KISS AND CRY [ficlet]

KISS AND CRY

[FICLET]

Kiss and Cry

 

“Ketika kau tahu jika ‘hampir’ itu tak akan pernah ‘cukup’”

 

            Malam ini pun Ia menangis lagi, saat mimpi-mimpi indah itu menggiringnya pergi pada suatu tempat bernama kenyataan.

 

Seperti jendela kamarnya yang gemeretak dan mulai mengerak dihajar udara musim dingin, Ia pun juga demikian.

Gadis itu, si kepala runcing dengan poni kemerahan. Si liar yang tak sanggup ditundukkan.

Park Jiyeon.

 

“Hi,” sapanya ramah dengan senja merah mengalun memenuhi sekujur manik-manik biru sapphire-nya.

Bibir lembab tak terjamahnya tersenyum polos pada sebuah benda keperakan di tepi jendela.

 

Bak raga yang dikhianati arwah, jemarinya mengukir-ngukir tepian jendela. Menciptakan decit tak kasat mata yang selalu mengganggu para penghuni apartment lantai 20.

 

Semua orang tahu, ini minggu ketiga di musim salju. Dan gadis itu melakukannya lagi. Berdiam di tepi jendela yang dibiarkan sedikit terbuka.

 

Wajah pucatnya yang kedinginan menakuti semua orang yang tak sengaja melintas.

Kesadarannya tak dimanapun, namun bersama pria itu.

Seseorang yang Ia panggil Harry – Harry Borrison.

 

Dia yang semua orang tahu dari kasta mana pria itu berasal.

Si tampan berparas manis dengan mata cokelat menawan.

Pria dengan senyuman paling hangat, yang pernah Jiyeon tahu.

 

“Harry…”  bibir bekunya berisyarat lagi, mematukkan nama itu berulang kali.

Ingatannya berpendar ke malam sebelum malam ini dan bulan sebelum berbulan-bulan ini.

 

“Apa yang Park Jiyeon sukai?” kalimat itu berayun lembut di telinganya. Mengecup kesadarannya kembali ke dunia nyata.

 

Seseorang dengan senyum yang selalu Ia rindukan dan jambul seperti kuncup mawar sebelum merekah, singgah di hadapannya.

 

Menepuk pundaknya yang dingin karena terlalu lama dicumbu angin malam.

 

“Harry!” jawab si gadis manis bermata biru  sapphire, sudut bibirnya seolah tersulut untuk ikut merangkak naik menemani senyuman sang kasta bangsawan.

 

“Benarkah? Seberapa besar?” pria bermata cokelat dengan jam tangan perak klasik itu menautkan kedua tangannya di bawah dagu, tenggelam memandangi pesona sang dewi malam.

 

“Mungkin tidak lebih besar dari rasa suka mawar pada kumbang atau rasa suka kayu pada api.” Jiyeon menyeruput ujung cangkir kopinya dengan santai.

 

Bulu mata lentiknya mengepak-ngepak ketika pahit ampas kopi itu menyengat pangkal lidahnya.

 

“Kau tidak ingin bertanya, apa yang Harry sukai?” suara pria itu lembut menggoda.

Matanya masih menelanjangi setiap hembus napas Jiyeon, tak mau pergi.

 

“Yang jelas, Harry tidak menyukai Park Jiyeon.” Gadis itu menaruh cangkir kopinya kembali pada meja yang terpaku hening di hadapan mereka.

Membatasi, memberi jarak dan menyudutkan.

 

Harry mengangguk, meski ada sudut tergelap di dalam hatinya yang pongah, tak suka mendengarnya. Bagian paling buram itu menolak untuk sepaham.

 

Jemarinya mengatup beku di bawah meja, terhimpit hawa dingin yang menusuk, bukan… bukan karena udara malam ini tapi karena jawaban ringan Jiyeon.

 

Gadis itu tak pernah tahu, tak akan pernah tahu jika Harry mungkin saja sangat menyukainya.

 

“Jadi, malam ini dia mengacuhkanmu lagi?” Jiyeon melirik dengan sorot mata sok detektive-nya.

 

“Hmm… karena itu aku mencari Park Jiyeon.

Bukankah kau sudah berjanji jika kapan pun aku mau, kita bisa berdansa bersama, menghabiskan malam di apartmentmu?” tanyanya nyaris tanpa beban.

 

“ert!” makian itu meluncur dari bibir mungil Jiyeon yang tergelak kemudian, matanya mematut culas pada sisi-sisi iblis milik Harry.

 

“Kenapa? Bukankah Park Jiyeon sangat menyukai Harry?”

 

“Tapi, Harry tak pernah menyukai Jiyeon.”

 

Mereka membeku karena sepotong kalimat itu. Aroma kopi dan denting cangkir mengambil alih.

 

“Bagaimana jika Harry menyukaimu?”

 

“Omong kosong, itu seperti dia melemparkan dirinya dari atas kasur yang nyaman ke dalam kubangan lumpur.” Jiyeon lagi-lagi hanya menjawab ringan, seolah mengejek dan meremehkan sang bangsawan bermata cokelat.

 

Bukan karena dia membencinya atau menyimpan dendam.

 

Hanya saja kadang matahari dan bulan memang harus mengorbit di waktu yang berbeda.

Puas saling memandang dari kejauhan atau dunia akan hancur.

 

Pria itu, satu-satunya pria yang menghabiskan malam dengannya tanpa sepatah kata pun.

Pria berhati baik yang terdampar di dalam pelukannya, tanpa noda.

 

Si kasta kelas atas yang hanya bisa dia raih ketika Cinderella bukan lagi sebuah dongeng atau ketika kurcaci-kurcaci milik Putri Salju akhirnya menikahi sendiri sang Putri malang penyuka Apel beracun.

 

Ilusi, mimpi, tak akan pernah menjadi nyata.

 

Jiyeon menjentikkan jarinya, mengangkat cangkir kopinya yang telah kosong.

 

“Jadi, kita akan pergi ke Apartmentmu sekarang?” Harry bertanya sok polos.

“Memang kau punya tempat lain?”

 

Ada banyak hal yang tak Jiyeon mengerti di dunia ini.

Jika Ia bisa mengumpulkan semua pertanyaannya menjadi satu mungkin perlu beberapa drum tinta dan ratusan batang pohon sebagai buku.

 

Salah satunya adalah pria ini, seseorang yang kini dengan nyaman mengapit tangannya seolah mereka saling mencintai.

 

Keajaiban yang sengaja diletupkan Tuhan di awal musim semi.

Bagaimana bisa pria sebaik ini terdampar di sisinya.

Dunia mereka saja jauh berbeda.

 

Ibarat diagram takdir untuk sejenak bergerak ke arah yang salah.

Ibarat dua kutub magnet untuk sejenak meruntuk dalam perdamaian.

 

“Kenapa kau diam sekali malam ini?” Harry menghentikan langkahnya, memandang pada kedua mata biru jernih Jiyeon yang nyaris terantuk mengikutinya.

 

“Aku merasa bersalah pada tunanganmu itu, siapa namanya?”

 

“Riana?”

 

“Ya, gadis itu. Bahkan jika dia sedang marah dan mengacuhkanmu, tak seharusnya kau bermain dengan makhluk kotor sepertiku?” Jiyeon menunduk, Ia merasa terkhianati oleh kelimatnya sendiri.

 

Dia yang sebenarnya, sangat menginginkan Harry.

 

Dengan temaram api perapian yang sinarnya hangat menggantung memenuhi sudut-sudut kamar pengap milik Jiyeon, mereka berdekatan.

 

Meleburkan kasta, kesadaran dan setiap kenangan menjadi satu.

Berhimpitan bersama waktu. Menukik, menggilas dan merosot dalam singgasana milik mereka berdua.

 

Tempat nyaman yang tak mau mereka bagi kecuali untuk cermin-cermin tua dari dunia mimpi.

Pria bermata cokelat yang nama belakangnya dapat dikenali di seantero kota, akhirnya benar-benar pergi meninggalkan moralnya.

Ia redam dihantam bising pada celah-celah kaki Jiyeon.

 

Takluk dan memujanya tanpa henti.

Menyeruak menemani fajar dan terkelungkup malu bersamaan ketika pagi tiba.

Aroma itu masih menggentayanginya.

 

Jiyeon terbangun sendirian di atas lantai kamarnya yang basah oleh pedih dan ketidakadilan yang coba mereka berdua kalahkan semalam.

 

“Dia sudah pergi…” bibir lembabnya tergigit bisu, Ia merasa rapuh tanpa alasan.

Bukankah dia bukan pria pertama yang singgah untuk semalam kemudian lenyap di bawah sorotan matahari pagi.

 

Tapi, ini sepertinya pertama kalinya Ia merasa tak rela. Seolah dicampakkan sia-sia.

 

Arloji perak itu tertinggal atau sengaja ditinggalkan disana, di atas kursi, di dekat perapian.

Bayarannya untuk malam ini, mungkin?

 

Jiyeon tersenyum, bahkan babi yang kotor pun akan lebih memilih untuk bergulingan di atas kasur yang hangat bukan?

 

Diraihnya arloji itu dengan kecewa tapi tunggu, ada secarik kertas teronggok di sana;

 

“Kau tahu?

Setiap kali tawa renyahmu itu berbicara tentang Harry yang tidak memiliki tempat di hatinya untukmu.

 

Hatinya merasa tak nyaman

 

Malam ini pun, tanpa perlu merasa teracuhkan oleh Raina, Ia datang menemuimu

Setelah malam begitu larut, Ia baru sadar jika Raina telah pergi dari hatinya

 

Harry mulai merasa takut

Harry pikir, dia mencintai Park Jiyeon seperti cinta kumbang pada bunga atau api pada kayu

 

Hal yang paling Harry Borrison sukai di dunia ini?

Arloji itu dan Park Jiyeon…”

 

Jiyeon terpaku menatap arloji di tangannya, ada ukiran usang di balik keraknya;

 

for my beloved son. H.B

Your Mom.

 

Dan malam-malam setelah itu, mereka tak pernah bertemu lagi.

 

End

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet