Nobody But Me

Nobody But Me

Nobody but me

Created by: archiffaowiqlay & sieglinde sullivan

Deru mesin meraung tajam. Memenjarakan pendengaran, seolah tengah berada di sebuah tempat kecil dengan peredam suara di sekelilingnya. 

 

Suara gemeretak kayu tempat tubuh ini berbaring membuatku meringis. Sangat tidak nyaman, sungguh.

 

Aku menatap kegelapan dalam tatapan lurus. Rasanya tubuh ini tidak dapat bergerak. Namun di sudut mata, aku menangkap seberkas cahaya. 

 

Aku melirik mengikuti sumber cahaya, hingga mata ini menangkap sebuah meja nakas berwarna hitam dengan lampu tidur yang sudah redup—satu-satunya sumber cahaya di tempat ini—dan di sampingnya, terdapat sebuah sofa yang bisa menampung dua-tiga orang. Sofa itu terlihat sudah cukup berumur dengan busa yang menyembul di beberapa bagian. 

 

Seribu jarum terasa bagai menusuk kepala. Aku merasa pusing dan kepalaku terasa sangat berat.

 

Tanganku berusaha meraih sisi pinggir meja, mencoba untuk bangkit. Tubuhku terasa sangat berat. 

 

Perlahan, aku mengangkat badan bagian atas dan sedikit bertopang pada siku.

 

“Argh!”

 

Rasa sakit menerjang bagian belakang leher hingga kepala. Sepertinya, jika aku bertahan pada posisi kepala menggantung di batas meja lebih lama lagi, aku akan mati karena penyumbatan aliran darah.

 

Akhirnya aku berhasil terduduk. Aku melakukan olahraga kecil pada kepala. Berupaya agar pegal di leher ini segera lenyap.

 

Aku memandangi meja kayu tempatku berbaring. Meja ini ditutup oleh sebuah taplak bermotif lingkaran yang disusun bertumpuk secara abstrak.

Sebuah kesimpulan menelusup masuk ke pemikiran. Tempat ini kurang lebih mirip dengan sebuah ruang keluarga. Setidaknya, perabotannya. Ini perabotan yang biasa ditaruh di ruang keluarga.

 

Bagaimana caranya aku bisa ada di sini? 

 

Deru suara mesin seakan mencoba menjawab pertanyaanku. Aku mulai merasa takut dan was-was. 

 

Aku turun dari meja menyedihkan itu dan tanpa sadar berjalan menuju sebuah pintu yang sedikit terbuka . Kuyakin, ada sebuah ruangan di balik pintu ini.

 

Aku menarik pintu agar terbuka lebih lebar, sambil berusaha tidak menimbulkan suara sedikit pun.

 

Dapat kulihat seorang gadis tengah berbaring di atas sebuah ranjang. Ranjang yang biasa kulihat di rumah sakit. Lelehan bening berkilau diterpa cahaya lilin yang diletakan di samping meja operasi. Ranjang rumah sakit, dan meja operasi. Tempat apa sebenarnya ini?

 

Kupendarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan, memastikan bahwa tak ada orang lain di tempat ini. 

 

Ruangan tempat gadis itu berada di sebelah ruang tempat aku terbangun. Di seberangnya terdapat pintu tertutup yang bisa kutebak adalah pintu menuju ruang selanjutnya . Yeah, ruangan menuju ruangan lain. Cantik.

 

Atau mungkin, pintu itu menuju ke luar? Siapa yang tahu?

 

Jika hal itu memang benar, itu berarti pintu yang di sana adalah jalan keluar satu-satunya.

 

Perlahan kakiku melangkah mendekati ranjang. Lidahku kelu saat melihat begitu banyaknya goresan yang menghias kaki sang gadis. Ada satu goresan yang menyerupai relief karena terlihat daging menyembul dari luka itu. 

 

Wajah gadis itu terlihat lebih muda dariku. Sepertinya dia baru berumur 15-17 tahun. Remaja tanggung.

 

Aku baru menyadari bahwa benda-benda yang berada di atas meja operasi itu terlihat seperti peralatan bedah yang ada dalam nampan perak. 

 

Mulut sang gadis terbuka sedikit dengan dada yang kembang-kempis, napasnya terengah-engah, namun matanya tetap terpejam.

 

Deru mesin yang sedari tadi memenuhi pendengaranku, kini tidak lagi terdengar. Berhenti tiba-tiba, selaras dengan tubuhku yang terasa tiba-tiba mematung. 

 

Suara mesin digantikan dengan suara langkah. Aku merasa lumpuh total namun tetap dalam posisi berdiri. Bahkan menggerakkan mata saja rasanya sulit. Mataku seperti terpaku pada pintu. Menunggu sebuah sosok akan muncul dari balik pintu dan membuatku terkencing-kencing.

 

Suara langkah kaki mendekat. Dalam hening aku mendengar suara percikan api lilin dan napasku yang memburu. Aku bahkan merasa bisa mendengar degup jantung dan aliran darahku sendiri.

 

“Klik.”

 

“Krieeet—“

 

Kilau cahaya lilin yang terpantul pada gagang pintu perak, bergerak-gerak. Pintu membuka perlahan dan aku masih tetap di tempatku, mati rasa.

 

Kini pintu terbuka lebar dan menampilkan sebuah sosok laki-laki. Cahaya lilin tidak mampu menggapai keseluruhan wajahnya. Sebagian tertutup dalam bayang-bayang. Tapi aku dapat melihat seringainya.

 

Seringai bengis dan mengerikan.

 

Aku juga melihat sesuatu yang dibawa di tangan kanannya. 

 

Pria itu melangkah masuk. Menutup pintu dengan tangan kirinya tanpa berbalik badan. 

 

Langkahnya semakin mendekat. Wajahnya semakin jelas. Benda yang dibawa di tangan kanannya juga jelas.

 

Dia tersenyum dan melemparkan benda yang dia bawa. Sebuah kepala manusia. Kepala milik laki-laki yang mulutnya membuka dan lidahnya terjulur ke luar. Urat-urat lehernya terlihat jelas dan warna darahnya terlihat hitam karena pencahayaan yang minim ini.

 

Tapi bukan itu hal yang paling menakutkan. 

 

Aku melihat wajahnya. Wajah pria itu kini terlihat jelas. Tersenyum bengis dan bernapas layak binatang. 

 

Aku menatap wajahnya. Menatap wajah yang meniru milikku. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Bagaimana bisa?

 

Aku melihat diriku tersenyum memamerkan giginya. Tidak. Gigiku, tepatnya.

 

“Nah. Saatnya operasi.” 

 

Pria yang memakai tubuh mirip denganku berkata dengan nada menyeramkan. Aku bisa merasakan sifat ambisius dalam tiap nadanya.

 

Tiba-tiba aku merasakan tubuhku mulai bisa bergerak. Aku mundur selangkah.

 

Tumitku yang telanjang terantuk tangga milik ranjang di belakangku. Belum sempat aku menoleh, sebuah tangan mencengkeram pergelangan tangan kananku.

 

Sontak aku menoleh ke belakang. Gadis itu kini duduk. Darah menetes dari matanya yang tidak memiliki pupil. Hanya tersisa bagian putihnya saja. Dia menatapku dan tersenyum. Memamerkan gigi-gigi runcing miliknya. 

 

Aku berteriak. Namun tak ada suara yang keluar. Aku menghentakkan tanganku untuk melepaskan diri, tapi cengkeraman gadis ini sungguh kuat.

 

“Sudah siap?” Suara pria itu kembali terdengar. Aku melihat ke arahnya lagi. Kali ini dia memegang sebuah gergaji mesin yang entah datang dari mana. 

 

Seluruh badanku terasa lemas. Dia mulai menyalakan gergaji mesin dan menimbulkan suara pilu yang sangat kukenali.

 

Aku tidak mengerti mengapa aku bisa sampai di sini. Aku sama sekali tidak paham mengapa ini terjadi. 

 

Kepala laki-laki yang tergeletak di lantai perlahan menggelinding dan menyentuh kakiku. Sampai di kakiku, kepala itu tersenyum sambil menatap ke arahku. Ini gila!

 

Pria yang sangat mirip denganku mulai berjalan. Aku memberontak mencoba melepaskan pegangan gadis di ranjang, tapi semua usahaku terasa sia-sia. Seluruh tubuhku terasa lemas. Pada akhirnya aku memejamkan mata.

 

Saat memejamkan mata, sebuah bayangan melintas masuk. Bagai jawaban dari semua ini. Bayangan tersebut kini membuatku tersenyum simpul.

 

***

 

Aku tersadar dan bernapas lega. Melihat ke sekeliling, terutama meja operasi milikku. Bagus, aku sudah kembali. Kembali ke tempatku yang seharusnya. Di sebuah rumah sakit yang sudah lama ditinggalkan, jauh dari pemukiman warga. 

 

Bau apak dan karat tidak menggangguku. Tidak sama sekali.

 

Ya, tidak ada yang bisa menggangguku.

 

Tidak dengan saudara kembarku. Tidak juga dengan objek-objek yang ‘kupinjam’ untuk melancarkan penelitianku.

 

Bahkan dengan gadis yang saat ini sedang tertidur di hadapanku. Di atas meja operasi milikku. Gadis yang memandang kosong ke langit-langit, bernapas namun tidak melawan sedikitpun.

 

Jadi … sudah sampai tahap bisa mengendalikan ingatanku ya? Hebat juga arwah-arwah itu. Padahal aku sudah berhasil menghapus ingatan mereka, tapi mengapa ketika mereka mati, mereka bisa mengingat semuanya, ya?

 

Ah sudahlah. Yang penting mereka bahkan tidak berhasil membuatku gila. Arwah memang tidak dapat melakukan hal yang melibatkan fisik manusia. Mereka selalu bermain dengan pikiran. Ilusi contohnya.

 

Tapi mereka tetap gagal.

 

The end.

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet