Wajar, jika mereka menjadi topik hangat hari-hari ini.
"Kumohon, berhenti bicara yang macam-macam. Aku tidak ingin marah padamu juga."
"Iya, aku tahu." Kalimat itu masih tetap diulangnya. Namun setelahnya, ia hanya berdiam diri. Mengikuti apa yang diinginkan gadis itu adalah priortias utamanya saat ini, apalagi setelah ultimatum diberikan oleh Kim Jiho sendiri. Ia tidak mau dirinya jadi ikut dibenci hanya karena mengutarakan kata-kata dan kalimat bodoh karena kecanggungannya. Ya. Begitulah. Tangannya menepuk puncak gadis itu dengan lembut—bentuk lain dari tenang saja, semua akan baik-baik saja. Dan itu pun, jika seandainya Kim Jiho mengerti maksudnya. Beberapa menit tangannya masih berada di tempat yang sama, maka Wonwoo menangkap bahwa gadis itu memahaminya.
...kan?
 
***
 
Mengatasi permasalahan hati seperti putus cinta bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Terutama bagi seorang gadis sepertinya, dimana cinta pertama yang ia rasakan harus kandas dengan cara yang tak terduga seperti ini. Namun ketika ia merasakan, tanpa sadar, bahwa dirinya bisa kembali mengulum senyum—rasanya dunia jadi terasa lebih nyaman. Seolah merasa sebuah beban berat sudah diangkat dan dilepaskan dari pundaknya begitu saja. Lantas, siapa yang harus diberikannya ucapan terima kasih disini? Usaha kedua sahabatnya untuk menghiburnya dari hari ke hari. Atau—justru Jeon Wonwoo yang menemaninya melewati saat-saat menyedihkan itu?
Tanda tanya besar, bahkan untuk dirinya sendiri.
"Hyejin-eonni,"
"Ya?"
"Apa yang salah dariku?" tanya anak dara Kim ini. Hyejin yang berada di sebelahnya lantas termangu bingung. Gadis yang baru saja hendak memulai mengerjakan tugas rumahnya itu mengerutkan dahi, "Apa yang kamu maksud salah darimu?" Memang terkadang, pembicaraannya dengan Kim Jiho selalu seperti ini. Gadis itu berada di dunianya sendiri, sementara Hyejin pun demikian. Mereka seolah berada di dunia yang berbeda ketika sedang berbicara, tapi itulah yang membuat mereka bisa saling cocok dan bersahabat hingga waktu yang lama. "Aku... merasa bersalah," pada Jisoo-oppa dan pada Wonwoo. Kalimatnya mungkin memang menggantung tanpa kepastian, namun di balik semuanay itu, Hyejin dapat dengan segera menangkap maknanya.
Sebab gadis Shin itu menghela napas, "Sudahlah, berhenti menyalahkan diri sendiri, Jiho-ya."
"Tapi—"
"Sssh! Aku tidak mau berangkat sekolah dengan seorang bermuka bantal dan mata bengkak lagi, tahu!"
 
***
 
"Yah! Kim Jiho,"
Panggilan tak biasa terhadap namanya itu membuatnya segera menoleh. Didapatinya sosok pemuda tertinggi di kelasnya tengah berada tepat beberapa meter dari posisinya berdiri. "Apa?" Ia menjawab dengan santai, sebab sejauh ini—hingga beberapa detik sebelum panggilan tersebut terjadi, ia tidak pernah bertukar sapa dengan Kim Mingyu di luar kelas begitu pula sebaliknya. Wonwoo yang berada di sebelah pemuda itu memasang wajah datar tanpa ekspresi seperti biasanya, sangat kontras dengan sosok Mingyu yang menampilkan senyum ekstra lebar di parasnya. Tak lupa, sosok gadis berpipi tembem dan tinggi yang terlihat berbeda jauh berada di sebelah pemuda Kim itu.
"Hari ini kosong tidak?"
Hah?
"Kena—"
"Wonnie kasihan, daripada jadi obat nyamuk mending kamu ikut kita. Sekalian kan biar kalian juga bisa nge—"
"Kim Mingyu!" Gadis yang berada di sebelah Mingyu, Jung Eunbi—kalau tidak salah, segera membungkam rapat mulut pemuda itu. Tanpa perlu dilanjutkannya pun, Jiho bisa menangkap lanjutan kalimatnya. Ngedate, bukan? Eunbi, anak gadis itu kini berusaha menjelaskan keadaan mereka berdua yang mana ternyata ia dan Mingyu akan pergi jalan ke toko buku—yang disebut Mingyu dengan acara ngedate, sementara Wonwoo agaknya ingin ikut bersama dengan mereka. Jiho mengangkat bahu santai, toh, ia sendiri tidak punya acara—begitu pikirnya.
"Tak masalah untukku. Apa kita akan pergi sekarang?"
Samar-samar, ia bisa menangkap sudut bibir Jeon Wonwoo tertarik kuat di balik punggung pemuda Kim itu.
 
***
 
"Hei,"
"Hmmm?"
"Ini seperti dulu lagi ya,"
"Apa maksudmu, Wonwoo-ya?"
"Seperti dulu, kamu—aku, pulang bareng." Wonwoo ternsenyum tipis, begitu pula gadis itu. Perbedaannya sekarang adalah dimana pemuda ini secara langsung dan dengan terbuka menawarkan diri untuk menemani gadis itu untuk pulang. Dan Jiho, ia tidak menolaknya sekalipun tak menduga bahwa pemuda itu akan menawarkan hal yang seperti itu. Satu lagi perbedaannya, jika kemarin kemarin ia hanya memandang punggung pemuda Jeon, saat ini Kim Jiho tengah bertatapan langsung dengan manik kembar berwarna hitam legam milik pemuda itu. "Untuk apa mengingat yang sudah-sudah," komentar dara Kim.
"Tidak apa-apa, hanya bilang saja kok."
"Wonwoo-ya,"
"Hmm?"
"Gomawo," Iya, terima kasihnya kali ini diucapkan sebab ia meras harus berterima kasih untuk setiap hal kecil yang pernah diperbuat pemuda itu untuknya. Membawakan buku, menawarkan jaket, mengantarkannya pulang dan terlebih lagi menemaninya seperti ini—ketika Jisoo berada tidak jauh darinya. Ia berusaha menghindari Jisoo, memang, mungkin pemuda Hong itu pun menyadarinya. Ia merasa bersalah, memang, terutama ketika menggunakan Wonwoo sebagai tameng seperti ini. Bukankah Kim Jiho ini jahat? Sementara ia sudah mengetahui perasaan pemuda itu padanya?
Ya.
Ia jahat.
"Kamu itu, berhenti bilang begitu. Bukan masalah kok untukku. Perhentianmu sekarang, turun sana."
O Tuhan, tapi bagaimana pun.
Apalah Kim Jiho jika tanpa Jeon Wonwoo yang selalu menemaninya hari-hari ini.
 
 ***
 
"Hei, Jiho."
"Ya?"
"Kamu masih suka pada senior Jisoo?"
"...."
"Tidak usah dijawab tidak apa kok. Tapi boleh kan, jika sekarang aku serius mengejarmu?"
 
.
 
.
 
"Terserah kamu saja, Wonwoo-ya."
 
***
i love surprise :'D
i kno it's not perfect and ended the way you guys want, but ditunggu komentarnya semua, ehehe.

dan omong-omong, mari mengobrol! twitter @nvxrmind :'D
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
agapanthus
#1
Sigh finally :') Susah nyari fic yang salah satu karakternya Wonwoo tapi straight dan gak oc ;; Once I found it, I'm glad the girl is Jiho! Karena pernah berpikiran kalo WonwooxJiho kayaknya lucu hehehe.
By the way, I really enjoyed reading this ; u ; Walaupun ada beberapa typo (ya?) hehehe overall aku suka ini ; u ; Setiap karakternya, huhuhu, dimana bisa nemuin senior kayak Jisoo atau temen kayak Wonwoo ;; Plotnya juga yang anak sma banget (walaupun kayaknya di sekolahku gak kayak gitu sih teehee). Also alternate endingnya huhuhuhu I thought I don't get otp that I want :")
I hope you can write more Wonwoo fics in the future!
lakeofwisdom
#2
Chapter 5: Aah padahal akhirannya Wonwoo sama Jihonya lucu :(
Andin0797
#3
Chapter 5: Kirain wonu jiho. Tapi gapapa deh wonu sama aku ajaaaaa. Lain kali wonu sama yerin gfriend aja yah xD *dijitak* manis bgt sih ficnya. Jadi ngena. Wonu pabo ga bsa ngungkapin isi hatinya. Keduluan josh kan :') love this fic!
Andin0797
#4
Chapter 4: Ough greget jiho sama siapa >< jiho innocent bgt sih~ hayoloh jiho pilih wonu atau kaka josh xD
Andin0797
#5
Chapter 3: Petuah biai apa?? Aduh ini dapet feelnya >< jd ini toh alasan knp wonu benci hujan hahaha
Andin0797
#6
Chapter 2: Cuteeee >< lanjut dong lanjut~~