It Seems Like Gravity Keeps Pulling Us Back Down

A Miracle By Our Rendezvous

Aku berpamitan untuk berangkat kerja, tapi pada kenyataannya aku sedang melarikan diri ke sebuah motel kecil di ujung gunung daerah kangwondo. Jam ditanganku bergerak ke angka terjauh yang pernah ku lihat.

450 hari, 2 jam, 7 menit, 11 detik

Ku nyalakan ponselku lalu menelpon Seungwan untuk mengabarkan bahwa aku tidak akan pulang sampai lusa pagi. Seungwan tidak berkata apapun selain menyuruhku untuk berhati-hati.

Udara dingin langsung menyapa begitu aku keluar dari bis, sinar matahari seperti 2 kali lebih cerah dari Seoul, dan tampak lebih mudah diraih dari sini. Penginapan yang akan ku tempati berupa rumah 3 lantai dengan taman luas sebagai halamannya, di pelataran belakang yang langsung disapa oleh hutan pinus dipagari rumpun pendek Bunga sepatu dan rumput hijau yang empuk di kaki.

Hal yang pertama kulakukan begitu sampai di kamar sewaan adalah mencari plaster hitam dan menutup jam dipergelangan kiriku. Dari awal, jodoh adalah misteri terbesar umat manusia. Mungkin lebih baik kalau ia tetap menjadi misteri sampai nanti di akhir masa dunia.

 

Suara bersin sekali terdengar dari taman saat aku bersantai di beranda belakang keesokan paginya. Lalu terdengar suara kalem penjaga motel, seperti menawarkan beberapa paket penginapan yang juga ia terangkan padaku kemarin. Bersin terdengar sekali lagi sebelum suara langkah mendekat kearahku.

Berdiri disamping kursi tempatku duduk menikmati kopi, adalah seorang pemuda dengan coat hitam kasar dengan jaket bergaris hitam dan biru di bawahnya, jeans longgar hitam dan masker menutupi dagu hingga ke hidungnya. Lingkaran hitam dibawah matanya tebal menggelayut seperti mendung yang mulai datang diatas gunung ini. Ia bersin sekali lagi lalu menarik maskernya lepas dan menghirup nafas dalam-dalam. Seperti ingin membersihkan hidungnya yang tersumbat.

Untuk beberapa lama dia diam begitu saja menatap pucuk-pucuk pinus dikejauhan, sampai akhirnya dia bersin lagi, dan berbalik. Saat itu pertama kalinya kami bertemu pandang.

Matanya lebar, dengan iris pekat dan alis tebal, hidung mancung dengan ujung membulat, bibir tebal dengan warna kemerahan di pipi. Dibanding tampan, dia lebih tepat disebut cantik. Tapi orang-orang juga sudah mengakrabkan diri mereka dengan memanggilku cantik, jadi kurasa cantik bukanlah hal yang buruk jika ditempelkan pada seorang pria. Mata itu membulat dan diisi dengan kaget sekaligus sungkan. Malu-malu dia membungkuk menyapa lalu masuk lagi ke dalam motel. Jam di pergelangan tangannya diplaster seluruhnya dengan hitam.

 

Bersin terdengar lagi saat sore hari aku berjalan-jalan sedikit agak jauh di hutan pinus. Pemuda itu terlihat membungkuk di depan pokok mawar yang lama kering, satu-satunya bagian taman yang tidak berhasil tumbuh dengan baik. Ia bersin sekali lagi sebelum berdiri dan berjalan lurus ke arahku. Ia berhenti begitu jarak kami hanya serentangan tangan dan menatapku dalam.

“Kyungsoo.” Ucapnya, dengan suara yang sedikit sengau dan serak akibat flu. Nadanya tenang, dan anehnya perasaanku langsung enak begitu mendengarnya berbicara. Ia juga mengulurkan tangan padaku yang terlonglong, bingung ketika tiba-tiba diajak bicara. Dia terus mengacungkan tangannya dan mengangkat alisnya makin tinggi saat aku tak juga menanggapi.

“Namaku Kyungsoo. Do Kyungsoo.” Ah rupanya ia mengajak berkenalan. Ku sambut dan mengguncangkan tangannya sambil melempar senyum.

“Park Chanyeol.” kataku. Kyungsoo hanya mengangguk lalu diam lagi.

“Sampai kapan menginap disini?” tanyaku, mencoba merangkai percakapan. Kyungsoo melihatku seperti aneh lalu membuang matanya menuju jauh lebih dalam ke hutan pinus.

“Entahlah.” Katanya lamat-lamat. Ku perhatikan kyungsoo lagi, dari unjung rambut hingga ujung kaki. Puncak kepalanya hanya beberapa senti jauhnya dari mataku, dan pundak kecilnya membungkuk seperti ditekan beban berat.

Kami berjalan beriringan lebih jauh ke dalam hutan. Sebelum aku sempat menanyakan satu hal lagi, dering telpon memutuskan niatku.

Dari Junmyeon hyung. Setelah aku meminta izin pada kyungsoo, aku segera mengangkat panggilan itu.

“Kapan kau pulang?” ribut suara kafe terdengar sebagai latar Junmyeon, terdengar suara gemerincing metal dan porselen beradu. Mungkin junmyeon mengaduk gula dalam americanonya yang baru datang.

“Oh, mungkin besok. Ada apa, hyung?” dari sudut mataku terlihat Kyungsoo menggeser-geserkan kakinya tidak nyaman. Sedikit cahaya jingga dari senja yang mulai turun, jatuh pada sebagian wajahnya, irisnya yang kelam memantulkan lagi binar surya dan mengubah warnanya menjadi kecoklatan. Untuk sejenak dia tampak seperti makhluk yang salah dunia, seperti bumi bukan tempatnya pulang. Dari awal kyungsoo terlihat sangat asing, tapi dibawah rimbun pinus dan cahaya yang tipis-tipis menembus ini dia makin tampak tidak nyata, ethereal

“Besok? Baiklah.” kyungsoo bersin sekali lagi, lalu menggosok ujung hidungnya hingga berubah kemerahan. Sementara dari ujung saluran kudengar suara tawa yang amat familiar.

“Seungwan ada disana?” tanpa sadar, otomatis begitu saja, akibat dari kebiasaan yang terjalin selama setahun terakhir. Hening sejenak sebelum Junmyeon bicara lagi.

“Ah…ya.. Dia ada disini, kau mau bicara?” kata Junmyeon lamat-lamat, seperti sedang membicarakan sesuatu yang tabu.

Suasananya serba kikuk dan serba salah. Tapi kuputuskan untuk tidak merasakan apa-apa.

“Ya, tolong.”

Suara gemerisik segera berganti dengan suara ceria Seungwan.

“Oppa? Tempatnya indah? Sudah makan?”

Suasananya serba kikuk dan serba salah. Tapi kurasa wanita itupun memutuskan untuk mengabaikannya.

“Mm, tempatnya indah, aku barusan makan. Kau sendiri?”

“Junmyeon oppa mentraktir kelompok kami galbi, enak sekali! Besok setelah kau pulang aku akan mengajakmu kesini.”

Sudah berapa lama aku tak lagi punya kata-kata kedua untuk memperpanjang durasi komunikasi kami?

“Baiklah, sampai ketemu besok.” Kataku pada akhirnya, dari ujung saluran seungwan menghela nafas. Lalu masih dengan nada ceria yang sama dia menyambung.

“Hati-hati oppa. Semoga harimu menyenangkan.”

Dingin.

“Hmmm.”

“I love you.”

“I Love you, too”

 

“Adik?” Tanya kyungsoo melirikku, dahi dan hidungnya mengernyit silau terkena matahari. Ia lalu melanjutkan langkahnya dan memasukkan tangannya kedalam saku coat kasarnya, ia melewatiku yang kemudian mengekornya. Jalan setapak itu agak licin terkena gerimis tipis yang turun tadi siang, rumput-rumput menggeser kaki kami dan diatas kepala kami daun pinus yang tajam-tajam turun rontok diterpa angin. Mendung makin gelap menggantung, mungkin sebentar lagi hujan, tapi kyungsoo terus melangkah lebih jauh kedalam hutan. Dan tanpa sadar melangkah lebih jauh dalam privasi kami masing-masing.

“Pacar.” Kujawab pertanyaannya pendek, menarik nafas panjang hingga aku merasa sesak lalu membuangnya pelan. Tapi gumpalan di dadaku tak mau hilang, sebanyak apapun aku mencoba untuk melupakannya.

“Oooh… tidak terlihat seperti itu di mataku.” Kata Kyungsoo. Suaranya pelan tapi jelas dan tajam langsung membuat kupingku berdiri, terganggu dengan pertanyaan yang terlalu lugas itu. Nyaris segera, kukeluarkan,

“Maaf?” yang bahkan ditelingaku sendiri terdengar ofensif. Kyungsoo berhenti lalu memutar badannya untuk menghadapku.

“Kau terdengar sedang berbicara dengan adikmu ketimbang dengan pacarmu.” Katanya pendek, seperti sedang memaparkan fakta yang bahkan terlihat oleh anak kecil sekalipun. Mungkin bagi mereka yang melihat hubunganku dan Seungwan yang, jujur saja makin lama makin mendingin dan hambar, kami lebih terlihat seperti saudara. Mungkin hal yang terdengar menyakitkan ini adalah fakta, hanya saja aku terlalu acuh untuk melihatnya.

Melihatku yang langsung diam seperti ditampar, wajah kyungsoo melunak menjadi sesal dan segera meminta maaf padaku.

 “Bukan maksudku menghakimi hubunganmu seperti itu.” Katanya. Memang, siapa dia yang berhak menilai hubungan yang ia saksikan dari sepenggalan percakapan telepon? Tapi siapa juga aku yang sedari tadi mengira-ngira manusia seperti apakah pemuda di depanku ini? Kurasa kita impas.

“Tidak apa-apa.”  Balasku setelah habis perkara kutimbang. Dan kaki kami kembali melangkah membelah hutan.

 

Di ujung rimbunan pinus itu kami menemukan tanah lapang yang cukup luas dengan sebuah meja batu di sisinya. Mungkin sengaja diletakkan disana sebagai bagian dari motel tempat kami menginap. Aku bisa membayangkan penghuni motel pergi piknik di hari-hari bulan juni. Terlindung dari panasnya matahari dibalik bayang-bayang pinus, sambil menikmati sandwich atau doshirak dengan berbagai macam banchan yang lezat.

Kyungsoo mendahuluiku dan duduk di atas meja batu itu. Kakinya bergantung beberapa senti diatas tanah, ujungnya menggaruk sedikit-sedikit daun yang jatuh sejak awal bulan. Hari makin gelap, mendung makin pekat. Harusnya aku kembali dan meringkuk di atas ranjang empuk dan menghibur diriku sendiri dengan secangkir the hangat. Tapi entah mengapa aku ikut duduk dan menatap awan yang bergolak sambil menggigil di samping kyungsoo.

Orang bilang aku orang yang cepat mengakrabkan diri dengan orang lain. Tapi baru kali ini aku begitu cepat aku merasa terikat dengan seseorang. Nyaris seperti pertama kali aku bertemu dengan Sehun.

Untuk beberapa lama kami hanya saling diam, menunggu, sampai akhirnya mata kyungsoo yang mencari-cari tertumbuk pada pergelangan tanganku. Sesaat dia memperhatikan plaster hitam yang baru kupasang kemarin lalu mengalihkan pandangannya dan langsung melihat dalam mataku.

“Kalian bukan jodoh?” tanyanya lagi, sepertinya hobi pemuda ini adalah melancarkan pertanyaan tepat saat lawan bicaranya lengah. Aku benci tergagap-gagap, tapi sudah lebih dari sekali kyungsoo membuatku kewalahan menemukan kalimat yang tepat untuk menjawabnya.

“Ya?” balasku seperti orang bodoh. Aku yakin mukaku pasti terlihat sangat konyol saat ini. Tapi kyungsoo hanya menunjuk pergelangan tangan kiriku tanpa membuang muka.

“Kau menutupinya.”

“Oh ini! Ya… ini…” otakku berputar kencang untuk menutupi kegalauan atas hubunganku, tapi rasanya tak ada lagi yang mungkin bisa ku lakukan. Akhirnya aku memutuskan untuk jujur. “Hitungan kami terus berjalan.”

Rasanya aneh, mengakui kejanggalan dalam hubunganku dan Seungwan. Rasanya seperti melepas pijakan semu, meninggalkan aku sendiri yang terus menggapai dalam gelap. Senyum pahit yang kuperlihatkan saat itu pada Kyungsoo, tercerminkan langsung dalam irisnya yang kelam. Kutelan ludahku, rasa perih menyebar dalam tenggorokanku.

Kyungsoo mengangguk dan bergumam sedikit. Gumamannya lalu menjadi berlagu. Ada sesuatu tentang kyungsoo yang membuatku tidak bisa mengarang bualan yang menjadi pertahananku. Kata-katanya seperti pisau yang menghujam hati berlari maju lalu mengoyak pertahananku, memaksa mulutku untuk bersuara hanya kejujuran.

Manusia macam apa pemuda di depanku ini? Keberadaannya seperti diambang ada dan tiada. Seperti bagian dari dirinya menghilang tanpa ada ganti. Seperti cangkang keong kosong, indah tak bertuan. Dan seperti kebanyakan benda indah lain, manusia cenderung bertindak usil dan mengorek apapun yang bisa ia dapat dari benda itu. Semua manusia, tak terkecuali aku.

Manusia macam apa Kyungsoo ini? Dari wajahnya aku tidak bisa membaca garis umurnya, dia Nampak masih begitu muda, tapi juga terasa begitu matang. Dan rasa penasaranku melembung lebih besar dari akal, dan ku buka mulutku, ragu-ragu bertanya,

“Kau sendiri?”

Tanpa menjawab pertanyaanku Kyungsoo mengangkat pergelangan dan merobek plaster yang menutupi jam miliknya. Mataku melebar begitu membaca apa yang tertera di layarnya yang retak dan agak buram.

0 hari, 0 jam, 0 menit, 0 detik.

Mungkinkah… mungkinkah….?

Dan sebelum aku sempat merobek plaster ditanganku, Kyungsoo terbahak melihat aku yang mendelik. Makin lebar aku melotot makin keras dia tertawa. Sampai sakit perutnya ia terbahak-bahak, kemudian berhenti untuk melap air mata yang sedikit muncul di ujung matanya lalu mengangkat pergelangan tangannya, mengelus jam rusaknya sambil berkata,

“Berhenti.” Katanya dengan senyuman yang makin lama makin sendu, lalu dengan lirih nyaris tak terdengar ia menyambung “karena pemilik jam pasangannya sudah mati.”

Kecanggungan sekali lagi datang diantara aku yang tak tahu mau bicara atau bereaksi bagaimana pada kabar kematian tiba-tiba itu, dan kyungsoo yang sepertinya lepas dari raganya menjelajah kenangan yang memudar.

“Maaf, aku ikut sedih.” Kataku, mencari kalimat paling aman untuk menanggapi berita serupa. Kyungsoo mendesah menerawang. Kelakuannya yang seperti itu membuatku berpikir, mungkin dia pergi ke motel ini untuk berlari, sama sepertiku.

“Tidak masalah, kejadiannya sudah lama.”

Kyungsoo melihatku yang diam, alisku mengerut dan bibir mengerucut, kurasa dia melihat ada yang lucu dari wajah berkabungku lalu tertawa lagi.

“Lantas kau memutuskan untuk pergi dan meninggalkan bebanmu?”

“Yah, aku kesini memang untuk lari. Tapi bukan karena dia.”

Aku mendengus.

“Setidaknya kau tidak berlari dari pacarmu yang berjodoh dengan sahabatmu.” Kataku dengan sakarsme. Kyungsoo ikut tertawa bersamaku dan menyahut.

“Yah, tidak seburuk itu. Hanya berlari dari debu kota yang membuatku terus bersin.”

“Kurasa kau harus lari lebih jauh lagi. Bersinmu masih ada sampai sekarang”belum lagi aku selesai bicara, kyungsoo bersin lagi “nah, itu yang kumaksud.”

“Hal buruk selalu terjadi kalau kau punya alergi debu dan temperature dingin sekaligus.” Saat Kyungsoo berkata begitu aku baru menyadari mendung yang menaungi wajah pemuda itu pelan-pelan terangkat. Dan senyumnya, senyumnya itu lebih terang dari apapun juga.

Untuk sesaat aku hanya tercenung, berusaha memahami adrenalin yang mulai naik membakar darahku dan memacu otot jantungku.

 

 

“Kau percaya jodoh?” kyungsoo tiba-tiba menjatuhkan pertanyaan itu bersamaan dengan sesendok jangjorim dalam mangkokku saat makan malam. Untuk sesaat aku hanya bisa terdiam, tidak tahu harus menjawab apa, tidak siap untuk ditanyai. Tapi kyungsoo terus menatapku, menuntut meminta pendapatku. Setelah berdehem dan berpura-pura membersihkan tenggorokanku selama aku berpikir, aku masih belum tahu harus menjawab apa. Alih-alih aku bertanya balik padanya.

“Kau sendiri?”

Kyungsoo mengendikkan bahunya. Lalu kembali pada nasi dan kimchinya. Sebentar saja, ia kembali fokus padaku. Mendekatkan wajahnya padaku dan berbicara lagi dengan suara dalam dan mata berbinar. Tidak peduli pasangan paruh baya yang hanya berselat satu kursi dari kami mengernyit penuh prasangka.

“Menurutmu orang-orang sepertiku bakal menemukan jodoh yang baru?”

“Entahlah. Jika mereka yang bukan jodoh seperti orang tuaku bisa menghentikan hitungan mereka, mungkin kau bisa mencari penggantinya.” Jawabku jujur, tapi ragu.

Kyungsoo mengangguk-angguk, tak tahu apakah karena ia setuju atau kebetulan mendapat pembenaran dari apa yang dicari dan diyakininya selama ini. Dalam diam kami meneruskan makan. Saat piring-piring dan mangkok sudah kosong, sambil membereskan meja makan ia berbisik padaku,

“Sampai kapan kau mau menutupinya?” tanganku yang hampir meraih mangkok di sudut jauh meja berhenti. Aku memutar badanku dan mendapati kyungsoo, setengah meter jauhnya dariku dengan coat kasar dan mata kelam, tersenyum seperti mengerti apa yang berkecamuk dalam hatiku.

“Jujurlah pada dirimu sendiri.” Katanya lalu pergi ke balik pintu kamar sewaanya.

Jujur pada diriku sendiri? Lebih mudah untuk diucapkan, karena aku sendiri belum bisa menemukan apa yang sudah kusembunyikan.

 

Bus yang membawaku pergi berwarna putih dengan spectrum merah biru disisinya. Kyungsoo dan pegunungan yang menjadi latar mengantarku pulang dengan lambaian tangan. Entah kapan kami akan bertemu lagi. Yang pasti pemuda dengan jam yang sudah retak dan mati itu terbawa dalam mimpi hingga Seoul tiba-tiba merajai pandanganku.

 

--

jujur chapter ini berantakan banget T.T

tapi saya harap kalian enjoy bacanya :D

daaann please leave me a comment or two :3 

subscribe juga cerita ini kalo kalian suka :3

terima kasih :D

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
jeongjeong
#1
Chapter 3: I HATE YOU
NandaLaras #2
kenapa end -__- nanggung... tapi chansoo emang udah berjodohkan ?? aaah i like this story too much...
laalitos #3
Chapter 3: wait... whatt? ini tamat? serius?
btw wen.. i feel you
NandaLaras #4
neexxxttttt....
suka sama ceritanya...
dan jarang dapat cerita keren yg bahasa di aff -_-
lelgeg
#5
Chapter 2: so.. ngerasa kesindir, untung bacanya pas ud putus,
ehm mas mas, ini kapan chanyeol mau ngelepasin jeung wewen, sakit loh rasanya ngerti dy bukan jodoh anda tp gbs dilepasin soalnya sama sama orang baik jd g ada alasan buat putus. relain wewen buat junmyeon plis.
angelchonsa
#6
Chapter 2: It's good