Luka Pertamaku

(prequel of Broken Heart) Luka Pertamaku

Luka Pertama ku
Created By : archiffaowiqlay

Namaku Keichiro Reaves Querqy, murid kelas 2 SMA. Anak tunggal dari pasangan Eilyc Querqy dan Kinan Ananta Yamato. Aku berdarah campuran. Tapi sudah lahir dan tinggal di negara kelahiran Bunda, Indonesia. Aku bukan seseorang yang ramah, tapi bisa jadi sangat cerewet pada hal-hal tertentu. Aku tidak suka membangun pertemanan. 

Aku terbiasa dengan hidupku yang sendiri. Walau tidak mempunyai 'teman' di luar rumah, aku memiliki 'teman' untuk berbagi yaitu Bunda dan Ayah ku. Aneh memang, tapi itulah aku. Disaat semua remaja laki-laki seperti ku sibuk dengan urusan 'pertemanan' mereka, aku lebih suka menghabiskan waktu untuk berbincang banyak hal dengan orang tuaku.

Tapi, kini aku tidak sendiri lagi. Tepat kemarin ketika seorang gadis bertubuh kecil dengan mata bulat hitamnya yang besar. Gadis yang telah berhasil menyita perhatianku. Aku masih menjadi aku. Tapi karenanya kesan primitif dalam bersosialisasi  merangkak menjauhiku. Dia memang berbeda.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
"Keichi!!!!" Sebuah suara teriakkan menggema memenuhi ruang kelas 2 IPA 1.

"Hem," Balasku singkat seraya mendudukan tubuhku di kursi kayu berwarna coktat tua.

"Hei, kenapa baru tiba? Lima menit lagi bel lohh, kau sudah mengerjakan tugas matematika belum?" Tanyanya tanpa jeda seperti kereta api yang tengah melaju.

ckck...gadis ini tidak mengetahui kepintaran ku ternyata. Harusnya dia mengetahui bahwa aku ini siswa terpintar dan selalu menjadi juara umum sekolah.

"Keichi, kau marah karena aku minta bertukar tempat duduk?" Wajah cerianya berganti sendu dan dipenuhi rasa bersalah. Kuhembuskan perlahan napasku. Sungguh, aku tak bermaksud membuatnya merasa bersalah.

"Bukan. Aku-Primitif." Jawabku penuh penekanan di akhir. Hhssshh.. banyak kalimat yang memenuhi benakku. Tapi, hanya kata itu yang terlontar. Dasar payah.

"Hahaha... Keichi ada-ada saja. Kita hidup di jaman modern Keichi. Dan penampilan mu normal kok." Jawabnya dengan jari yang diketukan ke dagunya seraya menatap intens diriku.

"Huh?" Balasku acuh. Mengabaikan dirinya yang mulai menampilkan mimik kesal. Baru hendak membalas ucapanku, tiba-tiba guru yang mengajar sudah datang.

Oh ya, aku lupa. Gadis berisik yang aku acuhkan ini adalah siswi baru di sekolah kami. Teman duduk pertama ku setelah 16 tahun aku selalu sendiri. Archiffa Keysha Owiqlay, biasa dipanggil Archi. Gadis bertubuh kecil dengan kulit putih seperti susu. Bermata bulat hitam besar dengan bibir tipis kemerahan. Rambut hitam panjangnya selalu di ikat menyerupai bulatan menggantung. 

Istimewa, Mungkin karena ini pertama kalinya ada seorang terlebih wanita yang hadir dalam hidupku, kecuali Bunda. Unik, karena dia mampu mencairkan dinginnya hatiku, walau belum sepenuhnya. Dan berbeda, karena dia mampu melukiskan berbagai hal tentang sebuah perasaan.

wajah serius dan tenang terlihat jelas saat ini. Sifat cerewet dan dan berisiknya hilang seketika. Matanya membulat lucu, saat guru matematika menerangkan sebuah rumus baru yang harus aku akui agak sulit dipahami untuk orang seperti dia. Melihatnya bingung dengan alis yang mengkerut membuatku terkekeh pelan. Sadar akan kekehan ku, gadis bermata bulat itu menatapku tajam. 

"Hei, Keichi, apa yang sedang kau tertawakan?" Tanyanya dengan suara yang nyaris tidak terdengar seraya mencubit kecil lengan kiri ku.

"Ck, bukan apa-apa." Jawabku pelan sambil mengusap pelan lenganku yang terkena cubitannya. 

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Ini pertama kalinya aku menjalani peran sebagai anggota dari sebuah kelompok kecil yang disebut kelas. Lebih tepatnya pi-ket ke-las. Aku tidak sendiri tentunya, ada 'D-I-A' si gadis cerewet nan berisik yang juga mengerjakan tugas kelas bersamaku. Ya. Ini semua karenanya. Dia memaksa ketua kelas kami untuk memindahkan jadwal piket ku di hari dia bertugas. Alasan yang tak masuk diakal dia lontarkan pada ketua kelas kami. Dan anehnya ketua kelas kami mempercayainya. Sungguh bodohh!!!.

'Sekarang aku baru saja pindah rumah di sebelah rumah Keichi. Aku masih belum bisa memahami rute menuju rumah baru kami, jadi bolehkah jika Kechi mengantarku pulang?'

Tentu saja aku tidak mau! Tapi dia memaksa, bahkan sambil mengeluarkan sedikit rengekan menjijikan ala-nya. Menyebalkan. sebenarnya berapa usianya? Masa' rute jalan saja tidak bisa mengingatnya. 

"Keichi!!!" Suara nyaringnya membuat ku harus menutup telingaku lebih dalam lagi. kalau seperti ini terus aku harus berobat ke dokter THT. Polusi.

"Hem," Jawabku malas, sambil berusaha menjauhinya yang mulai akan bersuara lagi.

"Keichi... jangan tinggalkan aku seperti ini." Ucapnya lirih dengan nada sedih. Mata yang selalu dipenuhi binar berubah sendu dan sayu.

"Hsshh, ada apa?" Tanyaku mengalah. Aku tidak membencinya, hanya saja irama jantungku selalu berdetak nyaman kalau di dekatnya. Dan aku bingung.

"Tahukah kau kalau di luar hujan?" Tanyanya pelan dengan nada penuh ingatan didalamnya.

"Tidak." Jawabku jujur. Memangnya kenapa kalau hujan?.

"Karena jika udara dingin seperti ini aku pasti merasa lapar." Lanjutnya sembari tersenyum lebar menatap ku.

Tanpa menjawab pertanyaannya aku berlari keluar ruangan, ada perasaan kuat yang mendorong ku untuk melakukan hal ini. Menerobos hujan dan memberikannya makan serta minuman hangat untuk memenuhi keinginannya. Aneh. Tapi aku senang melakukannya. Beruntungnya di dekat sekolah kami ada kedai kecil. Ahh, aku lupa menanyakan makanan apa yang ingin dia makan. Baiklah pilihkan yang biasa Bunda makan saja kalau hujan sedang turun.

Dengan setengah berlari aku menerobos hujan yang kian deras mengguyur kota kami. langkah kaki ku melemah ketika ku dengar suara isakkan dari dalam ruangan kelas kami. terdengar memilukan dan menyayat hati. Apa gadis itu yang menangis? Tapi kenapa?. Ku tengokan sedikit kepala ku ke dalam kelas. Tepat dugaan. Gadis itu tengan meringkuk memeluk lutunya diatas sebuah meja. kepalanya ditundukkan dan punggung kecilnya tampak bergetar. Tanpa pikir panjang, kutarik tubuh kelnya ke dalam dekapan ku. ku tepuk pelan punggung kecilnya yang bergeta hebat.

Sesak. Melihatnya menangis seperti ini. Ada perasan tidak terima. Dan untuk pertama kalinya aku merasakan sebuah luka. Luka yang pelakunya bahkan tidak tahu sudah melakukannya. Mmeluknya dan mendengar tangisnya membuat peluhku bercucuran. Sungguh, jangan menangis. Aku sesak. 

"Berhenti. Jangan mengangis lagi." Ujarku dengan nada agak sedikit keras. Jujur saja, tangisan memilukan ini harus segera dihentikan, atau besok aku akan berakhir di rumah sakit karena terkena serangan jantung. bituh waktu sekitar setengah jam untuk menghentikkan tangisnya. 

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~""Keichi, maaf untuk kemejamu yang basah karena berlari di tengah hujan demi untuk membelikan makan untukku. dan terimakasih karena bersedia menjadi sandaran sementara ku." Ucapnya pelan seraya menggit roti isi daging yang aku beli.

"Sementara? Lupakan, selamanya kau hanya boleh bersandar pada ku." Jawabku dengan nada tinggi. seraya menatap intens iris matanya.

"Hah? maksudnya, kau tidak terganggu dengan aku yang berisik ini?" Tanyanya tak yakin.

"Hem." Tentu saja tidak. Ingin ku hanya aku sandaran mu, hanya aku perisai dan hanya aku yang akan menjadi pedang tajam mu.

"Kau tahu, ini pertama kalinya aku menyantap makanan bersama dengan seorang pria." Ceritanya dengan senyum mengembang dan pandangan menatap keluar jendela.

"Benarkah?" Tanya ku tak percaya.

"Ya, terasa seperti sebuah jamuan makan malam. ada lilin, ada hidangan pembuka, hidangan utama dan hidangan penutup serta minuman hangat." Jelasnya seraya menunjuk dendeng daging, soto ayam dan roti isi daging. 

"Salahkan sekolah ini yang tidak menyediakan generator untuk keadaan genting seperti ini. Untung aku masih ada lilin kecil bekas kue ulang tahun adikku kemarin. " Jelasku panjang lebar seraya terkekeh kecil melihat keadaan kami.

"Suasananya sungguh menenangkan. aku ingin melihat bintang dan pelangi. Mungkinkah?" Ujarnya bermonolog, karena aku terlalu terlena dengan wajah cantiknya yang terlihat bersinar dalam kegelapan.

Mati lampu membuat kondisi kelas kami menjadi agak gelap, untung saja hari masih sore, walau hujan deras mengguyur tapi masih ada sedikit cahaya yang menerangi ruangan. Berbekal lilin ulang tahun, makan malam kami berkesan berbeda. Makan malam pertama ku dengan gadis yang sukses melunturkan gunung es ku. walau tidak di restoran mewah, walau tidak ada pemain musik yang menyenandungkan ungkapan hati. Tapi, ini sungguh berkesan. Archi, ijinkan aku menjadi seeorang untukmu. 

Di singgasana ku, 30 September 2014_16.15 WIB

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet