It's Always Better When We're Together

THEORY OF HAPPINESS (a continuation story of 'Don’t Say Goodbye')

 

Minhyuk pov

 

Aku berlari melewati beberapa orang yang berlalu lalang menghalangi jalanku. Berusaha sekuat tenaga menenangkan diri sendiri, tapi melihat beberapa suster membawa pasien dengan selang-selang yang menancap di tubuh mereka membuatku semakin bergidik ngeri. Bukan karena aku takut pada jarum suntik atau selang infus, tapi membayangkan bagaimana wanita yang kucintai menggunakan semua benda menyakitkan itu di tubuhnya yang rapuh – sangat mengusikku.

 

Aku tidak peduli pada setiap mata yang menatapku tajam. Bahkan ada yang diam-diam mengarahkan ponselnya padaku. Damn..! Masih bisakah mereka melakukan itu ketika aku tidak dalam emosi stabil? Aku tidak peduli pada mereka yang menertawakanku karena pakaianku yang basah oleh keringat. Jersey latihan timnas sialan ini masih kugunakan tanpa sempat kuganti. Ini semua karena 31 panggilan tak terjawab yang muncul di ponselku saat aku menjalani sesi latihan. Dan sialnya, aku tidak menyadarinya. Kurasa aku bisa membayangkan apa yang akan dikatakan Yonghwa Hyung ketika kami bertemu. Tapi persetan dengan itu semua, ada hal yang jauh lebih penting yang perlu ku khawatirkan sekarang.

 

Dengan panik aku menoleh ke kiri dan ke kanan – mencari dimana ruang persalinan berada. Beberapa suster sudah menjelaskan lokasinya padaku tapi aku tak kunjung menemukan ruangan itu. Darahku sudah mendesir ke otak dan rasa frustasi ini semakin menyiksaku. Tapi tak lama kemudian, aku mendengar suara lantang yang sangat familier, memanggil namaku. Kurasakan keringatku sudah mulai dingin sekarang.

 

“Yah! Kang Minhyuk! Kau mau mati? Dari mana saja kau? Aku menghubungimu berkali-kali…”

 

“Hyung, aku akan menerima kemarahanmu dengan sepenuh hati karena aku tahu aku salah, tapi tidak untuk sekarang, dimana Soojung berada?” Aku tidak bisa mendengar ocehannya yang terdengar seperti ahjumma untuk saat ini, ahjumma? Ya, seperti itulah istriku biasa memanggilnya, dan itu memang benar, Yonghwa Hyung terdengar seperti ahjumma jika memarahi kami berdua.

 

“Masuklah, Soojungie pasti membutuhkanmu.” Seohyun, si kakak ipar yang sangat pengertian memberitahuku dimana ruang bersalin istriku. Meskipun ia seumuran denganku, tapi ia jauh lebih dewasa dari yang kubayangkan saat pertama kali mengenalnya. Ia memang pantas mendampingi Yonghwa hyung.

 

Ketika aku memasuki satu ruangan yang gaduh oleh suara lengkingan menyakitkan wanita yang kukenal sebagai suara Soojung, seorang suster menghampiriku. “Permisi, apakah anda suami dari Nyonya Kang?” Jeritan itu semakin kencang, membuatku mengernyit mendengarnya.

 

“Benar.” Jawabku singkat sambil melihat seseorang yang berbaring dengan lutut di tekuk, yang ditutupi oleh kain berwarna hijau. Seorang dokter wanita mengintip dibalik kain itu sembari terus menyemangati Soojung. Beberapa suster mengusap keningnya dengan tisu saat keringatnya menetes. Ini pemandangan yang mengerikan, tapi aku harus ada disana, mendampinginya memperjuangkan sebuah kehidupan baru seseorang yang sangat kami idam-idamkan.

 

“Kalau begitu, sebaiknya anda berada disamping istri anda, sudah dua jam ia mengalami kontraksi.” Kata suster sembari mengantarku mendekati Soojung. Awalnya aku ragu, tapi sosok itu, wajah letih itu memandangku lemah. Keringat yang mengalir di pelipisnya membuatku ingin mengusapnya dan memeluknya erat.

 

“Soojung-ah…” Akhirnya aku memanggil namanya. Tapi ia hanya memandangku. Masih dengan wajah letihnya. Tidak ada keceriaan seperti biasanya. Aku tahu, aku sangat bahagia karena akan menjadi seorang ayah. Tapi melihatnya tak bertenaga seperti ini rasanya aku tidak tega.

 

Aku menggenggam tangannya erat dan ia membalasnya jauh lebih erat. Seolah ia mengirimkan rasa sakit yang ia rasakan padaku. Mata sayunya memandangku, tapi aku menemukan semangat di sinar matanya yang membuatku yakin bahwa semua akan baik-baik saja. “Kau akan baik-baik saja, kau akan menjadi seorang ibu Jungie, aku mencintaimu dan kita akan mencintai anak kita bersama-sama, kau harus kuat, kau pasti bisa.” Aku tidak yakin itu bisa menguatkannya, tapi kata-kata itu keluar dari mulutku dengan sendirinya.

 

“Baiklah, eommoni, anda melakukannya dengan baik, coba mengejan sekali lagi. Yak, bagus, hembuskan nafas perlahan.” Perintah dokter kandungan yang terdengar seperti guru TK dibandingkan seorang dokter. Seolah Soojung adalah anak yang baru saja ia ajarkan bagaimana cara membuat persegi panjang.

 

 “Sekarang tarik nafas, dorong, iya bagus…” Suara dokter masih memenuhi ruangan. Soojung menuruti semua perkataannya dan entah bagaimana aku juga mengikuti instruksi sang dokter. Saat Soojung menarik nafas, aku juga menarik nafas, saat Soojung mendorong, aku menahan nafas, dan itu membuat tanganku yang menggenggam tangannya menjadi berkeringat.

 

Salah satu suster mengusap keringat yang terus menetes di pelipis dan lehernya. Akupun juga ikut mengusapnya dan mengelusnya perlahan. “Soojung-ah, kau pasti bisa.” Bisikku, dan ia memandangku sambil mengangguk tegang. Aku melihat sebersit senyum yang terlintas disana, dan aku tahu ia sedang menunjukkan kekuatannya.

 

“Sekali lagi eommoni, yak bagus… Wah, kepalanya sudah mulai terlihat. Coba tarik nafas lagi, kemudian dorong…” Hebatnya sang dokter dengan suara lembut keibuannya mampu menenangkanku dan mungkin bisa menjadi motivasi untuk Soojung mendorong lebih kuat.

 

“Uuuuggghh…” Soojung mengejan, ia menarik nafasnya lagi kemudian menghembuskannya, “huh…huh…huh…” Nafasnya memburu seperti seseorang yang mengikuti lari marathon sepanjang 42km.

 

“Soojung-ah…” Aku benar-benar tidak tega melihatnya. Soojung terlihat kehabisan tenaga. “Dokter, apakah ia akan baik-baik saja? Apakah bayinya masih belum terlihat?” Tanyaku gugup.

 

“Jangan khawatir abonim, ibu dan bayinya akan baik-baik saja. Saya yakin sang ibu memiliki kekuatan yang besar. Benar kan eommoni? Anda adalah ibu yang kuat, bayinya sudah mulai terlihat. Mari kita ambil nafas lagi… dan hembuskan…” Dokter itu ikut mempraktekkan cara bernafas.

 

“Oppaaa…” Soojung mendorongnya sambil memanggilku.

 

“Ne, oppa disini.” Aku merasakan genggamannya semakin erat, keringatnya semakin dingin.

 

“HYUKKIE OPPAAA, UUUUGHH…” Ia memanggilku lagi, kali ini dengan nada yang lebih tinggi.

 

“Aku disini Jungie.” Aku mengusap keringatnya yang menetes lagi. Sembari mencium puncak kepalanya. Ia adalah wanita yang kuat yang bisa mengatasi semua masalahnya dengan tegar. Aku yakin ia juga kuat dalam menjalani proses persalinannya ini.

 

“Bagus, sedikit lagi eommoni, sedikit lagi, dorong terus…” Semangat sang dokter membuatku menahan nafas lagi.

 

“UUUUGGHHH….” Suara Soojung memekakkan telingaku, tapi itu bukan suara yang mengganggu, karena suara asing tiba-tiba terdengar, itu – adalah – suara – tangisan bayi. Yang tersirat di setiap wajah di ruangan ini adalah ekspresi bahagia. Tapi perhatianku hanya tertuju pada seorang bayi yang muncul dari balik kain hijau itu. Aku tidak bisa mendeskripsikan apa yang kurasakan saat ini. Melihat keajaiban itu aku terpaku, aku tidak bisa bergerak, rasanya seperti ikat pinggang yang terlalu erat dan lama mengikatmu kemudian terlepas begitu saja. Antara percaya dan tidak, aku adalah seorang ayah.

 

“Tuan Kang, selamat, anak anda perempuan.” Sang dokter berbicara padaku sambil tersenyum. Aku melihat bayi mungil itu dengan pipinya yang chubby dan masih bersimbah darah. Rasanya aku ingin menyentuhnya tapi…

 

Seorang suster mengejutkanku, “Dok, tekanan darah sang ibu menurun dan ia tak sadarkan diri.” Sontak aku menoleh, aku melihat matanya yang tertutup dan wajahnya yang tampak sangat lelah. Tiba-tiba rasa takut yang kurasakan tadi muncul kembali. Rasa lega yang sempat kurasakan musnah begitu saja.

 

“Soojung-ah…” Aku memanggilnya, aku percaya ia akan membuka matanya jika aku memanggilnya karena ia selalu menjawab setiap panggilanku. “Soojung-ah bangun, kau harus melihat bayi kita.”

 

Seorang suster menahan tanganku yang tanpa sadar mengoncang tubuh istriku sendiri. “Soojung-ah.”

 

Dokter membuka kelopak mata Soojung kemudian mengarahkan senternya. Beberapa ritual dokter yang selalu dilakukan pada setiap pasien ia lakukan. Melihat semua orang terlihat sibuk dan panik seperti ini membuat jantungku berdetak kencang.

 

“Maaf, tuan, sebaiknya anda menunggu di luar.” Seorang suster membawaku pergi, tapi aku masih belum bisa melangkahkan kakiku. Aku ingin memastikan bahwa istriku akan baik-baik saja. Soojung akan baik-baik saja.

 

“Soojung-ah…” Aku mendengar diriku sendiri berbisik.

 

“Silahkan tunggu diluar tuan. Anda jangan khawatir, istri anda akan baik-baik saja.” Bagaimana bisa ia mengatakan hal seperti itu. Istrinya sedang tak sadarkan diri, istrinya terlalu letih untuk melahirkan. Bagaimana ia bisa mengatakan Soojung akan baik-baik saja tanpa merasa berdosa?

 

Aku benar-benar panik. Tapi mau tidak mau, aku menurutinya untuk menunggu di luar, ketika pintu tertutup, aku berkacak pinggang. Rasa frustasiku muncul, dan tanpa sadar menggaruk keras kepalaku sendiri.

 

“Hyuk, ada apa? Apakah Soojung baik-baik saja? Apa yang terjadi?” Yonghwa menghampiriku, mencari jawaban di mataku. Aku hanya menggeleng, aku tidak tahu jawaban apa yang harus keberikan.

 

Ia menepuk pundakku, “ia akan baik-baik saja.”

 

“Hyung eotokke...” Aku tidak bisa berkata-kata. Entah bagaimana kalimat-kalimat yang berseru di otakku tidak bisa keluar.

 

“Gwaenchana, kau harus percaya ia akan baik-baik saja. Kau harus yakin Hyuk, kita akan terus berdoa.” Yonghwa menenangkanku tapi itu sama sekali tidak membantu. Tapi ia benar, yang bisa kulakukan sekarang hanya berharap dan berdoa agar Tuhan memperpanjang kebahagiaan kami.

Bagaimana ini bisa terjadi? Belum lima menit aku merasa bangga dan bahagia karena memiliki bayi, kini aku merasa takut. Aku menyapukan pandanganku ke semua sudut di koridor ini, baru menyadari bahwa bayiku tak terlihat.

 

“Tenanglah, Seohyun menjaga anakmu di ruang bayi.” Mendengarnya aku merasa sedikit lega.

 

Satu jam berlalu. Aku masih menunggu dokter keluar dari ruang mengerikan itu. Rasa frustasiku semakin bertambah setiap menitnya. Aku menunduk dan mengaitkan tanganku dengan erat. Suara pintu terbuka membuatku mendongak. Aku melihat dokter dan para suster keluar dari ruang persalinan itu. Bergegas aku bangkit dan menghampirinya.

 

“Istri anda akan baik-baik saja, tapi untuk sementara biarkan ia istirahat. Memang kondisi awal saat ia melahirkan kurang fit menyebabkan sang ibu kelelahan. Ia bisa melahirkan dengan normal adalah sebuah keajaiban. Kita tunggu kondisinya membaik.” Sang dokter memberikan senyum lalu melanjutkan, “anda bisa menemaninya di dalam, saya permisi.”

 

Yonghwa mengangguk pelan sebelum aku masuk menemui Soojung. Saat pintu itu tertutup, aku melihatnya masih dengan ekspresi yang sama. Aku mendekatinya perlahan, duduk disampingnya dan menggenggam tangannya.

 

“Soojung-ah…” Panggilku pelan, berharap ia akan terbangun ketika mendengar suaraku. Aku mengusap rambutnya, pipinya, keningnya. Biasanya aku suka melihatnya tidur, sangat cantik dan mempesona. Tapi sekarang aku ingin melihat matanya lebarnya memandangku, menunjukkan bahwa kondisinya akan membaik. Ia akan baik-baik saja, aku tahu. Tapi harapan itu tidak membantuku, aku ingin melihatnya terbangun. Mungkin orang akan menilaiku berlebihan, tapi mereka harus berada di posisiku dulu jika ingin menilaiku, mereka tidak tahu apa yang benar-benar kurasakan. Aku mengkhawatirkannya. Aku mengkhawatirkan ibu dari anakku. Aku mengkhawatirkan istriku.

 

“Anak kita sangat cantik seperti dirimu, kau harus melihatnya sendiri.” Aku mengusap punggung tangannya yang terbebas dari infus. “Tapi ia sangat mirip denganku, kau percaya itu?” Aku tersenyum, “Ya, kau harus percaya. Tapi matanya adalah milikmu, untunglah gadis kecil kita tidak mewarisi mataku, terlalu sipit itu tidak tampak bagus. Benar kan? Ya, meskipun kau sering mengatakan bahwa kau menyukainya. Tapi aku lebih menyukai apapun yang ada pada dirimu. Semua tampak sempurna.”

 

Aku melihat matanya masih tertutup, “Aku tadi hampir tidak percaya, aku adalah seorang ayah. Kau ingat dua tahun yang lalu? Saat pertama kali aku bertemu denganmu di pesta ulang tahun Dokter Sam di US, kau tampak anggun dengan gaun biru yang melekat indah di tubuhmu, aku masih mengingat itu. Tapi aku tidak pernah membayangkan akan seperti ini. Melihat kekonyolanmu saat kau tertidur di taman menunggu grandpa.” Aku tertawa singkat,  “…aku tidak menyangka akan memiliki anak dari rahimmu. Sungguh di luar bayanganku saat itu.” Aku menarik nafas sejenak ketika masa lalu itu melintas, “…dan waktu itu aku sempat kehilanganmu demi Jongin, 6 bulan bukanlah waktu yang singkat untuk menghadapi penyiksaan. Aku takut akan merasakannya lagi, karena itu aku takut melihat matamu tadi terpejam dan kau tidak bergerak sedikitpun. Jangan membuatku merasakan siksaan lagi, eoh?” Aku memohon sambil menggenggam tangannya lebih erat.

 

“Saranghae Jungie, dan kita akan mencintai anak kita bersama-sama, kita akan mengisi rumah baru kita dengan keceriaan si kecil. Aku bisa membayangkannya sekarang. Itu akan menjadi sangat indah, aku yakin.” Aku tersenyum pada bayangan itu. Bagaimana ia tersenyum memandangku, menggendong bayinya, dan kami sama-sama kebingungan dengan tangisan si kecil. “Aku tidak sabar melewati tahap itu.” Aku memandang setiap detil di wajahnya. “Aku akan memastikan kita akan bahagia bersama, jadi bangunlah.”

 

Beberapa saat berlalu, aku menundukkan kepalaku di tempat tidurnya, cukup lama, cukup lelah sebenarnya, bahkan aku sempat tertidur. Tapi aku mendongak dengan cepat ketika rambutku terasa ditekan dengan lembut oleh jemari seseorang. Dan aku melihatnya, ia menatapku sambil tersenyum. Senyum yang kunantikan sejak berjam-jam yang lalu. Wajah cantiknya kembali merona saat ia berkata, “Jia appa, kenapa kau baru bangun? Lihatlah Kang Jia sangat lucu.” Ia cekikikan melihat bayi dalam gendongannya, “Sekarang ia melihatmu, lihatlah.”

 

Aku yakin aku sudah bangun, ini bukan mimpi. “Ndugu? Kang Jia?”

 

 

----o0o----

 

 

Soojung pov

 

Aku terbangun dari sebuah mimpi yang kurasa sangat panjang. Mimpiku seperti sekelebat adegan-adegan di masa lalu yang pernah kualami. Bagaimana aku bertemu dengannya, seseorang yang kini menjadi suamiku yang tidak pernah kubayangkan akan bersamanya selamanya. Kang Minhyuk. Aku mencintainya, sungguh, jika aku bisa menukar apapun, aku akan rela menukar apapun demi bersamanya. Aku tidak akan pernah lagi membiarkannya pergi, aku tidak akan pernah lagi membiarkannya mengatakan selamat tinggal. Ia berjanji padaku seperti itu. Dan aku percaya ia akan menepatinya.

 

Ketika aku tersadar dan membuka mataku, cahaya terang menyakiti mataku, itu hanya lampu yang ada di langit-langit tepat di atasku. Tapi suara rengekan bayi menarik perhatianku. Aku melihat Seohyun eonni menggendong seorang bayi. Ia tersenyum padaku. Begitupun Yonghwa oppa, ia mengelus puncak kepalaku lalu berbisik, “bayimu sangat cantik, secantik dirimu, tapi wajahnya lebih di dominasi oleh Kang Minhyuk. Sungguh lucu sekali.” Yong oppa tertawa keras, Seohyun eonni meliriknya lalu menyikut perutnya. Oppa langsung menutup mulutnya. Aku baru tahu kalau ternyata eonni menyuruhnya tidak berbisik karena disebelahku, Minyuk oppa tertidur pulas, dimana kepalanya terbenam di kedua lengannya. Ia pasti lelah menemaniku, aku teringat wajah pucatnya saat melihatku bersalin. Ketegangannya membuatku tidak tega membiarkannya mendampingiku tadi. Dan itu pertama kalinya aku melihatnya seperti itu. Benar-benar bukan Kang Minhyuk, seorang atlit sepak bola yang selama ini digemari para gadis karena pesonanya yang mematikan. Kini tak bisa berkutik dan terlihat bingung juga tegang, seolah tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Aku tersenyum mengingatnya.

 

“Eonni, aku ingin menggendongnya.” Seohyun eonni meletakkan gadis kecilku di lenganku perlahan. Awalnya aku takut, tapi wajahnya membuatku ingin melihatnya lebih jelas, aku memandangnya lekat, sepertinya hatiku ingin meledak karena rasa haru yang tiba-tiba muncul, tanpa sadar air mataku menetes. Gadisku… Sangat cantik, benar-benar cantik. Aku tidak pernah melihat bayi secantik ini sebelumnya. Ia gadisku, gadis kecilku, belahan hatiku, ia anugerah terindah yang kudapatkan bersama Hyukkie oppa, kami akan melindunginya, aku akan mengorbankan diriku untuk melindunginya. Ia akan tumbuh menjadi gadis yang sehat dan bahagia, akan kupastikan itu. Aku terkejut pada perasaan yang muncul dihatiku, seperti inikah rasanya menjadi seorang ibu? Tuhan, aku benar-benar mencintainya. Kang Jia-ku. Tiba-tiba nama itu muncul di otakku. Jia, yang berarti baik dan indah. Ya, bayiku adalah anugerah dari Tuhan yang sangat indah.

 

“Kang Jia, putri kecilku.” Gumamku sambil mencium pipinya yang chubby. Yong oppa benar, sebagian wajah Kang Minhyuk ada disana. Bahkan mendominasi. Aku tidak tahu seberapa lebar senyumku mengembang, dan itu semua karena keajaiban yang telah kudapatkan. Bagaimana caranya aku berterima kasih pada Tuhan atas kebahagiaan yang melimpah seperti ini? Semua berjalan indah, seakan mimpiku tadi hanyalah reka ulang yang lama kutinggalkan. Hanya kenangan pahit yang berujung kebahagiaan. Aku mencintainya, aku mencintai kalian berdua. Batinku berbicara dengan lantang saat secara bergantian aku melihat suamiku dan bayiku.

 

Sebelah tanganku menyentuh rambutnya, mengelusnya perlahan. Aku tidak ingin membangunkannya, tapi ia harus melihat gadis kecilnya.

 

Ia mendongak dan matanya yang masih belum fokus menatapku lekat, seolah mencari kesadaran dalam dirinya, mencari jawaban di mataku. Lalu aku tersenyum untuk menjawab pertanyaan yang pasti tidak bisa ia keluarkan. Bahwa aku baik-baik saja, bersama Kang Jia.

 

“Jia appa, kenapa kau baru bangun? Lihatlah Kang Jia sangat lucu.” Aku terkikik melihat cara Jia menggerakkan bibir mungilnya, “Sekarang ia melihatmu, lihatlah.” Aku mengangkat kepala Jia lebih tinggi agar ia bisa melihatnya.

 

Ia bertanya, “Ndugu? Kang Jia?” Matanya berkedip polos.

 

Aku tertawa, “Eoh, Kang Jia. Kau tidak suka dengan nama itu?”

 

“Tidak-tidak, aku sangat menyukainya.” Ia menggelengkan kepalanya dengan cepat. Lalu menatap lekat putri kami. “Neomu yeppo, benarkan? Seperti dirimu.” Ia berdiri kemudian memposisikan dirinya agar duduk di atas tempat tidur – disampingku, merangkul pundakku, dan tersenyum padaku. Matanya masih sama, eyes smile yang akan selalu menjadi favoritku.

 

“Tapi ia lebih mirip denganmu. Bagaimana itu bisa terjadi? Kau curang!” Aku cemberut.

 

Ia tertawa, Yong oppa dan Seohyun juga tertawa. Dan kegaduhan yang kami buat membuat Kang Jia menangis. Suasana bertambah ramai karena tangisannya sangat lantang. Hanya mendengar suaranya, aku yakin ia akan menjadi gadis yang kuat.

 

Suara pintu terbuka dan kebahagiaanku bertambah saat eomma yang menggendong Mino putra Yong oppa dan Seohyun eonni, appa, grandma dan grandpa menjengukku. Semua berkumpul disini. Termasuk pendatang baru di kehidupan kami berdua, gadis kecilku.

 

“Selamat menjadi seorang ibu, cucuku.” Grandpa memelukku erat, appa juga melakukan hal yang sama, disusul eomma dan grandma.

 

“Kau sudah menjadi ayah, jadilah ayah yang menjadi kebanggaan anakmu kelak.” Pesan appa pada Hyukkie oppa.

 

“Ne, abonim.” Suamiku mengangguk tegas. Aku tersenyum melihatnya, ada sesuatu yang berbeda darinya. Sepertinya gelar seorang ayah merubahnya menjadi lebih siaga.

 

“Aku ingin menggendong cucu baruku.” Eomma mengambil Kang Jia dari tanganku.

 

Tangisannya kembali memenuhi ruangan, mereka semua terkejut dengan volume suara Jia yang tinggi dan semua sibuk menenangkannya. Kemudian pintu kembali terbuka. Ayah dan ibu dari suamiku datang membawa makanan, kami semua menyambutnya dengan wajah bahagia. Ya, kami semua sedang berbahagia karena kedatangan makhluk sempurna di dunia ini. Minhyuk masih merangkul pundakku, aku menyandarkan kepalaku di dadanya sembari melihat para orang tua yang saling bergantian menggendong Kang Jia. Perfect, setidaknya untuk hari ini, kebahagiaan ini terasa sempurna, hidup akan terus berjalan, masalah-masalah baru pasti akan muncul menghampiri kami, aku tahu, hidup ini tak seindah cerita cinta dalam novel atau film. Tapi jika kami menjaga kebahagiaan ini, jika kami selalu memupuk kebahagiaan ini, dan memilih untuk selalu bahagia, semua akan terasa ringan. Karena bahagia adalah pilihan.

 

Aku mendongak, suamiku tersenyum padaku. Saat semua orang sibuk dengan Kang Jia. Ia berbisik di telingaku yang membuatku memiliki lebih banyak alasan untuk terus hidup, “biarkan mereka menghambiskan hari ini bersama Jia, karena kita memiliki waktu selamanya bersama-sama.” Kemudian ia mencium keningku. Aku memejamkan mataku.

 

“Aku bahagia oppa.” Gumamku.

 

Ia menatapku, “apa yang kau rasakan adalah hal yang kurasakan juga. Terima kasih Jungie, telah menjadi bagian dalam hidupku. Aku mencintaimu. Seperti janjiku di depan pendeta dan Tuhan, selamanya.”

 

“Aku tahu, aku percaya itu.” Aku tersenyum memandang mata sipitnya.

 

“Yah, lihatlah, mereka membiarkan Jia terombang ambing di gendongan para tetua dan mereka asyik bermesraan. Orang tua macam apa itu?” Suara Yong oppa membuat semuanya hening dan menatap kami berdua. Aku mengeluarkan lidahku, lalu mereka tertawa bersama.

 

Aku yakin semua orang tua akan merasakan hal yang sama seperti kebahagiaan yang kami rasakan saat ini. Dan pelajaran hari ini akan membuat kita lebih kuat dalam menjalani hidup yang kejam. Karena menurut teori kebahagiaan: it’s always better when we’re together. Dan aku yakin akan hal itu.

 

 

SEKIAN


 

Thank you...

 
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
LadyNoel #1
Chapter 1: aku pernah baca gak sih ini....lupa...but it always sweet as usual...
geishaalifia #2
Chapter 1: Ohh my godd. I love this storyyy. And finally they can be happines as a mom and dad. :)