End

Moonlight

Malam itu langit terlihat amat pekat, hitam, seperti kopi yang baru saja diaduk. seorang pemuda berambut cokelat yang senada dengan warna matanya itu duduk di atas sofa abu-abu yang telah biasa ia singgahi untuk melawan penat, dengan sebuah buku atau sebuah alat pemutar musik dengan nyanyian seorang lelaki bersuara serak dan gitar solo.

Biiiip.

“Jongin-ah, aku datang..” Pesan suara dari meja telepon di sebrang sofa memecah keheningan disela-sela suara musik yang samar, suara wanita, dan Jongin tahu betul itu milik siapa. Otomatis ia bangkit, tanpa memakai alas kaki, ia berjalan kearah pintu, mengira-ngira berapa lama wanita itu telah berdiri di depan rumahnya, terlalu ragu untuk mengetuk atau tidak, dia memang selalu begitu. Pesan suara itu mungkin pilihannya agar lelaki jangkung itu tidak terlalu cepat-cepat membukakan pintu.

Kim Jongin merapikan sweater biru langitnya yang agak kusut, tapi tidak terlalu peduli dengan rambutnya, jadi ia hanya membuka pintu lalu menunggu wanita itu menyapanya terlebih dahulu dengan nada canggungnya yang biasa. “Hai, maaf kalau aku mengganggumu..” ia menghela napas sebentar lalu tersenyum simpul, kedua matanya melengkung membentuk bulan, membuat Jongin jadi ingin pergi kesana, dengan kapal-kapal, dan juga awan-awan.

“Tidak apa-apa..” Lelaki itu mendengar dirinya sendiri menggumam, ia memang bukan penggemar berat basa-basi, jadi dia mempersilahkan wanita berambut cokelat itu masuk ke rumahnya, dengan sepatu bertumit tinggi dan juga mantelnya, melekat di badannya dengan baik. Sepatu itu lagi dan juga mantel berwarna krem yang sama. Wanita itu duduk di sofa abu-abu favoritnya, tanpa bertanya ‘bolehkah aku duduk disini?’ Jongin rasa mereka sudah cukup dekat untuk tidak saling bertanya seperti itu. Lelaki berkulit tan itu menaruh secangkir kopi untuk dirinya sendiri dan juga secangkir sereal vanilla yang masih mengepul di depan si wanita, mereka duduk berhadapan, jadi Jongin hanya harus memperhatikan bagaimana wanita itu memulai ceritanya kali ini. Saat wanita di depannya memainkan sendok serealnya dan mengaduknya dengan perlahan, ia tahu bahwa sebuah senyum akan melintasi wajah cantik nan sendunya,

“Kau tahu Jongin, hari ini Sehun bilang ia akan menemuiku di kedai kopi langganan kita..” Jongin menatap bayangan bulan yang bulat sempurna malam itu pada kopinya, “biasanya aku akan memesan sereal vanilla hangat, kau akan memesan kopi hitam tanpa gula, tapi lelaki itu benar-benar kekanakkan sekali, dia selalu saja memesan segelas besar cokelat dingin dengan krim manis yang berlebihan..”

“Ya, itu memang gaya Oh Sehun, aku tahu dia memang seperti itu..” ujar Jongin sambil mengangguk-ngangguk, membuat wanita berambut cokelat panjang di depannya tersenyum lagi. Tidak ada yang bicara lagi selama beberapa saat sampai wanita itu meneruskan ceritanya, “maaf aku tidak memberitahumu Jongin, rencananya kami akan mengunjungimu setelahnya,” Jongin mengisyaratkan tanda bahwa ia baik-baik saja, lalu sambil menyingkirkan rambut dari dahinya, wanita di depannya melanjutkan, “aku pikir kencan kami kali ini akan berjalan sekonyol kencan pada waktu lainnya, jadi aku..” kalimatnya terpotong tanpa ada kelanjutan, raut wajahnya berubah lagi.

Jongin meneguk kopi pahitnya dua kali, lalu memandang kedua bulan sabit itu.

“Na Young-ah..” 

“Kau tahu kan bagaimana Sehun, dia itu selalu saja menguji kesabaranku, tadi pagi ia telepon menyuruhku dengan seenaknya memakai sepatu hadiah darinya, padahal warnanya sama sekali tidak cocok dengan gaunku, dia memang bodoh sekali..” Na Young mengudarakan tawa ringannya, bergemerincing seperti lonceng natal yang amat jarang Jongin dengar, keasingan yang familiar. Hening menyelimuti ruangan itu lagi, senyum masih mewarnai bibir wanita itu, kemudian pria berkulit tan itu memperhatikan bagaimana sinar rembulan malam itu menerpa kedua mata sabitnya yang mendung.

“Aku marah padanya, aku memarahinya karena ia memang suka memaksa. Sehun bilang ia akan memakai sepatu dengan warna yang sama, jadi aku harus memakainya.. Ia memang menyukai hal-hal konyol semacam itu, ya kan?”

‘Sehun bilang ia akan mengatakan sesuatu yang penting..’ Jongin merapalkan kata-kata itu dalam hati.

“Sehun bilang ia akan mengatakan sesuatu yang penting, jadi aku menunggunya selama berjam-jam di tempat duduk favorit kita itu..” Na Young membicarakannya seperti mantra yang telah ia hapal luar kepala.

‘Udara malam itu dingin sekali, jadi aku memesan beberapa cangkir kopi lagi..’

“Udara malam itu dingin sekali, jadi aku memesan beberapa cangkir kopi lagi..” Jongin hanya mendengar suara napas lawan bicaranya lama sekali setelah itu.

“Tapi dia tidak pernah datang lagi, tidak pernah menemuiku lagi.. Tanpa bilang apa-apa kepadaku..”

Lelaki itu kira ia mendengar suara hujan di jendela, tapi ternyata rintik-rintiknya jatuh di atas sofa ruang tamunya, dan juga karpetnya yang sudah pudar. Ia tak tahu sampai kapan hujan itu akan turun, ia juga tidak bisa memberikan wanita itu sebuah payung, tapi ia rela kehujanan dan berdiri di samping gadis itu tapi ia masih Si Pengecut Kim Jongin yang sama.

“Kau tahu Nayoung bahwa Oh Sehun selalu mencintaimu, walaupun ia sudah pergi ke bulan*..” Jongin memandangi sinar dari langit yang menyelusup masuk melewati jendela-jendela dan pintu, “tapi ia tidak akan meninggalkanmu.. Ia selalu ada untukmu..”

 

*= bulan yang Jongin maksud bukan bulan dalam arti harfiah, tapi ia menganggap bahwa orang yang telah meninggal akan pergi ke tempat yang tinggi, jadi ia mengibaratkan bulan kepada Nayoung.

End

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
pnkohy #1
Chapter 1: Aaaa sedih banget sih.. Jonginnya juga akh! Tapi ini ceritanya bagus banget aku suka. Author berbakat banget aku iri;3