Obsessions

Obsessions

Ini bukan operasi pertamaku semenjak dua tahun silam dinobatkan sebagai dokter bedah. Ini juga bukan operasi pertama yang aku lakukan seorang diri tanpa ada asisten maupun perawat yang mendampingi. Ruang operasi inipun tidak di sebuah rumah sakit, tapi di ruangan yang ada di mansionku. Bukan, aku tidak membuka jasa pengobatan atau klinik di rumah. Hanya sedang melakukan kegiatan yang tak memiliki izin.

Tubuh pasien yang akan dibedah sudah kupasangi berbagai alat untuk memonitor. Tanda vital yang tertera pada layar terlihat baik dan tidak ada masalah. Dengan cekatan aku mengarahkan Lampu operasi yang menggantung ke arah bagian dada. Dibawah dada lebih tepatnya. Organ yang ingin kumiliki saat ini adalah hatinya. Hahh, selalu seperti ini. Tanganku akan bergetar pelan jika memegang pisau bedah. Bukan, aku tidak sedang mengalami hal itu. Hanya sedang meyakinkan nurani hati.

Dua jam sudah aku berkutat dalam kamar operasi. Bau darah dan obat-obatan menyeruak menusuk indera penciumanku. Kekehanku menguar saat menyadari bahwa aku masih mengenakan baju operasi. Ckck, padahal aku harus bertemu dengannya. Akan sangat mengkhawatirkan jika aku datang dengan pakaian yang bau amis seperti ini.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Aku melangkah terseok menelusuri koridor mansion yang bergaya Romanesque. Berat yang ditopang punggungku ,membuatku sedikit kewalahan. Belum lagi suara petir yang bersahutan keras memecah derasnya hujan. Tanpa perlindungan yang berarti, kubiarkan hujan membasahi tubuh. Langkahku berhenti di depan lubang sedalam 2 meter yang akhir-akhir ini menghias pekarangan belakang rumahku.

Buntalan berwarna putih yang sedari tadi menghias punggung, kuletakkan di dekat lubang. Sebuah peti berwarna hitam terbuat dari kayu cendana dengan tutup terbuka tampak didalamnya. Wangi dari kayu langka ini membuat bau amis yang menusuk indera penciumanku menguar sudah. Tanpa menunggu lagi kuangkat buntalan seukuran tubuh manusia itu dan kuletakkan di dalam peti. Hahh, seandainya aku memiliki asisten. Mengerjakan semua hal ini sendirian tidaklah mudah. Terlebih rasa lelah habis operasi tadi masih melekat.

Mataku menatap takjub lubang yang telah tertutup sempurna. Tak dapat kupungkiri bahwa julukan sebagai dokter bertangan dingin sangatlah cocok untukku. Apapun yang aku lakukan pasti akan berjalan dengan baik. Seperti sekarang ini, sudah lima pasien yang kubedah sendiri tanpa bantuan perawat dan asisten. Dan hasilnya sangatlah menggembirakan. Organ-organ yang kukeluarkan selalu berfungsi dengan baik. Walalu kenyataannya masih belum bisa membuat dia yang meninggalkanku kembali menatapku.

Mengingat wajahnya yang datar tanpa ekspresi membuatku menghela napas. Seolah menandakan bahwa kerja kerasku belumlah cukup. Padahal sudah semuanya aku berikan. Semua organ dalam dari kelima pasienku sudah kupersembahkan untuknya. Tapi, dia masih belum mau menatapku.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Suara rintihan sang petir masih bersahutan dengan derasnya hujan. Jam dinding kamarku sudah menunjukan pukul 12 malam. Dan aku masih belum bisa memejamkan mata untuk tidur. Selalu seperti ini. Perasaan bersalah dan berdosa menyergapku. Mengingatkan ku akan para pasien yang kubedah hanya untuk kepentinganku. Arrghhh! Tak bisakah hati ini berhenti menyalahkanku? Ini semua kulakukan hanya untuknya! Demi dia yang bahkan tidak kunjung menatapku yang sudah 2 tahun ini menemaninya.

Jeritan hatiku tak kunjung berhenti. Seolah tak ada tempat untukku tinggal, sekalipun itu didalam hatiku sendiri. Berbagai cara kucoba untuk menghentikan derasnya air mata yang mengaliri wajahku. Bahkan tanpa ragu kupukul keras wajahku agar air mata ini berhenti. Sia-sia. Semua ini tidak akan berganti dengan mudahnya. Sudah seharusnya perasaan ini menyiksaku. Membunuh. Mengambil sesuatu dari yang hidup. Bukankah itu artinya mencuri. Tapi yang aku lakukan bukan hanya mencuri. Sesuatu yang kuambil membuat yang hidup tak dapat hidup.

Tangisku pecah. Sesak. Tanganku memukul kencang dadaku. Berusaha mengehentikan tangis yang kian menjadi. Tubuh lemahku yang sudah kelelahan meringkuk lemas dilantai kamar. Dingin. Rasa dingin dari udara menusuki tiap rusukku. Erangan kerasku menutup perihnya batin yang luka akibat ulahku sendiri.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Hari ini tak banyak pasien yang harus kuperiksa. Hanya operasi kecil yang harus kulakukan terhadap pasien gagal ginjal. Ruangan kerja yang didominasi oleh warna putih ini membuat kepalaku berputar jengah. Warna yang terlalu menyilaukan. Mataku melirik kalender meja berwarna peach. Senyumku membuncah melihat lingkaran berwarna merah yang menhiasi tanggal hari ini.

Mengetahui bahwa hari ini adalah hari ulang tahunnya membuat hatiku tertawa bahagia. Dengan segera kurapikan perlengkapanku dan bergegas meninggalkan ruangan. Aku ingin cepat sampai di rumah. Bertatap dan berbincang banyak hal. Sepertinya aku harus membawakan hal yang paling dia sukai. Tapi apa ya?. Benakku menerka apa yang dia inginkan saat ini.

Langkahku berderap cepat di lorong rumah sakit. Dapat kulihat keluarga pasien yang tengah menunggu dengan wajah harap-harap cemas. Seorang suster dengan wajah cantik berjalan menghampiriku. Seingatku, namanya adalah Daisy.

"Dokter Simon sudah mau pulang ya?"

Wanita itu tersenyum ke arahku. Sepertinya dia sedang tersipu karena senyum yang kusunggingkan untuknya. Ck, merepotkan.

"Ya. Ada yang bisa kubantu, suster?"

"Hem, tadi ada keluarga pasien dari Nona Akina yang datang mencari. Menurut mereka Nona Akina kemarin datang ke rumah sakit untuk berobat. Apa Nona Akina menemui dokter?"

Mendengar nama salah satu pasienku yang sudah terbaring manis dalam peti cendanaku membuatku sulit bernapas. Apa kegiatanku sudah tercium? Tidak. Hal ini harus aku hilangkan. Tidak boleh ada jejak yang mengarah padaku. Terlebih keberadaan dia. Mereka tidak boleh mengetahui itu.

"Tidak. Bukannya setiap pasien yang datang kesini akan terdata dalam arsipmu suster Daisy?" Kusebut namanya tepat di dekat telinganya.

Suara kikikan geli terdengar dari gadis yang sudah membuatku tertahan lama disini. Cih, dengan wajah yang sudah memerah malu. Suster itu berlalu meninggalkanku. Syukurlah. Aku pikir akan susah membuatnya pergi. Aku harus bergegas. Sepertinya aku harus pindah rumah.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Kaki jenjangku melangkah cepat menyusuri halaman depan mansion. Sebuket bunga lili putih tergenggam erat di tangan kananku. Tanpa sadar bibir tipisku menyenandungkan lagu yang kerap kali kami nyanyikan bersama saat dulu. Suara jentikan jari tanganku membuat pintu besar yang didominasi dengan warna emas ini terbuka lebar. Bunyi bib terdengar ketika pintu tertutup kembali. Menandakan bahwa alarm keamanan sudah diaktifkan.

Ku arahkan kaki menuju kamar. Aku ingin terlihat baik sebelum bertemu dengannya. Mengenakan pakaian yang dia belikan untukku di hari ulang tahunku yang ke-17. Tepat tiga tahun yang lalu. Setengah jam sudah berlalu. Senyum lebarku menguar ketika melihat pantulan diri di depan kaca. Sempurna. Tampan dengan rambut disisir rapi. Dan wangi harum menyeruak dari minyak wangi kesukaanku.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Kutengokan kepala ke dalam ruangan yang menjadi tempat beristirahatnya. Bibiku tersenyum senang ketika mendapati bahwa dirinya tengah menungguku.

"Apa aku terlalu lama Demi?" Kuelus pelan tabung kaca yang berisikan tubuhnya.

Perasaanku tak dapat kutahan. Kupeluk erat tabung kaca yang dipenuhi cairan biru dengan kabel-kabel kecil yang terhubung pada tubuhnya. Tubuh adikku tersayang, Demi.

"Kau tahu Demi. Tadi ada suster yang bersikap menyebalkan. Mencoba merayuku. Sehingga membuatku telat untuk pulang. Maafkan kakakmu ini ya,"Aku mengambil sebuket bunga lili. "Ini untukmu. Aku membelinya dalam perjalanan pulang kesini. Bukankah kau sangat menyukai bunga lili?"

Iris cokelatku menatap sendu tabung kaca. Sudah 2 tahun semenjak matanya menutup dan jantungnya berhenti berdetak. Demi harus kehilangan nyawanya karena pembantaianyang terjadi di daerahku. Para pembantai itu tanpa ampun menghabisi setiap yang bernyawa. Tidak termasuk adikku yang belum genap 17 tahun ini. Aku? Beruntungnya aku tidak ada disana. Sekolah kedokteranku membuatkku harus menetap dalam asrama.

"Demi, jawab kakak. Apa kamu marah? Apa yang membuatmu marah?" Bulir beningku mengalir. "Maafkan kakak Demi. Kakak hanya ingin kau bisa kembali," Bodoh. Aku merutuki diriku yang tidak bisa menahan air mata ini.

Tangisanku semakin keras ketika alarm keamanan rumahku berbunyi nyaring. Degup jantungku semakin kencang berpacu. Kututup semua pintu yang dapat dimasuki. Keyakinanku membuatku harus menggigit bibir. Sudah tercium rupanya. Suara derap lari orang banyak membuat peluhku menetes deras. Apa ini akhir dari segala pengorbananku? Bahkan aku belum bisa melihat dia menatapku.

Setelah semua yang aku lakukan. Mengotori tanganku hingga berlumuran darah. Dan haruskah semua ini berakhir? Batinku meronta keras. Membayangkan harus kehilangan Demi untuk kedua kalinya membuatku berlari dan memeluk tabung kaca. Menatap dalam wajah cantik berwarna pucat itu.

Puluhan orang berseragam khusus dengan senjata ditangan berhasil menerobos pintu. Suara perintah untuk menyerah membuatku menggelengkan kepala keras. Aku tetap pada posisiku. berdiri memunggungi tabung kaca dengan tangan yang melingkarinya. Aku tidak akan membiarkan mereka mengambil Demi.

Tubuhku terjatuh ke lantai saat suara letupan senjata api melengking menyisakan peluru yang bersarang di kakiku. Mataku membeliak melihat beberapa orang berseragam itu meringkus dengan memasangkan borgol ke tanganku. Tubuhku meronta berusaha melepaskan diri dari kungkungan mereka. Teriakanku menggema keras ketika beberapa orang lainnya berusaha menghancurkan tabung kaca.

Mataku memanas melihat adikku tergelatak di lantai. Pecah sudah. Cairan biru yang selama ini menopangnya berceceran. Dalam sadarku dapat kulihat kelopaknya terbuka. Iris kelamnya mentapku, mengantarku ke tempat terakhirku.

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet