He is a Ghost

Description

Kencan buta yang aku jalani mengantarku padanya. gadis dengan lengan yang kuat. dia manis, dan ada seseorang yang selalu mengikutinya. bahkan, sekarang dia balik mengikutiku. Kenapa dia selalu mengikutiku? apa aku berbuat salah padanya.

Wajah pucat yang selalu ia tampakkan sesekali membuatku berpikir apakah dia manusia? mendadak langsung merinding dan mengeluarkan keringat dingin bila aku mengingat caranya menatpaku. Sebenarnya, motivasi apa yang dia punya? apa dia ingin membunuhku?

Cerita ini mengisahkan tentang lurong tapi pada akhirnya tetap surong juga. don't be a silent reader, guys..

 
 
 

Foreword

Sore ini, lebih tepatnya hampir malam. Seorang namjaa sedang menyibukkan diri untuk merapikan rambutnya. Mungkin ia akan pergi. Ke acara penting, atau mungkin sebuah kencan buta. Kamar yang ia sewa untuk tiga tahun mendatang cukup besar. Membuat orang nyaman mendatanginya. Tidak terkecuali Oh Sehun. Teman, sahabat, tempat curhat bahkan merangkap sebagai adik sepupu.

Mwo?”  tanya Suho masih menghadap ke cermin.
Aigoo.. wangi sekali kau Hyung!” komentar Sehun, merebahkan rambut pirangnya ke atas ranjang dengan bed cover berwarna coklat. Hangat.

“Wah, ternyata semua ada disini” teriak Tao.
“Uh, halo Tao” jawab Sehun. Sedang mengutak-atik smartphone milik Suho.

“Hyung, kau mau kemana?”
“Aku mau kencan, Tao. Kau tahu kencan kan?” ejek Suho.

“Hyung biarkan aku ikut” pinta Tao dengan wajah memelas. Entah itu memelas yang tulus atau tidak.
“Kau tidak boleh ikut” jawab Suho.

“Ah Hyung!”

“Ini namanya kencan buta Tao. Kalau kau ikut, perempuan itu akan lebih memilih kau, lelaki dengan tubuh proporsional dan tinggi” timpal Sehun.

Suho, tanpa berkata sedikit-pun. Menarik smartphone dari genggaman Sehun. Menarik tangan Sehun dan menyuruhnya untuk bangun dari posisi yang nyaman itu. Mendorong mereka berdua, dengan Tao. Keluar kamarnya.

“Ah Hyung appa”  rengek Sehun.

Malam ini serasa lebih dingin. Lima derajat lebih digin dibanding malam kemarin. Tapi perempuan yang akan ditemuinya malam ini, hanya memakain rok 10 cm diatas lututnya. Memang, perempuan itu cukup tinggi. Memesan secangkir Americano dan secangkir Latte, setelah itu Suho ditinggal sendiri di depan meja yang sudah ia pesan. Perempuan itu ke kamar mandi. Entah, mungkin karena bedaknya terlihat sedikit luntur. Sebuah pesan masuk ke smartphone-nya.

Hyung, Otte? Like a y girl?

Suho menekan tombol keypad untuk membalas pesan gila dari Sehun.

Kau gila? Dia bahkan tidak tahu cuaca. Bagaimana bisa sedingin ini memakai rok terlalu tinggi

Sebuah pesan kembali masuk. Balasan dari Sehun.

Hyung, she is a y girl. I know it Hyung. Fighting!

Balasan gila. Suho tidak membalasnya lagi. Mungkin akan menjadi pembicaraan bodoh bila ia teruskan.

“Americano dan Latte?”

Suho mengangkat kepalanya.

“Chorong-ssi?”
“Oh, Suho. Pangeran kampus. Kenapa kamu disini? Bukankah kau harus menyelesaikan proposal penting untuk kampus kita. Ternyata kau punya banyak waktu, tidak seperti yang aku bayangkan. Sedang apa?” tanya Chorong dengan sedikit mengejek.

Seorang yoja dengan rok tinggi itu kembali. Bedaknya lebih tebal sekarang. Chorong melihatnya. Suho memerah. Chorong mengerucutkan bibir-nya. Melihat dengan teliti dari ujung rambut hingga ujung kaki yoja itu. Seperti seorang model. Chorong tertawa kecil. Menghadap Suho yang menundukkan kepalanya.

“Aisshh.. tipemu itu, wanita bodoh ya? Dia bahkan tidak tahu akan ada salju malam ini. Baiklah, kutinggal dulu. Fighting” Chorong berbalik. Tertawa lepas.

Aigoo.. bahkan tertawanya tidak menunjukkan etika. Ck” komentar Suho. Berbisik.

“Ada apa?” tanya yoja itu, penuh dengan suara layaknya seorang wanita yang keselek.
“Anni, Gwencana”

Suho sesekali melirik ke arah Chorong. Gaya berpakaiannya sulit ditebak. Memakai celana jeans kaos putih dan sebuah kemeja yang terbuka membuatnya terkadang seperti perempuan yang manis tetapi bringas. Tapi saat memakai rok ‘tahu cuaca’ tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu tipis, dipadukan dengan sebuah blouse berwarna manis malah membuatnya seperti pasangan yang sangat ideal. Namun apa yang Suho lihat hari ini, sangat terihat bahwa Chorong adalah perempuan bringas dan berbahaya.

Ia melihat sekeliling dunia mengerikan milik Chorong. Café ini tidak terlalu besar, tapi banyak pelanggan yang datang untuk memesan Americano atau hanya sekedar melihatnya. Yoja yang bringas dengan kaos biru selengannya yang kuat. Setiap hari selalu memikul beban berat. Membawa nampan yang dapat berisi beberapa gelas penuh Americano atau café latte. Tapi tunggu, ada seorang Namja yang cukup janggal. Ia melihat Chorong dengan perasaan. Sebuah perasaan yang sangat berbeda saat Suho mellihat Yoja didepannya sekarang ini.  Namja itu mengarahkan pandangan perasaannya itu ke arah Suho, seketika ia melihat pandangan yang sangat dingin. Tapi satu yang Suho tahu, namjaa itu tampan. Lebih tampan darinya. Juga dia memakai kaos yang tak ketinggalan jaman, mungkin dia masih muda. Tapi untuk apa namjaa muda itu melihat perempuan bringas dan bahkan tak tahu bagaimana cara untuk mempelajari sebuah ilmu yang dinamakan etika.

*-*-*

“Luhan, Luhan..”

Perempuan itu menempelkan benda mungil di telinganya. Berteriak memanggil untuk dapat jawaban dari lelaki yang ia panggil Luhan.

Dikamar namjaa itu, benda mungil itu hanya bergetar. Bergetar diatas kasur nyamannya. Dia melepas kacamata yang selalu ia pakai saat membaca. Melihat sekeliling, mencari benda bergetar itu. Sesekali berjongkok siapa tahu ada di bawah tempat tidur atau meja yang penuh dengan buku.

“Mwo?” tanya Luhan setelah menggapai benda mungil itu.

“Luhan, kau dimana?” yoja itu terdengar terisak dan menahan tangisnya.

“Ada apa?”
“Adikku, dia hilang”

“Kau sudah mencari di seluruh rumah?”
“Sudah, bahkan aku sudah mencarinya di sekitar rumah. Apa yang harus aku lakukan?” tangisnya menjadi-jadi. Tidak dapat ditahan lagi. Luhan semakin khawatir.

“Kau dimana sekarang?”
“Sekarang aku mau ke sekolahnya”

“Baiklah, aku akan langsung ke sekolahnya”

Siang ini, sedikit mendung. Chorong berlari mencari adiknya. Berkeliling halaman sekolah adiknya lalu berlari memasuki setiap kelas. Lalu keluar lagi. Tak ditemukan tanda-tanda keberadaan adiknya. Tiba-tiba Luhan menepuk pundak Chorong dengan napas tersengal.

“Kau berlari?” tanya Chorong, Luhan hanya mengangguk.

“Terima kasih”
“Ah, sudahlah. Kau akan tersipu nanti. Stop memandangiku. Aku malah seperti namja bodoh ya..”

Beberapa kertas terbang dari langit. Seperti baru dijatuhkan oleh malaikat. Chorong menengadahkan kepalanya. Melihat anak perempuan dengan rok pendeknya. Luhan melihat bayangan itu, bayangan yang ada di atas gedung sekolah tua ini.

“Apa itu..” tanya Luhan. Namun, Chorong sudah lebih dulu berlari dan menaiki tangga. Luhan mengikutinya. Walaupun masih dengan napas yang tidak teratur.

Diatas gedung itu. Yoja kecil itu membawa sebuah pisau. Pisau yang biasa kakaknya gunakan untuk memasak. Melihat langit yang kini gelap dan bersiap menumpahkan amarahnya. Yoja kecil itu melepaskan kedua sepatunya, dan melangkahkan kaki lebih maju dibandingkan posisi sebelumnya. Ia seperti ingin loncat.

“Ya’ Chonsa” Chorong memanggil adiknya Chonsa. Adiknya bagai malaikat yang sengaja dijatuhkan Tuhan untuknya. Menggantikan Ayah dan ibunya.

“Ya’ jangan lompat Mi Rae!” teriak Luhan dari belakang Chorong.

“Jatuhkan pisaunya, Chonsa. Kau Chonsa kan Mi Rae? Kau baik hati kan? Kemari Mi Rae. Kau mau ngapain?” kalimat itu Chorong teriakkan dengan terisak.

“Andwae! Hajima” teriak Chorong lagi. Melihat adiknya sudah menyayat tangan kirinya.

“Ya’ Chorong. Hati-hati!”

Hujan turun sangat deras bahkan adiknya masih sempat melompat dengan indahnya. Chorong berusaha menggapai tangannya. Namun ia tak kuat untuk menarik adiknya kembali. Luhan langsung memeluk kedua wanita yang amat ia sayangi. Terkadang ini adalah adegan yang paling menyentuh. Mereka semua jatuh, dengan Luhan memeluk kedua yoja itu. melindungi mereka semua.

Luhan terluka. Kepalanya mengeluarkan darah. Tangan adiknya juga. Mereka berdua benar-benar mengotori baju Chorong.  Tangannya yang sedari tadi menggenggam tangan Luhan dan adiknya seketika dingin. Ia membuka matanya perlahan. Kedua orang yang sangat ia sayangi, tergeletak lemas tak berdaya. Dilihatnya yoja yang sudah jatuh jauh dari mereka berdua. Tangan luhan masih memeluk Chorong, melindungi kepala Chorong. Ia hanya menangis. Berbalik badan dan memeluk Luhan yang sudah mulai melepas pelukan eratnya pada Chorong. Menangis dan merasakan namja yang melindunginya. Untuk terakhir kali. Chorong bangun dan melepaskan pelukannya. Menggapai tangan Luhan, dan diciumnya. Ia memeluk lagi Luhan yang tergeletak dengan susah payah. Luhan, masih berdetak. Jantungnya berdetak. Berdetak sangat kencang, meski darah yang dikeluarkanya sudah cukup banyak.

“Bisakah kau mundur sedikit Chorong?” hembusan napas itu masih terasa pada wajah Chorong.

“Luhan?” ia sejenak berhenti menangis. Melihat luhan mencoba untuk mengacak poni Chorong. Terdapat bekas darah di rambut Chorong.

“Gwenchana. Aku tidak akan pergi, dan kau, kau membuat jantungku berdetak kencang. Berhentilah menangis. DImana adikmu?”

Chorong teringat dengan yoja kecilnya. Ia berlari kecil. Menghampiri dan menggendongnya. Memberi isyarat pada Luhan, bahwa aku sudah menemukannya. Sudah bertemu dengannya. Walau Chorong tau, Chonsanya tidak akan kembali merengek minta dibelikan es krim atau sekedar meminta pelukan hangat darinya.

“Mianhae, Chorong. Aku tidak bisa melindunginya, maaf”

Seketika hujan itu bertambah deras. Rentetan klakson mobil dari jauh menjadi backsoundnya. Dimana untuk terakhir kali, ia menggendong Chonsanya. Juga merasakan kaos yang wangi dan halus milik namja yang sangat ia sayangi. Chorong hanya bisa menangis untuk saat ini. Menyalahkan dirinya sendiri, dan merutuki Tuhan. Itu yang ia lakukan pada saat itu. saat dimana ia  menjadi takut dengan ketinggian.

 

*-*-*

“Andwae”

“Mwo? Cepatlah, kau tinggal lompat”

“Jangan menyuruhku” teriak Chorong. Ia sudah memakai berbagai alat keamanan untuk Bugee Jumping.

Hari ini hari ulang tahun kampus mereka. Kau tahu kan, Suho membuat sebuah Proposal, dan proposal itu untuk kegiatan hari ini. Hari yang sangat special untuk kampus. Bahkan untuk Chorong juga.

Suho hanya melihat tingkah gila yoja bringas itu dari bawah, bersama teman sejurusannya. Dia sudah melompat lebih dulu. Tinggal menikmati teriakan melengking yoja itu, lucu sekali. Bahkan ia membalas teriakan itu.

“Ya’ siapa yang membuat acara seperti ini? Suho! Kau akan kubunuh. Untuk apa dengan ini semua?” Chorong menghentakkan kakinya dengan keras. Membuat sepatunya lompat lebih dulu, ke arah Suho yang sudah termakan amarahnya. Suho berdiri, disamping teman Chorong yang sedang menguatkannya.

“Aigoo, Chorong-ssi! Kalau kau mau marah, marah saja setelah kau lompat. Arra?” teriak Suho. Semua teman Chorong menoleh. Melihat namja mungil itu dengan tatapan mengerikan.

“Cepat lompat dan ambil sepatumu!” teriak Suho lagi.

“Ya!” hanya itu balasan dari Chorong. Ia sudah tidak punya tenaga untuk membalas semua itu. Chorong nekat melompat. Melompat tapi dalam keadaan setengah sadar. Bendungan manik indahnya jebol. Ia melompat, nekat, dalam keadaan pingsan dan seluruh pipinya basah karena menangis.

“Chorong-ssi” temannya berteriak saat melihat Chorong melompat, layaknya mayat yang terjatuh. Tak bergerak sama sekali.

Suho berbalik, melihat semua kejadian yang terlalu lucu. Tapi tegang melihatnya tak berdaya.

“Ya’ Chorong!” Suho berteriak. Entah mengapa, itu keluar begitu saja.

Para petugas mencoba menggapai Chorong dari bawah. Dengan perahu yang dibawa hingga ke tengah danau membawa Chorong ke tepian. Tapi, apa yang dilihat Suho. Namja tampan itu lagi? Kenapa bisa ada di atas perahu itu? apa dia juga salah satu mahasiswa? Chorong sampai di tepian. Disambut oleh tangan teman-temannya menggotong badan yang cukup berat itu.

“Chorong, Ya’ buka matamu” Namja itu berteriak dibelakang teman-temannya. Suho hanya melihat namja yang janggal itu.

“Suho, panggil dokter pribadimu itu”

“Hah? Ye? Kenapa aku?”

“Aigoo, Hyung! Kau penanggung jawab kan” teriak Sehun, yang merangkap menjadi Hunbaenya saat ini.

“Ah, arra” Suho berbalik badan lalu menekan beberapa nomer, terhubung. Dia menyuruh dokternya untuk segera kemari. Dan sang dokter mengiyakan. Suho mencari namja itu kembali, lalu berteriak.

“Hah? Hilang?”

“Hyung, apa yang hilang?”

“Ani, gwenchana”
“Aigoo, Hyung!” teriak Tao yang takut terjadi apa-apa pada hari yang cerah ini.

“Ya’ Namja!” teriak Chorong dari balik badan seorang namjaa. Sebuah flashback.
“Mworago? Namjaa? Aigoo jjinja!”

“Aigoo, dia pingsan atau bagaimana? Lama sekali” keluh Suho. Ia terpaksa duduk disamping Chorong dan mengipasinya. Sebuah butir air mata jatuh diantara mata yang tertutup. Meringis kesakitan atau mengalami mimpi menyedihkan? Suho hanya bisa mengira itu yang terjadi pada Chorong.

“Dokter? Bagaimana ini?” tanya Suho khawatir.

“Dia tidak terluka. Mungkin karena terlalu syok harus melompat setinggi itu. atau mungkin dia mempunyai phobia?”

“Phobia?” tanya Suho lagi.

“Iya, mungkin phobia ketinggian atau semacamnya”
“Aku tidak tahu itu, Dokter”

“Kalau memang itu phobia, sebaiknya jangan dibawa ke tempat yang tinggi lagi. Bisa aja ia pingsan lagi”

“Ah, baiklah Dokter. Terima kasih”

“Hyung, ada apa dengannya?” tanya Sehun masuk ke ruangan yang digunakan untuk membaringkan Chorong.

“Phobia? Sehun, telpon tempat dia bekerja. Siapa tahu pemilik café tahu tentang hal itu”
“Arra Hyung. Tapi, apa dia tadi menangis?”

“Memangnya kenapa?”
“Basah. Sekitar matanya basah, Hyung! Kau seperti tak tahu saja, dia itu yoja, dia bisa saja menangis walau hanya disuruh melompat seperti tadi”

Suho memandang wajah Chorong. Tak punya alasan yang cukup mengapa Suho harus memandang mayat hidup itu, yang sekarang terbaring di sebuah sofa, di depannya. Sosok namjaa itu muncul lagi. Dia duduk diatas lantai yang dingin itu, memandangi Chorong. Suho melihatnya. Pandangannya itu, penuh arti.  Tiba-tiba saja namjaa itu mengarahkan pandangan pada Suho, yang melihatnya dengan segudang pertanyaan dalam kepalanya.

“ Aigoo,” Suho seperti seorang yoja yang habis kecopetan.

“Hyung, we?”

“Ani, Gwenchana”

Namjaa itu masih memandanginya. Hingga Chorong memberikan respon yang membuat kedua namjaa yang saling memandang itu kaget.

“Andwae” kata itu meluncur halus dari bibir Chorong. Pipinya yang basah diusap namjaa itu dengan halus. Suho benar-benar menganga. Melihat namjaa yang janggal, bahkan menurutnya dia adalah hantu. Ternyata menyukai yoja yang dia katakan yoja tanpa etika dan sangat bringas.

“Ya! Chorong-ssi! Ireona.. bangun!” Suho membangunkan Chorong saat dilihatnya sang namjaa menghilang lagi.

*-*-*

“Hyung”
“Mwo?”
“Dia..”
“Dugu?”
“Chorong-ssi,”
“We?”
“Dia..”
“Mwo? Palli-wa!”
“Dia ternyata takut ketinggian”
“Jjinjja?”
“Emm..” sembari mengangguk dan menggapai softdrink dari genggaman Suho.

Seketika, mulutnya terbuka. Wajahnya pucat pasi. Ditambah, tiba-tiba namja itu muncul lebih dekat tidak seperti kemarin. Entah mengapa, setelah kejadian Suho melihat Chorong bekerja di café, namja itu sering muncul, bahkan pernah sesekali muncul di kamarnya. Hanya berdiri, atau duduk di sofanya. Tapi itu membuat Suho seperti salah masuk kamar. Canggung masuk ke kamarnya sendiri. Atau mungkin ketakutan dan muncul rasa cemas bila namja itu tiba-tiba membawa pisau dan ingin membunuhnya. Tapi hari ini, detik ini, namjaa itu berdiri benar-benar di depannya. Memandangnya. Namun, entah mengapa namja itu menampakkan senyuman hangat yang belum pernah dilihat Suho. Dia biasanya hanya menampakkan wajah dinginnya.

“Syukurlah, akhirnya kau tahu. Sekarang aku tenang. Sebenarnya aku sedikit kesal dengan bungee jumping-mu itu. Chorong paling tidak suka ketinggian. Apalgi harus melompat dari sana”

“Ya?” kata itu terdengar pelan. Tidak sampai membuat Sehun yang sedang melihat para yoja, menengok.

“Ya, aku sangat berterima kasih. Jaga dia. Kumohon.”

“Ya?” kata ini cukup keras Suho ucapkan.

“Ada apa Hyung? Kau ingin yoja itu? bilang saja padaku. Tak perlu malu-malu.”

“Aniyo, Sehun. I want to going crazy. Annyeong!” Suho bangkit dari posisi duduknya. Meninggalkan Sehun.

“Hyung! Kau mau kemana? Hyung!”
“Jangan ikuti aku. Arra?” Suho berbalik badan masih dengan langkahnya yang tegap.

“Ah, Hyung! Oh, Noona annyeong” Sehun berteriak, tapi lihat saja apa yang ia lakukan dengan yoja yang lewat didepannya, padahal yoja itu sunbaenya sendiri.

Smartphone dia gapai dari kantung celananya. Mengetik sebuah pesan untuk Chorong. Tak perlu ditanya dari mana ia mendapat nomer telepon yoja tak beretika itu.

“Hey! Jongin! Come here!”
“Nde Sunbae”
“Kau punya nomer telepon Chorong?”
“Ada apa kau tanyakan itu padaku?”
“kau tahu, aku tak punya kenalan dari jurusan itu selain Chorong”
“Tapi Sunbae, bukankah kau aneh”

“We?”
“Ani, gwenchana. Ah, tapi hyung! Sebelum kau meminta nomernya, bolehkah aku meminta satu syarat?”
“Mian Jongin, aku tak bawa dompet. Mungkin syarat itu bisa kupenuhi nanti”

“Bukan soal uang”
“Apa memangnya?”
“Bertanding basket. Pertandingan ringan, santai. Begitu hyung. Temanku lebih sibuk berkencan disbanding bermain basket denganku. Itulah, namja jaman sekarang”

Kau tahu, Suho sangat tersindir dengan kata-kata Jongin. Apalagi, kalau ditekankan pada bbagian ‘lebih sibuk berkencan’ juga pada bagian ‘itulah namja jaman sekarang’

“Arra, baiklah. Kapan?”

“Nanti, sekitar jam tujuh malam. Kau bisa?”
“Oke.. I think it’s my nightmare”

Sesuai dengan pengalaman teman-temannya atau dari pengalaman kedua ‘adik kos’-nya itu, Jongin, kalaupun dia mengatakan bahwa itu pertandingan santai. Tapi pertandiingan itu sering memakan korban. Temannya cidera ringan pada lengan kirinya. Sehun, jatuh di lapangan basket, meninggalkan luka pada telapak tanggannya. Yang paling konyol, Tao. Dia menabrak ring basket. Walau dia, katanya, sadar kalau disana ada ring. Tapi, nyatanya ia menabrak ring dan jatuh terkapar. Jongin menelepon Sehun, memberitahukan kalau Tao ada di UGD rumah sakit. Seketika itu, bukannya Suho dan Sehun khawatir dan bergegas pergi, tapi mereka malah tertawa geli setelah mendengar suara Jongin yang di-loudspeaker mengatakan bahwa Tao pingsan, karena menabrak ring basket. Itu cukup memalukan, dan sekarang giliran Suho yang sudah siap mental untuk menahan malu kalau ia harus pulang dengan bentuk yang menyedihkan.

“Ya! Jongin. Sudah! Aku bahkan sudah tak merasakan jantungku masih berdetak atau tidak”
“Hyung, aku belum mencetak point. Kau juga kan? Ternyata kau kuat juga. Siap ya Hyung”

Point pertama untuk Jongin.

Pantas saja teman-teman Jongin lebih memilih rengekan orang tua untuk kencan buta dibanding harus merelakan tulang mereka remuk.

“Jongin, kau sudah mencetak point, sebaiknya kita istirahat dulu. Aku takut jantungku malah copot dan jatuh, kau mau tanggung jawab”

“Tanggung Hyung”
“Kau ini! Ya! Kau kusuruh tanggung jawab, malah kau katakana tanggung?”

“Hyung kau tahu, ini sangat lucu kalau kita buat taruhan”
“Mwo? Apa yang kau pikirkan Jongin, selain ingin membunuhku saat ini?Hah! apa yang kau pikirkan?”
“kau akan mendapat nomer noona kalau kau, berhasil mencetak point”

“Ya!”
“Ada apa Hyung? Kau putus asa?”

“Aigoo.. Jjinjaa! Arra, kau jangan kaget Jongin-ssi!”

“Oke Hyung” Jongin melempar bola basket pada Suho. Seketika, Suho bagaikan satu tim dengan namja janggal itu. kenpa dia muncul di luar, malam-malam seperti ini.

Flashback~

Bagaikan sedang dalam pertandingan bola basket, dan mereka berdua bermain dalam satu tim. Walaupun pada malam itu hanya mereka berdua yang bermain di lapangan basket.

“Ya! Chorong, lemparkan padaku”
“Arra, tangkap!”

“Baiklah sekarang aku akan memasukkannya dalam ring, lihat ya”

Bola itu masuk. Mereka berdua, berpelukan. Merayakan masuknya bola itu.

Dan kejadian itu tak akan terulang lagi.

Suho terbang, memasukkan bola itu ke dalam ring. Masuk!

“Ya. Sudah kukatakan… kau jangan kaget Jongin”
“Arra Hyung, kau hebat” acungan jempol dari Jongin.

“Cepat kirimkan nomernya”
“Nomer siapa?”

“Chorong-lah. Kau kira siapa?”
“Oh, itu? aku sudah mengirimkannya.”
“Kapan?”

“Setelah kau bilang minta nomer Noona. Hyung! Kukira setelah kau mendapatkannya kau tidak akan kemari. Ternyata kau tetap datang. Hyung, kau keren”

“Ya! Lalu kenapa kau membuat taruhan, taruhan seperti tadi? Hah!”
“Kau kan jadi lebih semangat Hyung. Hyung! Sudah malam. Aku pergi”

“Ya! Jongin, Kau!” semua amarah Suho meluap. Ia tak bisa mengejar Jongin yang lari terbirit-birit. Tenaganya sudah habis, bahkan sebelum ia menyelesaikan kalimat ‘Kau! Akan kubalas besok’

Chorong masih sibuk menyeduh kopi yang dipesan pelanggan. Handphone-nya bergetar.

“Mwo?” melihat layar handphone. Pesan dari Suho-ssi.

‘ya! Aku pesan Americano satu! akan kuambil lima belas menit lagi’

“Ada apa dengannya? Kau kira aku manager-mu apa? Aigoo”

‘Molla, aku tidak berangkat kerja hari ini!’ itu balasan yang Chorong ketik.

“Pembohong” dengan menggelengkan kepala, Suho mencari tempat duduk dan menarik bangku yang tersedia disana.

“Arra, Americano, Suho-ssi?” dengan gerakan mulutnya, Chorong mengatakan itu.

Namja itu muncul lagi. Dengan Yoja kecil memegangi tangan kanannya. Gyeopta. Namja, yang Suho sudah tahu, namanya Luhan itu, memberi isyarat pada yoja kecil itu. ternyata yoja kecil itu tuna rungu.

“namanya Mi Rae. Kau, tirukan apa yang Mi rae isyaratkan, dan katakan itu pada Chorong, Arra?” Suho hanya mengangguk,  bingung. ‘bersama’ adalah kata yang paling ingin mereka katakana, melalui perantara Suho.

Sebuah pertanyaan muncul, “dia siapa? Manis sekali”
 

“kau tidak tahu, dia mirip dengan siapa?” seketika Suho lemas, tegang. Wajah yang muncul adalah wajah Chorong, dan seketika ia lihat dalam-dalam yoja manis itu.  Chorong-ssi? Dia adiknya Chorong-ssi?

Yoja manis itu memberi salam formal untuk Suho. Dia membalasnya dengan anggukan. Dia adik Chorong. Terlihat. Adiknya Chorong itu sederhana, bahkan yoja kecil itu tidak akan mampu mendengar tangisan Chorong. Pasti, Yoja kecil itu, selalu membuat Chorong tersenyum.

Berarti, lalu, Siapa namja itu? namja yang kukenal dengan nama luhan?

 
 
 

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet