What is Love

Titanium

Apa itu cinta?

Zhang Li Yin tidak pernah memikirkan ini dengan serius hingga sekarang, ketika ia menghadiri resepsi pernikahan Lee Donghae dan Im Yoona—yang, tentu saja, menjadi Lee Yoona. Definisi cinta mulai terang bagi wanita muda itu. Dalam keheningan senyum getirnya, ia menyimpulkan, cinta adalah kesabaran dan kebahagiaan dalam rasa sakit. Ganjil memang, bagaimana seseorang merasakan dua hal yang begitu bertolak belakang hanya karena mencinta. Dan Li Yin tidak pernah menyesal mencintai Donghae dalam diam, tidak sekalipun.

Namun, meski mengaku baik-baik saja, selama perjalanan pulang, Li Yin masih menangis sunyi.

Setibanya di rumah, Li Yin mendapati kotak kayu seukuran manusia dalam ruang tamunya. Ada surat ditempel di tutup kotak: Hadiah untuk orang yang baru patah hati! Aku tahu kau pasti suka, jadi terima kasih kembali. Dari Qian. P.S. Maaf, tadi aku ‘membobol’ pintu rumahmu pakai jepit rambut, tetapi sudah kukunci lagi, kok!

Song Qian. Gadis itu sungguh tak tertebak—baca saja bagian ‘membuka pintu dengan jepit rambut’—walaupun ia sahabat yang hebat. Senyum Li Yin tersungging sedikit; jangan-jangan isi kotak raksasa ini sekonyol hadiah-hadiah Qian yang sebelumnya?

MAMA-04? Apa itu? Kedengarannya seperti merek mesin...

Tapi yang di dalam kotak itu manusia. Seorang pemuda. Tertidur. Dari belakang tubuhnya keluar kabel. Tangannya memeluk buku berjudul ‘Petunjuk Penggunaan Modern Anthropomorphic Mechanical Assistant’.

Ah.

Qian menghadiahkan sebuah robot, sama sekali tidak terpikir oleh si penerima.

Li Yin menekan tombol ‘on’ di tengkuk robot itu dan beberapa detik kemudian, sang robot membuka mata. Duduk. Mengerjap-ngerjap. Mengenali sekitar. Pandangan si mesin berjuluk MAMA-04 itu terhenti pada Li Yin yang masih tertelan kekaguman. Betapa mirip kerangka titanium berlapis kulit sintetis ini dengan manusia asli; pastilah kemajuan teknologi yang menyebabkannya. Tapi walaupun nyaris sempurna, MAMA-04 bukan tanpa cela; Li Yin menemukan kehampaan dalam sepasang manik kelam sang humanoid.

Mesin ini tidak berperasaan.

Akan tetapi, Li Yin menjadi ragu mengenai ini karena tak lama berselang, MAMA-04 menyentuh pipinya yang dibasahi jejak-jejak air mata.

“Jangan menangis.”

--adalah kalimat pertama yang diucapkan sang robot pada Li Yin.

***

Chen—beginilah Li Yin memanggil MAMA-04 yang diberikan Qian—ternyata pendiam dan sangat kaku. Sang humanoid bicara jika diperlukan saja; ini sangat berlawanan dengan kesan pertamanya yang mengejutkan. Waktu itu, Chen meminta Li Yin agar jangan menangis sambil menghapus air mata Li Yin; mungkinkah sesuatu ‘tanpa perasaan’ melakukan hal yang demikian menyentuh? Karenanya, Li Yin sempat menduga bahwa teknologi juga sudah bisa menduplikat perasaan manusia. Tapi tidak. Seiring berjalannya hari, Chen kembali normal. Seperti seharusnya robot: bekerja atas perintah pemiliknya, lalu duduk diam jika tidak digunakan. Li Yin lebih sering membiarkan Chen sendirian karena sebagai wanita yang mandiri, ia tidak banyak membutuhkan bantuan. Pun pekerjaannya sebagai violinis solo tidak mengizinkannya banyak ‘bersenang-senang dengan robot itu’ seperti saran Qian. Satu persatu, hari-hari hening ini berlalu hingga Li Yin menyadari beberapa detil.

Ketika berjalan bersama Li Yin di hari hujan, Chen selalu mencondongkan tubuh setiap ada kendaraan melintas. Akibatnya, percikan air dari jalan mengenai sang robot dan bukan Li Yin. Selain itu, sebelum Li Yin berangkat manggung, Chen tak pernah lupa menyiapkan isi case biolanya biarpun tidak disuruh. Yang lebih aneh, Chen seolah tahu apa yang Li Yin  pikirkan tanpa wanita itu mengungkapkan. Dia pasti bertanya ‘ada apa?’ setiap Li Yin membuang napas letih, memainkan ujung baju dengan gugup, atau sekadar menutup wajah karena frustrasi. Bahkan apabila tangan mereka tak sengaja bersentuhan, ketika Chen mengemudi dan akan memindah persneling misalnya, Chen akan berkata ‘maaf, aku ceroboh; apa kau terluka?’

Tidak ada manusia yang pernah memperhatikan Li Yin sebesar ini.

Barangkali itu program yang diatur khusus oleh pencipta Chen, Li Yin mencetuskan  hipotesisnya pada satu sore. MAMA dirancang untuk membantu manusia memenuhi kebutuhan apapun, maka wajar jika Chen bertindak ekstra hati-hati. Sayangnya, teori ini punya kelemahan: apakah desainer software MAMA memasukkan input sespesifik ‘melindungi pemilik dari percikan hujan’?

Li Yin rasa tidak.

“Ada apa?”

Pertanyaan Chen menyentak Li Yin dari lamunannya. “Ah, tidak... Aku hanya... berpikir.”

Chen duduk di seberang Li Yin, siap mendengarkan apapun keluh-kesah si violinis. “Berpikir apa?”

“Tentang sikapmu padaku,” Li Yin sebenarnya sungkan bertanya ini, tetapi dia terlanjur penasaran, “Kau senantiasa ada untukku tanpa aku memerintah, padahal logikanya, programmu akan berjalan setelah ada perintah dari pemilik, bukan? Tapi kau berbeda, kau seakan melakukannya di luar kendali perangkat lunakmu.”

Respon Chen sungguh di luar dugaan. Matanya membelalak, sekejap saja, lalu melengkung turun lagi.

“Li Yin-ssi, kau... menyadarinya?”

Menyadarinya?

Itu juga kata tanya yang diajukan Li Yin dalam hati, dahulu, jika Donghae mengapresiasi tindakan kecil yang Li Yin lakukan untuknya.

“A-aku,” –harusnya robot tidak terbata, heran Li Yin—“melakukannya karena tidak ingin lagi melihat air mata di wajahmu. Dulu setelah aku menyala, yang pertama kulihat adalah jalur-jalur basah itu—dan aku merasa mengalami malfungsi sementara. Ah... bagaimana, ya... ada sesuatu dalam dadaku yang menyesakkan, kerangkaku bergetar tak jelas di dalam kulit, dan mungkin juga terjadi hubungan arus pendek yang aku tak tahu kenapa. Tapi... tapi ketika melihatmu tersenyum, aku bisa berfungsi normal lagi. Makanya, aku tidak mau kau terluka. Algoritma berpikir yang ditanam penciptaku terus mengira-ngira apa yang mungkin membahayakanmu... dan tahu-tahu saja, aku melindungimu dari berbagai hal. Aku—“

Kalimat Chen tak tuntas karena Li Yin meletakkan ujung jemarinya pada bibir sang asisten mekanis. Wanita muda itu tersenyum penuh pengertian, rona merah lembut menghias pipi pualamnya.

“Sudah, tidak usah diteruskan. Percayalah, aku tahu bagaimana rasanya itu.”

Karena dulu, Li Yin juga mencintai dalam diam.

Seperti Chen sekarang.

Mungkin. Li Yin tak dapat memastikan Chen benar-benar merasa, tetapi ketika sudut-sudut bibir Chen terangkat lega, kemungkinan itu naik ke angka 99%.

“Li Yin-ssi pernah merasakannya juga? Tunggu, manusia tidak bisa mengalami malfungsi...”

“Bagimu itu malfungsi, tetapi kami manusia menyebut itu cinta.”

Cinta. Menurut kamus yang ditanam dalam microchip sentral Chen, cinta berarti rasa suka sekali atau sangat mengasihi. Masalahnya, Chen pernah bersedih ketika menunggu Li Yin pulang. Chen pernah membenci seorang cellist pria yang berkolaborasi dengan Li Yin. Chen pernah—tidak, sering—kesal jika Li Yin mulai memendam perasaan sakit sendirian. Apakah perasaan-perasaan negatif ini termasuk cinta? Karena cinta, sepengertian Chen, hanya memuat yang indah-indah.

“Apa itu cinta, Li Yin-ssi?”

“Jangan tanya aku,” Li Yin tertawa kecil, “karena cinta itu tidak terdefinisi, tetapi sekali dirasakan, kau akan begitu saja tahu bahwa itu cinta. Yah, itu menurutku.”

“Tidak, menurutku pun sama,” Chen mendadak meletakkan tangan Li Yin ke dadanya, membuat tubuh sang violinis cantik memanas tiba-tiba, “I-ini... yang di dalam sini pasti cinta! Rasa sesak ini bukan karena aku rusak. Aku mencinta, ‘kan, Li Yin-ssi?”

Sekali lagi, tawa kecil lolos dari bibir Li Yin. Getaran di balik kemeja Chen yang tertangkap inderanya begitu hidup dan bersemangat. Ini jelas bukan malfungsi; getar yang Chen rasakan nyata-nyata seirama dengan degup jantung Li Yin. Mau tak mau, Li Yin harus percaya bahwa Chen bukan sekadar mesin bertubuh titanium.

Chen adalah keajaiban. Dan cinta—Li Yin kembali mengubah definisinya—adalah keajaiban pula.

***

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
nizzyool #1
Chapter 1: *flips table*
*baru abis ngirim final papers ke dosen masih sisa satu lagi buka AFF trus nemu beginian setelah ngeklik tag chenyin*
nggak nyangka MAMA-04 langsung ke Chen :O dan Chen-nya kali ini nggak 'agresif bin hiperaktif' seperti biasanya hihihi agak sedih sih karena kalo Chen-nya nggak 'bola bekel', nuansa Chenyin biasanya jadi muram-merana gimana gitu karena aura angstnya si teteh kuat banget hiks .___.

dari sekian banyak 'mantan'nya teteh, Liana milih Donghae... mau ketawa bacanya ahahaha soalnya jarang banget yg masangin teteh sama Donghae, biasanya kan kalo nggak Junsu ya Han Geng.

anyway, entah kenapa aku merasa kalo seandainya fic ini dilanjutin, Chen-nya bakal berubah jadi bola bekel lagi :D
Namayou
#2
Chapter 1: Ecieeeee,,,
ini kok aku jadi mesam mesem sendiri.

Beli di mana humanoid macem Chen?aku mau satuuu
:D
:D