Who Are You?

늑대와 미녀 (Wolf)

“Yes, wolf; I’m a wolf!

I’m a wolf and you’re a beauty.”

 

Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas tengah malam, namun Lee Hana masih belum bisa memejamkan matanya. Insomnianya kambuh di saat yang tepat; saat dia hendak melupakan mantan kekasih yang tega membuangnya demi gadis lain.

Hana memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar rumahnya, sekalian mencari udara segar. Meski hanya ditemani lampu-lampu jalan, Hana tidak merasa takut sedikitpun. Jalan-jalan di tengah malam adalah hal yang biasa dilakukan ketika insomnianya kambuh.

“Huff…” Hana berhenti di taman dan duduk di bangku. Matanya mengedar ke sekeliling, dan dari bibirnya meluncur desah nafas yang terdengar lelah. Ya, Hana sudah lelah menangis. Dia sudah lelah diperlakukan seperti barang oleh sang mantan kekasih, Jang Wooyoung. Hana tidak dapat menahan emosinya ketika melihat Wooyoung tengah bermesraan dengan salah satu adik kelas yang sudah Hana anggap seperti adik sendiri. Hati Hana kembali hancur berkeping-keping. Seluruh emosi bercampur aduk di dalam dadanya yang seolah menyempit.

Dan untuk kesekian kalinya, Hana melayangkan tangannya untuk menampar Wooyoung. Untuk kesekian kalinya pula, Hana meneriakkan kata ‘putus’ pada pemuda yang sudah mengisi hatinya selama setahun itu. Namun kali ini, Wooyoung tidak mengejarnya. Dia membiarkan Hana pergi, lebih memilih adik kelas itu daripada gadisnya yang sudah berulang kali dia sakiti.

Hana memandang cincin perak yang melingkar di jari tengah tangan kanannya. Raut wajahnya berubah kesal dan dia menarik cincin itu hingga terlepas dari jarinya, kemudian melemparnya ke sembarang arah. Tidak lama kemudian, terdengar suara rintihan pelan dari arah lemparan cincin tadi.

Penasaran, Hana bangkit dari duduknya dan pergi ke balik semak-semak di taman. Hana membelalakkan matanya ketika melihat seorang pemuda terkapar tak berdaya di balik semak-semak. Meski remang, Hana bisa melihat kalau kaki kanan pemuda itu terluka.

“He—hei! Kau tidak apa-apa?” Hana langsung menyongsong pemuda itu. Pemuda berkulit salju itu tidak sadarkan diri, dia hanya bisa merintih sesekali.

Hana bingung, tapi akhirnya dia membawa pemuda itu ke rumahnya meski dengan susah payah. Dengan cekatan Hana mengobati luka di kaki si pemuda, kemudian menghangatkan tubuh dinginnya di depan perapian. Sambil menunggu pemuda misterius itu sadar, Hana memutuskan untuk membuat teh hangat.

Suara gerungan pelan menjadi pertanda kalau pemuda misterius itu mulai mendapatkan kembali kesadarannya. Hana bergegas menuju ke depan perapian dan duduk di samping pemuda itu, menatapnya dengan khawatir.

Pemuda itu membuka matanya. Dia mengerjap beberapa kali, kembali menggerung pelan, dan akhirnya manik hitam si pemuda menangkap bayangan Hana yang masih duduk di sampingnya.

“Kau… tidak apa-apa?” tanya Hana dengan hati-hati. “Aku menemukanmu pingsan di taman… uh, karena aku tidak membawa ponsel, jadi aku membawamu ke rumah. Untungnya luka di kakimu tidak parah, jadi aku bisa mengobatinya sendiri… oh iya, namaku Lee Hana, siapa namamu?”

Pemuda itu bangun dan menatap Hana dengan bingung. “Kau… menyelamatkanku?”

“Eh? Memangnya kenapa?” Gantian Hana yang menatap si pemuda dengan bingung. “Aku tidak bisa membiarkanmu begitu saja, lagipula ketika kau kubawa ke rumah, tubuhmu dingin sekali. Kalau terus kedinginan seperti itu, kau bisa mati nantinya.”

Pemuda itu tidak berkata apa-apa lagi, dia malah menggenggam tangan Hana dengan erat. Hana terkejut, wajahnya memerah tipis.

“Siapa… namamu?” tanya pemuda itu, dia masih belum melepaskan genggamannya.

“Euhm… Lee Hana. Panggil saja aku Hana,” Hana tersenyum. “Siapa namamu?”

“Joonmyeon,” jawab pemuda berkulit salju itu pendek.

“Baiklah, Joonmyeon-oppa…” Hana menambahkan ‘-oppa’ karena Joonmyeon terlihat lebih tua darinya. “Aku sudah buatkan teh untukmu, ayo minum dulu.”

Hana melepaskan genggaman Joonmyeon dari tangannya dan bergegas menuju pantry. Gadis berambut panjang itu kembali sambil membawa dua gelas teh hangat, dan memberikan salah satu gelas yang dipegangnya pada Joonmyeon. Pemuda itu masih sedikit bingung, tapi kemudian dia menerima gelas yang disodorkan oleh Hana.

“Jadi, bagaimana ceritanya oppa bisa berada di sana?” tanya Hana sambil sesekali menyeruput tehnya. “Aku kaget sekali begitu melihat oppa di taman tadi. Apakah oppa punya keluarga yang bisa kuhubungi?”

Joonmyeon tidak menjawab, dia malah memandang ke arah perapian. Hana jadi merasa bersalah.

Mianhae… aku tidak bermaksud menyinggungmu.”

“Tidak apa-apa,” Joonmyeon menggeleng pelan. “Aku tidak begitu ingat soal keluargaku. Bayangan mereka sangat samar di benakku, aku sendiri tidak yakin apakah mereka ada atau tidak.”

Hana menatap Joonmyeon dengan kasihan.

“Mm… kalau oppa tidak keberatan, oppa bisa tinggal di sini untuk sementara waktu,” ucap Hana kemudian. “Ada banyak kamar kosong, jadi oppa bebas mau memilih kamar yang mana. Daripada oppa terlunta-lunta di jalanan, aku pikir lebih baik oppa tinggal dulu di sini sampai oppa bisa mengingat keluarga oppa. Bagaimana?”

Joonmyeon kembali menatap Hana. Gadis itu menundukkan wajahnya, karena menurutnya tatapan Joonmyeon terlalu tajam.

“Baiklah.”

Hana mendongakkan kepalanya dan balas menatap Joonmyeon. “Syukurlah! Kalau begini, aku bisa merawat oppa dengan lebih baik. Jangan sungkan-sungkan untuk meminta sesuatu padaku ya, Joonmyeon-oppa!”

Joonmyeon tersenyum tipis, kemudian mengangguk. “Terima kasih.”

 

~*~*~*~

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet