Chapter 8

Claimed: My Fiancée

-Kim Kai-

 

“Kau... kau, membuangku begitu saja? Apa karena kau sudah menemukan mainan barumu?”  ucapnya dengan nada tak percaya dengan sedikit warna amarah.

 

Tanganku bergerak, meletakkan diri di dagunya, aku mengangkat sedikit agar ia dapat melihatku dengan jelas. “Dia bukan gadis sepertimu!” nyataku tajam dan jelas.

 

Aku melepaskan dagunya, membuatnya seketika menunduk. Tanganku mengepal kuat. Jika saja ia bukan wanita, tinjuku pasti kini sudah puas memoles wajahnya.

 

Dengan wajah merah, gadis bernama Jaera itu perlahan mengangkat wajahnya namun tetap tak berani menatap langsung ke mataku.

 

“Ohh, maafkan aku,” ujarnya tanpa keseriusan sedikitpun, jelas ia masih mencoba meledakkanku. “Apa tadi itu tunanganmu? Calon Putri Seoul? Aku tidak mengetahuinya, maaf... maksudku, bagaimana mungkin aku mengetahuinya jika selama ini kau hanya mengandeng wanita hanya untuk kepuasanmu sendiri. Biar aku tebak,” apa dia berusaha memojokkanku? “Dia tak mengetahui tentang sisi lain dirimu yang seperti ini? Oh, sungguh disayangkan.” Dia memang berusaha memojokkanku. 

 

“Kau sudah selesai?” sungguh aku tak peduli dengan apa yang ia katakan, dan kenapa aku harus peduli? “Jika ya, menyingkirlah segera dari pandanganku,” tanpa menunggunya merespon, aku berjalan masuk menuju pintu meninggalkannya sendirian.

 

 

 

-Han Jihoon-

 

Aku mulai tidak mengerti. Aku tidak menyukainya. Ia hanya salah satu pria brengsek di luar sana dan sekarang kenapa aku harus peduli? Kenapa aku harus diganggu oleh perasaan mengerikan yang membuatku sesak nafas ini?

 

Kenapa aku harus peduli tentang berapa banyak gadis yang telah ia tiduri? Bukan urusanku.

 

Aku lebih baik menangis ketimbang merasakan ini semua. Kau tahu? Perasaan saat dimana kau sendiri tak dapat mengartikannya dan apapun yang kau lakukan untuk menemukan artinya merupakan hal sia-sia. Itu menjengkelkan.

 

Aku tidak tahu sudah berapa lama aku berjalan tanpa tujuan yang jelas. Aku melihat sekelilingku dan baru menyadari bahwa aku sendiri tak tahu dimana aku berada. Ponselku tertinggal di mobik Kai. Aku sama sekali tidak mengantongi sepeserpun uang. Dan hatiku terasa ngilu.

 

“Jihoon! Apa yang kau lakukan disini?” sebuah suara membuatku memutar badan.

 

 

 

-Kim Kai-

 

Aku berbaring di ranjang superku dengan lengan kanan menutupi mataku selagi mendengarkan Rivers Flow In You yang mengisi kesunyian ruangan ini.

 

Sebagai putra mahkota, aku memiliki kewajiban dan tanggung jawab. Ada banyak hal yang tidak dapat dan tidak akan dapat aku lakukan selama hidupku, bahkan jika aku menginginkannya. Terkadang---seringkali aku merasa iri dengan apapun yang orang-orang biasa lakukan. Tentu saja, manusia memang terlahir membawa sifat takkan-pernah-puasnya, kan?

 

Pergi ke sekolah dengan bus, berteman dengan banyak orang, bertemu dengan orang yang baik, jatuh cinta, mengerti perasaan saat mengalami kegagalan dan merasakan kebahagian yang sangat besar saat pada akhirnya kau dapat mencapai apa yang kau inginkan.

 

Pulang kerumah disambut  dengan aroma masakan ibumu sendiri dan pemandangan ayahmu yang tengah duduk tanpa suara sambil membolak-balikkan koran hariannya. Mungkin juga makan bersama pada malam harinya dan dilanjutkan dengan obrolan ringan yang hangat di ruang tamu?

 

Aku menginginkannya. Kehidupan seperti itu.

 

Mengalami tinggi rendahnya fase hidup. Seakan berada pada roller coaster yang tak memiliki ujung pada lintasannya.

 

Hal kecil seperti itu.

 

Aku ingin merasakannya.

 

Bangunan besar yang ku sebut rumah ini, terasa terlalu kosong. Seperti tubuh cantik tanpa jiwa, takkan pernah bisa kunikmati. Aku selalu menyadari bahwa aku memang selalu sendirian, aku selalu menyadarinya. Namun sekarang, dengan bayangan punggung Jihoon yang bergerak menjauh tanpa sedikitpun mencoba menengok ke belakang, aku kembali merasakannya. Sendirian. Kesepian. Dengan level yang berbeda.

 

Baru pagi ini ia aku merengkuhnya saat ia tertidur. Bukan, bukan hanya merengkuhnya, aku juga menariknya dalam pelukanku, hanya mungkin ia tak mengetahuinya. Belum lama dari terakhir kali aku melihatnya namun, ketidak hadirannya seakan menamparku.

 

Rasanya seperti bangun tidur dan menyadari semua gigi di mulutmu menghilang. Kau tak perlu berkaca hanya untuk meyakini bahwa itu benar-benar terjadi, kau cukup merasakannya.

 

Aku mulai menyusun gambaran-gambaran perasaan yang menyerangku saat aku sadar aku snagat kesepian. Rasanya aku mampu hidup seorang diri selama ini. Semuanya baik-baik saja dan aku pun tak pernah memikirkan soal kesendirianku. Dan kemudian, orang lain datang, seakan mengatur ulang hidupku, ia membuat rasa kesepian menjadi sesuatu yang begitu asing bagiku.

 

Baru kali pertama aku rasakan kesepianku memiliki kemampuan untuk menusuk jantungku seperti ini. Antara marah dan kekosongan menggerogotiku entah dari mana, aku hanya tinggal merasakan sakitnya. Hampa, karena kau berharap dapat bersama dengan orang-orang itu. Dan marah, karena kau merasa ketidakhadiran mereka menyeretmu dalam kesengsaraan.

 

Aku yang dulu akan dengan leluasanya menertawakan aku yang sekarang jika saja kami memiliki tubuh yang berbeda. Ya, aku pun merasa bodoh, menunggu ponselku bergetar pada suatu saat ketika aku sendiri yakin seorang yang aku tunggu akan menghubungiku.

 

Aku menggeleng pelan mengasihani diriku sendiri. Kemana Pangeran yang selalu memilih perasaan sebagai pilihan terakhir untuk diperhitungkan? Apa yang terjadi dengan satu-satunya di dunia, Pangeran Kim Kai yang dulu? Bukan Kai yang sekarang. Bukan Kai yang sensitif terhadap topik keluarga. Bukan Kai yang ambil pusing hanya karena seorang wanita.

 

 

 

-Han Jihoon-

 

Aku memutar tubuhku mendengar namaku dipanngil. Tubuh tinggi Chanyeol terlihat lengkap dengan senyuman pamer giginya. Ia mendekat sambil melambaikan tangannya kepadaku.

 

“Kenapa kau disini? Mana motorku?” tanyanya lagi dengan agak berteriak, mungkin agar jarak kami tak menjadi penghalang untukku mendengarnya.

 

Matahari telah menyelesaikan shift kerjanya menggantung di angkasa, kini bulan menggantikannya dengan wujud setengah tubuh seakan malu menampakan keutuhannya. Lampu-lampu jalanan mulai meradiasikan cahayanya, mendistorsikan bayangannya jatuh pada jalan dan trotoar di bawahnya.

 

Aku hanya menatap Chanyeol yang sedang meraihku dengan ekspresi yang sama seperti ekspresiku pada menit sebelumnya. Kesal, suram, namun kosong. Aku tidak repot-repot menopengi keadaanku untuk terlihat baik-baik saja. Bukan karena aku ingin mendapat simpati Chanyeol, hanya saja rasanya butuh terlalu banya energi untuk melakukannya.

 

“Kai... dia pria brengsek!” umpatanku membuat kening Chanyeol berkerut, dia mendengarku, baguslah “kau seharusnya membiarkannya mati ketimbang melindunginya,” baiklah, aku perlu belajar untuk menyaring kata-kataku. Tapi persetan, aku benar-benar terbakar emosi kali ini.

 

Jarak Chanyeol dan aku semakin menipis, dan kini ia dapat meraih bahuku hanya dengan mengulurkan tangannya ke depan. Tangannya bergerak pelan pengusap bahuku, mencoba menenangkanku.

 

“Ada apa?” aku menunduk rendah, tak memiliki niatan untuk menghadapnya.

 

Entah apa yang merasukiku, tapi dengan mendengar suara Chanyeol, tiba-tiba aku merasakan rindu yang luar biasa terhadap Kai. Ya Tuhan, aku sudah gila. Aku hanya menyukai Hakyeon, bukan Kai, kenapa harus aku merasakan hal ini?

 

“Chan.. yeol..” aku ingin mengadu, kepada siapapun, dan kini Chanyeol yang berada di hadapanku.

 

“Hey.. Jihoon, jangan menangis,” kepanikan sedikit terdengar di suaranya.

 

Peraturan tak tertulis yang harus kalian para lelaki ketahui adalah, jangan pernah mengatakan kepada seorang gadis untuk tak menangis, karena percayalah, kami akan melakukan kebalikannya.

 

Aku mulai terisak, air hangat yanag asin membuat berjalur-jalur aliran turun. Aku membuka mulutku untuk mengatakan sesuatu, namun hal lain yang kusadari adalah aku hanya bergumam dan terisak, tanpa ada kata yang keluar.

 

“A-aku.. keh-kenapa aku?” aku mulai berkata-kata di tengah isakanku setelah cukup lama diam. “K-k-kai.. kenapa d-dia menyebutku te-tunanganya jika dia mem-miliki banyak gad-is lain?” aku berusaha mengucapkannya sejelas mungkin. “Ah-ku tak pern-ah meminta un-thuk menjadi t---“

 

“Shhh...” Chanyeol menarikku masuk ke dalam pelukannya, lengannya melingkari tubuhku dengan sempurna.

 

Aku menarik nafas panjang, berharap kemampuan berbicaraku kembali seperti semula, “maaf.. k-kau boleh mengata-kan aku cengeng,”aku menghela nafas lagi, “a-ku hanya menangis, ini le-bih baik ketimbang harus kemba-li ke istana dan menggorok le-leher Kai dalam tidurnya, dasar bre---“

 

Umpatanku tertahan oleh keterkejutan saat sebuah benda mendarat di hidungku. Aku berusaha memfokuskan diriku pada keadaan sekitarku, bukan lagi pada pikiranku. Dan tepat dihadapanku, Chanyeol, membuat jembatan antara kami dengan menghubungkan bibirnya dengan hidungku.

 

 

 

-Kim Kai-

 

Aku tidak bisa tidur. Jihoon tidak membiarkanku tidur. Bayangan gadis itu selalu bergentayangan secara tiba-tiba setiap kali aku memejamkan mata.

 

Aku merasa benar-benar berada di titik terendah dalam fase hidupku. Bayangkan saja, jam 2 malam tenggelam dalam rasa bersalah! Kau tahu rasanya saat kau terbaring dengan mata terbuka tanpa melakukan apa-apa dan hanya memikirkan kesalahan-kesalahan yang kau lakukan? Well, aku menyebutnya penghancuran diri dari dalam.

 

Aku penasaran apa yang sedang ia lakukan sekarang. Aku tak dapat menghubunginya karena aku memang tak pernah meminta nomor ponselnya. Haruskan aku pergi ke tempatnya sekarang untukku dapat terlelap? Jam 2 malam?

 

Aku yakin kini ia membenciku sampai sel-sel terkecil di tubuhku mengingat semua hal buruk yang aku lakukan padanya. Dan sekarang, bagaikan melengkapi ujung teratas es krim vanilla dengan cherry, ia mengetahui tentang Jae.. uh.. Jaemi, uhh terserah. Jihoon pasti benar-benar membenciku sampai jika saja aku terbakar dan ia memiliki segelas air, ia akan memilih untuk meminum air itu ketimbang membantuku meskipun hanya sedikit.

 

Di tengah pikiran-pikiranku tentang Jihoon, sesuatu yang lain tiba-tiba menghantam otakku yang terlanjur babak-belur ini.

 

Sial! Sial!

 

Ayah dan Ibu akan tiba kurang dari 24 jam lagi!

 

Aku benar-benar melupakannya!

 

 

 

-Han Jihoon-

 

Ini sudah pukul 6 pagi dan aku merasa mulai menggila! Aku tidak bisa terlelap! Aku sudah berupaya dengan menghitung kumpulan domba yang melompat secara ghaib di atas kepalaku, namun aku berhenti seketika wajah-wajah domba itu berubah menjadi wajah Chanyeol. Aku semakin merasa tidak waras saat beberapa domba diantara Domba mirip Chanyeol juga menyerupai wajah Kai.

 

Sial! Aku butuh psikiater!

 

Aku menggengam kasar rambutku sendiri, menenggelamkan wajahku pada bantal dan berteriak. Ada apa denganku? Apa yang aku pikirkan?!

 

Aku berputar menghadap ke arah jendela. Aku membiarkannya terbuka karena sejak memasuki kamarku ini, aku memiliki kesulitan untuk bernafas. Padahal seingatku aku tak pernah mengantongi riwayat penyakit seperti itu.

 

Bayangan bulan yang mulai memutih karena tersinari cahaya matahari masih jelas kulihat. Rasanya bahkan benda itu pun setang menertawakan betapa mengenaskan dan menyedihkannya aku sekarang.

 

Ciuman itu bertahan cukup lama sampai akhirnya aku kembali meraih kesadaranku dan mendorong Chanyeol untuk melepau. Memang bukan di bibirku, namun sebesit rasa bersalah timbul saat itu dan bahkan aku masih merasakan rasa bersalah itu sampai sekarang. Entah rasa bersalah untuk apa, namun aku berharap ini bukan untuk Kai. Hell, seharusnya ia yang merasa bersalah!

 

Suara ketukan pintu membuatku terlonjak kecil. Aku menyingkirkan selimut yang sebenarnya tida terlalu menghalangi jalanku menuju pintu dan mulai berjalan.

 

Kira-kira siapa yang datang? Sepagi ini? Apa mungkin gadis yang kemarin? Apa ia mencoba membunuhku? Bagaimana bisa ia menemukan tempat tinggalku? Jantungku memberontak dalam rongga dadaku. Aku takut? Ya, aku terpikirkan soal kematian sekarang. Namun jangan panggil aku Han Jihoon jika aku tak nekad menghadapinya.

 

“YA! JALANG! JIKA KAU BERPIKIR UNTUK MEMBUNUHKU! KAU SALAH! KAU BERMAIN-MAIN DENGAN GADIS YANG SALAH!” aku berteriak dari balik pintu. Dengan gerakan cepat dan penuh perhitungan aku membuka pintu sambil kembali berteriak, “PERGI SEBELUM AK---“ aku terdiam melihat sosok di hadapanku.

 

“Nona Muda,” Hyuk, supir pribadi Kai membungkuk hormat di hadapanku, “saya kemari untuk menjemput Anda.”

 

“A-apa?”

 

“Yang Mulia Pangeran memerintahkanku untuk membawa Anda ke istana,” jelasnya.

 

“Huh?” bukan aku tak mengerti, tapi hallow, ini pukul 6 pagi! Dan kenapa aku harus kembali ke istana setelah aku mengetahui semuanya?

 

“Saya meminta maaf atas nama Yang Mulia Pangeran karena telah mengganggu pagi Anda, namun para perias istana membutuhkan waktu untuk mendandani Anda sebelum bertemu dengan Raja dan Ratu,” jelasnya dengan nada yang sangat rapih dan intonasi yang sangat teratur.

 

“Sial,” gumamku pelan. Namun dapat kulihat Hyuk mendengarnya melihat ekspresi kagetnya yang tiba-tiba sesaat setelah aku menggumamkan hal itu.

 

“Tolong ikuti saya, kita benar-benar harus bergegas.”

 

“Tapi.. aku masih dalam piyamaku,” gumamku sebagai protes.

 

Hyuk tersenyum kecil, “saya tidak akan memberitahu Yang Mulia Pangeran  tentang Anda memakai piyama dengan gambar anak domba jika itu yang Nona Muda cemaskan.”

 

Aku memutar mataku mendengar balasannya, “terima kasih sudah mengingatkanku,” ucapku dengan sarkasme yang kuharap sampai padanya. “Dan jangan panggil aku seperti itu, itu cukup membuatku merinding. Cukup panggil aku Jihoon.”

 

Mata Hyuk melebar, “Yang Mulia Pangeran tak akan senang jika saya memanggil Anda dengan nama Anda, Nona.”

 

“Uhh terserah.”

 

Rasanya semenit yang lalu aku hanyalah anak manja dari keluarga mapan yang mencoba menjalani kehidupan dengan normal. Dan sekarang, aku sudah naik pangkat menjadi calon ‘Tuan Putri’?

 

Dan tiba-tiba kenyataan itu menghantamku. Aku adalah calon tuan putri. Tunangan seorang pangeran. Tunangan seorang Kai. Jika aku benar-benar bertunangan dengan Kai, itu artinya kami juga akan menikah! Dan aku harus menghabiskan sisa hidupku bersamanya! Dan... sial! Melakukan ‘hal itu’ dengannya juga mengandung dan melahirkan anaknya!

 

Tidak mungkin! Tidak! Aku tidak mungkin membiarkan lelaki dengan birahi tinggi sepertinya menyentuhku!!!

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
haninur32 #1
Chapter 11: Wahhh makin seruuu. Penasaran kenapa kai teriak teriak. Ayoo semangatt author-nim. Ditunggu update nya
baeknoona #2
Chapter 1: kai memang cocok jadi pangeran, keren!
venusangelic #3
Chapter 5: Update update :-)
edelweisses #4
Chapter 5: Akhirnya di post jugaaaa, aihh thor update asap dong, aku nunggu banget nih ff ini hihi
edelweisses #5
Chapter 4: Sebenernya past mereka gimana sih thor? Kayak nya dulu pernah kenal deket gitu ya?
edelweisses #6
Chapter 1: Hay authornim, haha bener sih cerita nya komik banget tapi aku suka. Lanjut yah thor, penasaran Kenapa Kai milih si Han Jihoon itu,sengaja, niat, atau caper? Sudahlah lanjutkan yah thor, fighting