Final

After Life

 

 

On days like that, sometimes, days like this make me feel good
Do you remember our temperature? My warm hands that embraced you?
Now I hold onto a brush called Memories and draw out your face though I’m not a painter

Even I’m not familiar with myself being like this
I keep being un-manly and keep smiling
I try to snap out of it but
In the end, I break down in front of you
Yeah, I love you

 

Seorang pemuda dengan langkah tergesa-gesa berjalan masuk menuju sebuah ruangan dengan gelas berisi air di tangannya. Di dalam ruangan itu terlihat seorang lelaki dengan rambut memutih dan kerutan-kerutan yang terlihat jelas di wajahnya sedang duduk di kursi rodanya sambil menulis sesuatu di sebuah buku.

"Kenapa kau terlihat panik seperti itu?" tanya pria tua itu saat si pemuda meletakkan gelas yang dibawanya di atas meja.

"Ayo kita keluar, Gyu! Aku ingin melihat bunga sakura yang mekar!" seru pemuda itu dengan nada antusiasnya.

Sunggyu tertawa. "Baiklah, baiklah. Tapi tolong ambilkan jaketku dulu," ucapnya sebelum menutup bukunya dan melepas kacamatanya.

Woohyun, pemuda itu, segera menurut dan mengambil sebuah jaket tebal dari lemari pakaian mengingat tubuh Sunggyu yang sudah tak bisa menoleransi suhu dingin lagi. Dia lalu membantu Sunggyu memakai jaketnya sebelum mendorong kursi rodanya keluar dari ruangan tempat Sunggyu membaca tadi, ruangan yang dulunya adalah tempat lelaki bermata sipit itu membuat boneka sebelum pensiun dari pekerjaannya. Sebuah keputusan berat yang harus dia ambil mengingat usianya yang sudah semakin renta.

Woohyun bersenandung riang sambil membawa Sunggyu ke halaman belakang rumah mereka, dimana pohon sakura berjejer rapi dengan bunganya yang bermekaran. Bunga-bunga itu berterbangan tertiup angin yang berhembus dengan pelan.

"Apa kau kedinginan, Gyu?" tanya Woohyun dengan raut khawatir saat Sunggyu tiba-tiba batuk.

Sunggyu menggelengkan kepalanya sebelum tersenyum. "Jaket ini cukup tebal, jangan khawatirkan aku"

Pemuda itu tak menjawab, dia hanya menatap Sunggyu yang sedang menikmati pemandangan di depannya.

"Waktu berlalu dengan cepat, ya" Sunggyu berucap setelah lama mereka terdiam.

"...Ya, kau benar"

Sunggyu kini menatap kekasihnya lekat. "Aku sangat bersyukur bisa hidup bersamamu,"

Pemuda tampan itu berlutut di hadapannya. "Seharusnya aku yang mengucapkan itu, Gyu"

"Kuharap jika aku terlahir kembali nanti, aku ingin bisa bertemu denganmu lagi" mata Sunggyu menatap di kejauhan, membuatnya tak bisa melihat raut sedih yang diperlihatkan Woohyun..

 

'Kau tidak akan pergi, Gyu'

 

Ingin sekali Woohyun mengatakan itu, tapi.. hal itu akan membuatnya menjadi seorang pembohong. Dia tahu Sunggyu akan pergi meninggalkannya cepat atau lambat.

Yang bisa ia lakukan hanyalah menggenggam erat tangan Sunggyu yang terasa dingin. "Tanganmu dingin, ayo kita masuk ke dalam"

Woohyun hendak berdiri saat Sunggyu menarik tangannya dan menolak permintaan pemuda itu.

"Aku ingin tetap disini,"

"Tapi-"

"Nam Woohyun."

Woohyun terpaksa menuruti keinginan Sunggyu dengan berat hati saat kekasihnya itu menyebut nama lengkapnya. Sunggyu menangkupkan kedua tangannya ke wajah pemuda berambut hitam itu, ibu jarinya bergerak untuk mengusap wajahnya yang masih terlihat muda meskipun sudah berpuluh-puluh tahun lamanya mereka bersama.

"Yang pak tua ini inginkan hanyalah dapat bersama denganmu di detik terakhirnya,"

Woohyun tak bisa menahan air matanya lagi setelah mendengar ucapan Sunggyu. "Jangan berkata seperti itu! Aku tak ingin mendengarnya."

Sunggyu tersenyum sebelum memeluk Woohyun. "Jangan menangis. Dasar cengeng" ejeknya dan menepuk pelan punggung kekasihnya.

"Aku mencintaimu jadi jangan tinggalkan aku, tetaplah bersamaku"

Lelaki bermata sipit itu mendesah pelan. "Aku mencintaimu juga."

Dia melepaskan pelukannya dan dan mengusap air mata Woohyun. “Sudah berapa tahun kita bersama? 40 tahun? Berarti umurmu sudah lebih dari 100 tahun tapi kenapa kau cengeng sekali?”

Woohyun mendelik kesal dan menghembuskan napasnya kasar. “Biarkan saja”

Sunggyu tertawa dan menepuk puncak kepala Woohyun sebelum menggenggam tangannya “Lihatlah, bunga-bunganya sedang menari”

Pemuda itu mengangkat wajahnya dan menatap takjub bunga-bunga sakura yang jatuh tertiup angin dan berterbangan ke arah mereka.

Sunggyu mendesah pelan. Genggamannya semakin erat dan membuat Woohyun menatapnya dengan khawatir. Mata Sunggyu tertutup dan hembusan napasnya semakin melemah. Pemuda itu membawa Sunggyu dalam pelukannya saat genggaman di tangannya melemah.

“Terima kasih, Woohyun” ucap Sunggyu dengan nada lirih. “Untuk semuanya”

Tubuh Sunggyu terkulai lemah dalam pelukan Woohyun, membuatnya semakin mengeratkan pelukannya.

 

He’s gone. Sunggyu is gone.

 

 

"=_="

Sebuah mobil melaju melewati jalan yang dikelilingi bukit-bukit kecil. Mobil berwarna hitam itu melaju menuju sebuah mansion yang berada di puncak bukit. Seorang pemuda yang mengemudikan mobil itu beberapa kali melirik seorang wanita yang duduk di sampingnya, mata wanita itu tertutup kain.

"Apa kita sudah sampai?" tanya wanita tadi saat si pemuda menghentikan mobilnya. "Hei! Kau mau kemana?!" ucapnya panik saat pemuda itu turun dari mobil tanpa berkata apapun.

Wanita itu hendak melepas kain penutup matanya namun dengan cepat dicegah oleh si pemuda tadi, yang lalu menuntunnya keluar dari mobil.

"Kau tidak membawaku ke tempat yang seram, kan?" tanyanya saat pemuda itu memegang pundaknya dan menyuruhnya untuk berjalan perlahan. "Jung Taekwoon, jawab aku!"

"Bersabarlah. Kau akan melihatnya sebentar lagi, Hanna" pemuda yang bernama Taekwoon tadi akhirnya mengeluarkan suaranya.

Taekwoon membimbing Hanna hingga lebih dekat dengan mansion yang terlihat tua itu sebelum menghentikan langkahnya.

"Aku akan melepas penutup matanya," Hanna mengangguk dan Taekwoon melepas penutup mata itu.

Perlahan wanita dengan rambut hitam sebahu itu membuka matanya, yang segera membulat ketika dia melihat sekelilingnya. Dia berbalik menghadap Taekwoon dengan senyum lebar menghiasi wajah manisnya.

"Apa kau benar-benar membeli rumah ini?" Taekwoon hanya mengangguk sambil tersenyum menjawab pertanyaan istrinya itu.

Hanna memekik senang sebelum berlari memeluk pemuda tampan itu. Taekwoon tertawa menyikapi kelakuannya dan perlahan melepas pelukan Hanna.

"Jangan memelukku terlalu erat, bagaimana jika anak kita terhimpit?"

Hanna mengusap perutnya yang sudah membesar dengan senyum di wajahnya. "Maafkan Mama," ucapnya, tinggal menghitung beberapa minggu sebelum malaikat kecil mereka lahir.

"Sekarang lebih baik kita masuk ke dalam, aku masih punya kejutan untukmu" Taekwoon menggengam tangan Hanna dan berjalan menuju pintu mansion itu.

"Aku tak tahu kau bisa seromantis ini, Jung Taekwoon"

Wajah pemuda itu terlihat memerah, membuat Hanna semakin menggoda pemuda berumur 25 tahun itu.

"Apakah ini caramu berterima kasih pada orang yang memberimu hadiah?" pemuda itu berjalan lebih cepat dan membuka pintu bercat putih yang warnanya sudah kusam itu.

Hanna berusaha mengimbangi langkah Taekwoon sebelum memajukan bibirnya. "Hei, tunggu aku!" wanita itu menggembungkan pipinya saat suaminya mengacuhkannya. "Maafkan aku~"

Dia tersenyum saat Taekwoon menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Suaminya itu memang tak bisa marah dalam waktu yang lama.

"Bagian dalam rumah ini sudah direnovasi tapi masih perlu banyak perbaikan di bagian luar dan di lantai atas,"

"Apa kau sendiri yang merenovasi rumah ini?" Hanna menatap suaminya takjub saat dia mengangguk.

"Dengan bantuan Wonshik dan Hongbin," jawabnya.

Hanna duduk di sofa panjang berwarna light pink saat mereka berada di ruanh tamu. "Aku tak percaya kau melakukan ini sendiri, kenapa kau tak meminta jasa perbaikan bangunan saja?"

Taekwoon mendudukkan dirinya di samping Hanna. "Aku hanya ingin melakukannya,"

Wanita berambut cokelat itu meninju lengan Taekwoon sebelum meletakkan kepalanya di pundak suaminya.

"Terima kasih, untuk semuanya"

"Jangan berkata seperti itu, sudah menjadi tugasku untuk membahagiakanmu"

.

.

.

.

Hanna dan Taekwoon menempati rumah baru mereka seminggu kemudian setelah renovasinya selesai. Mereka kini tengah membereskan isi gudang yang penuh dengan benda-benda peninggalan pemilik rumah sebelumnya.

"Kenapa banyak sekali boneka disini? Apa pemilik sebelumnya suka mengoleksi boneka?" tanya Hanna saat melihat boneka-boneka kayu yang diletakkan di dalam lemari.

“Wonshik memberitahuku jika kakak dari kakeknya, penghuni rumah sebelumnya, dulunya seorang pembuat boneka. Kurasa karena itulah ada peralatan pahat dan boneka-boneka itu disini”

Wanita itu mengangguk mengerti dan berjalan menuju sebuah kotak kaca yang menyita perhatiannya, kotak kaca itu berisi sebuah boneka yang duduk di atas kursi dan sebuah kursi roda diletakkan di sampingnya.

Wanita muda itu perlahan membuka kotak kaca tadi dan mengeluarkan boneka itu. Dia membenarkan topi fedora hitam yang dipakainya dan melihat sebuah kalung berbandul cincin melingkar di leher boneka berwujud laki-laki itu.

"Pemiliknya tak akan keberatan jika aku mengambilnya, kan?" gumamnya sebelum memanggil Taekwoon untuk mendekat.

"Ada apa?" tanya Taekwoon saat dia sudah berada di sampingnya.

"Lihat apa yang kutemukan!" serunya sambil menunjukkan boneka tadi dengan senyum lebar di wajahnya.

"Kau tak boleh mengambil barang milik orang lain,"

Hanna langsung cemberut. "Tapi boneka ini diletakkan di gudang, berarti pemiliknya sudah tak membutuhkannya lagi, kan?" balasnya tak mau kalah.

"Tetap saja itu milik orang lain," Hanna tetap cemberut dan kini membuang wajahnya, membuat Taekwoon menghela napasnya. “Baiklah, kau boleh memilikinya. Tapi jika pemiliknya datang dan memintanya kembali, kau harus mengembalikan boneka itu”

Wanita itu mengangguk senang dan membawa boneka barunya masuk ke dalam rumah, Taekwoon mengikutinya dari belakang. Dia berjalan menaiki tangga menuju lantai dua rumah mereka yang baru saja selesai di renovasi. Langkahnya terhenti di depan pintu sebuah ruangan berwarna merah tua dan membukanya. Di dalam ruangan itu terdapat banyak perlengkapan bayi, mulai dari box bayi, kereta bayi dan aksesoris-aksesoris bayi lainnya.

“Mama tak sabar untuk bertemu denganmu,” bisiknya sambil mengelus perutnya sebelum meletakkan boneka itu ke dalam box bayi.

Pemuda bertubuh tinggi itu memeluk Hanna. “Sama juga denganku,” ucap pemuda itu sebelum keduanya tertawa.

 

Their voices somewhat awaken a sleeping soul inside their new doll.

 

 

"=_="

Pertama kali Woohyun dapat menggerakkan tubuhnya kembali saat dia mendengar suara seorang wanita yang sedang menyenandungkan sebuah lagu. Dia mengedarkan pandangannya dan menyadari dirinya berada di dalam sebuah kotak berisi boneka-boneka.

Dengan perlahan dia menggerakkan tangannya dan menyentuh wajahnya. ‘Bagaimana.... bisa?’

Di tengah keterkejutannya, dia mendengar suara wanita itu tertawa kecil dan membuatnya penasaran. Woohyun bergerak perlahan menuju sisi tepi kotak itu dan mengangkat tubuhnya sedikit, cukup untuk melihat apa yang sedang terjadi di luar.

Dia melihat seorang wanita berambut cokelat sedang menatap sehelai baju bayi dengan senyum di wajahnya.

‘Siapa dia? Pemilik baruku?’

Wanita itu lalu melipat baju bayi tadi dan memasukkannya ke dalam lemari pakaian yang penuh dengan pakaian-pakaian bayi sebelum melangkah keluar dari ruangan itu. Woohyun yang sejak tadi diam memperhatikannya memanjat keluar dari tempatnya berada. Dia berjalan keluar dengan hati-hati, melewati koridor yang menuntunnya menuju sebuah kamar yang sangat familiar baginya. Kamar yang dulu ia tempati bersama Sunggyu.

Pemuda yang berada dalam wujud bonekanya itu melangkah masuk ke dalam kamar itu dengan perasaan sedih, semua yang berada di dalam kamar itu sudah berubah total.

"Tentu saja, sudah berapa lama sejak dia meninggal?" gumamnya dan berniat kembali ke ruangan tempat dia bangun tadi jika saja dia tak melihat seorang wanita yang berdiri sambil menatapnya dengan wajah terkejut.

.

.

.

.

"Namaku Hanna, Jung Hanna"

Wanita tadi, Hanna, mencoba mengajak Woohyun bicara namun tak ada respon. Hanna lalu menarik kursi yang didudukinya lebih dekat dengan Namu yang tengah duduk di tepi tempat tidur sambil menundukkan wajahnya.

“Apa kau sudah lama tinggal disini?”

Pemuda itu kini mengangkat wajahnya dan menatap Hanna dengan tatapan tajam. “Kau tidak takut padaku?”

Wanita itu tampak terkejut dengan jawaban yang diberikan Woohyun namun lalu menggelengkan kepalanya. “Untuk apa aku harus takut denganmu?”

“Apa kau tidak berpikir sebuah boneka yang dapat bergerak dan berbicara itu menakutkan?” tanya Woohyun masih dengan nada dinginnya.

Wanita berambut cokelat itu sekali lagi menggelengkan kepalanya. “Tak ada yang perlu aku takutkan darimu. Lagipula kau tidak terlihat berbahaya bagiku,”

Woohyun tak habis pikir, bagaimana mungkin wanita di hadapannya ini bisa sangat tenang dan tidak ketakutan melihatnya, bahkan Sunggyu saja sangat ketakutan saat pertama kali bertemu dengannya.

“Tapi.. bagaimana kau bisa bergerak? Apa kau boneka penunggu rumah ini?” tanyanya dengan antusias.

“Aku adalah sebuah boneka yang dibuat agar bisa bergerak dan berbicara saat menerima kasih sayang dari pemilikku. Aku juga bisa berubah wujud menjadi seukuran manusia,” jelas Woohyun dan Hanna menatapnya dengan takjub.

“Aku memang pernah mendengar berita tentangmu tapi aku tidak menyangka jika kau benar-benar ada. Tapi kenapa kau disimpan di dalam gudang? Kemana pemilikmu pergi”

Raut wajah Woohyun berubah dan tatapannya menjadi kosong. “Pemilikku...orang yang dulu tinggal di rumah ini.. dia sudah meninggal”

“Maafkan aku, seharusnya aku tidak menanyakan tentang itu”

Keadaan menjadi hening. Woohyun yang terlarut dalam pikirannya dan Hanna yang tak tahu harus berbuat apa-apa membuat suasana tiba-tiba menjadi cukup canggung.

“Hei.. namamu. Kau belum memberitahuku tentang namamu,”

Pemuda itu menatap Hanna lekat. “Namaku Nam Woohyun”

Hanna tersenyum lebar. “Senang bertemu denganmu, Woohyun”

 

And for the second time, Woohyun felt he’s welcomed in this house.

 

 

"=_="

Woohyun mendesah pelan sambil menatap bosan ke arah jendela. Sudah hampir 2 minggu dia tak melihat Hanna sejak dia dan Taekwoon pergi ke rumah sakit. Dia mulai berpikir jika mereka tak akan pulang dalam waktu cepat.

“Ini membosankan,” gumamnya dan memilih untuk memanjat turun dari jendela.

Pemuda itu lalu merubah wujudnya dalam ukuran manusia dan melangkah keluar dari kamar yang nanti akan ditempati oleh anak Hanna.

“Apa yang sedang mereka lakukan sekarang?”

Kaki jenjangnya membawanya berjalan menuruni tangga dan memasuki ruang tamu. Woohyun mendudukkan dirinya di sofa sebelum memperhatikan foto-foto yang menghiasi dinding ruang tamu.

Di antara foto-foto itu ada sebuah foto dirinya bersama Sunggyu yang sengaja Hanna pasang untuk menghormati kekasihnya itu. Woohyun benar-benar berterima kasih pada wanita yang kini menjadi teman bicaranya itu dan berjanji akan melakukan apapun untuk membalas kebaikannya.

Woohyun terperanjat kaget saat mendengar suara mesin mobil dari luar. Dia segera berlari menaiki tangga dan bergegas memasuki kamar milik anak Hanna, tak lupa untuk merubah wujudnya kembali menjadi boneka.

Dia mendengar suara tawa yang lemah dari Hanna, namun masih terdengar bahagia. Untuk suatu alasan, pemuda itu merasa gembira sekaligus gugup saat mendengar suara langkah kaki yang perlahan mendekat. Napas pemuda itu tercekat saat Taekwoon dan Hanna melangkah masuk ke kamar itu, dengan Hanna yang sedang menggendong bayinya.

Dengan perlahan, wanita itu membaringkan bayinya di dalam box bayi dan merapikan selimut yang sedikit menutupi wajahnya, membuat Woohyun dapat melihat dengan jelas wajahnya.

Hello, my baby boy” Hanna tersenyum sambil menatap wajah bayi laki-lakinya. “My little Taekyeon,”

Woohyun menatap lama pada Taekyeon yang tengah tertidur itu hingga tiba-tiba dia membuka matanya. Pemuda itu mengira bayi itu akan menangis, namun yang dia lakukan hanya mengedarkan pandangannya sebelum matanya tertuju pada Woohyun. Mereka sama-sama terdiam hingga Taekyeon membuat suara seperti sedang tertawa, membuat pemuda itu membulatkan matanya.

“Kau punya tawa yang lucu!” Hanna berseru dengan senyum lebarnya.

Woohyun masih menatap bayi itu dengan mata bulatnya. Entah kenapa dia merasa jika Taekyeon sedang tersenyum padanya, yang membuatnya membalas senyuman itu.

Hanna lalu mendekatkan wajahnya ke arah Woohyun masih dengan senyumannya. “Sekarang kau punya satu teman lagi,” bisiknya, cukup lirih agar Taekwoon tak mendengar ucapannya.

Pemuda itu menganggukkan kepalanya. Di dalam hatinya dia sudah membulatkan tekadnya.

I promise to protect him with my all my might

.

.

.

.

Woohyun benar-benar memegang janjinya. Dia menjaga Taekyeon dari semua hal berbahaya, seperti ketika bayi itu berusaha menjangkau sesuatu yang dapat melukainya. Bahkan dia akan berubah wujud jika Taekwoon tak berada di rumah agar membuatnya lebih mudah menjaganya.

Dalam satu tahun, Taekyeon benar-benar menempel pada Woohyun. Taekyeon akan menjadi susah tidur jika pemuda itu tak berada di sampingnya. Hal itu cukup membuatnya kerepotan, karena Woohyun harus tetap berada dalam wujud manusianya dan menemani Taekyeon dengan perasaan takut, kalau-kalau Taekwoon berjalan masuk dan menemukan seorang pria misterius sedang bersama anaknya di tengah malam.

“Uhyeon”

Woohyun dan Hanna tersentak kaget mendengar kata pertama yang diucapkan Taekyeon. Pemuda itu terlihat sangat terkejut sampai-sampai dia tidak mempedulikan Hanna yang menertawakan dirinya. Dia bingung kenapa Hanna tak marah padanya, bukankah seharusnya kata pertama Taekyeon memanggil dirinya atau ayahnya? Tapi malah nama Woohyun yang pertama kali diucapkan oleh bayi yang umurnya baru genap satu tahun itu.

“Kenapa kau tidak marah padaku?”

Hanna mengusap air matanya akibat tertawa tadi dan menepuk pundak Woohyun. “Untuk apa aku marah? Meskipun aku sedikit kecewa kata pertamanya bukan untukku, tapi ini berarti kau juga menjadi orang penting bagi Taekyeon” Woohyun hanya terdiam, tak tahu apa yang harus dia katakan.

Saat Taekwoon pulang, Hanna segera memberitahu suaminya itu jika anak mereka sudah mengucapkan kata pertamanya dan kali ini, Taekyeon mengucapkan kata ‘Mama’. Wanita itu terpaksa berbohong jika itulah kata pertama yang keluar dari bayi laki-laki itu, meskipun sebenarnya itu nama Woohyun.

 

 

“=_=”

Saat Taekyeon berumur 5 tahun, Taekwoon menduga siapa Woohyun yang namanya sering disebut oleh anak semata wayangnya itu, seorang teman khayalan. Pemuda itu tentu tidak keberatan hanya dianggap sebagai seorang teman khayalan.

“Jadi seperti apa Woohyun itu?”

Taekwoon tiba-tiba bertanya saat mereka berkumpul di meja makan untuk sarapan. Hanna hampir saja tersedak minumannya saat mendengar pertanyaan tak terduga dari suaminya.

“Dia sangat baik dan punya tubuh yang sangat tinggi! Woohyun selalu menemaniku bermain, bahkan dia pernah mengajakku terbang!” Taekyeon membentangkan tangannya ke udara saat mengucapkan hal itu.

Pemuda dengan nama lengkap Jung Taekwoon itu lalu menatap Hanna yang hanya bisa tersenyum canggung.

“Ayo cepat habiskan makananmu, kau tak ingin terlambat di hari pertama sekolah, kan?” Hanna berucap sambil menyiapkan tas sekolah Taekyeon.

Bocah laki-laki itu menggelengkan kepalanya dan cemberut. “Aku ingin Woohyun ikut juga!” jawabnya dan memeluk Woohyun yang dalam wujud boneka.

“Taekyeon, Woohyun tak bisa pergi ke sekolah bersamamu. Dia terlalu besar untuk pergi ke taman kanak-kanak,” Hanna beralasan.

“Lalu aku juga tidak mau pergi sekolah!” rajuknya sambil menggembungkan pipinya.

Wanita berambut cokelat itu menghampiri Taekyeon dan mengusap pipinya. “Jika kamu seperti ini, Woohyun tak akan mau bermain bersamamu lagi. Dia akan sedih jika Taekyeon tidak mau pergi sekolah dan merajuk, kamu mau Woohyun bersedih?”

Taekyeon kembali menggelengkan kepalanya. “Kalau begitu Taekyeon mau sekolah!” serunya dan membuat Hanna tersenyum.

Good boy,

.

.

.

.

Tetapi seiring berjalannya waktu, Taekyeon mulai benci untuk pergi sekolah. Dia tidak dapat bersosialisasi sehingga tak mempunyai teman. Bocah itu hanya ingin cepat pulang dan bermain dengan Woohyun. Sikapnya pun mulai berubah menjadi pemarah dan suka melawan gurunya.

“Aku tak dapat membiarkan hal ini lagi,” Taekwoon berucap. “Dia harus berhenti memikirkan ‘teman’nya itu”

Taekwoon sengaja pulang cepat dari kantornya setelah mendapat telepon dari sekolah Taekyeon. Entah berapa kali dia mendapat telepon dari guru anaknya itu tentang kelakuan Taekyeon yang berani memukul teman sekelasnya yang sebenarnya ingin berteman dengannya.

“Sudahlah, kau tahu dia masih kecil,” Hanna mencoba menenangkan suaminya, dia juga tak ingin Woohyun mendengar tentang percakapan mereka itu.

“Tapi dia perlu berpikir realistis! Dia harus bisa melupakan teman khayalannya itu!” Taekwoon berargumen dan duduk di sofa ruang tamu dengan amarah yang jelas terlihat di wajahnya.

Hanna duduk di samping Taekwoon dan mengusap pundaknya. “Tapi kita tidak bisa memaksanya untuk melupakan temannya begitu saja,”

“Tak peduli bagaimana caranya, aku akan membuatnya bisa melupakan ‘teman’ khayalannya itu,”

Hanna tak dapat berdebat lagi. Jika Taekwoon sudah membuat keputusan, maka akan sulit untuknya agar suaminya mau merubah keputusannya.

Saat malam tiba, Woohyun seperti biasa menidurkan Taekyeon. Kali ini Hanna juga bersama mereka karena Taekwoon kembali ke kantor untuk mengurus pekerjaan yang ia tinggalkan siang tadi.

Setelah memastikan bocah itu tertidur, Woohyun berbalik dan mendapati Hanna sedang melamun. Pemuda itu tahu alasan mengapa wanita yang selalu ceria itu menjadi murung.

“Maafkan aku, tapi tadi siang aku tak sengaja mendengar percakapanmu dengan Taekwoon”

Hanna mengangkat wajahnya dengan wajah terkejut. “Woohyun, aku..”

“Itu bukan salahmu. Jika memang untuk kebaikan Taekyeon, aku tak akan menunjukkan diriku di depannya lagi.”

Woohyun benar-benar merasa bersalah. Dia tak sadar saat dia terus-terusan bertemu dengan Taekyeon, dia juga telah merusak masa depannya, membuatnya menjadi anak nakal dan tak menuruti ucapan orang tuanya. Pemuda berambut hitam itu menatap Taekyeon yang tertidur pulas sebelum mengelus pipinya. Dia sudah memutuskan ini waktunya bagi Taekyeon untuk melupakannya, menganggap Woohyun hanyalah sebuah khayalannya semata.

 

 

“=_=”

Hari berikutnya, Taekyeon mencari Woohyun setelah dirinya pulang sekolah. Bocah itu terus memanggil namanya sambil menangis, membuat Woohyun berusaha keras untuk tidak menghampirinya. Saat orang tuanya memberitahunya jika temannya itu sudah ‘pergi’, Taekyeon mengamuk dan tak mau pergi ke sekolah selama berhari-hari, bahkan sangat sulit untuk mengajaknya makan.

Sekitar seminggu sejak kejadian itu, Taekyeon mulai berhenti memanggil Woohyun dan terkadang dia akan pergi ke kamarnya sambil berbicara sendiri, seolah mengajak pemuda itu bicara. Pemuda itu tentu saja dapat mendengarnya, namun tak mempunyai keberanian untuk muncul di hadapan Taekyeon lagi.

Setelah beberapa lama, bocah itu berhenti mengajak Woohyun bicara dan bahkan mulai menduga jika Woohyun tak pernah ada. Hal itu tentu saja membuat Taekwoon senang karena anaknya mulai menujukkan perubahan, bahkan Taekyeon sekarang mau pergi ke sekolah lagi dan merubah perilakunya di hadapan teman-teman serta gurunya, dia juga akhirnya mendapat banyak teman.

Tahun-tahun berlalu dengan cepat, kini Taekyeon sudah di tahun pertama SMP dan dia sudah tidak mencari Woohyun lagi. Taekyeon yang kini sudah beranjak remaja menikmati hari-harinya di sekolah, bahkan dirinya mendapat nilai bagus di setiap mata pelajaran. Remaja itu bahkan aktif ikut berbagai kegiatan di sekolahnya, jauh berbeda dengan Taekyeon semasa kecil dulu.

Woohyun menyadari jika semakin Taekyeon tumbuh besar, wajahnya mengingatkannya pada Sunggyu. Mereka benar-benar memiliki penampilan fisik yang serupa meskipun Taekyeon masih remaja. Woohyun bersyukur Taekyeon tidak menyingkirkan dirinya disaat semua mainan masa kecilnya ia simpan. Hal itu membuatnya dapat menatap wajah yang mengingatkannya dengan Sunggyu itu lebih lama.

‘Sunggyu, apakah tidak apa-apa jika aku jatuh cinta lagi?’

.

.

.

.

Woohyun dengan rasa penasaran memperhatikan Taekyeon yang mengeluarkan kanvas putih dan peralatan-peralatan melukis lainnya dari dalam kotak yang ia bawa. Remaja itu lalu mengambil kursi dan memasang headphone-nya.

Pemuda tampan itu juga terus memperhatikan Taekyeon yang sedang melukis sesuatu dengan serius. Hingga setelah lukisan itu hampir selesai barulah Woohyun menyadari apa yang sedang anak yang telah ia jaga bertahun-tahun itu lukis. Taekyeon sedang melukis dirinya.

Dia tak berpikir jika Taekyeon masih mengingatnya meskipun bertahun-tahun sudah berlalu dan tak menyangka remaja itu masih mengingat wajahnya.

“Seandainya bisa.. aku ingin bertemu denganmu lagi, Woohyun” ucap Taekyeon sambil menatap lukisan Woohyun yang baru saja selesai.

“Aku juga,” pemuda itu juga mengeluarkan suaranya. “Aku ingin berhenti sembunyi,”

Woohyun merasa tak perlu khawatir jika Taekyeon dapat mendengar ucapannya karena headphone-nya masih menempel di telinganya. Namun sebenarnya, Taekyeon hanya memakainya tanpa menyalakan musik dan dapat mendengar dengan jelas ucapan Woohyun.

“Hei, Woohyun. Saat berolahraga tadi pagi di hutan, aku tak sengaja menemukan sebuah danau yang dikelilingi pohon sakura, di sana benar-benar indah” kali ini Taekyeon tersenyum sebelum menutup matanya. “Aku ingin bertemu denganmu di tempat itu.”

 

 

“=_=”

Keesokan harinya, Woohyun tak menemukan Taekyeon di kamarnya. Awalnya dia berpikir jika Taekyeon sedang pergi jalan-jalan hingga hari-hari berikutnya dia juga tak ada. Bahkan Hanna yang khawatir akhirnya menanyakan kemana anaknya pergi pada Woohyun.

“Jadi kau juga tidak tahu kemana dia pergi?”

Woohyun menggelengkan kepalanya, kini dia mulai panik dan merasa tak menjalankan kewajibannya sebagai pelindung Taekyeon.

“Kau bicara dengan siapa?”

Keduanya terperanjat saat Taekwoon berjalan masuk ke kamar Taekyeon, terdapat lingkaran hitam di bawah matanya akibat kurangnya istirahat. Pemuda bernama lengkap Jung Taekwoon itu terlihat sangat kelelahan akibat mencari putra semata wayang mereka.

“K-kau pulang? Bagaimana? Apa anak kita belum ditemukan?” tanya Hanna yang berusaha mengalihkan percakapan mereka.

“Aku sudah menghubungi semua teman Taekyeon tapi tak ada satupun yang tahu keberadaannya. Aku juga sudah meminta bantuan polisi,” pemuda itu lalu berjalan menuju lukisan Woohyun. “Apa hilangnya Taekyeon ada hubungannya dengan orang ini?”

Hanna segera bangkit dari duduknya. “Dia tak ada hubungannya dengan ini!”

Taekwoon menatapnya curiga. “Kenapa kau bisa berkata seperti itu? Apa kau mengenal orang ini?” kali ini Taekwoon menghampiri istrinya dan memegang pundaknya. “Jung Hanna.”

Wanita itu melirik Woohyun yang mengangguk pelan padanya sebelum bertemu mata Taekwoon. “Dia.. Woohyun”

“Woohyun? Teman khayalannya itu? Apa Taekyeon mulai memikirkannya lagi?”

“Tidak. Dia bukan hanya sekedar khayalan Taekyeon, dia benar-benar nyata dan sudah tinggal di rumah ini bahkan sebelum kita menempati rumah ini”

“Apa maksudmu dia hantu? Ayolah Hanna, ini bukan saatnya untuk bercanda,” Taekwoon mulai kesal mendengar penjelasan Hanna yang dia anggap tak masuk akal.

“Tapi-”

“Aku benar-benar nyata, Tuan Jung”

Pasangan suami istri itu membelalakkan mata mereka saat Woohyun berjalan menghampiri mereka. Dia lalu berubah wujud ke bentuk manusia dan melepas topi fedora yang dipakainya.

“Woohyun..”

“Aku tahu ini tiba-tiba... tapi kurasa aku tahu dimana anak kalian berada sekarang,”

.

.

.

.

Woohyun berlari secepat mungkin memasuki hutan, hanya satu tempat yang ada dipikirannya sekarang dan dia berharap Taekyeon benar-benar berada disana. Setelah memberi penjelasan singkat siapa dirinya pada Taekwoon yang masih terkejut dia segera pergi mencari Taekyeon.

Dia melintasi jalan setapak yang sangat ia kenal karena dulu dia juga pernah pergi ke danau yang disebutkan Taekyeon bersama Sunggyu. Jalan kecil itu membimbingnya ke sebuah danau dengan air berwarna biru terang dan pohon-pohon sakura di sekelilingnya.

Dengan napas terengah-engah dia mengedarkan pandangannya untuk mencari Taekyeon. Dia menemukan tas yang biasa Taekyeon pakai untuk sekolah berada di samping danau.

“Kau benar-benar datang,” Woohyun berbalik dan menemukan Taekyeon sedang berdiri di belakangnya sambil tersenyum, senyum yang sangat mirip dengan senyum milik Sunggyu.

“Taekyeon, kenapa kau tidak pulang? Kau tak tahu seberapa khawatirnya orang tuamu saat kau pergi,”

“Aku.. minta maaf. Tapi jika aku tidak melakukannya, kau tidak akan menunjukkan dirimu” senyum Taekyeon kini menghilang dan mulai menggigit bibir bawahnya.

“Kenapa kau ingin bertemu denganku?”

“Karena.. karena aku menyukaimu!” Mata Woohyun terbelalak mendengar pernyataan Taekyeon. “Sejak aku kecil kau sudah menjagaku dan saat kau pergi, aku tak tahu apa yang harus kulakukan”

“Tapi bukankah kau baik-baik saja sekarang?”

“Apakah kau pikir aku memang baik-baik saja? Kau tak pernah tahu apa yang harus kulalui untuk berusaha melupakanmu, tapi tetap saja aku tak bisa menghapus semuanya dari ingatanku” Taekyeon meraih baju Woohyun dan menggenggamnya erat dengan tangannya yang gemetar.

“Tapi bagaimana jika aku tidak muncul? Kenapa kau sangat yakin jika aku akan datang?”

Lelaki yang lebih muda darinya itu menatap Woohyun dengan mata berairnya. “Aku percaya kau pasti akan datang.”

Woohyun menghela napasnya dan melepaskan genggaman Taekyeon dengan lembut, membuat remaja itu menatapnya dengan wajah bingung. Pemuda tampan itu kembali dalam wujud bonekanya sambil mendongakkan kepalanya untuk memperhatikan setiap perubahan ekspresi Taekyeon.

“Apa kau tak takut padaku? Aku dikenal dengan sebutan boneka terkutuk karena dapat bergerak,”

Taekyeon terlihat terkejut namun tak berselang lama, dia tersenyum kembali. “Jadi selama ini kau selalu berada di sampingku dengan wujud itu?” dia berlutut untuk menyamakan tingginya dengan Woohyun. “Untuk apa aku takut padamu? Kau selalu bersamaku dan menjadi pelindungku,”

Pemuda tampan itu kembali terdiam sambil menatap Taekyeon. Penampilan fisiknya yang benar-benar serupa dengan Sunggyu itu membuat Woohyun berpikir Tuhan memberikannya kesempatan kedua untuk jatuh cinta lagi.. dengan orang yang sama.

Dia kembali ke bentuk manusianya dan menggenggam tangan Taekyeon yang sontak membuat pipi remaja itu memerah. Woohyun menariknya pelan dan menuntunnya pulang. Taekyeon tak tahu apakah Woohyun marah karena dia pergi dari rumah atau karena dia menyatakan perasaannya, tapi mungkin juga keduanya.

“Hei, apa kau marah?” Taekyeon yang tak bisa menahan suasana canggung di antara mereka akhirnya membuka mulutnya.

“Tidak,”

Taekyeon yang tak merasa puas dengan jawaban Woohyun segera menghentikan langkahnya, memaksa pemuda itu untuk berhenti juga.

“Ada apa?”

Taekyeon mengalihkan pandangannya sambil menggembungkan pipinya saat Woohyun berbalik. Karena ini pertama kalinya Woohyun kembali bicara dengan Taekyeon setelah bertahun-tahun, dia tak begitu mengetahui sifat orang yang telah mencuri hatinya itu. Namun satu hal yang dapat Woohyun simpulkan, bukan hanya penampilan fisiknya saja, bahkan sifatnya sangat mirip dengan Sunggyu yang sedang merajuk.

Pipi Woohyun memerah saat tiba-tiba dia menangkup wajah Taekyeon sebelum mendekatkan wajahnya. Woohyun was kissing Taekyeon. “Aku menyukaimu juga jadi jangan pergi seperti ini lagi, jangan membuatku khawatir lagi” ungkapnya dan berjalan pergi meninggalkan Taekyeon yang berdiri mematung.

Pemuda itu berbalik dan berdecak kesal saat Taekyeon ternyata tidak mengikutinya. “Ayo kita pulang, orang tuamu sudah menunggumu” serunya dengan nada kesal namun mengulurkan tangannya, menunggu Taekyeon untuk menggenggamnya.

Taekyeon menyentuh bibirnya sebelum tersenyum lebar. Dia lalu berlari untuk mengejar Woohyun yang sudah jauh di depan dan menerima uluran tangannya, pemuda tampan itu tersenyum sambil mengeratkan genggamannya.

Mereka berjalan sambil bergandengan tangan hingga sampai di depan kediaman keluarga Jung. Hanna dan Taekwoon menyambut mereka saat keduanya masuk ke dalam rumah itu. Taekwoon dengan canggung menyapa Woohyun, sepertinya Hanna sudah menjelaskan semuanya pada suaminya itu. Dan untuk Taekyeon, Hanna memberi anak itu sebuah pukulan di kepalanya dan menghukumnya dengan mengambil semua koleksi komiknya.

 

And so, their relationship changed from that day. Woohyun can freely roaming around the house after Taekwoon knew everything about him. Both Hanna and Taekwoon didn't even argue after Taekyeon told them about being in a relationship with Woohyun.

Once again, Woohyun fell in love with the same yet different Sunggyu. He thanked God after given him another chance to fall in love again, with the same person. And after years later, their relationship still lasts.

And this time, when Taekyeon passed away, Woohyun without hesitating even once, he wanted to stay beside him even when he died.

Finally, their bodies were cremated together and their ashes were put in the same place, to show that they're still together even in different world.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
ruuann
#1
Chapter 1: hebat thor.
saya juga sudah membaca yang "A Broken Doll", cerita keduanya menarik banget.
bahkan kesedihan para tokohnya pun turut terasa oleh saya sebagai pembaca.
terima kasih karena sudah menunjukkan rasa percaya dan kasih melalui kedua cerita ("A Broken Doll" & "After Life") ini. :-)
gari_chan #2
Chapter 1: wow.... Seperti sebuah keajaiban
akitou
#3
Chapter 1: huwa..... demi apa last paragraph make we cry.,...!!!!! woogyu love...,. chingu ff hidden prince ma death angel kpan diupdate....???? Im so really love this story..., coz keyword di blog ny di ganti akuny kgk bs bc ulang... update please....
akitou
#4
Chapter 1: huwa..... demi apa last paragraph make we cry.,...!!!!! woogyu love...,. chingu ff hidden prince ma death angel kpan diupdate....???? Im so really love this story..., coz keyword di blog ny di ganti akuny kgk bs bc ulang... update please....
blacksea04 #5
Chapter 1: Wow. this story touch my heart. Thank you!