Autumn Rain

Autumn Rain

 

            Gadis itu menghancurkan bulatan  cair bening yang terbit dari sudut mata dengan punggung tangannya. Terlalu banyak beban pikiran yang menghantuinya saat itu sampai membuatnya merasa telah membuang waktu sembilan tahun untuk membiarkan diri terperosok dalam masalah yang tak terhitung jumlahnya. Masalahnya di rumah, di sekolah dan bahkan kini di tempat bimbingan belajar. Masih terngiang di telinganya omelan mentor di tempat bimbelnya tadi, omelan yang berintikan nilai-nilainya yang merosot tajam, seringnya ia melamun saat menerima pelajaran dan sikapnya yang menunjukkan ia tidak punya niat lagi untuk menjadikan universitas nomor satu sebagai sasaran.

            Napasnya tersengal, berusaha menahan sesuatu yang rasanya sudah menumpuk di kelenjar airmatanya. Ia tahu ia masih akan menangis ketika tiba di rumah, menghadapi cekaman sepi dan keharusan untuk memaklumi bahwa dia akan sendirian di rumah, tanpa ada yang bertanya kenapa, apa yang salah dan meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja.

            Pertahanannya runtuh, satu demi satu tetesan air mata jatuh dari matanya, pandangannya buram sehingga ia memutuskan untuk mundur dari tepi jalan, mengurungkan diri untuk menunggu bus, dan terduduk di bangku halte, membiarkan orang-orang menatapnya keheranan karena suara isakan. Yang ia harapkan adalah pergi jauh, meninggalkan dirinya yang sekarang, menembus lintasan cakrawala, dimana ia bisa bernapas lega, memiliki apa yang ingin ia miliki, menghindari apa yang ingin ia hindari.

            Seolah langit dan awan kelabu mendengar tangisnya, hujan tumpah ke bumi, tepatnya ke tempat ia menunduk kini, membiarkan airmata membasahi lengan bajunya. Dengan cepat, hujan menciptakan satu demi satu genangan air, tak terkecuali di dekat kakinya yang terlindung kanopi halte, saat itu diiringi gemericik suara hujan dan suara kendaraan yang melaju di jalan di depannya, seorang laki-laki menghampirinya, sosoknya terpantul di genangan air yang kini ia tatap. Mata gadis itu mengerjap-ngerjap mewakilkan perasaan herannya karena lelaki itu kini tengah memandanginya dengan sorot mata tenang dan dingin.

            Gadis itu mengangkat kepalanya, tanpa merasa perlu menyembunyikan pancaran mata penuh tanda tanya yang mengarah ke lelaki itu. Dia kenal lelaki itu, teman sekelasnya di bimbingan belajar tadi, sekaligus teman satu angkatannya di sekolah. Mereka berbeda kelas di sekolah, namun karena mereka satu kelas di tempat bimbel, gadis itu tak asing lagi dengan wajahnya, sekalipun mereka tidak pernah mengobrol, lelaki itu lebih sering menghabiskan waktu di pojok ruangan, mendengarkan musik selagi menunggu mentor datang, ia datang dan pulang sendiri tanpa basa-basi dengan kedua tangan di saku jaket dan earphone di telinga, begitu juga di sekolah. Karena itu wajar jika gadis itu bahkan tidak tahu siapa nama lelaki yang kini masih berdiri di hadapannya itu. Kesan misterius menyelimutinya seperti kabut tak kasat mata.

            Lelaki itu tahu-tahu menyodorkan hoodie yang sedari tadi menggantung di tangannya, hoodie berwarna putih yang tebal dan terlihat hangat.

            “Jadikan ini payung,” Suara berat lelaki itu menjadi satu dengan ributnya hujan memukul-mukul atap kanopi halte, “Dan juga saputangan.”

            Setelah mengucapkan satu kalimat itu ia menyodorkan hoodie tersebut lebih dekat ke wajah si gadis, seolah menekankan bahwa gadis itu harus mengambilnya. Masih dengan heran, gadis itu meraih hoodie yang disodorkan. Lelaki itu tidak berkata apa-apa lagi dan berjalan pergi, menembus derasnya hujan tanpa payung dan tanpa mengenakan hoodie, kaus abu-abunya yang tipis dengan cepat berubah warna menjadi pekat karena air hujan selagi gadis itu memperhatikan punggungnya dari halte.

            Lelaki misterius itu tak kelihatan lagi, membuat gadis tersebut menatap hoodie putih yang kini ada di tangannya. Masih dengan rasa bingung yang meluap-luap, ia menyeka airmatanya dengan  hoodie itu, bukankah itu yang tadi dibilang lelaki itu? Jadikan hoodie itu saputangan, dan apa lagi katanya? Ah ya, jadikan payung.

            Kenapa laki-laki itu tahu gadis itu tidak membawa payung? Masih dengan berbagai keheranan, gadis itu merentangkan hoodie putih tersebut, menjadikannya payung, meminimalisasi risiko kepalanya basah, berlari menuju rumahnya.

Rumahnya, tempat kosong dimana ia bisa bersembunyi dan melanjutkan tangis sepuasnya.

                                                            *

“Soojung! Kau mau kemana?” Jinri memanggil Soojung yang bukannya berjalan pulang bersama-sama ke gerbang sekolah malah mengambil arah berlawanan.

“Kau pulang duluan saja,” Soojung menoleh, rambut hitam panjangnya tersibak angin, “Aku mau mencari seseorang”

Jinri tidak sempat bertanya lebih jauh karena Soojung sudah setengah berlari menyusuri koridor sekolah, menuju kelas yang berjarak tiga ruang dari ruang kelasnya sendiri. Ia mengintip ke dalam ruang kelas itu melalui pintu yang terbuka, masih ada beberapa siswa yang belum pulang tapi orang yang dicarinya tidak ada disitu. Soojung kemudian memutuskan mencari di tempat berikutnya, tempat yang kira-kira akan didatangi oleh lelaki tersebut. Perpustakaan.

Kali ini perkiraannya tidak meleset, ketika ia memasuki perpustakaan, matanya langsung menangkap sosok lelaki itu, duduk tenang di salah satu meja dengan buku yang terbuka di depannya dan earphone di telinga. Soojung, menaruh tasnya di tempat penitipan tas perpustakaan setelah mengeluarkan benda yang akan diberikannya pada lelaki itu.

Soojung menghampiri lelaki itu lalu berdeham, tetapi lelaki itu hanya melirik sekilas, lirikan hampa, tanpa ada keinginan untuk mendongak dari buku yang kini sedang ditekuninya. Baru ketika Soojung menyodorkan hoodie putih yang kini terlipat rapi dan menyebarkan semerbak wangi pengharum pakaian bercampur parfum, ia melepaskan earphone-nya dan mengalihkan perhatiannya pada Soojung.

Soojung menggigit bibir sebelum berkata, “Terima kasih atas bantuanmu kemarin meski sampai sekarang aku masih heran kenapa...”

“Sama-sama,” Potong lelaki itu, ia mengambil hoodie-nya, menaruhnya di atas meja di sebelah buku dan kembali memasang earphone ke telinganya. Tidak memberikan kesempatan bagi Soojung untuk menyuarakan berbagai kebingungannya, padahal semalam Soojung bahkan sudah merencanakan apa saja yang akan ditanyakannya.

Hanya dua yang berjalan sesuai rencana: Mengembalikan hoodie dan tahu nama lelaki itu. Ya, Soojung berhasil melihat ke arah nametag lelaki itu. “Kalau begitu aku pulang dulu,” Ujar Soojung dengan suara mirip bisikan, “Sekali lagi terima kasih, Do Kyungsoo.”

Dan Soojung yakin lelaki itu mendengarnya karena matanya yang menyorotkan kebekuan itu sempat melirik ketika Soojung menyebut namanya.

                                                            *

Soojung menoleh ke belakang, ke kursi tempat lelaki bernama Do Kyungsoo itu selalu duduk saat bimbel. Dia belum datang. Beberapa hari belakangan, setelah Soojung mengembalikan hoodie-nya, Soojung sempat berpapasan dengannya di sekolah, tapi lelaki itu bersikap seolah ia tidak mengenalnya, ekspresi datarnya tidak pernah berubah seolah memang wajahnya di-set seperti itu setiap hari.

Pertemuan-pertemuan tak sengaja di sekolah itu hanya berlalu singkat tanpa arti, baik Soojung maupun lelaki itu tidak ada yang tersenyum, hanya Soojung yang menatapnya dengan kening berkerut dan tanda tanya tercetak di raut mukanya sementara lelaki itu hanya diam, matanya memandang lantai, datar, tanpa emosi.

Pintu ruangan terbuka, dua menit sebelum jadwal, lelaki itu datang. Soojung tertegun, Do Kyungsoo datang mengenakan hoodie putih yang beberapa hari lalu ia kembalikan, yang hingga detik ini Soojung tetap tidak tahu apa motif di balik peminjaman hoodie itu. Soojung tak tahan untuk tidak mengarahkan matanya pada Kyungsoo yang masih tetap dengan selubung misteriusnya, berjalan melewati meja Soojung menuju mejanya sendiri, alis Soojung terangkat, ia bisa mencium samar-samar wangi pengharum pakaian tercampur parfum Soojung sendiri yang ia semprotkan banyak-banyak sebelum mengembalikan hoodie tersebut.

                                                            *

“Ada apa?” Tanya Kyungsoo pada Soojung yang masih memperhatikannya sekalipun mereka kini sudah berada di luar tempat bimbel, menunggu bus yang tak kunjung datang di halte.

Soojung yang merasa terpergok langsung mengalihkan pandangannya, pura-pura tertarik pada daun-daun kering yang gugur dan bertebaran di sekitar halte.  “Ada apa?” Ulang Kyungsoo, masih dengan ekspresi datar yang seolah tidak pernah berubah seperti patung batu, “Apa ada sesuatu di wajahku?”

Soojung kini mengalihkan kembali perhatiannya pada Kyungsoo yang berdiri di sampingnya, kedua tangan lelaki itu ada di saku hoodie-nya dan earphone terpasang di telinga. Ia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga sebelum berkata, “Aku masih penasaran alasanmu kemarin meminjamkan hoodie”

“Karena kau tidak bawa payung,” Jawab Kyungsoo cepat dan tanpa tendensi, “Dan karena kau menangis”

Mata Soojung melebar, “Kenapa kau tahu?”

Kyungsoo mendengus, “Siapapun yang ada disini waktu itu pasti tahu kau menangis”

“Tapi aku masih tidak mengerti,”

“Aku tidak tahan melihat orang menangis,” Kyungsoo menanggapi rasa penasaran Soojung, “Aku kemarin tidak bawa tisu ataupun saputangan jadi kupinjamkan kau hoodie”

Bukannya puas dengan jawaban itu, Soojung malah bertambah bingung.

“Sekaligus untuk kau pulang menerobos hujan, kau kan tidak bawa payung” Tandas Kyungsoo.

“Kau juga kan tidak bawa payung kemarin,”

“Aku sudah biasa kehujanan”

Lalu untuk pertama kalinya Kyungsoo menoleh, menatap Soojung, matanya bertemu langsung dengan mata gadis itu, “Berapa banyak parfum wanita yang kau semprotkan ke hoodie-ku?” Tanyanya.

Soojung tidak sempat menjawab karena saat itu bus yang mereka tunggu tiba, Kyungsoo memasuki bus diikuti Soojung di belakangnya yang masih terlihat bingung. Tanpa berkata apa-apa lagi Kyungsoo duduk di salah satu kursi di dekat jendela sementara Soojung duduk di satu-satunya kursi kosong yang tersisa di bagian belakang bus, matanya tidak terlepas dari Kyungsoo yang menatap ke luar jendela bus, mulut lelaki itu sesekali terbuka mendendangkan lagu yang sedang ia dengarkan tanpa suara. Entah kenapa itu menjadi pemandangan menarik bagi Soojung sampai ia lupa kalau ia juga punya pemandangan sendiri dari jendela di sampingnya.

                                                            *

Hujan turun lagi hari itu, tepat begitu bel pulang sekolah berbunyi, Di ruang kelasnya sendiri, Kyungsoo tersenyum tipis, ada kepuasan tersendiri dalam dirinya melihat derasnya hujan menampar-nampar kaca jendela, memaksa payung-payung terbuka untuk mengantarkan orang-orang yang berjalan tergesa menuju rumah, tempat berteduh paling nyaman bagi mereka. Hujan juga menahan langkah sebagian orang yang tidak cukup berani untuk basah kuyup, dibayangi ketakutan akan flu dan demam.

Kyungsoo mengenakan ransel dan memasukkan kedua tangannya ke saku hoodie seperti biasa, ia bukan tergolong keduanya hari ini. Bukan golongan pertama yang menerobos hujan, bukan juga yang berlindung menunggu hujan reda. Ia punya cara untuk menikmati hujan yang mengandung  hembusan angin kencang dan kilatan petir ini sendirian.

Sementara itu di ruangan kelas lain yang hanya berjarak tiga kelas darinya, Soojung menghembuskan napas keras-keras. Hujan lagi. Gerutunya. Hujan deras disertai gemuruh petir tidak pernah membuat hatinya merasa nyaman. Hujan memancingnya untuk memikirkan hal-hal buruk, tentang dirinya, tentang keluarganya dan kewajiban untuk tetap menjaga nilai-nilainya stabil. Ruangan kelasnya sudah kosong, hanya tinggal dirinya. Jinri, satu-satunya temannya di kelas itu sudah pulang duluan, nekat menerobos hujan dengan berbekal cardigan tipis. Selain Jinri, Soojung tidak punya orang lain untuk sekedar diajak mengobrol selagi menunggu hujan reda.

Kalau ada siswa yang paling menutup diri di sekolah ini maka Soojung-lah orangnya, dia sengaja mendirikan benteng tak terlihat di sekitarnya, menghalau orang-orang yang berusaha masuk ke kehidupannya. Lebih banyak menatap tajam ke sekeliling tanpa merasa perlu untuk tersenyum. Semua men-cap dia arogan, karena itulah tidak banyak yang mau berusaha berteman dengannya, kecuali Jinri. Padahal Soojung cukup cantik, banyak yang bilang seharusnya ia jadi model atau bintang film saja, tetapi karena wajahnya yang selalu tertekuk, ia berubah menjadi pribadi yang terkesan tak ramah dan selalu depresi, membuat orang-orang menjauhinya.

Jinri adalah satu-satunya yang tahu mengapa Soojung berlaku seperti itu dan bagaimana latar belakang Soojung. Jinri yang tahu bahwa kedua orangtua Soojung sudah bercerai dan kini ia tinggal dengan ibunya sementara ayahnya sudah tidak pernah menghubunginya selama tiga tahun terakhir. Ibunya jarang pulang ke rumah karena sudah menikah dengan seorang pria pengusaha tanpa merasa perlu mengajak Soojung untuk tinggal bersama. Soojung juga tidak mau, ia muak dengan ide untuk mempunyai keluarga baru dan ayah baru. Ibunya tetap mengiriminya uang untuk biaya hidup sehari-hari, biaya sekolah dan biaya bimbingan belajar supaya ia bisa masuk perguruan tinggi yang bagus, meski begitu, hidup sendiri untuk anak SMA seusianya tetaplah berat. Soojung memilih untuk menutup rapat-rapat semuanya, tidak membiarkan seorangpun masuk dan menikmati keterpurukannya kecuali Jinri. Jinri adalah siswa terkucil di kelas. Sama seperti Soojung yang hanya memiliki Jinri sebagai teman, begitu juga Jinri hanya memiliki Soojung sebagai teman.

Soojung masih menatap hujan yang turun tanpa ampun di jendela, ia sedang tidak ingin pulang dengan keadaan basah karena hujan, ia selalu diliputi harapan akan ada yang menyambutnya di rumah, menyodorkan handuk kering dan membuatkan susu coklat. Menyedihkan. Ia melirik jam tangannya, sudah pukul lima sore. Ia memutuskan menyeret langkahnya menuju satu tempat dimana ia bisa bersembunyi sambil menunggu hujan berhenti. Perpustakaan.

Lumayan banyak siswa yang ada di perpustakaan, rata-rata bukannya membaca buku seperti seharusnya, mereka ada disitu dengan alasan yang sama seperti Soojung, menunggu hujan reda. Soojung beringsut menjauhi keramaian, matanya melirik ke kanan dan kiri mencari pojok sepi yang bisa ia duduki. Ia berjalan ke deretan rak buku-buku ensiklopedia dan buku-buku tebal. Jantungnya mencelos saat melihat sudah ada yang menghuni pojok ruangan di dekat rak tersebut, Do Kyungsoo, dengan hoodienya yang biasa dan earphone di telinganya, bersandar di dinding, ensiklopedia astronomi terbuka di depannya. Matanya meangkap kehadiran Soojung, tanpa terdengar kaget ia bergumam, “Kau tidak bawa payung lagi ya”

Masih belum pulih dari rasa kagetnya, Soojung menghampiri Kyungsoo lebih dekat, dengan ragu ia duduk di lantai di sebelah Kyungsoo, menyandarkan punggungnya di dinding setelah meyakinkan bahwa jaraknya dengan Kyungsoo cukup jauh. Lagi-lagi ia mencium aroma parfumnya sendiri dari hoodie Kyungsoo, ada sesuatu yang bergerak tak tenang di hatinya sendiri saat menyadari hal itu. Kyungsoo bahkan tidak merasa perlu mencuci hoodienya untuk menghilangkan wangi parfum wanita itu?

“Kau suka astronomi?” Tanya Soojung karena tidak tahu harus berkata apa lagi untuk memecah gelembung kesunyian di antara mereka berdua.

“Lumayan,” Jawab Kyungsoo datar sambil membalik halaman ensiklopedia, “Aku suka melihat gambar-gambar bintang dan planet. Menarik”

Soojung mengangguk-angguk, “Aku.... Nnng.. Tadinya aku kesini untuk melamun sendirian sambil menunggu hujan reda tapi...”

“Tidak jadi karena ada aku di spot terbaik untuk melamun?”Kyungsoo berkata dengan nada datar yang sama seperti ia mengucapkan 1+1=2. Untuk sesaat Soojung merasa Kyungsoo bisa membaca pikiran. “Silakan melamun saja, aku tidak akan mengganggu” Ujar lelaki di sebelahnya itu.

Soojung mengerucutkan bibirnya, menyerah untuk membuka obrolan dengan Kyungsoo. Iapun akhirnya mengambil posisi memeluk lutut, membiarkan suara hujan menjadi melodi teratur yang menemani pikirannya berkelana ketika tahu-tahu jari telunjuk Kyungsoo mencolek lengannya, menimbulkan sensasi aneh yang membuat Soojung langsung mengangkat kepalanya dan memandang Kyungsoo.

Kyungsoo, masih dengan ekspresi yang tenang dan datar bagaikan kolam tanpa riak air, menyodorkan sebelah earphone-nya pada Soojung. Soojung mengerjap-ngerjapkan matanya, heran.

“Siapa tahu kau butuh backsound untuk melamun” Kyungsoo berkata hampir tak kedengaran.

Soojung tidak tahu harus berkata apa selain meraih sebelah earphone itu dan memasangnya di telinga. Sesaat sesuatu yang aneh tanpa nama itu bergerak-gerak tak tenang lagi di hatinya, apalagi saat menyadari kenyataan bahwa ia mendengarkan musik dan satu earphone dengan lelaki di sebelahnya yang baru ia ketahui namanya beberapa hari lalu. Mereka terhubung dalam satu kabel putih yang mengalirkan nada, menyaingi amuk hujan dan angin di luar sana.

Soojung memejamkan matanya, mendengarkan musik yang terdengar dari sebelah telinganya.  Musik yang didominasi paduan gitar dan piano serta suara penyanyi seempuk gundukan kapas itu dengan sekejap menghipnotisnya, membuatnya hanya ingin terpejam, menikmati semua ini tanpa ada yang mengusik.

Ia merasa seperti terpisah dari keramaian pengunjung perpustakaan lain yang mengobrol, terpisah dari hujan yang masih turun deras tanpa celah, terpisah dari decakan petugas yang mengingatkan waktu tutup perpustakaan, terpisah dari elemen-elemen lain yang ada di sekitarnya, entah itu rak berisi buku-buku usang maupun debu tipis di dinding dan lantai tempat ia duduk.

Hanya ada ia dan Kyungsoo di ruang kubus yang ia ciptakan sendiri, mereka berdua seperti dua planet yang berputar di satu orbit, melupakan rotasi, melupakan gravitasi dan kenyataan bahwa ruang angkasa sebenarnya bermilyar kilometer jauhnya. Mereka berdua terhubung melalui satu wewangian yang sama dan alunan musik.. bagaikan rasi bintang yang menggabungkan dua planet yang berbeda.

Lama kelamaan Soojung benar-benar terlelap.

                                                            *

Soojung membuka matanya perlahan, ia mengerjap-ngerjap sesaat sebelum akhirnya mengedarkan pandangan ke sekelilingnya dengan kesadaran belum sepenuhnya. Ia terperanjat melihat langit di luar jendela sudah gelap. Sudah malam? Dan ia tidak menyadarinya? Berapa jam ia tertidur?!

“Sudah bangun rupanya,” Suara berat dari seseorang di sampingnya membuat Soojung tersentak, ia menoleh dan mendapati Kyungsoo dengan wajah mengantuk menutup buku ensiklopedia astronomi yang tebal di depannya. “Kau tidur hampir dua jam, apa kau kurang tidur akhir-akhir ini?”

“Apa?” Soojung tidak bisa lebih kaget lagi. “Aku tertidur sampai dua jam?”

Kyungsoo tersenyum samar sambil melepas earphone di telinga kanannya, membuat Soojung tersadar ia dan Kyungsoo masih berbagi earphone, “Ya tapi hujan masih belum reda juga”

“Sekarang... jam berapa?” Tanya Soojung sambil melepas sebelah earphone lagi di telinga kirinya.

“Jam tujuh lewat lima” Jawab Kyungsoo.

“Hah? Kenapa kau tidak membangunkanku? Aku harus pulang”

“Percuma, pintu perpustakaan sudah dikunci”

Soojung menatap Kyungsoo lekat-lekat, “Apa maksudmu?”

“Kita terkunci di dalam, jam setengah enam perpustakaan tutup dan sepertinya petugasnya tidak menyadari kalau masih ada kita disini.”

“Jangan bercanda..”

“Aku tidak bercanda,” Kyungsoo mengangkat bahu, “Kau bisa cek pintunya kalau tidak percaya”

“Lalu kenapa kau tidak bilang padaya waktu mau mengunci pintu, kau kan bisa berteriak atau apa supaya dia dengar”

“Entahlah, mungkin aku juga tertidur sama sepertimu”

Dahi Soojung terlipat, “Mungkin?”

Bukannya menjawab kebingungan Soojung, Kyungsoo malah bangkit dan menaruh buku ensiklopedi yang tadi dibacanya di salah satu bagian rak, “Kita tidak punya pilihan lain selain menginap disini sampai besok pagi”

“HAH? Memangnya tidak akan ada penjaga sekolah yang akan berkeliling?”

“Kurasa tidak ada.” Timpal Kyungsoo datar.

Butuh waktu lama bagi Soojung untuk menyimpulkan situasi yang sedang terjadi, ia dan Kyungsoo terkunci di perpustakaan dan harus menghabiskan malam disini sampai perpustakaan buka besok pagi? Kepala Soojung mendadak terasa pening.

Ia bangkit berdiri, dengan langkah tersaruk ia berjalan melewati Kyungsoo yang masih memunggunginya menekuni judul-judul buku di rak, “Aku ke toilet dulu” Ujar Soojung pelan. Ia merasa perlu membasuh mukanya, meyakinkan bahwa ini bukan khayalan, ia bukan sedang terperangkap dalam dunia drama atau semacamnya. Meninggalkan Kyungsoo yang menyembunyikan sekelebat senyum di wajah karena berhasil menutupi rahasia kecil bahwa sebenarnya ia sadar saat petugas perpustakaan akan mengunci pintu, ia bisa saja berteriak membuat petugas tersebut sadar masih ada orang di dalam, hanya saja ia mengurungkan niat begitu melihat wajah letih Soojung yang tertidur di sampingnya, ia ingin memberikan waktu ketenangan dan kedamaian dalam tidur bagi Soojung lebih lama lagi meski itu berarti mereka terkunci semalaman di perpustakaan.

Tidak sampai lima menit, Soojung kembali dari toilet, mendapati Kyungsoo sudah duduk di salah satu kursi dekat jendela perpustakaan, memandang ke arah hujan di luar, mengabaikan ensiklopedia dengan judul berbeda dengan yang tadi dibacanya terbentang di atas meja.

Soojung menarik kursi di sebelah kursi Kyungsoo lalu duduk, keduanya tenggelam beberapa saat, menyaksikan air yang tumpah ruah ke dataran manusia sejak sore. Kyungsoo kemudian bersuara, “Kapan terakhir kali kau tidur nyenyak?” Tanyanya, tidak ada yang berbeda dari nada bicaranya, tetap datar tanpa emosi namun perasaan aneh kembali bergerak-gerak gelisah dalam hati Soojung.

“Aku tidak ingat,”

“Kenapa?”

Soojung menggigit bibir, “Kenapa apanya?”

“Kenapa kau tidak pernah tidur nyenyak?”

Soojung memilih tidak menjawab, ia mengetuk-ngetuk permukaan meja di depannya dengan buku-buku jari. Kyungsoo menghela napas, paham kalau Soojung tidak akan menjawab.

“Tunggu,” Soojung bergumam, ia berjalan menuju tempat tasnya diletakkan di rak penitipan tas, mengambil sebungkus roti. Ia kembali duduk, membuka kemasan roti itu dan membaginya menjadi dua, “Untukmu,” Soojung memberikan potongan roti itu pada Kyungsoo, “Ini tadinya untuk kumakan saat istirahat tadi siang tapi tidak kumakan. Makanlah, satu-satunya makan malam kita”

Kyungsoo tampak tak yakin tapi ia mengambil juga roti itu dan memakannya. Suasana kembali hening, Soojung mengintip ke arah buku yang terbuka di depan Kyungsoo di atas meja. Masih tentang astronomi, karena terdapat banyak ilustrasi titik-titik bintang selatan dan penjelasan bagian-bagian asteroid. Sejenak Soojung teringat mimpinya selagi tertidur tadi, ia merasa seperti berada, di lapisan teratas langit, jauh dari lapisan-lapisan atmosfer seperti yang selalu ia dambakan ketika ia menangisi bebannya. Ia selalu ingin melarikan diri kesana, menari di antara debu-debu ruang angkasa, melesat bersama angin menembus gelap dan cahaya bintang. Ia bersyukur akhirnya keinginannya terwujud meski hanya dalam sebentuk mimpi, mimpi yang tercipta dari tentram tidurnya, melalui hela napas dan dengkurnya, melupakan semua yang terjadi di dunia. Hanya ada dia, semua dimensi alam dan.... Do Kyungsoo.

Soojung melirik Kyungsoo, ia yakin tadi lelaki itu juga masuk ke mimpinya, atau mungkin karena dia jugalah penyebab Soojung bisa bermimpi seperti itu, kalau bukan karena kenyamanan yang ia tawarkan melalui sodoran alunan musik dan gambar-gambar planet mungkin Soojung tidak akan tidur senyenyak itu sampai bermimpi dan tersesat dalam fantasi.

Tiba-tiba kilat putih beralirkan listrik datang serupa pembelah langit, kemunculan dan gemuruhnya membuat Soojung terlonjak, dan sama sekali tidak sempat memerintahkan akalnya untuk rasional sehingga ia keburu mencengkram bahu Kyungsoo, ketakutan. Kyungsoo beku di tempat, untuk sesaat Soojung masih menutup matanya takut-takut, begitu menyadari posisinya yang sudah sangat dekat dengan Kyungsoo, Soojung buru-buru menarik diri, “Maaf” Ia berkata pelan, berusaha mengatur supaya denyut jantungnya kembali normal.

“Kau takut petir?” Ucap Kyungsoo, tidak terdengar seperti pertanyaan, tapi pernyataan. Dengan satu gerakan singkat, Kyungsoo merogoh sakunya dan mengeluarkan iPod dan earphonenya, menyodorkannya pada Soojung. “Play Track 112,” Ia menginstruksikan, saat kau tidur tadi kau sudah mendengarkan sampai situ, tinggal dilanjutkan”

Lagi-lagi perasaan aneh itu muncul di hati Soojung, sempat ia berpikir kalau perasaan yang tadi sore masih menguncup itu kini sudah berkembang, tumbuh menjadi sebatang pohon. Padahal Kyungsoo mengatakannya dengan amat sangat datar, tanpa pretensi apa-apa tapi itu sudah cukup membuat Soojung mati-matian memerintahkan jantungnya supaya kembali berdegup teratur. Ia takut jantungnya akan meledak.

Soojung memasang earphone itu, “Kau tidak mau ikut dengar?” Alih-alih menjawab, Kyungsoo malah mengedarkan pandangan ke sekelilingnya dengan waspada, sesekali matanya berhenti di satu titik seolah memergoki seseorang yang memperhatikan mereka, saat itu entah kenapa udara terasa dingin di sekitar Soojung. “Kyungsoo?” Panggil Soojung lagi, tapi Kyungsoo tidak menjawab, matanya kini tertancap ke salah satu sudut ruangan, ada kilat cemas di matanya saat itu.

Karena Soojung tidak mendapat jawaban apa-apa, iapun memutuskan untuk memulai mendengarkan musik sendiri, ‘Track 112’, gumamnya. Petikan gitar dan tuts-tuts piano yang membentuk melodi indah kembali memanjakan telinganya, mengingatkannya pada suasana penghujung musim panas, saat orang-orang mulai mengenakan mantel menyambut musim gugur, melintasi jalanan yang dihiasi serakan daun-daun yang menguning dan rontok dari pohonnya. Soojung melirik Kyungsoo, selera musik lelaki itu ternyata sangat bagus, rasanya Soojung ingin membawa kabur iPod miliknya ini, menjadikannya sebagai alat pengantar tidur, menjanjikan ketenangan saat ia bersiap tergulung ombak dunia mimpi yang indah. Dunia yang sudah lama tidak miliki.

“Kau sudah menelepon ke rumah?” Tanya Kyungsoo pada Soojung meskipun matanya masih mengarah ke titik yang sama sedari tadi, “Bilang pada orangtuamu supaya tidak khawatir kau tidak pulang hari ini”

Tidak ada jawaban.

Kyungsoo menoleh, Soojung ternyata sudah tertidur lagi. Ia tertidur dengan posisi menelungkup di atas meja, menjadikan lengannya sendiri sebagai bantal, membiarkan rambut hitamnya yang tebal menumpuk di satu sisi, menutupi sebagian besar wajahnya, dengan earphone masih terpasang di telinganya. Kyungsoo terdiam beberapa saat, hingga akhirnya ia memutuskan melepas hoodienya dan menyelimuti Soojung dengan hoodie itu. Ia kembali memberikan kesempatan bagi Soojung untuk membebaskan dirinya dalam satu-satunya dimensi yang memberikan Soojung kebebasan untuk terbang, dimensi mimpi gadis itu sendiri. Tanpa Kyungsoo sadari bahwa ia juga termasuk di dalamnya, seperti molekul-molekul yang terpisah kemudian berdifusi dengan segala sesuatu dalam abstraksi khayalan alam bawah sadar Soojung.

                                                            *

“Kau kemarin tidak macam-macam kan?” Tanya Soojung tajam.

“Apa maksudmu macam-macam?” Timpal Kyungsoo sedikit geli.

Saat itu mereka berdua sedang berdiri di halte bus di depan tempat bimbingan belajar mereka seperti biasa, menunggu bus untuk pulang. Sudah lewat satu hari sejak peristiwa terkunci di perpustakaan.

“Kau tahu apa maksudku,” Soojung memutar bola matanya. Ia ingat saat pagi tiba, ia tidak melihat Kyungsoo lagi, ia sudah pergi lebih dulu begitu petugas perpustakaan membuka pintu, entah apa yang dikatakan Kyungsoo pada si petugas karena petugas itu kemudian tidak curiga ketika Soojung terbangun dan buru-buru keluar dari perpustakaan dengan wajah baru bangun tidur. Soojung juga ingat ia tidur dalam keadaan terbungkus hoodie putih yang sebelumnya sudah beralih fungsi menjadi saputangan dan payung, lalu menjadi selimut.

            “Apa aku terlihat seperti orang yang akan berbuat macam-macam padamu?”

            “Ya siapa tahu kan, selagi aku tertidur” Soojung mengangkat bahu, bibirnya mengerucut dan entah kenapa itu terlihat lucu di mata Kyungsoo, karena yang Kyungsoo lihat selama ini Soojung tidak seekspresif itu, ia selalu memasang wajah seolah-olah ia baru saja tidur di tengah badai dan tanpa senyum.

            “Aku tidak melakukan apapun.” Kyungsoo menjawab singkat, kembali memasukkan tangannya ke dalam saku hoodie, matanya terarah ke ujung jalanan, berharap bus segera muncul.

            Soojung memutuskan untuk tidak bertanya apa-apa lagi. Jauh di lubuk hatinya, ia juga yakin Kyungsoo tidak melakukan apa-apa, ia hanya bertanya untuk memunculkan topik obrolan di antara mereka. Entah mulai sejak kapan Soojung selalu ingin mendengar suara berat Kyungsoo dengan nada datar khas lelaki itu.

            Saat bus tiba, Kyungsoo seperti biasa duduk di bagian tengah bus, sementara Soojung di kursi belakang. Benak Soojung dipenuhi dengan sesuatu, sesuatu yang sepertinya ia anggap gila karena ia berkali-kali menepuk-nepuk dahinya sendiri.

            Menit demi menit berlalu, bus hampir sampai ke halte tempat Kyungsoo biasa turun. Beberapa meter lagi... dan yakk. Soojung mengumpulkan keberanian dan melangkah cepat menuju kursi Kyungsoo, mendudukkan dirinya sendiri ke kursi kosong di sebelah Kyungsoo, membuat lelaki itu kaget setengah mati.

            “Apa yang kau lakukan? Sebentar lagi aku turun”

            “Jangan turun”

              Alis Kyungsoo bertaut heran.

            “Kau harus menemaniku menonton film” Soojung berkata dengan suara kecil mencicit, menahan segala rasa malu yang membuncah. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia mengajak seorang lelaki berkencan.

                                                                        *

            “Nngg kau yakin memilih film horor?” Soojung bertanya membuat Kyungsoo menahan senyum.

            “Kau takut?” Kyungsoo sambil menelusuri jadwal film-film yang diputar dengan santai.

            “Nnng, tidak juga sih”

            “Kalau begitu kita tonton saja” Kyungsoo lalu memesan tiket untuk film horor.

            Soojung langsung menyesali ketidakjujurannya, berbeda dengannya, Kyungsoo terlihat senang, ia mengibaskan dua lembar tiket itu di depan Soojung dengan puas. Soojung berusaha menyembunyikan kekhawatirannya akan ancaman dua jam menonton film hantu dengan berkata “Aku beli popcorn dulu”, sementara Kyungsoo hanya mengangguk-angguk lalu mengamati poster-poster film lain yang terpampang di dinding bioskop.

            ‘Kenapa dia bisa sesantai itu?’ Batin Soojung, ia sendiri sudah panik karena dua alasan: pertama, ini adalah pertama kalinya ia menonton film dengan teman lelaki, selama ini ia selalu menonton film bersama Jinri. Alasan kedua karena ia sebenarnya sangat penakut, belum masuk ke dalam saja ia sudah ngeri sendiri membayangkan film macam apa yang akan ia tonton.

            Beberapa saat kemudian, ia dan Kyungsoo sudah duduk di kursi teater. Masih karena dua alasan yang sama, Soojung dilanda kepanikan. Di sebelahnya Kyungsoo dengan santai mengunyah popcorn, sesekali mata lelaki itu menyapu pemandangan di depannya, kadang berhenti di satu titik, seperti saat di perpustakaan. Pikiran Soojung sudah terlalu berantakan untuk merasa heran apa yang sebenarnya sedang dilihat Kyungsoo.

            Film berlangsung selama beberapa menit dan berkali-kali Soojung menutup mata dengan telapak tangannya ketika hantunya muncul. Saat kemunculan hantu berikutnya Soojung lupa menutup matanya, ia nyaris menjerit dan langsung mencengkram bahu Kyungsoo, membuat Kyungsoo menghentikan suapan popcornnya di udara. Untuk sesaat mereka berdua sama-sama diam, Soojung sadar posisi mereka mengingatkan saat Soojung takut petir, ketika mereka terkurung di perpustakaan. Dengan canggung, ia buru-buru menarik badannya sambil memaki-maki dirinya sendiri.

            Di sampingnya, Kyungsoo yang tadinya kaget merasa tadi waktu sempat berhenti, ia kembali berusaha rileks.

            “Kau benar-benar takut ya” Ujarnya membuat Soojung tertegun. Ada sesuatu yang ganjil dalam suara Kyungsoo saat mengatakannya. Seperti cemas? Tapi kenapa? Entahlah.

                                                                        *

            Di suatu malam, Soojung meringkuk di tempat tidurnya menahan sakit. Perutnya sudah terasa perih sejak tadi, itu pasti karena ia melewatkan makan siang dan mengisi perutnya dengan ramen sebagai makan malam barusan. Ia ingin menangis, saat seperti ini, kesepiannya semakin mencekam, ia betul-betul menginginkan adanya seseorang yang menemaninya di saat sakit seperti ini. Airmata Soojung sudah mau meleleh ketika telinganya mendadak tegak. Ia merasa mendengar sesuatu dari luar, Soojung menarik selimutnya, mendadak rasa takut menghinggapinya, bulu kuduknya meremang. Suara apa itu di luar? Apakah ada maling? Berbagai spekulasi buruk menghampirinya. Untuk sesaat ia beku di tempat ketika tiba-tiba ponselnya bergetar. Soojung buru-buru menyambar ponselnya, merasakan kelegaan berlipat ganda melihat nama Kyungsoo tertera di layar. Lelaki itu seolah tahu saat Soojung membutuhkan.

            “Hallo, Kyungsoo...”

            “Kau kenapa?” Kyungsoo bisa mengetahui kalau Soojung tidak sedang baik-baik saja hanya dari pengucapan dua kata itu.

            “Aku... sekarang sendirian di rumah... lalu....”

            Kyungsoo tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut, “Temui aku di kedai Bibi Ahn sekarang” Ujarnya singkat sebelum menutup telepon.

            Kedai Bibi Ahn berarti kedai jajanan malam dan soju tidak jauh dari rumah Soojung, sebelumnya mereka memang sering makan disitu, kalau Kyungsoo mengantar Soojung sepulang bimbel. Mereka cukup puas dengan melahap jajanan khas jajanan jalan malam hari khas Korea tanpa soju karena bagaimanapun mereka masih siswa SMA. Dengan mengumpulkan keberaninan dan menahan perih perutnya, Soojung mengenakan jaket dan berjalan keluar rumah dengan cepat.

            “Jadi kau telat makan tadi siang?” Kyungsoo berkata datar ketika mereka berdua sudah duduk berhadapan di salah satu meja di kedai Bibi Ahn. “Dan kau makan ramen, ya pantas saja kau sakit maag”

            Soojung menunduk menyesal.

            “Sudahlah, lupakan saja” Lanjut Kyungsoo melihat Soojung hanya diam, “Habiskan makananmu, setelah ini kau harus minum obat”

            Soojung memakan makanan di hadapannya dalam diam, ia menimbang-nimbang apakah sebaiknya ia juga menceritakan soal suara-suara aneh di luar rumah yang membuatnya ketakutan tadi. Ah sebaiknya tidak perlu, batinnya, Kyungsoo pasti akan meyakinkannya bahwa itu hanya perasaannya saja atau suara angin. Lelaki itu kadang bisa menjadi sangat rasional atau singkatnya sangat praktis.

            “Memang seharusnya kau tidak tinggal sendirian,” Kyungsoo berkata, setengah bergumam, “Apa kau tidak punya saudara yang rumahnya bisa kau tinggali?”

            “Semua saudaraku tinggal di tempat yang jauh,” Timpal Soojung sambil menggeleng, “Tapi kalau lulus SMA nanti aku berhasil masuk Universitas Yonsei sepertinya aku akan tinggal di rumah kenalan ibuku, rumahnya tidak begitu jauh dari kampus.”

            “Syukurlah kalau begitu, kau memang seharusnya tinggal dengan orang tua, bagaimanapun kau masih di bawah dua puluh, terlalu muda untuk tinggal sendirian” Kyungsoo memang sudah mengetahui bagaimana latar belakang keluarga Soojung dan tahu kalau Soojung tinggal sendirian, karena itulah ia kerap khawatir pada Soojung.

            “Kau terdengar seperti kakek-kakek” Cibir Soojung, meski dalam hatinya ia senang karena Kyungsoo benar-benar memperhatikannya. “Kau sendiri? Kau mau melanjutkan ke Universitas mana?” Sebagian dalam diri Soojung ingin Kyungsoo menjawab Universitas Yonsei.

            “Aku mungkin akan melanjutkan ke Universitas Seoul,” Jawab Kyungsoo, menghancurkan harapan Soojung, “Jurusan Kedokteran, sudah lama aku menargetkan itu”

            “Oh..” Soojung mengangguk-angguk, “Kupikir kau mau jadi astronot”

Kyungsoo tertawa kecil, “Kenapa kau pikir begitu?”

“Aku ingat buku-buku yang kau baca di perpustakaan waktu itu”

“Astronomi hanyalah hobby, aku hanya suka melihat bintang tapi profesi yang kuinginkan adalah dokter”

Soojung mengangguk-angguk lagi lalu berkata, “Meski nanti kita berbeda kampus, kita masih bisa bertemu kan?”

            Kyungsoo tampak berpikir sebentar sebelum akhirnya berkata, “Tentu.”

            Setelah keduanya selesai makan, mereka berjalan pulang, Kyungsoo mengantarkan Soojung pulang. Dengan canggung Kyungsoo memegang tangan Soojung ketika mereka menyebrang, membuat Soojung diselimuti perasaan hangat, jantungnya kembali seperti mau meledak. Soojung melirik ke arah wajah Kyungsoo saat tangannya menggenggam tangan Kyungsoo, lelaki itu tetap dengan raut wajah datarnya yang biasa, meski begitu Soojung bisa melihat sekelebat pipinya memerah. How cute.

            Saat mereka tiba di depan rumah Soojung, terjadilah sesuatu yang aneh. Ekspresi Kyungsoo berubah menjadi mengerikan, matanya tertuju ke satu titik di bagian rumah Soojung. Ia tertegun lama selagi matanya terarah ke satu fokus, Soojung menatapnya heran, ia mengikuti arah pandang Kyungsoo dan tidak melihat apa-apa, tidak ada apa-apa di halaman rumahnya lalu kenapa Kyungsoo melotot seperti itu?

            “Kyungsoo,”

            “Masuklah,” Kyungsoo berkata dingin, pancaran ngeri sekilas muncul di bola mata lelaki itu.

            Soojung menurut, ia berjalan masuk ke dalam rumah selagi Kyungsoo masih memperhatikannya dengan tatapan menusuk yang aneh. Selama sepersekian detik, Soojung merasa udara di sekelilingnya mendadak terasa dingin dan ia merinding, tepat setelah ia melambaikan tangan ke arah Kyungsoo sebagai tanda selamat malam dan sebelum ia menutup pintu.

                                                                        *

            Hari-hari selanjutnya semua terasa janggal, Soojung yakin Kyungsoo berusaha menghindarinya. Kalau mereka bertemu di sekolah, Kyungsoo selalu menunduk, menolak untuk membalas tatapan Soojung, di tempat bimbingan belajar situasi seperti mundur ke belakang, saat mereka berdua belum saling mengenal. Kyungsoo dengan pembawaan misteriusnya dan Soojung yang hanya bisa memperhatikannya melalui tengokan sesekali ke tempat Kyungsoo duduk di belakang, tapi lelaki itu benar-benar menganggap Soojung tidak ada. Kyungsoo keluar kelas lebih cepat dari siapapun murid bimbel yang ada disitu dan segera menghilang seperti asap, Soojung tidak pernah melihat Kyungsoo menunggu bus di halte lagi. Tidak ada lagi sms maupun telepon bernada khawatir yang masuk ke nomor Soojung untuk sekedar mengingatkan makan malam dan jangan lupa mengunci pintu.

            Soojung mencoba menghubungi Kyungsoo lebih dulu tapi tidak pernah ada jawaban, membuatnya menelan bulat-bulat segala kebingungannya di balik selimut sebelum tidur. Apa yang salah? Kenapa Kyungsoo jadi seperti itu? Soojung terus menanyakan pertanyaan yang sama kepada dirinya sendiri. Rekaman otaknya kemudian menyajikan ingatan saat Kyungsoo mengantarkannya pulang ke rumah, sejak saat itu Kyungsoo mulai berubah. Kyungsoo seperti mengubur paksa segala perasaan yang tumbuh di hati Soojung. Perasaan yang sebelumnya muncul ke permukaan karena semua yang Kyungsoo lakukan, semua yang berawal dari hoodie putih di hari berhujan itu.

            Keesokan harinya di tempat bimbel, begitu pelajaran selesai, seperti biasa Kyungsoo berjalan keluar kelas lebih dulu, dengan tatapan dingin yang menatap lantai, kedua tangan di saku hoodie dan earphone di telinga, melewati meja Soojung seperti angin yang tak kelihatan. Kyungsoo sengaja berbelok cepat menuju celah seperti gang yang memisahkan antara bangunan tempat bimbel dan bangunan di sebelahnya, sesekali mengintip ke arah halte yang berjarak beberapa meter dari situ. Inilah yang dia lakukan selama beberapa waktu terakhir, memastikan Soojung naik bus lebih dulu baru kemudian ia menunggu bus selanjutnya.

            “Jadi kau bersembunyi disini,” Tahu-tahu kepala Soojung mengintip dari balik tembok, membuat Kyungsoo kaget setengah mati. Kenapa gadis itu.....

            Soojung menghampiri Kyungsoo yang menghela napas, Kyungsoo memejamkan mata dan memijit dahinya perlahan, ia masih belum tahu apa yang harus dilakukan jika Soojung mengonfrontasinya seperti ini. Soojung menatap Kyungsoo lamat-lamat, inilah bentuk dari konfrontasinya, membiarkan Kyungsoo memahami berbagai kebingungannya dan ketidakpahamannya melalui mata, membiarkan Kyungsoo membaca matanya dan apa saja yang ada di dalam situ, kesedihan karena mendadak diabaikan, dipaksa untuk menjauh dan membiarkan perasaan yang tumbuh itu mengering.

            Gadis itu yakin Kyungsoo memahaminya, keduanya hanya diam dan saling tatap, tanpa perlu adanya suara, seolah mentransfer kata hati mereka masing-masing meski Soojung tetap tidak tahu apa yang ada di dalam hati Kyungsoo. Semua dari diri Kyungsoo berwarna abu-abu dan absurd, seperti teka-teki yang tak pernah selesai.

            “Ini yang terbaik” Kyungsoo berkata dingin. Matanya masih menatap Soojung, menekankan bahwa ia bersungguh-sungguh dengan kalimat singkat itu dan merasa tidak perlu menjelaskan apa dan kenapa. Ia yakin Soojung mengetahui maksudnya karena mendadak mata gadis itu tersaput lapisan bening berkaca, sesuatu dalam suara Kyungsoo ketika mengatakannya telah berhasil meninggalkan efek tajam seperti sebilah pisau yang menusuk benda rapuh.

            Kyungsoo melangkah pergi, meninggalkan Soojung yang menunduk menahan lapisan bening di matanya itu untuk berubah jadi tetesan yang siap mendarat ke tanah. Tangan Kyungsoo terkepal, ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini memang yang terbaik, terlebih untuk Soojung. Ia menoleh sekilas, memandang Soojung kemudian mengalihkan pandangannya pada sesuatu yang ada di samping Soojung, sorot matanya menjadi berkali lipat lebih dingin.

            Ia berbalik pergi. Meninggalkan Soojung, memaksa Soojung mengunci semua kenangan singkat selama musim gugur yang terjadi di antara mereka hanya dengan langkah menjauh, membiarkan kenangan itu kemudian menjadi fosil.

Kyungsoo telah memisahkan dirinya dari orbit hidup Soojung, tanpa jejak dan tanpa sesal.

                                                                        *

            7 tahun kemudian.

            “Jadi akhirnya kau tidak jadi kencan buta?”

            “Tidak, dan aku harap ini yang terakhir kau merangkai acara kencan buta lagi untukku. Jinri, aku bisa mencari pacar sendiri”

            Jinri melirik sebal ke arah sahabat karibnya yang kini sedang berjalan di sampingnya itu, “Oh ya? Tapi selama ini kau kan tidak pernah pacaran”

            “Nanti juga aku akan menemukannya sendiri” Sergah Soojung sambil menyibakkan rambutnya yang hitam dan terlihat terang tertimpa sinar matahari musim gugur yang hangat.

            “Ayolah Soojung, kau ini cantik, banyak juga rekan kantormu yang naksir, lelaki-lelaki yang berkenalan denganmu lewat kencan buta juga suka padamu. Kenapa sulit sekali bagimu untuk memilih salah satu di antara mereka?”

            “Entahlah, belum ada yang sreg” Jawab Soojung dengan wajah bosan, setiap ia dan Jinri bertemu untuk belanja bersama, topik mengenai perjodohan ini tak pernah lepas dalam obrolan. Meski bekerja di kantor yang berbeda sebagai bagian dari tim retail sebuah perusahaan, mereka selalu menyempatkan diri bertemu untuk berbelanja bersama ke pusat perbelanjaan , dan setiap kali itu pula Jinri terus memberikan wejangan-wejangan panjang lebar mengenai pentingnya menjalin hubungan serius dengan seorang pria di usia 26 tahun yang kemudian berujung pada jadwal kencan buta di akhir pekan.

            “Terserah kau sajalah,” Jinri menyerah, “Oh ya, kau bawa payung tidak?”

            “Tidak, kenapa?”

            “Ah kebiasaan jelekmu, seharusnya kau bawa payung. Sepertinya hari ini akan turun hujan”

            “Tapi mataharinya cerah”

            “Aku lihat ramalan cuaca hari ini”

            “Oh,” Perkataan Jinri membuat Soojung menengadah menatap langit, cuaca khas musim gugur, matahari yang bersinar cerah sekaligus lembut, menaungi pohon-pohon yang dirimbuni dedauan berwarna coklat dan kuning. Hujan bisa turun kapan saja di musim gugur tanpa terduga. Soojung menatap pepohonan dengan latar langit sendu itu sambil memutar kembali ingatannya ke masa lalu, ke musim gugur tujuh tahun lalu, saat ia menangis di antara derasnya hujan di halte bus, lalu orang itu datang tiba-tiba... seperti selembar daun kering yang diterbangkan angin dan mendarat di pucuk kepala manusia. Sudah berlalu tujuh tahun dan Soojung tak pernah mendengar kabar darinya. Soojung berhasil memaksa dirinya untuk tetap menjalani hidup dengan normal beberapa tahun belakangan, ia berhasil masuk Universitas Yonsei, tinggal dan dirawat oleh teman ibunya, belajar keras hingga lulus tepat waktu dan langsung mendapat pekerjaan, membuat kedua orangtuanya yang meninggalkannya bangga padanya.

            Kini ia sudah tinggal sendiri di apartemen sederhana di dekat kantor, menjalani hari-hari sebagaimana wanita dewasa dan independen lainnya, ia juga telah berubah, seperti ulat yang bermetamorfosis, ia sudah menjadi sosok yang ramah, meruntuhkan benteng yang ia bangun sendiri di sekelilingnya, membiarkan orang-orang masuk ke kehidupannya tanpa menganggapnya arogan. Kemajuan tertingginya adalah, ia sudah belajar tersenyum. Ia tersenyum pada siapa saja, pada paman pemilik toko roti yang ia lewati ketika berangkat ke kantor, pada resepsionis di lobby, pada rekan-rekan kerjanya, bahkan pada orang yang tidak kenalnya, karena seiring berjalannya waktu, Soojung paham bahwa senyum adalah terapi bagi semua masalahnya, penyembuh bagi airmatanya dan kosmetik natural terbaik yang bisa ia pakai.

            Tak lama kemudian, Soojung dan Jinri sudah masuk ke dalam area mall, sepertinya ada event mirip festival di bagian tengah mall. Soojung melihat banyak badut, balon dan remaja-remaja SMA menggenggam gula-gula di tangannya.

            “Wah, sepertinya seru. Kesana dulu yuk!” Ajak Jinri sambil menarik tangan Soojung.

            Soojung memutar bola matanya, “Jinri, kita bukan anak kecil lagi”

            “Apa salahnya? Eh lihat! Ada tenda ramal! Ayo masuk masuk!”

            Soojung tidak punya pilihan lain. Menit berikutnya mereka sudah berada bagian dalam tenda putih dengan plang ‘Peramal’ di bagian luarnya. Mata Soojung terarah pada seorang wanita tua dengan pakaian yang mengingatkannya pada pakaian kaum gipsy yang penuh tambalan arca dan rok berlipat, sebuah bola kristal yang memantulkan cahaya putih diletakkan di atas meja bertaplak merah. Jinri tampak takjub, apalagi ketika wanita tua itu berkata dengan suara serak: “Selamat datang, Jung Soojung dan Choi Jinri”

            “Bagaimana dia bisa tahu nama kita?” Jinri berbisik ke telinga Soojung. Soojung mengangkat bahu, sebelumnya ia tidak pernah berhadapan dengan peramal. “Kau duluan” Jinri berkata tiba-tiba sambil mendorong punggung Soojung sampai ia terduduk di kursi tepat di depan peramal itu, hanya terpisahkan oleh meja. Jinri duduk di kursi di sebelahnya, matanya berkilat-kilat semangat sambil mengamati bola kristal.

            Wanita tua itu menyodorkan sebelah tangannya yang keriput, mengisyaratkan agar Soojung meletakkan tangan di atas telapak tangannya, awalnya Soojung hanya terdiam sampai akhirnya Jinri menyikutnya. Dengan ragu, Soojung mengulurkan tangannya. Dalam satu gerakan cepat wanita peramal itu menyambar tangan Soojung, menyentuhnya sambil menerawang kemudian matanya menatap lurus-lurus ke arah Soojung, membuat Soojung sejenak merasa seperti ditelanjangi.

            “Kau yang dulu tidak pernah tahu bagaimana caranya tersenyum, sekarang sudah berubah ya”

            “Apa?”

            “Kau yang dulu adalah kau yang mengganggap dirimu orang termalang di dunia, selalu menangis, selalu menjaga jarak dengan orang-orang sekelilingmu, menyimpan semua kesedihan dan kesepianmu, dan kau yang tidak pernah tersenyum,” Kata-kata yang mengalir keluar dari mulut peramal itu seperti menguliti Soojung, membuatnya merinding, peramal itu telah merangkum bagaimana hidupnya tujuh tahun ke belakang dan itu sama sekali tidak enak untuk didengar. “Tapi kau yang sekarang sudah berubah, kau sudah telah bebas, membiarkan dirimu tersenyum pada dunia dan dunia tersenyum padamu.

            “Tapi...” Suara peramal itu menggantung di udara, “Masih ada yang tertinggal, masih ada pertanyaan yang belum terjawab dari masa lalu, masih ada yang mengganggu hati dan pikiranmu, teka-teki yang belum terpecahkan tentang kepergian seseorang.”

            Soojung menelan ludah, peramal ini benar-benar menelanjangi isi pikirannya, di sebelahnya Jinri menahan napas, baik Soojung dan dirinya paham apa maksud dari peramal tersebut.

            “Kau mau tahu apa alasannya meninggalkanmu? Menutup pintu secara tiba-tiba bahkan sebelum kau mencoba mengetuknya? Kau mau tahu?”

            Sebelum sempat menjawab, tangan Soojung ditarik sehingga badannyapun ikut mendekat, melewati meja, mata Soojung dan mata peramal itu kini hanya berjarak lima senti. “Biar kujelaskan padamu secara singkat” Suara seraknya yang mirip bisikan terdengar jelas di telinga Soojung.

            “Dia yang telah menempati hatimu di masa lalu adalah dia yang punya hadiah dari Tuhan, sama sepertiku tapi dengan jenis yang berbeda,” Kening Soojung berkerut, peramal itu tidak berhenti sampai disitu.

            “Kalau aku diberi kemampuan untuk bisa membaca masa lalu dan masa depan manusia, maka dia dianugerahi mata ketiga, matanya tidak hanya dua, dia punya mata lain... ia bisa melihat makhluk selain manusia, makhluk yang setiap hari ada di sekeliling kita, makhluk yang tak lagi punya tempat untuk meletakkan rohnya, kau pasti tahu apa itu.

            “Ia melihatnya setiap hari, di sudut-sudut gelap yang ia lalui bahkan di sampingnya. Sejak kecil ia sudah sering melihat makhluk-makluk mengerikan itu, namun selama tak mengganggu ia mengabaikannya, tapi karena itulah ia menutup diri dari dunia luar, sama sepertimu tapi dengan alasan yang berbeda

            “Di tengah kegelapan dan kesendiriannya, ia menemukanmu yang terpuruk, menangis setiap hari. Ia sering melihat keputusasaan itu tapi dari makhluk yang bukan berasal dari dimensi kita, karena itu ketika melihat aura gelap putus asa itu ada padamu yang jelas-jelas manusia normal, ia tidak bisa membiarkannya. Ia ulurkan tangannya padamu, sekaligus membahasakan ketertarikannya padamu.”

            Soojung mencerna setiap kata dari peramal itu dengan mata melebar, berbagai bayangan masa lalu berlalu-lalang dalam pikirannya, sikap Kyungsoo yang aneh, pandangannya yang seringkali menyapu seisi ruangan, kemudian tahu-tahu fokus pada satu titik. Saat itu dia pasti melihat yang bisa ia lihat, di perpustakaan, di bioskop dan di..... Soojung mengerjap-ngerjap, mengingat sikap ganjil dan tatapan ngeri sekaligus marah dari mata Kyungsoo saat mengantarnya pulang ke rumah.

            “Waktu itu, salah satu dari makhluk mengerikan yang sering mengikutinya tahu-tahu berbalik mengikutimu,” Peramal itu berkata dengan nada prihatin, “Hantu wanita yang meninggal karena kecelakaan, berambut panjang menutupi wajah dan mengenakan gaun putih. Ah, aku bisa melihat betapa malang sekaligus jahatnya dia”

            “Maksudmu, aku diikuti oleh hantu seperti itu?”

            Peramal itu mengangguk, kemudian melanjutkan dengan nada prihatin yang lebih kentara “Hantu itu mengikuti lelaki itu karena suka padanya. Ia lalu marah ketika melihat lelaki yang dicintainya menjadi dekat denganmu, lelaki yang biasanya lebih memilih sendirian kemudian memilikimu di sampingnya. Hantu wanita itu kemudian mengikutimu, mengganggumu, menghantuimu, menakutimu dengan menciptakan suara-suara aneh di luar rumahmu,” Peramal tersebut memberi jeda dalam penjelasannya, memberikan efek dramatis. “Lelaki itu bisa merasakannya, dia bisa tahu kau dalam bahaya dan begitu melihat sosok hantu itu berdiri dingin di halaman rumahmu, ia menyadari bahaya seperti apa yang membayangimu. Kau tidak bisa menganggap remeh hantu wanita cemburu yang mengikuti dan mulai mengganggumu. Karena itulah, lelaki itu melangkah mundur, ia menjauhimu sebagai upaya untuk membuat hantu itu tak mengganggumu lagi.”

            Lutut Soojung mendadak terasa lemas mendengarnya, ia menarik tangannya dari genggaman peramal itu untuk menutup mulutnya yang menganga tak percaya, di sebelahnya Jinri juga bereaksi sama. “Apakah.. hantu itu sekarang masih mengikuti Soojung?” Tanya Jinri takut-takut.

            Peramal itu menggeleng, “Dia telah pergi jauh ketika kau memulai hidupmu yang baru. Keputusasaan dan kesedihan dari seseorang adalah makanan lezat bagi makhluk tanpa dimensi, mereka seperti dalam dongeng, menghisap semua ketidakbahagiaanmu. Jadi, ketika kau mulai mengubah hidupmu yang hitam menjadi lebih cerah dengan mulai mensyukuri hidup dan tersenyum, maka dia akan pergi dengan sendirinya. Dia dan semua aura jahatnya luntur, pergi meninggalkanmu menjadi manusia seutuhnya”

            Soojung memejamkan mata, “Kau hanya membual kan, itu semua cuma omong kosong kan” Ia berkata tanpa mempedulikan Jinri yang mulai menyikutnya lagi.

            Peramal itu terkekeh, “Untuk apa aku mengarang cerita, nona manis. Kau sendiri dengar bagaimana aku menjelaskan hidupmu dalam satu kalimat. Apakah itu berarti selanjutnya aku membual?”

            Soojung menghela napas, mendadak merasa lelah. Semua penjelasan yang tiba-tiba itu membuat kepalanya serasa mau pecah.

            “Carilah dia,” Suara peramal yang serak itu membuyarkan lamunan Soojung, “Cari keberadaan lelaki itu, untuk menjawab semua yang tidak sempat kau tanyakan, tuntut semua penjelasan yang selama ini kau nantikan, dan selesaikan kepingan terakhir puzzle misteri ini”

            Soojung hanya terdiam.

                                                                        *

            Alunan musik instrumental menggema di antara dinding bercat putih, seorang lelaki yang duduk di belakang meja kayu di ruangan itu tampak menekuni lembaran-lembaran kertas yang berserakan tak beraturan di atas meja, kertas-kertas putih bertuliskan berbagai diagnosis dan resep obat dengan tulisan yang lebih mirip coretan tanpa makna.

            Ia melirik sekilas ke arah jam dinding yang tergantung, sebentar lagi jam prakteknya selesai. Sambil menghela napas, ia merapikan kertas-kertas yang bertebaran di meja tersebut lalu melepas stetoskop yang menggantung di dadanya. Sejenak perhatiannya tersita pada sesuatu berselubung hitam di sudut ruangan, makluk hitam itu merintih, rintihan samarnya membuat siapapun yang mendengarnya pasti merinding. Lelaki itu memutuskan untuk mengacuhkan makluk aneh itu, sambil menggumam sendiri dalam hati, ‘Sepertinya ada pasien yang baru meninggal’.

            Ia sudah sangat biasa melihat hal-hal seperti itu sepanjang hidupnya, merasakan udara yang tiba-tiba terasa dingin seperti es meskipun pendingin ruangan berfungsi normal setiap kali makhluk-makhluk seperti itu muncul di dekatnya. Pekerjaannya sebagai dokter di rumah sakit ini juga membuat frekuensinya melihat makhluk-makhluk itu menjadi lebih sering. Tiba-tiba terdengar ketukan dari balik pintu, seorang suster menyembulkan kepalanya dari balik pintu, “Dok, ada satu pasien lagi. Dokter masih belum mau pulang kan?”

            Lelaki itu melirik jam, jam prakteknya memang belum habis. “Belum, persilakan dia masuk” Ujarnya datar sambil menggantungkan kembali stetoskopnya.

            “Baik,” Suster itu lalu melanjutkan dengan nada jahil, “Pasien ini cantik lho, Dok”

            Lelaki itu memutar bola matanya, ia juga sudah sering mendengar candaan dari suster-suster maupun dokter lain yang berusaha menjodohkannya dengan siapa saja, entah itu pasien muda yang cantik atau dokter intern. Semua merasa heran kenapa dia masih single sampai saat ini. Tapi lelaki itu tidak pernah repot-repot memberi mereka pencerahan kenapa ia masih single, jika mereka semakin menjadi menggoda dan mencomblanginya, biasanya dia cukup memandang mereka dengan sorot mata dingin, mereka akan diam dengan sendirinya.

            Suster itu lalu menutup kembali pintu ruangan sambil tertawa kecil, lelaki itu lalu menunggu kedatangan pasien yang dimaksud sambil memperhatikan makhluk hitam aneh yang masih merintih di sudut ruangan. Perhatiannya masih tercurah pada makhluk itu sampai tidak menyadari bahwa pasien yang dimaksud telah membuka pintu, berjalan ke arahnya dan duduk di kursi di depannya.

            “Lama tidak berjumpa, Dokter Do Kyungsoo”Suara pasien itu menghampiri telinga lelaki itu dan memberikan sensasi yang aneh. Lelaki itu terkesiap, ia kenal suara itu. Matanya beralih perlahan ke arah pasien yang ada di depannya dan mendapati seseorang yang dikenalnya yang mengisi musim gugurnya tujuh tahun lalu tersenyum, senyum yang belum pernah dilihatnya sebelumnya.

            “Aku sebenarnya tidak sakit, tapi yah.. Aku harus berpura-pura jadi pasien untuk bisa punya alasan menemuimu disini,” Kata-kata itu lancar keluar dari mulut wanita di depannya seolah sudah dipersiapkan matang-matang jauh sebelumnya, “Maksud kedatanganku adalah mengembalikan ini...”

            Soojung mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya lalu meletakkannya di atas meja, “Hoodie-mu, maaf baru bisa mengembalikannya hari ini” Aroma parfum wanita yang sama seperti tujuh tahun lalu sampai ke indera penciuman Kyungsoo, mengembalikan semua ingatan yang sebelumnya sudah ia kubur dalam-dalam.

            “Terima kasih waktu itu sudah menyelimutiku dengan ini,” Soojung tersenyum lagi, “Waktu kita terkunci di perpustakaan kau kan meminjamkannya padaku, aku lupa mau mengembalikannya padamu keesokan harinya, atau lebih tepatnya aku sengaja lupa, karena aku suka memakai hoodie ini sebagai selimutku juga di rumah”

            Kyungsoo masih tertegun, tidak tahu harus berkata apa.

            “Aku sudah tahu,” Soojung berkata, kali ini nadanya lebih pelan, “Alasan kenapa kau menjauhiku dulu dan kenapa kau tidak pernah mencariku setelah itu bahkan sampai tujuh tahun,” Soojung mengangkat bahu, “Aku juga tidak pernah berusaha mencarimu, karena kurasa percuma. Tapi itu bukan berarti aku 100% lupa padamu”

            “Kau bilang tadi kau tahu alasannya?” Tanya Kyungsoo, berhasil menjaga agar nada suaranya tetap datar tanpa emosi seperti biasa.

            Soojung mengangguk, “Aku tahu” Ia lalu menangkap gesture samar Kyungsoo yang melihat ke belakang bahu Soojung, “Dia sudah tidak ada, aku yakin dia sudah tidak mengikutiku lagi”

            Alis Kyungsoo bertaut, menyadari bahwa Soojung sudah tahu apa yang tadi dicarinya.

            “Hidupku sudah berubah sekarang dan kurasa itulah alasan mengapa makhluk itu tidak menghantuiku lagi. Aku memang tidak tahu seperti apa rupanya dan apa saja perbuatannya yang membahayakanku tapi aku yakin kalau sekarang aku aman.”

            Sejenak keduanya terdiam, hanya terdengar suara musik instrumen dari tape yang belum Kyungsoo matikan. Lagi-lagi Soojung menggunakan pancaran mata untuk mengkomunikasikan apa yang ia rasakan dan ia yakin Kyungsoo bisa memahaminya.

            Setelah dirasa cukup, Soojung bangkit berdiri, “Hanya itu maksud kedatanganku kesini, maaf karena butuh waktu lama untuk bisa menemukanmu dan mengembalikan hoodie-mu. Kalau begitu aku pulang dulu, maaf mengganggu waktumu, Dokter” Soojung kemudian berjalan keluar setelah melemparkan senyum tulus pada lelaki di depannya. Menutup pintu ruangan, meninggalkan Kyungsoo yang larut dalam lamunannya.

            Tujuh tahun bukan waktu yang sebentar dan melalui mata mereka masing-masing, mereka pasti tahu kalau mereka tidak pernah benar-benar saling melupakan.

                                                                        *

            Di luar rumah sakit, Soojung menengadah menatap langit dan petir yang mulai menyambar, hujan turun dengan derasnya tepat ketika Soojung sedang menimbang-nimbang apakah sebaiknya ia berlari untuk sampai ke halte bus terdekat.

            “Kenapa hujan selalu turun saat aku lupa membawa payung” Keluh Soojung. Ia tidak punya pilihan lain selain menerobos hujan menuju halte, ia harus cepat sampai di rumah, hari ini orangtua angkatnya yang memberikan ia tempat tinggal saat kuliah hendak datang berkunjung, Soojung bahkan belum merapikan apartemennya.

            Karena nekat menerobos hujan, Soojung sampai di halte dengan basah kuyup, titik-titik air bahkan menetes dari ujung-ujung rambutnya. Ia menggosok-gosok tangannya karena dingin, matanya tertuju ke ujung jalan, berharap bus cepat datang.

            Di tengah derasnya hujan, tetesan-tetesan air yang jatuh dari kanopi halte, genangan-genangan yang tercipta di jalanan, kendaraan yang lalu lalang... Datanglah dia seperti angin yang meniupkan daun gugur, datanglah dia dengan cara yang sama seperti tujuh tahun yang lalu.

            “Pakai ini sebagai payung” Ujarnya dengan nada datar dan sorot mata dinginnya yang biasa. Ia menyodorkan sesuatu dan itu bukan hoodie putih, Soojung menatap benda yang disodorkannya lalu tersenyum.

            “Kau yakin? Ini kan jas putihmu yang berharga? Lalu bagaimana besok kau bekerja?”

            “Aku punya lebih dari satu, kau bisa bawa itu pulang, sama seperti hoodie, itu juga bisa kau jadikan selimut”

            Saat Soojung meraih jas putih itu dari tangan Kyungsoo, saat itulah satu planet yang sebelumnya hilang tertelan pusaran gelap kembali masuk ke dalam semesta Soojung, kembali menjadi bagian dari orbit kehidupannya, menempati dan melengkapi bagian yang kosong. Untuk selamanya.

 

                                                                        ***

 

           

           

 

           

           

           

 

 

 

 

 

 

 

 

 

                                                           

           

            

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
byzeIo #1
Chapter 1: *ceritanya speechless*
jsjxox #2
Chapter 1: ya ampun ini keren banget!!!! diksi nya..... afsjdlkaguashqq cool!!!!! boleh dong kak dibuatin sequel.... ^^