Bang x Zelo

Family 101

Bus sekolah yang dinaiki Junhong dan kakaknya, Jongup, beberapa meter lagi akan mencapai rumahnya. Junhong sudah tidak sabar untuk sampai di rumah. Bus itu seakan berjalan sangat lambat, menguji kesabarannya.
“Kau tidak perlu buru-buru begitu, Junhong.  Appa tidak akan kemana-mana!”
Junhong menatap Jongup yang duduk disebelahnya, sedang mengenakan headphone di telinganya.
Namun Junhong tidak menjawab apa-apa. Ia menggigit bibir, bahagia saat bus berhenti di depan rumahnya.
Segera ia berlari menuruni bus, meninggalkan kakaknya di bangku penumpang yang masih dengan santainya mendengarkan musik.

Sebagai pelajar  14 tahun yang duduk di bangku sekolah menengah pertama tingkat akhir, tidak ada lagi kata bermain-main untuk Junhong. Ujian akhir yang tak terasa pasti dalam sekejap mata akan langsung datang. Nilai ujian yang bertuliskan 100, akan lebih susah dicapai.

Namun kini ia mendapatkannya. Nilai 100 hasil kerja kerasnya itu, tertulis di kertas ulangan matematika yang ia lipat rapi di dalam tas nya. Kedengaran kekanak-kanakan memang, tapi ia sudah berjanji kepada Appanya bahwa ia akan bekerja keras di tingkat akhir ini, ia tidak suka melihat orang tuanya kecewa.

                “Appa! Aku pulang!” Teriak Junhong dari depan pintu. Tak selang beberapa lama, pintu terbuka. Terlihat Himchan dengan peluh di dahinya sambil memegang spatula. Tak lupa aroma masakan yang semilir menggoda Junhong.
“Appa!” Junhong tersenyum melihat ayahnya.
“Ayo cepat ganti baju dan istirahat! Kalian seperti pemain bola yang 3 jam nonstop berlari mengejar bola!”
Celotehan itulah yang selalu menyambut Junhong dan Jongup setiap pulang sekolah, mereka bahkan sudah sangat hafal dengan celotehan Himchan setiap hari. Kadang saat di bus mereka taruhan, apakah Himchan akan memarahi Jongup karena tidak meletakkan sepatu ditempatnya, atau karena Junhong langsung tidur tanpa membersihkan dirinya terlebih dahulu.

              “Appa” Panggil Junhong, mendapati Himchan sedang meletakkan makanan di meja makan untuk nanti malam. “Ya?” Jawabnya, sambil menaruh piring di meja.
“Aku dapat lagi, nilai ujian 100 matematika. Ini sudah ketiga kalinya.” Junhong berkata. Senyum tetap menempel di bibirnya.
Himchan menatap Junhong sekilas, “Benarkah? Wah! Selamat  Junhong-ah!” Sejujurnya, Junhong tidak ingin hadiah apa-apa. Dia hanya ingin melihat ekspresi bangga kedua orang tuanya. Itu saja sudah lebih dari hadiah, tidak bisa dibeli dengan uang. Namun mungkin karena Himchan sedang sibuk, dia tidak bisa memusatkan perhatiannya terhadap Junhong. Dan itu membuatnnya sedih.

====

                Saat itu malam yang tenang, waktu yang tepat untuk berkumpul dengan keluarga. Mereka sedang menonton salah satu acara televisi, ketika ditengah acara, Junhong memanggil orang tuanya. “Appa, Dad.”
“Ya, Junhong?” Himchan mengelap matanya yang berair karena sehabis tertawa.
“Aku dapat nilai 100 lagi untuk matematika!” Ia tersenyum, berkata sambil membuat tanda peace dengan telunjuk dan jari tengahnya. Ini sudah 5 kali berturut-turut dia mendapat nilai 100.
“Oh, benarkah? Wah hebat sekali!” Himchan tersenyum, matanya yang indah seperti rubah itu menyipit, tetap memperhatikan layar televisi.
“Kamu kapan, Jongup-ah?” Kata Yongguk yang duduk disebelah Himchan, tangannya mengusap rambut Jongup.  Ia menggerutu, “Kau tahu dad, Sekolah menengah atas pelajarannya lebih susah.”
Yongguk tertawa kecil melihat anaknya itu, ia tersenyum, memperlihatkan gusinya, dan kembali menonton televisi.
Junhong yang tadi tersenyum, perlahan-lahan senyum itu terhapus dari bibirnya.

====

                Junhong menelan potongan ikan terakhirnya. Makan malam yang biasanya ceria, entah kenapa hari ini tampak canggung, membuat Junhong sulit untuk mengatakan apa yang ingin dia katakan sejak tadi.
“Appa, ulangan matematika ku tadi dapat 30.”
Ada rasa terkejut di sorotan mata Himchan, namun hilang dan berubah menjadi tenang lagi.
“Bagaimana bisa?” Tanyanya.
“Aku... Tidak mengerti bagaimana caranya.” Ia memain-mainkan nasiyang tinggal sedikit  di piringnya .
“Kenapa tidak bertanya kepada gurumu?” Himchan bertanya lagi.
Junhong tidak menjawab. Guru matematikanya disekolah sangat tegas, ia menganggap bahwa semua anak didiknya bisa menjawab soal matematika hanya dalam sekali penjelasan.
Yongguk yang tidak suka berada di situasi canggung itu, menatap Jongup.
Ia membalas tatapan Dad nya, lalu perlahan berkata, “Aku bisa mengajari Junhong, sehabis makan ini.”
Himchan mengangguk, “Yasudah kalau begitu cepat habiskan makanan kalian dan belajar.” Akhirnya makan malam kembali dilanjutkan dengan tanpa seseorang pun yang berkata apa-apa.

Himchan terlihat kecewa, dan Junhong merasa jatuh ke jurang yang kembali terbuka.

====

                “Kau tau Jun-ie, aku juga tidak suka dengan guru matematika itu. Dulu saat aku SMP, dia mengajar dikelasku juga. Wajahnya selalu tanpa ekspresi.” Jongup mencoret-coret kertas yang berisi rumus-rumus matematika disana sini. Ia menatap adiknya yang sedang serius menjawab soal.
“Appa sudah dari tadi sore sedang tidak mood, entahlah, mungkin capek. Kau tahu kan, appa kalau sedang tidak mood akan diam saja, tidak berkata apa-apa.”
Junhong menatap Jongup yang kini tersenyum. “Semoga besok Appa sudah ceria lagi.”
Ia terdiam dan kembali mengerjakan soalnya.

====

                Kemudian terjadi lagi, sifat Junhong yang lemah. Saat itu jam 8 malam,sehabis makan. Junhong sedang kebingungan mencari jawaban dari PR matematika. Jongup penyelamatnya, sedang tidak dirumah. Pasrah dengan soalnya, ia berbaring di kasur dan mengambil gadgetnya. Seketika itu juga Himchan masuk kekamarnya. “Junhong! Apa yang kau lakukan? Katanya mengerjakan PR?”
Junhong gugup, lalu meletakkan gadgetnya di sebelah bantal dan ia bangun, duduk diujung kasurnya.
“Er... Aku bingung bagaimana caranya.” Himchan menatapnya tajam. “Kalau begitu biar Appa yang mengajarimu. Ayo ambil bukumu dan duduk di meja makan.”
Sial.
Dia sayang kepada Himchan, tapi itu berubah 180 derajat ketika ia belajar dengan Himchan. Biasanya pada akhirnya,  pelajaran yang harus dikerjakan, digantikan oleh amarah Himchan karena Junhong tidak bisa mengerti. Dan benar saja.

                “Umm... Aku masih tidak mengerti.” Junhong menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Himchan menghela napas dan menulis lagi di kertas yang sudah banyak rumus matematika itu. “Ini sudah ketiga kalinya Junhong, setelah ini kau kerjakan 5 soal lagi agar mengerti.” Katanya tegas.
 Junhong menggerutu mendengarnya. Masih ada 2 soal lagi yang belum dikerjakan namun ia harus mengerjakan soal-soal lain yang diberikan Himchan.
“Appa, sekarang sudah jam setengah 11, aku sudah mengantuk.” Katanya memohon.
“Lalu bagaimana dengan 2 soal ini? Kau tinggalkan begitu saja?” Himchan juga terlihat sudah lelah untuk marah-marah.
“Kalau begitu langsung kerjakan saja 2 soal yang ini.”
“Terus, soal yang sebelumnya kau masih belum mengerti kan? 2 Soal yang ini ada hubungannya dengan soal sebelumnya! Cepat kerjakan!” Himchan meneguk segelas air putih yang ada di tangannya itu.
Yongguk melewati Junhong yang sedang mengerjakan soal tampak sudah tidak serius lagi karena mengantuk. “Sibuk ya, Jun-ie?” Ia mengusap rambut Junhong lembut.  Junhong mengangguk perlahan.
“Jangan ganggu dia, kalau dia memang sibuk.” Himchan berkata datar.
“Tidak tidur? Sudah hampir jam 11 loh.” Yongguk berkata seakan tidak mengubris sindiran Himchan. Namun Himchan hanya diam, sengaja tidak menjawab.
Yongguk menghela napas dan mengusap punggung Junhong sebelum pergi, seakan berkata maaf-aku-sudah-membantu-sebisa-mungkin.

                Junhong merasakan air mata  nya akan turun. Sudah berkali-kali ia gagal, dan berkali kali juga Himchan memarahinya. “Appa, aku sudah mengantuk.” Katanya lirih.
“Lalu?” Junhong terdiam sejenak. “Kita sudahi saja. Aku akan tidur.” Ia tidak berani menatap mata Himchan.
“Baiklah kalau begitu. Tidak usah kita lanjutkan.”
“Eh, tapi...” Air matanya turun.
“Kenapa menangis? Tapi itu maumu kan? Ayolah, Appa juga sudah capek.” Himchan tetap berkata datar.
“Aku tidak bermaksud...” Ia terisak.
“Tapi kau ingin tidur?” Ia tau, kata-kata itu untuk menyindirnya, namun ia sudah tidak bisa berpikir lagi. Dibereskannya alat-alat tulis dan kertas yang berserakan di meja makan.

 

                Ia menangis dikamarnya. Meringkuk di ujung kasur sambil terisak-isak.  Sebagai laki-laki, ia merasa lemah. Hal seperti ini terakhir terjadi ketika ia kelas 5 Sekolah Dasar. Ia sudah tau bagaimana perangai Appanya. Dia sudah berjanji kepada diri sendiri, dia akan kuat karena dia sudah dewasa. Namun sepertinya itu sia-sia. Seakan dinding yang melindunginya selama ini sudah hancur.
Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka, memancarkan sedikit cahaya dari luar.
“Junhong-ah?”
Suara Yongguk menenangkannya, namun ia tetap meringkuk, malu untuk memperlihatkan wajahnya yang lembab karena menangis. Yongguk masuk dan menutup pintukamar Junhong, gelas berada di tangan kanannya.
Ia mendekati Junhong dan duduk disebelahnya, gelas yang berada di tangannya diletakkan di meja sebelah kasur Junhong.
“Daddy...”
Yongguk mengulurkan tangannnya dan mengusap kepala Junhong.

Yongguk tau Junhong sekarang tidak pernah lagi memakai sebutan Daddy, Junhong berjanji ia tidak akan memanggil ayahnya dengan Daddy karena itu terdengar kekanak-kanakan. Namun kini ia dalam fase terlemahnya, dirinya hancur.

“Ayo sini, peluk aku.” Yongguk menarik Junhong perlahan. Seketika, kepala Junhong sudah mendarat di dekapan Yongguk, masih malu untuk memperlihatkan mukanya.
“Maafkan aku, Dad...” Junhong berkata di dalam isakannya. “Hm? Meminta maaf untuk apa?” Tubuh yang didekap Yongguk bergetar, tidak mampu untuk berbicara.
“Aku... Tidak tumbuh sesuai rencana...” Yongguk terdiam mendengarnya, tidak mengerti apa yang dikatakan Junhong.
“Aku tidak pintar dalam pelajaran, aku tidak seperti anak lain, yang hanya bekerja sedikit tapi bisa mendapat hasil yang optimal. Sedangkan aku harus mati-matian berjuang, tetapi selalu mendapat hasil yang begitu-begitu saja. Aku cengeng...”
“Aku tidak bisa membuat Daddy dan Appa bangga. Bahkan sepertinya nilai 100 dalam matematika tidak cukup untuk Appa. Appa tidak terlihat bangga dengan nilaiku. Aku tidak punya talenta. Aku buruk.”
Yongguk menghela napasnya. “Tidak  punya talenta? Lalu apa yang kau kerjakan di studio ku saat sedang waktu luang?” Junhong hanya terdiam, badannya bergetar, walaupun dia sudah mengeluarkan keluh kesahnya, ia masih bimbang.
“Menulis lirik kan?”
“Tapi lirik yang kubuat tidak berharga.”
“Tidak berharga bagaimana? Kau harusnya bangga, baru berumur 14 tahun kau sudah pandai menulis lirik! Semua lirikmu yang kau tulis di kertas-kertas lusuh Daddy simpan, jaga-jaga kalau aku kekurangan ide.”
Junhong tertawa kecil mendengar perkataan ayahnya. “Aku yakin, pasti dibuku catatan mu tersimpan banyak tulisan-tulisan menarik yang kau buat.”
Memang benar. Bukan dibuku catatan saja, dibuku pelajarannya pun jika ia mendapatkan ide, akan langsung ditulisnya.
“Dan, Junhong, kau tidak cengeng. Wajar saja kita menangis. Kita menangis untuk mengeluarkan emosi yang dipendam. Setiap orang mengeluarkan emosinya dengan cara berbeda, ada yang marah, berteriak, bahkan menangis.”
“Tapi selama ini jika aku marah atau sedih, aku akan diam.”
“Emosi tidak bisa dipendam selamanya. Lihatlah, jika kau menangis, rasanya beban sudah hilang setengah, yaa walaupun belum sepenuhnya. Tapi setidaknya sudah berkurang.”
Junhong terdiam. Isakannya sudah mereda. “Ayo minum dulu.” Yongguk melepas dekapannya dan memberi air yang tadi diletakkannya di sebelah meja. Junhong meneguknya perlahan. “Appa selalu tidak suka dengan apa yang ku kerjakan.” Ia berkata sambil mengusap air matanya yang mulai mengering.
“Tidak suka bagaimana? Dia kan tidak pernah melarangmu menulis lirik?”
“Yaah, seperti, mungkin Appa berpikir bahwa menulis lirik tidaklah cukup. Aku harus harus hebat juga dalam pelajaran.”
“Appa seperti itu karena dia ingin kau lebih hebat darinya.”
“Berarti sekarang aku tidak lebih hebat darinya?”
“Bukan begitu.” Yongguk tersenyum dan menghela napasnya. “Kau tahu, ia ingin sekali kau bernyanyi lagu yang kau ciptakan sendiri sambil diiringi permainan janggunya. Katanya itu lebih berharga daripada mengiringi Eminem sekalipun.” Junhong tertawa kecil, tidak menyangka Himchan akan berkata itu.
“Dan kau tahu, kenapa Appa menyuruhmu menjadi pengacara?” Junhong menggeleng. Memang pernah beberapa kali Himchan menyuruhnya untuk mengambil jurusan hukum, namun ia tidak mau. Ia tidak suka mengikuti aturan.
“Dulu Appa juga disuruh oleh kakek menjadi pengacara. Namun Himchan tidak menyukai hukum, ia hanya mengikuti apa yang dia suka, yaitu seni. Sepertinya bakat seni nya sudah mengalir turun temurun.” Memang benar, kakek Junhong adalah seorang fotografer, neneknya pemilik butik terkenal, yang kini sudah diambil alih oleh Himchan.
“Jadi, takdir itu tidak bisa dipaksakan. Sebelum menikah dulu, Himchan pernah dilarang oleh nenek untuk berhubungan denganku.” Junhong mengangguk, ia pernah mendengar cerita itu sebelumnya.
“Ia berkata aku hanya penulis lirik tidak lebih. Namun kakek meyakinkannya dengan mengatakan, aku pasti bisa sukses nantinya. Lihat nenek, dulu ia hanya karyawan di sebuah butik, sekarang ia memiliki butik yang memiliki banyak cabang.” Yongguk tertawa kecil mengingatnya. “Lalu setelah itu aku membuat studio sendiri. Dan kau bisa lihat sekarang.” Yongguk menepuk-nepuk kepala Junhong. “Jika tidak ada naik dan turun di kehidupan ini, tidak akan terasa menantang. Hidup ini seperti roda, ada saatnya kamu dibawah, ada saatnya diatas.” Junhong terdiam tak bergerak. Yongguk mengiranya ia sudah tertidur, sebelum Junhong , mengatakan sesuatu lagi.
“Lalu begitu terus? Atas-bawah, atas-bawah, tidak pernah diatas terus?”
“Setelah roda sepeda berputar, kau pasti akan sampai ditempat tujuan kan?”

Terjadi keheningan selama beberapa menit. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Ditemani oleh sinar rembulan dan lampu jalan dari luar melewati celah-celah jendela kamar Junhong. “Dad. Terima kasih. Sebenarnya banyak kata-kata selain terimah kasih yang akan kuucapkan. Namun kau tahu, aku tidak pandai merangkai kata-kata yang seperti itu.”
Jika kamar itu tidak gelap, mungkin Yongguk akan melihat pipi Junhong yang merona merah. “Atau mungkin akan kucurahkan lewat lirik.” Sambungnya lagi. Yongguk tersenyum. Anaknya tidak berjalan tanpa arah. Sebenarnya ia memiliki tujuan yang jelas, pikirnya.

Yongguk beranjak dari duduknya. Sudah saatnya Junhong tidur setelah percakapan yang dalam dan bermakna antara ayah dan anak. “Nah, sekarang kau tidurlah. Besok kau masih harus sekolah.”
Junhong membaringkan dirinya di kasurnya yang empuk. “Terima kasih, Dad.”
Yongguk mengangguk dan tersenyum. Ia tahu Junhong pasti tidak bisa melihatnya, namun ia merasakannya.
“Oh iya, Junhong.” Yongguk berkata sebelum keluar dari kamar Junhong. “Lee Hi, apakah wanita itu yang membuatmu menulis banyak lirik tentang jatuh cinta?”
“Eh? Darimana...”
“Tadi Himchan melihat ponsel mu. Dan tak sengaja terlihat pesan yang dikirimnya. Ia berkata kepadaku sambil tersenyum, ‘Lihat, Junhong sudah besar. Ia pandai merayu wanita. Dia bahkan mengatakan selamat pagi untuk dia, namun ia tidak pernah mengatakannya ke diriku!’ Himchan terlihat senang, karena wanita yang kau rayu itu cantik.” Yongguk tertawa melihat wajah terkejut Junhong yang disinari dari lampu luar.
Sial. Dia juga baru menyadari ponsel yang tadi sebelum belajar diletakkannya di sebelah bantal, sekarang menghilang.
“A.. Apa yang dia katakan?”
“ ‘Terima kasih bonekanya Bunong-ie~ Aku tidak menyangkan kau memberiku hadiah~’ “ Yongguk berkata menggunakan aegyonya yang pas-pasan, kemudian tertawa. “Besok kau harus jelaskan ke Appa, boneka apa itu.” Senyum masih belum terlepas dari bibirnya melihat tingkah laku anaknya itu, menahan malu dengan menutup wajah denga kedua tangannya.
“Oh iya, kau juga harus mengucapkan selamat pagi kepada Appa, ia iri karena Lee Hi saja yang kau ucapkan selamat pagi.” Katanya lagi sebelum menutup pintu.
“Appa!” Junhong menggerutu.

Yah setidaknya ia tidur dengan tenang, karena ia sudah mencurahkan semuanya ke Yongguk,
dan juga Lee Hi menyukai hadiahnya.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
sue_erin #1
sound interesting...please update...fighting!!