first...

Mom...

Tes…

Tes…

Tes…

Bulatan-bulatan merah menghujani kertas putih yang di pegang seorang lelaki yang duduk menghadap buku tebal didepannya. Tangan kanannya segera menutup lubang hidungnya, dan tangan kirinya meraba ujung meja yang menunjukan tumpukan kotak tissue.

“MarcWhere are you?”. Terdengar suara perempuan dari luar kamar.

Belum darahnya berhenti mengalir, kini kepalanya juga terasa sakit dan berputar-putar. Cekatan diambilnya botol kaca dilaci mejanya, mengambil sebuah tablet kemudian segera ditelannya bahkan tanpa air.

Terdengar pintu terbuka paksa dari luar.

“Marc… I get ticket for you… Wednesday, next week like your wishes…”. kata penyusup itu sembari mengacungkan sebuah tiket dengan senyumnya. Senyumnya akhirnya pudar juga setelah melihat tumpukan tissue berwarna merah berserakan dimeja. “Marc… are you ok?”.  Mata coklatnya yang tadi bersinar menjadi redup.

“Engh… Don’t worry, I’m ok Sica…”. Jawab lelaki itu diiringi dengan senyuman.

Really? You’re so pale, we need to go to hospital”.

Again? Don’t disturb me, just get out from my room and go to your fiancé party!”. Usir Marc sembari bangkit dan mendorong Jessica keluar dari kamarnya, nadanya berubah menjadi galak yang dibuat-buat.

I wont go! You need me here. I think Brian-“.

“Haish… Just go and let me sleep!” potong Marc tanpa mau mendengar penawaran lagi.

Call me if you need me, every time!”. Perintahnya seperti menandakan bahwa ia tidak akan menerima penolakan.

I know Sica… I’m not a little Marc again…”. Kata Marc sambil melongokan kepalanya sebelum menutup rapat pintu kamarnya. “And, say sorry to Brian, I can’t come to his party”. Kata Marc sembari membuka sedikit pintu lagi.

“Ya, I’ll say that to Brian for you. I don’t want to see you syncope again. Brother!”. Kata Jessica sembari berjalan menjauh dari kamar Marc.

Marc kembali ke kursinya, kemudian membuka laci yang sama tempatnya meletakan obatnya. Ia mengambil sebuah foto dengan gambar 3 orang disana. 2 orang dewasa dan seorang batita.

“Umma… apa Umma masih ingat padaku?”. Tanyanya pada foto itu dengan bibir tersenyum. Tapi mata coklat gelapnya memancarkan sinar lain.

***

Heathrow, London, Inggris.

Marc menggendong tas sampingnya yang kecil dan menarik koper tanggungnya dengan malas.

I want to burn this copper! It’s very weight Sica!”. Keluh Marc merasa koper bawaannya begitu berat.

Don’t talk too much! I’ve throw out a lot things from your copper! Just bring and don’t protest!”. Marah Jessica.

What things you took to my copper Miss Jung?”. Tanya Marc pelan, berhenti untuk mengeluh.

3 pairs clothes, a pair shoes, watches, 3 shirts, pajamas, Grandpha and uncle photo, camera… I just add it”. Jawab Jessica sembari mengetuk-ketuk kepalanya.

“Haish... Jinja! Pantas saja berat…”. Gumam Marc.

“Ha? What you’ve said?”. Tanyanya penasaran.

Nothing. Take care Appa and Grandpha, clean the grass every month”. Kata Marc saat mereka sudah sampai di chek in dan setor barang ke bagasi.

I know… Marc… call me every time you need me, drink your medicine… and remove your revenge”. Kata Jessica sangat pelan sembari membelai lembut pipi sepupunya itu.

Marc diam dan menunduk.

I want to know what her reason to leave me and Appa…”. Kata Marc setelah waktu cukup lama.

Terdengar suara pengumuman panggilan.

ok, take care your self Sica Noona, I hope you and Brian marry soon and happy”. Kata Marc dengan nada yang dibuat seceria mungkin. Lalu mengecup kening sepupunya itu secara singkat lalu segera meninggalkannya.

Jessica melihat punggung Marc menjauh, kini hanya terlihat tubuh semampai itu semakin jauh, dan rambut coklat brunette yang sangat berbeda dari rambut pirangnya semakin lama sekamin tak terlihat.

I pray for you.. I hope we can to meet again brother…”. Gumamnya perlahan.

***

Incheon, Korea.

Setelah landing Marc segera mengaktifkan handphone ditangannya, mengirim sebuah e-mail untuk Jessica dan menekan bebrapa digit lain untuk menghubungi seseorang.

“Halo, Samchon, aku sudah di Incheon… aku bisa pulang sendiri… hem… besok aku kesana… surat chek up terakhir juga kubawa… ya, aku tau Sica pasti sudah melakukannya untukku, hem… tentu saja aku tau… ya Samchon, nanti aku hubungi lagi… sekarang? Aku masih menuju taksi… ya, salam untuk Minho”. Kata Marc pada benda itu.

Seoul sedang hujan gerimis saat ini, awan begitu gelap. Melihat awan dan gerimis membuat sudut-sudut bibir Marc tersungging manis.

“aku datang Seoul…”. Lirihnya.

***

Marc membuka pintu rumahnya, dia melihat rumah ini begitu bersih dan halamannya tertata rapih.

“pasti Samchon yang membersihkannya…”. Katanya pelan sambil menggeret kopernya kekamar utama dilantai dua.

Rumah ini sedikit jauh dari pusat kota, sehingga hiruk pikuknya tidak seramai dipusat kota. Dan itulah yang membuat Marc merasa masih seperti dirumahnya di London.

Marc mengambil 3 botol kaca di tas selempangnya, meletakan 1 botol di meja, mengambil 1 tablet dari masing-masing botol ditangannya, setelah itu meminumnya, kemudian merehatkan tubuhnya diranjang berseprai putih, seperti salah satu warna favoritenya. Matanya memandang seputar kamar itu. Warna cat kamar itu putih tulang, dengan hordin serupa dan laintai tertutup karpet serupa kayu. Lemari, PC, TV, rak buku, meja, kursi, pintu ke balkon dan pintu kekamar mandi.

Ummayou must to show me how much your regret… I wont to forgive your fail easily”. Gumam Marc sebelum dirinya terbuai dalam mimpi.

***

Happy birthday Kyunie! Happy birthday Kyunie! Happy birthday Happy birthday! Happy birthday Kyunie!”. Nyanyian itu terdengar sangat gembira.

Appa… bukannya appa masih di Houston? Kenapa-“.

Today your birthday Honey… apa jadinya kalau appa tidak bisa meluangkan sedikit waktu untukmu bahkan untuk sehari saja, saengil chukae uri Kyunie”. Katanya sembari mengelus rambut remaja laki-laki yang berusia 14 tahun itu.

lets make a wish and blow off all candles”. Kata seorang gadis berusia kurang lebih 21 tahun.

Remaja laki-laki memejamkan matanya sejenak, lalu membukanya perlahan lalu meniup seluruh lilin.

 

***

 

Appa… bertahanlah untukku! Jebal appa!!”. Kata remaja 14 tahun yang baru 2 hari merayakan ulang tahunnya itu sembari memegang sebuah tangan berbalut darah.

Wait in out side please!”. Kata seorang wanita berbaju putih-putih.

let me entering inside, He is my father, he need me!”. Ronta remaja itu.

Lalu seorang gadis 21 tahunan menarik tubuh si remaja untuk menjauh. Kemudian pintu ruang operasi tertutup. Si remaja masih sesenggukan diluar ruang operasi.

“Marc… he will be fine… I know… he’ll be fine for us…”. Kata gadis itu sembari memeluk dan mengelus rambut coklat brunette remaja yang lebih kecil darinya itu.

Appa…”. Sebut si remaja sembari melihat darah yang masih basah ditangannya, airmatanya terus saja mengalir dan mengalir. “AppaI never need umma… I just need you…”. Gumamnya lirih.

***

Marc tampak rapih dengan kemeja biru dilapis sweater coklat muda dan celana jeans hitamnya, dia mengaca didepan kaca besar dikamarnya kemudian tersenyum sedikit melihat wajahnya. Setelah itu dia mengambil sebuah map ditasnya. Lalu segera turun ke lantai satu.

 

From: Siwon Samchon.

Aku meletakan kunci mobil di sebelah TV. Semoga cocok denganmu… dan disini dari rumahmu ke tempat kerjamu tidak memungkinkan untuk naik sepedah seperti di London.

 

Sekali lagi dibacanya pesan itu. Setelahnya ia menarik nafas panjang, mengambil kunci di sebelah TV sesuai perintah. Dengan cepat ia segera ke garasi dan berangkat ke tujuannya.

 

***

 

Come in Mr. Lee… welcome to SM university, I’m Kim Jong Woon as Dekan art faculty, nice to meet you”. Sambut seorang berusia kurang lebih 40 tahun saat Marc memasuki ruangannya dan menjabat tangan Marc dengan sopan.

“Panggil saya Marc saja Sajangmin…”. Kata Marc juga dengan sopan dan hormat.

“Loh, saya kira anda tidak bisa bahasa kami… menyenangkan kalau anda bisa bahasa kami”. Kata Kim Sajangnim dengan sumringah.

Nde sajangnim… lalu kelas mana yang akan saya ajar, dan mana jadwal yang harus saya tepati”. Pinta Marc langsung pada topic inti.

“Ah iya, ini adalah jadwal dan juga ruang kelas yang akan anda ajar, walaupun anda dosen Honorer kami tidak akan membedakan anda dengan Dosen tetap, baik peraturan ataupun ketentuan lain, seperti absensi kelas dan juga masalah ketepatan waktu”. Kata Kim sajangnim dengan semangat.

“Saya mengerti sajangnim”.

“Kalau boleh tahu, berapa usia anda sekarang?”.

“Tahun ini 21 tahun pak, tapi tenang saja sesuai curriculum vitae saya, saya sudah 2 tahun mengajar disana”.

“Ah… untuk masalah pengalaman saya tidak meragukan anda lagi… baiklah semoga anda betah mengajar disini”. Tutup Kim sajangnim akhirnya.

Setelah itu mereka berjabat tangan. Kemudian Marc segera keluar, melihat jadwal ditangannya.

“Gedung A.M.A.0118, dimana ini?” gumam Marc melihat nama gedung yag akan dia ajar 30 menit lagi. Dia melihat ada mahasiswa lewat. Dia menghentikan seorang mahasiswa laki-laki itu. “Mian, saya mau tanya, gedung A.M.A.0118, odieseo?”. Tanya Marc.

Mahaiswa itu berhenti. “Huruf pertama menunjukan Fakultas, Huruf kedua menunjukan jurusan dan huruf ketiga urut gedung. Sementara angka itu adalah nomor lantai dan nomor ruangan”. Jelas mahasiswa itu.

Marc hanya melongo. “Guerom, arahnya kemana?”.

“Lurus saja, nanti ada plat besar tulisannya Art Faculty, nah nanti disana tanya saja mana gedung jurusan Music A. Mahasiswa baru disini?”. Tanya mahasiswa itu.

Marc tersenyum saja. “Gumawo untuk bantuannya”.

Mahasiswa itu membalas senyuman Marc. “Oh, atau kita kesana bersama saja, aku ke Ekonomi, gedungku beda 2 blok dengan fakultas seni”. Tawarnya.

“Ah, jeongmal gumawo sebelumnya kalau begitu”. Kata Marc masih dengan senyum.

Walau kampus ini terbilang sangat luas, untuk transportasi didalam kampus adalah jalan kaki saja, tidak boleh ada kendaraan masuk, kecuali ambulans atau pemadam kebakaran, semua tertata rapi di satu parkiran luas di bagian depan kampus, dekat Rektorat dan tata usaha kampus, termasuk ruang dekan seluruh fakultas.

“Nah, dari sini terus saja, ini sudah sampai didepan gedung tujuanku”. Kata mahasiswa itu.

“Hem… thanks”. Kata Marc kemudian berjalan lurus sesuai perintah.

Akhirnya 2 blok setelahnya Marc menemukan tugu bertuliskan ‘Welcome to Art Faculty’. Marc membaca sebuah plang kekiri Statue and painting, kanan music, act, management Art. Marc mengambil kekanan. Menemui plang Music. Lalu disana ada 3 gedung, gedung pertama gedung A, gedung modern music, yang kedua gedung B, gedung Classic music, dan gedung terakhir, gedung C gedung traditional music.

“Lantai satu ruang 18. 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, nah ini dia”. Kata Marc senang akhirnya ketemu juga gedungnya.

Saat Marc masuk kelas masih gaduh. Marc meletakan tas rangselnya di kursi dosen. Semua mahasiswa barulah melihatnya.

“Dia dosen? Kog masih muda?” bisik-bisik mahasiswa yang rata-rata wujudnya kurang dari kata rapih, maklumlah, inikan jurusan seni.

“Bukannya katanya dia itu composer terkenal di Inggris? Masa masih muda gitu”. Bisik-bisik yang lain terdengar.

“Hiiiii… Dosennya cakep banget… tampangnya masih imut”. Bisik-bisik yang lain terdengar lebih keras.

Anyeonghaseyo”. Sapa Marc. “Marcus Lee imnida, usia 21 tahun, lulusan College London University  3 tahun lalu, dan tahun ini baru lulus dari University of Cambridge. Di semester 6 ini saya akan membawakan mata kuliah kreativitas music II, karena usia kita mungkin se pantaran, diluar kelas, kalian bisa menganggap saya teman kalian, ada pertanyaan?”.

“Yoon Jihyun imnida”. Kata mahasiswi duduk paling depan di pojokan yang langsung mendapat sorakan dari teman-temannya. “Kapan Lee Saem membuat lagu pertama kali?”.

“Pertama membuat lagu yah… kalau tidak salah usia 13 tahun…”.

“Dalam rangka apa Saem?”.

“Waktu itu untuk hadiah ulang tahun nae appa, tapi waktu itu masih banyak mendapat kritik dari perihal komposisi lagu yang terlalu sulit untuk dinikmati… ya waktu itu saya belum mampu memang”.

composer juga Saem?”.

“Ah bukan… Appa hanya pekerja kantoran”.

“Saem, kenapa mengajar disini? Menurut desas desus Lee Saem ini composer terkenal di Inggris… dan lagi bukankah selama 2 tahun ini anda sudah mengajar disalah satu Universitas besar di Inggris?” tanya seorang mahasiswa yang duduk di pojok belakang.

“Ehm… nama?”. Tanya Marc.

“Park Yoochun!”. Sebut teman-temannya kompak.

Marc tersenyum lagi.

“Ya, walau saya sudah lama di Inggris, tapi saya lahir dan sempat tinggal disini, ada sedikit rasa untuk ingin kembali kesini”. Jawab Marc santai.

“Ooo…”. Kompak mahasiswa ber ooo ria.

“Ada lagi?”. Tanya Marc.

Saem, boleh dong nanti kita diajari membuat lagu?”. Tanya seorang mahasiswi agak centil yang duduk di barisan nomor dua deret meja dosen.

“Tentu boleh, dengan siapa?”. Tanya Marc.

“Victoria Song imnida”.

Saem, jangan kasih tugas susah-susah ya”. Kata seorang mahasiswa di deretan paling belakang yang sukses menuai huuu ria dari teman-temannya.

“Mumpung membahas tugas, mulai sekarang silahkan disiapkan untuk tugas akhir, yaitu mengaransemen lagu ‘mokori dae haksaeng”. Jawab Marc.

Semua mahasiswa yang awalnya semangat langsung turun.

“Ada yang bertanya lagi?” tanya Marc.

Semua tenang.

Well, we start our lesson about creativity of music part ii”.

***

Setelah 2 jam setengah berada dikelas, akhirnya jam pelajaran berakhir. Marc keruang dosen untuk absen pulang karena tidak ada jadwal.

BRUGH!

Suara debaman keras membahana.

Mianhe…”. Seru Marc meminta maaf, membenahi kacamatanya lalu mengulurkan tangannya untuk orang yang terjengkang karena tidak sengaja ditabraknya.

Orang itu meraih tangan Marc.

“Tadi kita ketemu dikelas kan?”. Tanya Marc, menyadari kalau yang ditabraknya adalah mahasiswanya yang diajar tadi. Bukan hal sulit untuk menghapal 20 orang mahasiswa yang ada dikelasnya tadi.

“Hem…”. Gumam korban sembari mengangguk.

Gwenchana?”. Tanya Marc memastikan kembali.

ne, Gwenchana”. Jawab korbannya santai, sesuai pesannya dikelas tadi, dia ingin kalau di luar kelas mereka berteman saja.

“Baguslah, siapa namamu?”.

“Donghae, Cho Donghae Imnida”.

Marc menoleh, menyadari bola yang dipegang Donghae tadi menggelinding. Marc buru-buru mengambilnya dan menyerahkannya.

“Gitarmu?”. Tanya Marc melihat tas gitar dipundak Donghae.

Gwenchana, dia baik”. Jawab Donghae asal. “mau pulang?”. Tanya Donghae.

Ne… sudah bebas jadwal kelas…”. Jawab Marc.

“Di London belajar basket?”. Tanya Donghae.

***

Donghae mengoper bola pada Marc, Marc menshot bola dari dekat garis tengah.

PRRRAAAKKK!!!!

Bola masuk, mereka ber tos-tos ria.

Saat ini bola dikuasai lawan.

Marc yang sudah tidak mengenakan Sweater dan keringat menghiasi pelipis dan badannya menarik perhatian mahasiswi-mahasiswi yang masih meyakini bahwa dia adalah mahasiswa baru. Selain Marc, pesona mereka ada pada Donghae, yang tak lain adalah The Most wanted Boy di fakultas mereka, ah… bukan hanya fakultas bahkan seluruh penjuru kampus.

Saat ini Donghae sedang atraksi Slam dunk dengan indah dan menarik perhatian, hingga akhir tim Donghae dan Marc menang. Sebagai hadiah mereka mendapatkan minum gratis dari lawan mereka.

***

“ternyata kau keren juga Marc”. Kata Donghae selesainya mereka bermain. “aku kira dengan lulus sekolah secepat itu, kau jadi kuper dan buta dunia lain selain buku”. Lanjut Donghae dengan nada mengejek.

“Ayolah… aku pernah remaja dan pernah mengalami masa sama sepertimu Hae… bahkan sekarang usiamu lebih tua hampir setahun dariku…”. Kata Marc setelah selesai menenggak minumannya.

“Hem… ada aksi sosial di Rabits café lusa, ada lomba menyanyi, hadiahnya buat anak yatim. Kau harus datang! Aku ingin melihatmu menyanyi”. Kata Donghae setelah mereka puas tertawa.

“Hem…”. Marc mengangguk.

DDDRRRTTTT… DDRRRTTTT…

Saku Marc bergetar. Segera mengambil handphone yang ada disakunya.

 

From: Siwon Samchon

Kutelpon berkali-kali kenapa g diangkat? Cepat datang kesini, serahkan document check up terakhir.

 

Setelah membacanya Marc sedikit menepuk kepalanya.

“Aku duluan Hae”. Kata Marc sambil menepuk pundak Donghae. Lalu mengangkat tangannya untuk berpamitan dengan yang lain. Setelah itu bergegas menuju mobil dan mengarahkannya ke rumah keluarga Choi.

***

Hyungie!!!! Bogoshippo!!!!”. Seru sebuah suara masih sedikit cempreng, sipemilik langsung berlari memeluk Marc.

Marc tersenyum mendapat sambutan itu, ia menjongkok dan memeluk balik.

Nado Bogoshippo Minnie...”.

“Masuk hyung, appa sudah menunggu hyungie diruang kerjanya”. Kata anak kecil sekitar 10 tahunan itu sembari menarik tangan Marc masuk kedalam.

Marc mengikutinya.

“Kenapa lama sekali?”. Sambut sebuah suara dewasa.

Marc tersenyum menatap bola mata coklat gelap seperti miliknya yang dimiliki orang didepannya.

“Mana documentnya?”.

Marc menyerahkan berkas yang dibawanya.

Dalam beberap detik, lelaki paruh baya itu menghembus nafasnya berat.

“Sudahlah Samchon… jangan pasang wajah begitu.. kalau samchon cepat tua, kasian Minnie”. Kata Marc dengan nada guyonan.

“Kenapa masih berkeras kesini? Apa Soo Yeon kurang bisa merawatmu?”.

“Jessica dokter yang baik kurasa…”. Jawab Marc enteng.

“Apa alasanmu kembali ketanah ini?”.

“Hah… aku hanya ingin melihatnya. Aku ingin sedikit menuntut alasan darinya sebelum aku kembali”. Jawab Marc datar, tapi masih dengan senyuman.

Siwon membuka lacinya, mengeluarkan sesuatu dari dalam sana. Lalu mengulurkannya pada Marc.

“Apa ini?”. Tanya Marc.

“Itu kumpulan berita tentang dia… apapun yang terjadi setelah menemuinya kau harus pulang ke London. Faham?”.

***

Seorang wanita memasuki rumah mewah yang disambut beberapa orang pelayan dan penjaga Rumah.

“Donghae Odiseo?”. Tanya wanita itu pada pelayan yang membuka pintu untuknya.

“Tuan muda Donghae sudah dikamar…”.

“Apa Donghae sakit lagi?”. Tanya wanita itu mulai khawatir.

“Tuan muda tampak sehat saat pulang kuliah tadi dan juga saat makan malam beberapa waktu lalu”. Jawab pembantu itu lengkap.

Wanita itu langsung melangkahkan kakinya kelantai dua. Diketuknya perlahan pintu kaca dengan plang ‘Hae’s Room!’.

“Masuk…”. Jawab sebuah suara dari dalam.

Wanita itu membuka pintu dan melihat yang dicarinya sedang sibuk dengan gitar, kertas dan pensil. Dia mendekat lalu membelai lembut kepala Donghae.

“Hae-ah…”. Panggilnya lembut.

Ne, umma…”. Jawab Donghae masih berkutat dengan pensilnya.

“Hae-ah, apa tidak rindu dengan umma?”. Tanya wanita itu.

Donghae tersenyum meletakan pencilnya dan menatap wanita itu. “Nan bogoshippo...”.

Wanita itu tersenyum mendengar penuturan lembut putranya.

“Bagaimna kuliahmu seminggu ini selama umma tinggal?”.

“Menyenangkan, aku dapat teman baru sekaligus dosenku”.

“Oh ya?”. Tanya wanita itu lalu mengambil duduk disamping putranya .

“Hum”. Jawab Donghae sembari mengangguk. “usianya hampir setahun dibawahku, tapi kerennya, dia sudah selesai s1 2x pada bidang berbeda di universitas berbeda, sudah jadi dosen sejak 2 tahun lalu, dia juga seorang composer, sama seperti umma, dia orang seni music kan? kerenkan?”. Cerita Donghae dengan semangat.

“Hem… keren sekali… tumben anak umma tertarik membahas orang lain? Ada apa dengannya? Dan siapa namanya?”.

“Namanya Marcus Lee… dia orangnya asik Umma…”. Cerita Donghae.

“Sepertinya umma pernah mendengar namanya”.

“Tentu saja… dia composer terkenal di Eropa, terutama di Inggris…”.

“Begitukan?”.

Donghae mengangguk. “Bulan ini umma akan kemana lagi?”.

Umma sepertinya akan tetap disini, paling sampai 4 bulan kedepan, ada konser besar di sini, dan umma akan ikut andil”.

 

***

 

Marc duduk manis didepan layar laptopnya. Ia mengecek laporan perusahaan peninggalan Ayah dan Kakeknya yang sekarang diurusnya, megirim pesan balasan ke sekertarisnya yang ada disana. Setelah itu membuka pekerjaannya yang lain.

 

From: Hye Jong Konser.

Sajangnim, sudah saya kirim daftar pemain yang ada di data kami beserta sedikit cuplikan permainan pada konser lalu, yang ada disana adalah pemain tebaik kami, mohon konfirmasinya.

 

To: Hye Jong konser.

Baiklah, besok pagi akan saya kirim balasnnya.

 

Setelah itu Marc semakin asik berkutat dengan layar Laptop dan headsetnya. Matanya tertahan di sebuah nama yang tidak asing baginya.

‘Aku ingin melihatnya’. Batin Marc memandang lurus sebuah nama di layarnya.

Setelah berlama-lama didepan layar, hingga waktu menunjukan pukul 04.30, barulah seluruh pekerjaannya selesai. Marc meluruskan kakinya lalu beranjak dari sana untuk pindah tempat tidur. Ia mengutak atik handphonenya dan memasang alarm pukul 09.00, mengingat jam 10 dia ada janji dengan Donghae dan kawan-kawanya.

Appa…”. sebutnya saat melihat fotonya bersama Ayahnya, Denish Lee, Lee Jung Soo.

 

***

 

Donghae memakai headset ditelanganya, memakai jaket hitam kebanggannya, lalu memakai helmnya dan segera menstarter motor.

Sesampainya di Rabits Café, café masih sepi, hari ini dia dan teman-temannya akan mengisi beberapa lagu disana untuk beramal pada anak yatim. Selain itu, ia dan teman-temannya berkumpul sebagai sambutan selamat datang pada Marc.

“Marc…”. Panggilnya lantang.

Marc menoleh dan tersenyum. Baju setelannya cukup untuk dikatakan simple, celana cream dipadu dengan kaos putih yang dilapis kemeja biru, dilengannya dihiasi jam tangan hitam, dan dikakinya sepasang sepatu cats berwarna putih bersih.

Sedang Donghae tampak mengenakan kaos putih dan celana jeans hitam pendek, dihiasi jam tangan dan beberapa gelang dan sepatu cats Hitam biru putih dan menggendong tas gitar.

Didalam walau masih belum terlalu ramai, tapi pertunjukan sudah dimulai. Bandnya mengambil nomor urut dan mendapat nomor 11, dan Marc mendapat nomor 12.

Sekitar 3 jam menikmati waktu santai akhirnya Donghae dan kawan-kawan maju, stelah perkenalan, mereka memulai musiknya, mereka memainkan lagu ‘Heal the world’ yang mendapat pengubahan dibeberapa tempat. Lagu kedua masih bertema Michael Jackson, mereka membawakan ‘Black or white’ yang sedikit dirubah menjadi music rock alternative. Dan lagu terakhir cukup mengejutkan Marc, lagu ‘mokori dae haksaeng’ yang juga dirubah menjadi lagu semi Rock yang enak didengar.

Setelah mereka turun, Marc naik panggung, perkenalan singkat, lalu menghadap pianonya. Menggosokan kedua tangannya.

Donghae yang melihatnya tercengang, ‘kebiasaan itu…’. Batinnya.

Terdengar dentingan piano, yang merdu dan tempo teratur. Mata si pemainpun terpejam. ‘Romance’, yah memang itu judul lagu yang dimainkannya sebagai pembuka. Setelah lagu pertama, lagu kedua adalah ‘Over the rainbow’ yang di aransemen menjadi lagu yang ceria dan ada beberapa bagian dibuat ngerap, dan ini menambah ketercengangan Donghae, dia kira sahabat barunya ini hanya ahli bermain alat music dan menciptakan komposisi lagu, tapi ternyata dia juga bisa menyanyi, dengan rap bahkan, dan itu semakin menambah rasa kagum dan hormatnya pada sahabat barunya ini. Lagu terakhir adalah ‘Canon’.

Donghae naik ke pentas mengambil duduk disamping Marc, kemudian mengiringinya untuk menambah efek dari lagu ‘Canon’. Lagu itu sedikit terlihat lain. Dan Donghae mengikuti kemana Marc mengarahkannya. Dan jadilah lagu itu sangat manis.

Setelah itu mereka berdua turun dan menuju meja mereka.

“Marc…”. Panggil Donghae yang baru menyadari Marc jauh dibelakangnya.

Marc mendongak memandang Donghae, senyum masih menghiasi wajahnya.

Gwenchana?”. Tanya Donghae setelah jarak mereka cukup dekat.

“ha?”. Tanya Marc.

“kau terlihat pucat, Gwenchana?”. Tanya Donghae memperjelas.

Gwenchanayo... Kurang tidur saja mungkin…”. Jawab Marc santai.

Setelah itu mereka duduk di meja mereka. Tak lama Marc pamit pulang.

***

Samchon sudah katakan berulang kali padamu, jangan sampai kurang istirahat, jangan telat minum obat, jangan kecapean! Kapan kau menurut!”. Marah-marah Siwon pada Marc yang sudah tiduran lemah di kamarnya.

Marc masih tersenyum. “Guroem, tolong aku meyakinkan Sica dia mampu menjalankan perusahaan sendiri Samchoon… kalau tidak begitu, bagaimana aku bisa istirahat?”.

“ck... Arra, akan kukatakan padanya nanti... sekarang istirahatlah...” Kata Siwon kemudian menaikan selimut Marc lalu meninggalkannya sendiri tidur dan menenangkan fikirannya.

***

Keesokan harinya, Marc di tempa dengan kegiatan di tiga tempat sekaligus, pagi dia menyempatkan berlatih untuk konsernya, sedikit siang waktu makan siang dia akan mengajar dikampus, sorenya dia kembali berlatih. Malamnya dia akan mengerjakan tugas kantor hingga dini hari baru semuanya selesai, dan setiap harinya ia hanya akan tidur 2-4 jam. Dan jika beruntung dia akan bisa mencuri waktu mungkin 20 menit untuk menutup matanya sejenak dimanapun dia berada.

Hari ini hari ke 7 latihan, akhirnya anggota lengkap juga. Marc menyebarkan partitur buatannya ke semua pemain music dan mengarahkan seluruhnya sesuai keinginan partitur yang dibuatnya. Sesekali dia melihat kearah pemain Cello, kemudian ke Biola, dan beberapa saat agak lama ke pemain Piano yang sedari awal memang menarik perhatiannya.

Setelah latihan seluruhnya berkumpul evaluasi dini dan juga perkenalan singkat yang pada awalnya bahkan terlupa.

Jonoen Marcus Lee Imnida, usia saya memang baru 21 tahun… jadi masih kurang pengalaman… Banggaupseumnida”. Kata Marc saat tiba waktunya memperkenalkan diri didepan para seniornya, mungkin tidak semua, tapi rata-rata adalah orang-orang senior.

Marc kembali menatap pemain Piano, tatapan mereka bertemu. Marc menatap iris coklat tua si pemain piano, dan pemain piano menatap matanya yang serupa.

Marc mengirim sebuah senyum kecil yang entah bermakna apa.

 Tanpa sadar, Marc terus menatap wanita itu. ‘dia memang cantik, lebih cantik dari fotonya… bola matanya sama sepertiku, dan bentuk wajahnya sama sepertiku. Bentuk bibirnya sama sepertiku. Hanya saja hidung dan warna rambut saja yang berbeda… Appa… aku menemukan wanita ini… apa apppa senang?’. Batin Marc. Kemudian mengalihkan pandangannya.

***

“Hae-ah…”. Panggil seseorang.

Donghae menoleh. “ya, kenapa telat sekali?”. Tanyanya dengan wajah super duper jengkel.

Mianhe... Umma terlambat…”.

Donghae mengerucutkan bibirnya sesaat sebelum melihat kebelakang dan menyadari seseorang. “Marc?”. Panggilnya.

Marc merasa namanya dipanggil menoleh. “Hai”. Jawab Marc dari jauh.

“Hae, kenal Mr. Lee?”.

“Tentu umma… Marcus Lee adalah sahabat dan juga dosenku yang pernah aku ceritakan ke ummaUmma lupa?”. Tanya Donghae balik.

Nde... Umma ingat…”.

Marc memicingkan matanya, melihat dengan siapa Donghae ketempat ini. Dengan seorang wanita, tapi tanpa kacamata jelas membuat Marc tidak bisa melihat dengan jelas siapa orang itu dari jarak yang cukup jauh seperti ini.

“aku pulang dulu”. Pamit Donghae.

Marc mengangguk dan kembali ke perbincangannya dengan beberapa pemain music.

***

Marc duduk di meja sembari menerangkan materi kuliahnya, kini jadwalnya ada di sebelah kelas Donghae. Sudah 3 bulan ini dia mengajar. Berdasar hasil post test yang rutin dibuatnya menunjukan hasil belajar yang cukup baik dari mahasiswanya.

“Ok, 3 minggu lagi saya tunggu tugas akhir kalian, kecuali untuk Eunhyuk dan Soo Yong yang sudah mempersembahkan tugas akhirnya. Kalau ada kesulitan jangan sungkan kirim Email untuk bertanya. Kalau saya bisa jawab akan saya usahakan untuk menjawab, ok ada pertanyaan sebelum saya tutup?”.

Saem!”. Panggil seseorang diujung kanan.

“ya Hanna”. Jawab Ray.

“4 minggu lagi Lee Saem konser, kita boleh lihat latihannya Saem?”. Tanya orang yang dimaksud.

“tentu… silahkan datang…”. Jawab Marc dengan senyuman. “ada lagi?”.

Saem boleh minta sesuatu?” tanya seorang mahasiswa yang duduk nomor 2 dari depan.

nde Seun Gi?” tanya Marc sembari memfokuskan pandangannya pada Mahasiswa itu.

Seun Gi maju membawa gitarnya, lalu memberikannya ke Marc. “minggu depan Saem sudah tidak masuk kelas kami, boleh minta Lee Saem memainkan satu lagu untuk kami? Setidaknya pertunjukan bakat seorang composer yang konon katanya hampir semua alat music Lee saem kuasai…” kata Seun Gi.

Marc tersenyum menerima gitar itu, mengusap bodynya sekilas, lalu memposisikannya dipangkuannya, kepala gitar ada disisi kiri tangannya. “request apa?” tanyanya.

’Over drive’ Saem!” kata Soo Yong. “lagu itu lagu andalannya Donghae” imbuhnya.

“huuuuu!!!” sorak satu kelas. Sudah bukan rahasia umum kalau Soo Yong, Drumer Band yang di pimpin Eunhyuk itu menyukai Donghae.

“bukannya apa! Lagunya emang memiliki tingkat kesulitan tinggi!” elak Soo Yong.

“sudah… sudah…” lerai Marc. “saya menemukan sebuah lagu, saya harap kalian menikmati”. Kemudian memulai memainkan gitar ditangannya, memetik senarnya perlahan kemudian menjadi keras dengan sedikit pukulan kecil pada body gitar sebagai pelengkap. Dan nampaknya semua tahu lagu yang dimainkannya.

“saudaranya ‘Over drive’, sama-sama lagunya Oshio Kotaro kan?” bisik Soo Yong pada Eunhyuk.

Eunhyuk mengangguk. “’Hard Rain’…” sebutnya.

Sampai lagu berakhir kelas masih hening. Marc meletakan gitar dilantai bersandar pada meja, lalu mengemasi barangnya.

“setelah saya sudah tidak mengajar kalau kita ketemu di waktu lain jangan sungkan untuk menegur. Dan e-mail saya masih terbuka untuk curhatan-curhatan kalian” kata Marc yang langsung mendapat sorakan dari satu kelas.

“jadi curhatannya selama ini dibaca Saem?” tanya seorang Mahasiswa di pojok kanan.

“hem… tentu, yang menyangkut kampus sudah saya usahakan untuk menghubungi Mr. Choi Siwon untuk pengembangan kampus, semoga nanti setelah saya tidak mengajar lagi akan banyak perkembangan baik” kata Marc lagi.

“memang Lee Saem tidak mengajar kita lagi semester depan?” tanya mahasiswanya yang lain.

“hem… kemungkinan besar tidak…” jawab Marc.

“yaaaaaa….” Sorak satu kelas.

“hahaha… jangan begitu, nanti pasti banyak dosen baru yang lebih menyenangkan dari saya… tenang saja” kata Marc berusaha menenangkan. “tidak ada lagi yang mau request atau bertanya aneh-aneh?” tanya Marc.

Tidak ada jawaban.

“baiklah karena waktu sudah habis, jadi kita akhiri. Karena ini pertemuan tatap muka terakhir, saya minta maaf jika saya banyak membuat kesalahan. Dan semoga diluar kelas kita tetap bisa berteman”. Kata Marc menutup kelasnya. “dan selamat pagi”.

“pagi…”. Jawab mereka serempak.

 

***

 

Baru 2 jam yang lalu Marc sampai, sekarang bajunya sudah awut-awutan, kemeja birunya sebagian keluar, lengan kemejanya sudah terlipat sesiku, wajahnya yang tadi bersih sekarang tampak sudah berkeringat. Tangannya sedari tadi memegang stik kesayangannya. Dia berdiri dihadapan para pemain yang membentuk setengah lingkaran didepannya, dengan alat music masing-masing di tangannya.

Tak jarang sekali-kali dia ke deretan pemain jika ada kesulitan, tak jarang tangannya terjun membantu memberi arahan pada beberapa pemain. Senyumnya juga masih merekah.

“baiklah, satu kali lagi kita latihan”. Kata Marc setelah melihat jamnya menunjukan pukul 19.00, memang mereka rutin pulang pukul 20.00.

Mereka memulai lagi dari awal untuk terakhir kalinya hari itu. Marc memimpin didepan. Semua berjalan dengan baik, bahkan ini berasa sudah gladhi kotor, mengingat waktu latihan mereka dimulai dari 3 bulan lalu.

Setelah 8 menit music selesai juga akhirnya. Mereka bertepuk tangan untuk mereka sendiri.

BRAK!

Tepuk tangan itu terhenti, ketika mereka berhenti derap langkah menggantikannya. Dan mereka menyadari siapa itu. Pelakunya adalah Marc.

BRUGH!!

“Marc?” sebut orang yang terjengkang. Donghae.

Marc segera bangkit dan meneruskan langkah kakinya.

“Marc.. mau kemana?”. Teriak Donghae menyadari bintik-bintik keringat dan tangan Marc yang menutupi area mulut dan hidungnya.

Marc tidak menjawab, dia terus berlari menuju kamar mandi.

Donghae melihat ada ceceran warna merah dijaketnya yang berwarna putih. “Marc…”. Sebutnya.

Donghae langsung berdiri berlari dan mengikuti Marc menuju kamar mandi.

“Marc! Gwenchana?”. Teriaknya sambil menggedor pintu kamar mandi yang sudah dikunci dari dalam. “Marc! Buka pintu!”. Teriaknya lagi setelah tidak ada jawaban.

 

Bersambung...

 

what the next? gimana?

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
yuchan13 #1
Chapter 4: aigoo, kyu pergi d pelukan sang eomma, kyu srbenernya skit apa ya? apa aq terlewat membacanya? ntah ini sad ending atw happy ending, bsa d bilang ini happy ending krn kyu akhirnya ketemu sang eomma n pergi d pelukannya... T.T tpi sad ending bwt ahra yg nggk bsa kumpul lbh lama sama kyu pdhl selama ini dy mencari anknya... aq penaaaran gmn mrk bsa pisah, apa yg bikin mrk pisah n bikin kyu ngira ahra ahra ninggalin dy...
ditunggu ff brothersgip n family lainnya...
fira_bunny #2
Chapter 4: Sungguh menyentuh namun berakhir sedih.
Hweeeeeeee......
Kenapa harus sad ending???