Liquid on the Face of a Stranger

Description

 

 

Ada seorang asing yang Joon tidak bisa kenali dengan benaknya, namun tidak dengan hatinya. Si orang asing dengan cairan di wajahnya. Si orang asing yang kelihatan begitu merah. Dan entah mengapa, Joon mulai gelisah. Gelisah tentang sesuatu yang barangkali telah terlepas dari genggamannya yang kurang erat dan takkan pernah kembali padanya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Liquid on the Face of a Stranger

Storyline originally by real_marivera/ rinzywu

Written on 19th January 2015

Cast: Lee Jong Suk as Oh Joon

Lee Yoo Bi as Stranger

Tags: Angst, typical romance, sad

Length: Oneshot (3000+words) Rating: PG-15

Disclaimer: This story and short poem are mine and purely taken out of my imagination. I’ll never copy and paste someone’s and claim it mine. Please take this story with full credit if you want to share it on your blog/ page. Let me know through e-mail: [email protected] if you’re interested. Thanks! Happy reading~ Recommended Soundtrack: Bobby K. – Stranger

Poem by Rinzy Wu: Ridiculously Red

 

 

The surface is getting red

It is dilated—an oval

With black or maybe brown in the center

The curve is also red It is down, down, falling deeper

Reluctantly getting up

Then the watery surface is more and more red

It’s terrible

Do not try to cut an inch

Because it is red Just red

Ridiculously red

 

 

               JOON duduk terdiam dibangku halte, menyambut senyap yang terkadang menyergapnya di angka-angka tak konstan dikalender. Itu adalah petang yang cukup sepi. Hari ini Joon tampaknya bisa menghela nafas bersyukur untuk sebuah bangku kosong yang selalu terisi. Sebuah bangku yang tidak pernah sudi mengasihaninya dan membiarkan kakinya sakit karena harus terus berdiri. Dia merogoh sakunya, meraih ipod hitam miliknya dan memainkan melodi musik yang tidak pernah bosan disenandungkannya selama seribu dua ratus empat puluh satu hari belakangan. Joon tidak mengerti mengapa dia suka mendengarkan lagu itu. Lagu itu tetap memainkan melodi yang sama, namun Joon tetap merasa asing. Begitu asing hingga dia tidak yakin apakah dia sedang mendengarkan lagu yang sama dengan yang kemarin. Dia belum bosan menunggu bus yang akan membawanya pulang. Pulang ke rumah yang selalu ia tuju dan buka gerbangnya disetiap pukul tujuh. Sambil menenteng sebungkus belanjaan dari minimarket ujung jalan dengan derap langkah pelan. Siklus hidup yang terus berulang, sebuah rute jalan yang sama untuk pulang. Dan dipukul sembilan Joon akan terus menerka-nerka apa yang mungkin telah raib dan hilang. Ia menatap cakrawala senja sembari bertanya-tanya tentang defenisi dan esensi sebuah eksistensi. Kala itu planet Mars sedang berada dalam jarak terdekatnya dengan bumi, membuat langit tampak begitu merah. Merah seolah ia sedang gundah, merah seolah ia sedang resah, merah seolah ia sedang marah— serupa dengan air muka seorang asing yang sedari tadi setia mematung dari tempatnya duduk. Tiga ratus tiga puluh tiga detik, Joon telah menghitungnya. Orang asing itu hanya diam memandangi aspal dingin yang memanjang dan berakhir diujung tanjakan tak berpangkal. Kejapannya bergerak gontai, rapuh, dan layu. Bahkan duli seolah tampak menari tarian pusaran angin tak terlihat diujung bulu mata lentiknya. Orang itu mengenakan jaket beludru dengan celana panjang tartan bewarna hijau tua. Rambutnya coklat gelap senada dengan iris matanya. Kulitnya pucat dan dia kelihatan sakit. Sangat sakit. Tangannya sesekali bergetar disaku jaketnya, kemudian tangan yang satunya menutupi permukaan kedua belah bibirnya. Dikoakan ketiga burung gagak, desahan nafas orang itu memburu, dan disuara derap langkah kaki yang berlalu lalang meninggalkannya dibelakang, desahan itu melambat dan lesu. Sosok orang itu asing, benar-benar asing, namun entah mengapa Joon tidak bisa berhenti memaku kerlingannya. Sama seperti alunan musik yang tengah mengembara keluar dari telinganya.

                    Empat ratus dua belas detik, orang itu masih setia ditempatnya berpijak. Kakinya mulai gemetar gentar ditiup angin semilir bulan itu. Tidak terlalu dingin, namun cukup dingin untuk menghantarkan sensasi aneh yang menyusup bagai pencuri ke ulu hatinya. Joon terus mengamati, terus, dan terus sama seperti lantunan melodi yang terus dan terus memainkan kunci yang serupa seperti yang sudah-sudah. Hanya ada tiga orang disana, Joon, seorang kakek yang tengah mengelus anjing shepherdnya, dan si orang asing yang kelihatan begitu merah. Orang itu memang tidak mengenakan pakaian serba merah, tapi sesuatu yang transparan yang keluar dari orang itu kelihatan begitu merah. Joon tidak tahu itu apa, tapi dia bisa melihatnya—atau barangkali merasakannya. Joon merogoh tas lusuhnya seiring sebuah perasaan asing menguasai nyalinya. Sebuah perasaan yang mungkin pernah menyerbunya di menit-menit dan di hari-hari abu-abu yang masih terselip dalam ingatannya. Barangkali dia pernah melihat orang asing itu sebelumnya, atau barangkali dia bahkan pernah mengenalnya. Joon membuka jurnal biru lautnya, menyusuri satu per satu catatan yang ada disana. Tapi dia tidak mendapatkan apa yang ia cari. Itu aneh. Aneh, karena kini ia kecewa. Dan sebuah dengusan nafas pelan dan angin yang berhembus mendadak mengganggunya—hatinya.

               Ia menunduk, mengulum bibirnya kedalam. Berpikir keras tentang si orang asing yang benar-benar asing. Si orang asing yang terus menatapi jalanan panjang yang terhampar didepannya dibawah langit senja yang kelihatan begitu merah. Begitu merah hingga Joon begitu gelisah. Perasaan aneh, asing, tak terdefinisi dan buruk itu terus mengganggunya. Bahkan pukul enam belum resmi berakhir dan pukul sembilan belum datang menyapa, tapi Joon sudah kembali bertanya-tanya tentang menit-menit yang barangkali tengah mengembara dan tersesat disetiap helaian surainya yang bergoyang pelan. Joon bimbang. Lebih bimbang daripada awan yang berarak dan melayang-layang. Jika dia mengenal orang asing itu, bukannya Joon seharusnya menyapanya? Jika orang asing itu mengenalnya, mengapa orang itu tidak menyapanya? Benaknya terus bertanya-tanya dan semakin penasaran setelah orang asing itu tidak menggubris panggilan kakek yang ada disana untuk bergabung dan duduk bersama mereka di halte bus. “Aneh sekali, apa gadis itu tidak merasa lelah terus berdiri? Dia kelihatan sakit.” Joon mendecakkan lidah pelan, mendengus frustasi untuk sesuatu yang bahkan ia tidak bisa kenali dan rumuskan eksistensinya. Dia ingin berdiri, namun kakinya refleks mencegah. Lagi, itu aneh. Ia hanya berniat menghampiri si orang asing itu dan mengajaknya duduk sembari menunggu bus. Tapi otak dan tubuhnya tidak membiarkannya berbuat demikian. Ia kembali duduk dengan rasa gelisah yang berputar-putar dibuku jemarinya yang memar.

            Sembilan ratus detik. Joon bernafas frustasi dalam sembilan ratus detik. Bus yang ia nanti untuk membawanya pergi dari semua keasingan yang mengambang diatas kepalanya tiba. Tidak ada yang istimewa, bus itu tetap seperti biasa. Bentuk yang biasa, lampu yang biasa, warna hijau dengan liris biru yang biasa, pintu yang biasa, bangku dan palang-palang yang biasa. Bagian bus yang terkelupas catnya masih disana dan sopir yang kemarin masih setia mengendalikan roda kemudinya seperti hari-hari biasa. Semuanya begitu biasa, itu sebabnya Joon tidak mengerti dari seluruh senja yang pernah dilewatinya, kini ia merasa resah. Resah untuk sesuatu yang barangkali telah terlepas dari genggamannya dan tidak akan pernah kembali padanya. Dia pun bangkit dari duduknya, menyandang tas punggung dan kembali menyelipkan earphone ke telinga. Di anak tangga bus kedua, ia berbalik, melirik si orang asing yang terus mematung seperti manekin di etalase toko disudut tikungan jalan. Asing, benar-benar asing dan Joon kembali terjun bebas kedalam alam khayalnya. Ya, terjun dan terjun sampai si sopir bus mulai menegurnya jengkel.

          “Hei, mahasiswa, kau naik bus ini atau tidak?!” “M-mahasiswa?” Mengedipkan matanya bingung, tertegun lalu berseru, “A-ah y-ya.”

         Joon berbalik dan bergegas masuk. Ia memiringkan kepalanya sejenak dan berdecak bingung. Terus berpikir sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Mengambil tempat duduk persis disamping jendela, melayangkan ekor matanya menatapi si orang asing yang seolah kelihatan sakit itu.                               “Nona, kau mau masuk? Kalau ya, lekaslah!”

     Si orang asing itu mengangkat kepalanya, menatap sekilas ke bingkai jendela bus tepat dimana Joon duduk. Kemudian dengan pelan, “Ya.”

           Di detik yang sama, ketika suara lemah dan derap langkah bersepatu milik orang asing itu memasuki pendengarannya, Joon merasakannya jantungnya berhenti dan denyut nyeri dikepalanya. Mendadak ia diserang vertigo objektif yang selama ini tidak pernah dialaminya—barangkali. Joon tidak bisa ingat. Orang asing itu melewatinya, menebarkan wangi parfum samar-samar, dan juga listerine atau mungkin betadine. Joon tidak begitu yakin. Kemudian, disana hanya ada kesunyian dan kedamaian, helaian nafas lelah juga batuk, suara mesin bis, klik lampu lalu lintas, ketukan dipapan ketik ponsel, suara lembar halaman novel yang dibalik, dan—

        “Joon..”

            Joon mengedipkan matanya cepat, menarik earphone-nya kasar, mencoba menajamkan pendengarannya yang barangkali mulai terganggu dan tidak lagi berfungsi maksimal. Ada sebuah suara menyebut namanya—ah, atau mungkin orang yang bernama sama dengannya. Ia terlalu sering tidak yakin dengan hidupnya, sama seperti saat ini. Joon berbalik dan setengah berdiri dari tempat duduknya, matanya menyusuri orang-orang yang ada didalam bus. Orang-orang yang mungkin menyelipkan sepotong cerita tentang dirinya dan belum melupakannya. Orang-orang yang mungkin pernah terselip di ingatannya dan telah dilupakan olehnya. Degup jantung Joon mulai sedikit tidak karuan, jauh dihatinya barangkali ia sudah lama menanti saat-saat dimana seseorang yang mengenalnya muncul dihadapannya. Joon berharap ia tidak salah dengar. Ya, ia berharap dan kini kecewa. Tidak ada seorangpun yang tampak seperti mengenalnya. Orang-orang disana hanya menatapinya bingung dan penuh tanda tanya. Joon menutup matanya sejenak, lalu melirik kearah sudut bus, kearah si orang asing yang sedang duduk termangu memandangi jalanan beraspal diluar jendela. Joon menghela nafas risau, setengah tertunduk, lalu kembali duduk.

            Lima ribu tujuh puluh satu detik pun mengantarkan Joon dipenghujung harinya bersama bus yang ditumpanginya. Bus yang membawanya dalam perjalanan singkat yang terasa begitu panjang. Terlalu panjang dan melelahkan sampai Joon tidak yakin apa dia akan benar-benar bisa sampai dirumah seperti yang sudah-sudah. Ia menekan bel, menarik tasnya, dan berlekas turun. Memasukkan kedua tangan kedalam sakunya dan kembali melantunkan melodi asing kegemarannya. Melakukan rutinitas seperti biasa, berbelanja, berbincang dengan kumpulan bibi dan orang tua disana sejenak, mengambil paket sekotak susu pisang kesukaannya, dan kembali menggerakkan tungkainya ke jalanan sempit menuju kompleks hunian yang tak terlihat dari silauan kerlap-kerlip kota juga dengungan musik bising entah darimana. Joon terus berjalan, maju, dan maju. Menyeret langkahnya gontai sembari menendang kerikil yang meghalangi derapan pelan miliknya. Sesekali memandangi kelam yang mulai menjemput merah dan meliputi cakrawala luas dengan sepasang manik mata terangnya, kemudian bertanya-tanya bagaimana bisa kelam yang kelihatan mengerikan mampu menghadirkan serasi bintang yang indah. Joon tersenyum tipis, menatap lurus, dan membiarkan cahaya remang-remang penerang jalan menerpa wajahnya. Tadinya, ia ingin mengabaikan perasaan risau dan asing yang menyelimutinya, membuatnya sesak dan frustasi. Tapi disegala keraguan dihidupnya, Joon tahu untuk yang satu ini ia tidak bisa lagi ragu dan berlagak tidak tahu. Ia perlu tahu. Ia perlu tahu cerita di menit-menit atau hari-hari yang tenggelam jauh dikesadarannya—tak terjangkau olehnya. Itu sebabnya, dia berhenti melangkah maju, membalikkan punggung, dan—

           “Apa kau mengenalku?”

            Joon menanti. Menanti sebuah jawaban ditengah suara-suara yang menggangu dan melebur ke dalam udara malam. Ia memandangi orang yang ada dihadapannya dengan penasaran, melangkahkan kakinya maju mendekat. Orang itu hanya diam ditempatnya. Tidak melakukan apapun selain membidik Joon tepat dimata. Seolah orang asing itu tengah menyampaikan sebuah pesan transparan dari matanya melalui udara yang berputar-putar lambat diantara mereka. Membentuk sebuah tali transparan dan mulai membuat Joon sesak. Lidahnya terasa kelu, namun Joon terus mencabuk nyalinya untuk memotong jarak diantara mereka. Hingga yang tersisa hanya empat puluh lima senti penuh kebingungan, alis yang dimiringkan sebelah dan bibir yang sedikit terbuka.

     “Atau..kita pernah berkenalan sebelumnya?”

            Orang itu tetap diam, seolah membiarkan kesadarannya hanyut dalam keheningan yang timbul tenggelam diantara mereka. Joon merasakan telapaknya mulai berkeringat, dan perasaan aneh itu kembali membuatnya frustasi. Lebih daripada frustasi, karena sekarang Joon takut. Ia takut kalau perasaan aneh itu memang hadir kedalam eksistensinya karena ia memang ditakdirkan untuk jadi nyata. Menelan ludah, dengan lirih Joon berkata, “Kau..gadis yang ada dihalte bus, bukan? Apa kau mengenalku? Kenapa kau mengikutiku?”

            Si orang asing tetap tak bergeming. Tangan dan bibirnya mulai bergetar. Joon pikir itu aneh, karena ia sekarang juga merasakan perasaan yang sama. Ia tidak mengenal orang asing yang ada dihadapannya sekarang, tapi sungguh, ia benar-benar merasa tak kuasa didetik orang asing itu mulai membuka mulutnya

           . “..Tidak.”

            Joon mengerjapkan matanya cepat, menelan ludah, dan berseru, “Lalu mengapa kau disini? Berjalan dibelakangku seperti penguntit. Kenapa?”

         Si orang asing itu tertunduk sejenak, menghembuskan nafas ringan, menjawab,”Aku pernah tinggal disini.”

           Joon memiringkan kepalanya, mencoba melihat wajah orang asing itu lebih dekat. Si orang asing menghindar dan memalingkan wajah tepat ketika Joon menangkap merah yang dilihatnya senja tadi masih menyala dan membekas diwajah di orang asing. Itu aneh, pikirnya. “Begitukah? Kupikir kau penguntit. Kau tampaknya sedang sakit, lekaslah pulang sebelum sakitmu bertambah parah. Kalau begitu, selamat tinggal.”

             Tepat saat Joon membalikkan tubuhnya untuk melangkah pulang, sebuah tangan menahan langkahnya. Menariknya untuk kembali berbalik dan seketika Joon kembali merasakan jantungnya berhenti berdetak ketika orang asing itu menampakkan wajahnya dengan jelas dan menatapnya lekat tanpa berkedip barang sejenak. Kini Joon bisa melihat warna merah itu dengan jelas, bahkan lebih merah daripada yang sebelumnya. Joon menatapi lengkungan mata yang tengah menatapnya itu, permukaannya merah, garis matanya pun merah, manik mata itu terlihat terluka. Luka yang parah dan benar-benar merah.Terlihat begitu sakit seiring setetes cairan yang mulai meluncur turun dari sana. “Kau..kau benar-benar tidak mengingatku?”

           Jakun Joon bergerak naik dan enggan turun. Benaknya sekejap kosong melompong, ia tidak tahu harus menjawab apa. Karena jujur, Joon benar-benar tidak mengenal orang asing yang ada dihadapannya itu, tapi hatinya berkata bahwa orang asing itu tidak benar-benarlah asing. Hatinya berkata si orang asing yang kini terlihat begitu merah itu adalah sesuatu yang hilang bersamaan dengan menit-menit dan hari-hari yang meluncur turun dari pelipis ke ujung pergelangan kakinya. Joon merasa sakit dilengannya saat orang asing itu kini meremas lengannya kuat, namun rasa sakit itu tidak sesakit dengan apa yang dirasakan hatinya sekarang. Joon tidak mengerti mengapa ia merasa benar-benar sakit.

           “A-aku..” Jeda sejenak. Menahan nafasnya, Joon bergumam, “Aku tidak mengenalmu. Kau siapa? Apa kita pernah punya hubungan?”

         Remasan yang ada dilengannya pun perlahan melemah. Cairan yang mengalir turun dari iris mata si orang asing itu pun menderas. Dia mulai terisak dalam diam, sesenggukan, dan memukuli dadanya pelan. Joon tidak tahu apa yang salah dengan kata-katanya karena begitulah adanya. Kata-kata itu meluncur begitu saja. Itu adalah kejujurannya. Tidak ada sepotong ingatan tentang si orang asing di otaknya dan dia memberikan jawaban untuk sebuah pertanyaan dari si orang asing yang mungkin bukanlah benar-benar sebuah pertanyaan. Joon benar-benar hilang akalnya, tidak tahu mengapa ia sekarang juga merasakan rasa sakit. Joon meraih si orang asing yang tidak lagi kuat menopang tubuhnya sendiri, dengan penuh cemas, “N-nona..kau kenapa? Kau sakit? Apa kau ingin aku antarkan ke rumah sakit?”

          Joon menggendong si orang asing yang masih terisak dipunggungnya. Ia mencoba berlari lebih cepat, namun entah mengapa kakinya bergerak semakin lambat. Si orang asing itu tidak berat, tapi Joon tidak tahu mengapa tenaganya seolah mengambang ke atas, melayang-layang ke cakrawala, bersama cairan yang mulai menguap ke partikel udara yang tadinya membasahi pundaknya. Cairan yang turun dari wajah si orang asing.

        “Turunkan aku.” Joon berhenti kemudian berniat melanjutkan langkahnya, sampai si orang asing itu kembali bergumam, “Turunkan aku.”

       “Kau sedang sakit nona, kita harus ke rumah sakit. Kau bisa—“

      Si orang asing mulai meronta dan berteriak, “Kau tidak dengar?! Turunkan aku! Turunkan aku, bajingan! “

       Rahang Joon mengeras, kesesakan mulai memenuhi volume paru-parunya. Ia mengulum bibir bawahnya dan merasakan perih yang mulai merayap ke ulu hatinya. Dengan perlahan dan hati-hati, dia mulai menurunkan si orang asing yang masih begitu merah dan basah. Sambil memunggunginya, Joon berkata, “Maafkan aku. Aku tidak sopan. Pergilah ke rumah sakit, kau sepertinya demam, nona,” menundukkan kepalanya, “Selamat tinggal.”

        Joon menyeret langkah lambat dan terus memunggungi si orang asing yang terus terisak. Empat langkah. Joon baru berjalan empat langkah, namun entah mengapa ia merasa tidak akan pernah bisa kembali ke langkah semula selamanya. Joon terus bertanya tentang siapa sebenarnya si orang asing, mengapa orang itu mengikutinya, mengapa orang itu memarahinya, mengapa orang itu terisak, dan mengapa ia merasakan rasa nyeri bukan main disetiap detak jantungnya kepada dirinya sendiri yang bahkan tidak mengetahui jawabannya. Sesuatu sangat penting meluncur bebas dari genggaman jemarinya yang kurang erat, dan Joon benci menyadari bahwa ia lupa tentang sesuatu yang begitu penting itu. Joon berjalan semakin jauh dan jauh. Menyeberangi jalanan kota yang ramai akan lampu-lampu bewarna-warni yang mulai mengaburkan indera penglihatannya. Di ribuan senja yang telah dilaluinya, ia bertanya-tanya apakah ia pernah mengalami hal yang serupa sebelumnya. Apa dia pernah merasa begitu sakit dan ingin mati setelah memijakkan kakinya selama dua setengah dekade dibumi. Apa yang telah hilang darinya? Apa yang akan kembali padanya? Joon ingin mengetahuinya.

          “Joon …”

          Di langkah lebar kaki penyeberang jalan dan suara bising dari kendaraan dan musik-musik yang melantun kacau dari kafe-kafe dan bar, Joon bisa mendengar ada sebuah suara memanggil namanya. Ia mematung, tungkainya terlalu berat untuk diangkat sekarang. Untuk kesekian kalinya, Joon mencoba menajamkan pendengarannya.

         “Joon …Oh Joon..”

        Kali ini tidak ada lagi kebimbangan yang harus dipertimbangkan olehnya, Joon berbalik dan mendapati tatapan sendu milik si orang asing mengarah padanya. Joon hanya bisa terpaku diseberang tepi jalan, mencoba mendengarkan dengan baik apa yang ingin disampaikan oleh si orang asing. Cairan itu terus mengalir turun, membuat bahu si orang asing bergetar. Dadanya bergerak naik turun dalam tempo yang cepat, menunjukkan bahwa dia sekarang sedang ingin meluapkan perasaannya. Joon mengangguk lambat, mengisyaratkan si orang asing untuk mengatakan apa yang ingin dikatakan padanya, karena Joon tidak yakin apa mereka akan punya kesempatan lain untuk mengenyahkan semua keraguan dan barangkali juga si orang asing menyadari kalau ia tidak bisa menyimpan kata-katanya terlalu lama.

         “Oh Joon..apa kabarmu? Apa kau baik-baik saja?”

         Dari seberang Joon mengangguk, membuat si orang asing tersenyum,”Aku senang kau baik-baik saja.” Ia pun mulai berjalan menuju Joon, “Tapi jujur aku tidak baik-baik saja. Aku..sakit..merindukanmu, kau tahu? Rasanya aku ingin mati karena tidak pernah bisa melihat wajahmu lagi.” Joon tercengang, perlahan rasa gelisah kembali menghampirinya. Si orang asing itu pun tersenyum tipis, “Kau tidak pernah merindukanku,hm? Joon-a, kenapa kau jahat sekali?” Cairan itu kembali mengalir, dan Joon mulai terganggu karenanya, dengan spontan, “Maafkan aku.”

         Si orang asing terus berjalan dan mempercepat langkahnya, semakin cepat, dan cepat hingga ia berlari. Empat puluh lima senti yang tadinya setia mengganggu mereka kini enyah dan hanya menyisakan nol. Joon menutup matanya. Membiarkan sensasi asing namun akrab menguasai dirinya. Joon meresapi setiap gerakan yang dilakukan oleh si orang asing dibibirnya. Pelan, pelan, dan mengalun lambat seperti melodi asing yang sering dimainkannya berulang-ulang di ipod-nya. Ia menyukai aliran transparan yang hangat dari telapak tangan dan jemari si orang asing digaris rahang juga tengkuknya. Joon menyukai kenyataan bahwa lengannya sangat pas berada dipinggang si orang asing, seolah kedua lengan itu memang ditakdirkan untuk memeluk tubuh ringkih dan rapuh milik si orang asing. Si orang asing menjelaskan segala sesuatu yang ingin Joon ketahui dengan jelas dan mudah dari sentuhan bibir dan pergulatan kecil dimulut mereka. Sebuah perasaan, sebuah kenangan, sebuah kerinduan. Sesuatu yang hilang diingatan, namun masih terlalu jelas untuk bisa Joon rasakan. Satu ciuman yang cukup untuk menjadi sebuah alasan bagi Joon mengerti apa yang ingin disampaikan oleh si orang asing, yang barangkali tidak akan tersampaikan melalui kata-kata dan serangkaian melodi juga isakan. Si orang asing melepaskan tautan bibir mereka dan menatap Joon dengan lembut dan.. merah. Joon mencoba mencari kebenaran dimanik mata si orang asing, dan ia akhirnya mendapatkannya. Jawaban yang dinantinya.

       “Joon..kau melakukannya dengan baik. Sangat baik. Kau memang seharusnya melupakanku. Aku bersyukur kau tidak bisa ingat.”

          Joon terus menatapi si orang asing dari ujung bulu matanya yang mulai berkedip cepat dan bergetar. Ia benci karena dirinya tidak bisa mengingat siapa si orang asing, si orang asing yang tidak asing dan benar-benar penting. Joon benci itu. “M-maafkan aku.”

          Cairan itu menetes lagi, “Tak apa. Sungguh. Aku tahu kau sekarang pun masih lupa akanku. Dan aku harap kau akan terus melakukannya seperti itu. Kau hidup dengan baik, itu sudah lebih dari cukup.”

            Joon mendadak merasakan wajahnya memanas, “M-maaf.”

          Si orang asing dengan cairan yang tidak lekas menguap diwajahnya, menangkupkan wajah Joon, kemudian berkata, “Jangan pernah meminta maaf. Kau tidak salah, kau tidak mengingkari janjimu, aku—aku yang mengingkari janjiku dan membuatmu seperti ini. J-joon..jangan pernah meminta maaf, karena kau mungkin melupakanku disini, “ ucapnya sembari mengangkat tangannya, membelai kening Joon, kemudian menunjuk dada Joon dengan telunjuknya, “tapi tidak disitu.” “A-ak—“ “Terima kasih, Oh Joon.”

           Joon terdiam dan membiarkan si orang asing terus berbicara, mencoba melukis setiap lekukan yang ada pada wajah si orang asing dan merekam suaranya di benaknya, berdoa dalam hatinya semoga dia tidak akan pernah lupa. Menggenggam tangan si orang asing dengan erat berharap semoga tangan itu tidak pernah lagi terlepas dari genggamannya. Tapi harapan hanyalah harapan, seperti benang tipis yang lekas putus. Si orang asing bergerak mundur dan perlahan menjauh. Joon terus terpaku, matanya berkedip cepat, dan ketukan jantungnya kembali tak karuan. Joon mulai bergerak saat si orang asing semakin menjauh.

            Menggeleng pelan, Joon bergumam, “Jangan…”

         Si orang asing tersenyum, senyum yang paling indah, “Jangan mendekat. Jangan biarkan dirimu mati untuk kedua kalinya, Joon.”

         Joon merasakan ketakutan luar biasa dihatinya. Merah. Merah lagi, si orang asing dipenuhi udara merah yang transparan. “Kumohon..jangan..”            

        Si orang asing terus mundur dan mundur, tersenyum dengan lembut. Sebuah senyum yang mendatangkan perasaan aneh dan gelisah di hati Joon. “Joon..jangan pernah biarkan aku mendengar ucapan selamat tinggal dari mulutmu, karena—“

       “Awas!!”

 

     BRUAK!

         Joon membeku. Pupil matanya melebar seiring dengan suara lengkingan kacau yang mulai samar, sinar yang meredup, dan dunia yang bergerak dalam tempo adagio. Melodi asing yang selalu mengembara bebas ditelinganya kini bermain-main dikepalanya. Melodi yang Joon suka, melodi yang Joon benci, sebuah melodi yang serupa dengan kemarin namun tetap terdengar asing. Matanya mengabur bersamaan kedipan lambat kerlap kerlip lampu di kafe seberang jalan. Ia lemas, kakinya tidak kuat lagi menumpu beban tubuhnya. Perlahan, cairan yang tadinya hanya ada diwajah si orang asing kini juga ada diwajahnya. Joon merasa begitu tercekik. Orang-orang mulai berkerumun mengelilingi si orang asing yang terkulai layu di atas aspal dingin. Si orang asing yang kini meringis, bernafas cepat, dan meringkik. Matanya terus menatap Joon yang hanya bisa bersimpuh ditempatnya semula, menangisinya dan meratapinya. Dengan sisa tenaganya, si orang asing bergumam pelan, “k-karena J-joon-a, ak-aku y-yang akan..mengucapkannya.”

       Gumaman pelan dari si orang asing begitu kecil dan ringan hingga terbawa oleh angin. Namun Joon tahu, perasaan sesak yang kini ada dihatinya dan cairan yang menggumpal di wajahnya tidak akan pernah hilang meski ia ingin menghilangkannya. Malam terkelam yang pernah singgah ke atas atapnya, malam yang Joon tidak pernah sekalipun ingin membayangkannya. Malam kelam yang mengganggunya. Juga merah. Merah diatas abu-abu yang luas, merah dipermukaan lembut manik mata si orang asing, dan merah yang terpancar di cakrawala dikala senja. Merah yang parah, merah yang resah dan gundah, merah yang marah, dan merah yang benar-benar salah. Joon enggan untuk bergerak. Ya ia begitu enggan, karena sekarang yang ada hanya merah. Benar-benar merah. Di wajah si orang asing.

 

 

-the end-

 

(PS: When I wrote this story, I thought this could be an idea for an MV and I hope these guys –Jong Seok and Yoo Bi— could play it. Ah, I had so much feeling when I made this one. I need some hours to think about a simple idea about something important that we might try to remember, but it still remains to be forgotten. And why do I recommend Bobby K- Stranger as the soundtrack? Well, that song is really something. It gives me a very strong and sad feeling. Go, listen to it, you’ll like it! Anyway, thanks for reading such typical story! Keep support me and Jong Seok (hehe) in the future! ). Peace out!

Foreword

Ada seorang asing yang Joon tidak bisa kenali dengan benaknya, namun tidak dengan hatinya. Si orang asing dengan cairan di wajahnya. Si orang asing yang kelihatan begitu merah. Dan entah mengapa, Joon mulai gelisah. Gelisah tentang sesuatu yang barangkali telah terlepas dari genggamannya yang kurang erat dan takkan pernah kembali padanya.

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet