It Takes Two

It Takes Two [Indonesian]

It Takes Two

Of love and fairytales

 

Original It Takes Two by nestine

 

 

 

 

 

 

Mereka bertemu tiap hari, tepatnya pukul empat sore di sebuah taman di mana bunga sakura tumbuh, dan di mana terdapat bangku kayu tua dan warnanya yang memudar.

 

 

Sehun hidup di tahun 2012;  Luhan ada di tahun 1972.

 

 

Mereka berkata bahwa Cinta tidak mengenal batas. Cinta tidak mengenal tragedi. Tapi apakah Cinta cukup jika waktu merupakan salah satu yang dikendalikan ?

 

Hal lucu tentang kehidupan adalah Ia membuatmu berharap – Ia selalu menemukan sebuah cara untuk membuatmu berharap yang terbaik. Lalu, ketika kau mengalah padanya, Ia akan mencuri semua kebahagiaanmu – dan tidak akan ada yang tersisa;  Tidak ada,

 

 

 

Dua hati berdetak bersamaan. Tapi, bagaimana jika waktu tidak mengizinkan adanya seperti itu? Akankah Cinta menang ?

 

 

Sehun bermimpi menjadi seorang artis, di mana Ia bisa dengan bebas mengekspresikan dirinya dan tidak mengaku dalam empat sudut struktur. Melelahkan menjadi dibatasi; Melelahkan untuk patuh pada setiap kata yang terdorong kedalam otaknya. Sehun lelah. Ia ingin menjadi tak terbatas.

 

Luhan percaya pada cinta dan dongeng; Bukan karena alasan yang sederhana, tetapi karena kerinduan dan keinginan. Di usia muda, Luhan bermimpi memiliki seseorang yang akan menjaganya; yang akan bahagia bersamanya; yang akan mencintainya sampai akhir hayat. Jadi, Ia percaya pada dongeng dan cerita sempurna mereka, berharap suatu hari Ia akan hidup pada salah satunya.

 

 

 

Sehun bertemu Luhan saat hari pertama musim gugur, saat pertama kalinya bunga dari pohon sakura jatuh. Saat itu hampir senja, dan langit berlukiskan warna oranye mencolok melengkapi warna dari pohon yang berwarna merah muda.

 

Saat itu jam 6 sore dan Sehun baru saja menyelesaikan latihan menarinya. Jongin memberikan bantuan besar padanya sejak Ia melewatkan beberapa kelas. Orang tua Sehun tidak sadar akan pemberontakkan kecil ini, seperti mereka menentang kesukaan Sehun akan menari. Sehun bermimpi menjadi seorang penari, Orang tuanya memimpikan sesuatu yang berbeda.

 

“Mereka mungkin masih berada di rumah.”  Sehun bergumam pelan sambil berjalan menuju bangku kayu. Sehun mengenali bagian dari taman ini; tempat dimana, Minyoung, adiknya, sering pergi. Sehun begitu asyik dengan masalah tentang hubungannya dengan orang tuanya, sehingga Ia tidak melihat seseorang sedang berdiri tepat di samping pohon itu.

 

Mereka mungkin masih berada di rumah. Luhan mendengar seseorang sedang mendekat. Ia terkejut. Ia yakin bahwa tak ada seseorang yang tahu tempat ini. Ketakutan dan penderitaan menyelimutinya. Tapi, ketika Ia melihat orang itu sedang berjalan ke arahnya; sesuatu dalam cara anak-laki-laki-berkulit-susu-dengan-rambut-sport-yang-lebih-terang-daripada-blonde mendesah, membuat kepanikannya berkurang.

 

Sehun mengusap rambutnya sambil menempatkan ear buds dengan nyaman kedalam kedua telinganya, kemudian menyalakan handphone-nya menemukan lagu yang tepat untuk saat itu, Dia tidak pernah memperhatikan sepasang mata biru tetap menatapnya.

 

Luhan gelisah; Ia yakin, Ia tak pernah melihat laki-laki itu sebelumnya dan mungkin Ia hanya seseorang yang lewat, tetapi Luhan tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa Ia mungkin menyebabkan masalah. Jadi perlahan-lahan, Luhan menjauh dari pohon itu, tapi karena kecemasannya, Ia tersandung dan terjatuh.

 

Sehun sangat terkejut ketika tiba-tiba melihat seseorang terjatuh didepan-nya. Ia yakin, taman itu sepi ketika Ia datang; Ia terkejut melihat seorang pria apalagi terjatuh di depan-nya. Meskipun terkejut, secara refleks dengan cepat Ia mengambil alih; Sehun segera menolong orang jatuh itu untuk bangun.

 

“Apa kau baik-baik saja ?”  Sehun, dengan penuh kepedulian, bertanya pada laki-laki itu sambil menolongnya.

 

“Oh, ya, Aku baik-baik saja.”  Luhan membersihkan kemejanya kemudian berbalik; sekarang menghadap Sehun.

 

Sehun tidak bisa mempercayai matanya saat mereka melesat ke wajah laki-laki itu. Untuk sejenak, Sehun merasa seperti dunia berhenti. Tapi sebelum Sehun bisa mengucapkan sepatah kata, orang itu lari darinya.

 

Sehun kembali pada hari berikutnya, berharap bahwa Ia akan melihat lelaki itu. Ia menunggu, tetapi lelaki itu tak pernah datang.

 

Sehun mencoba, setelah seminggu, namun taman itu sepi.

 

 

Ia mencoba lagi.

 

 

Dan lagi.

 

 

Dan lagi.

 

 

————————–

 

 

Kedua kalinya Sehun melihat Luhan adalah ketika adiknya lari dari rumah, lagi.

 

Sehun kehilangan jejak waktu, dua jam yang lalu, Ia seharusnya menghadiri kelas Anatomi, tapi dengan handphone terselip diantara telinga dan bahunya, menunggu seseorang untuk mengangkat panggilannya. Ia tidak peduli jika Mr. Lee tidak menaikkannya; Minyoung jauh lebih penting.

 

Ini sudah ke-sembilan kali Sehun memanggil, tetap tak ada jawaban. Di panggilan yang ke-sepuluh, akhirnya seseorang mengangkatnya.

 

“Apakah Minyoung disana?”  Sehun tidak memiliki waktu untuk mengucapkan salam. Hatinya di palu keras di dadanya; mengantisipasi setiap kata yang orang itu akan katakan di seberang sana.

 

“Tidak, Aku menemukannya di taman itu sendirian, Ia tak ingin datang bersamaku, Aku minta maaf,”

 

Pernafasan tak beraturan Sehun terhenti. Ribuan duri yang menusuk ke dalam hatinya tiba-tiba menghilang. Taman itu, lagi.

 

Handphone-ku dalam keadaan diam. Aku tak mendengar panggilanmu tadi. Maaf.”

 

Sehun bisa merasakan tubuhnya gemetar; gemetaran dalam ketakutan dan kelegaan. Emosinya bercampur dengan segala hal.

 

Minyoung merupakan kekuatan Sehun, tiangnya. Kebahagiaannya, segala baginya. Ketika Sehun menangis saat tidur karena kata-kata kasar yang orang tuanya lemparkan padanya, Minyoung akan naik ke tempat tidurnya dan memeluknya. Ketika Sehun di pukuli oleh ayahnya, Minyoung adalah orang yang pertama kali mengambil pertolongan pertama, meskipun Ia berumur tujuh tahun. Sehun tak pernah mencintai siapapun melebihi cintanya kepada adik kecilnya. Dia selalu bertanya-tanya bagaimana seorang anak kecil menjadi satu-satunya yang menyelamatkannya dari sejumlah depresi.

 

Tanpa membuang-buang waktu, Sehun bergegas menuju taman. Dia sangat akrab dengan saat seperti ini; selama hari-hari istimewa seperti ini, dimana Minyoung akan lari dari rumah, satu-satunya tempat di mana Minyoung akan ditemukan adalah di bangku kayu di bawah pohon sakura. Minyoung berbeda dari anak kecil lainnya; berbeda dalam arti bahwa Ia begitu pendiam, Ia tidak tersenyum, Ia tidak banyak bicara, tapi Ia tidak selalu seperti itu. Itu sejak dua tahun yang lalu ketika Minyoung berhenti tersenyum dan Sehun menyalahkan orang tua mereka. Minyoung adalah anak yang ceria tapi Ia memisahkan dirinya dari dunia. Sehun membencinya karena anak yang ceria berubah menjadi seperti sebuah robot.

 

Jadi ketika Sehun sampai di taman, Ia tertegun mendengar tawa yang Ia kenali dan terkejut melihat adiknya tertawa. Sehun menunggu selama bertahun-tahun untuk melihat adiknya mengembangkan senyum dan di sinilah Ia sedang berdiri, melihat adiknya tertawa. Ia segera berlari ke adiknya.

 

“Kau benar-benar melompat dari jendela?”  Minyoung bertanya di sela tawanya.

 

“Ya! Aku sangat takut. Aku melompat. Dan, aku hidup.”

 

Sehun mendengar sepasang suara sebelum Minyoung melihat Ia mendekat. Dan adik kecilnya meneranginya dengan senyum cerah melebihi matahari.

 

“Hyung.”  Minyoung berujar, menyeringai, menunjukkan seluruh gigi putihnya.

 

Hampir menangis, Sehun bisa merasakan tubuhnya yang ingin memeluk adiknya.

 

“Hyung, hyung, hyung, kau harus mendengar ceritanya. Ini sangat lucu.”  Dengan penuh kegembiraan, Minyoung melompat bahagia saat Ia menangkap tangan kanan Sehun dan menunjuk pada orang yang ada di bawah pohon sakura.

 

Sehun mengenali wajah itu. Wajah yang tak bisa Ia hapus dari ingatannya. Gambaran yang Ia mimpikan setiap hari. Orang yang ingin Ia temui.

 

“Hyung, ini Luhan Hyung.”

 

 

 

————————–

 

 

 

Luhan tersenyum.

 

Sehun bersumpah, Ia tidak pernah melihat senyuman seindah itu di sepanjang hidupnya.

 

Sehun sering bertemu Luhan di pohon sakura. Pada awalnya, Sehun selalu memiliki alasan bahwa Minyoung ingin berkunjung jadi, Ia datang bersama adik kecilnya, tapi saat waktu semakin berlalu, Sehun datang dengan atau tanpa Minyoung.

 

Pertemuan berikutnya dihabiskan dengan pembahasan mengenai satu sama lain. Pertukaran informasi sederhana seperti selera musik, warna, makanan, dan segala  yang ada di bawah matahari; selanjutnya mereka semua berubah menjadi hal yang lebih pribadi.

 

Luhan lebih tua 4 tahun daripada Sehun meskipun wajahnya menggambarkan Ia seperti seorang remaja. Sehun kagum pada betapa kekanakannya paras Luhan dan betapa wajahnya mengungkapkan seribu foto. Ia tidak akan lelah memandanginya.

 

Luhan menyukai musik klasik dan sedikit jazz. Sehun sangat menggemari techno dan hiphop.

 

Terkadang Luhan akan bertanya-tanya tentang musik yang biasanya Sehun dengarkan dan Sehun menemukan kelucuan bahwa Luhan menyukai lagu-lagu lama.

 

Luhan mengguncang perasaan yang tidak diinginkan timbul didalam dirinya.

 

Mereka mulai berbagi lebih informasi pribadi selama pertemuan-pertemuan berikutnya. Sehun sedang belajar kedokteran, bertentangan dengan keinginannya, tetapi menghadiri sekolah tari tanpa sepengetahuan orang tuanya. Luhan sudah lulus dan ditugaskan untuk menjadi pewaris perusahaan mereka. Luhan berkata pada Sehun, bahwa seperti Ia, Ia tidak memiliki pilihan karena itu adalah keinginan terkahir ayahnya.

 

Lalu, mereka bertemu setiap hari, tepat pukul empat di sore hari selama lima bulan. Sehun tidak bisa menjadi lebih bahagia; Luhan merasa yang sama.

 

Luhan menjadi alasan Sehun untuk berjuang. Alasannya untuk tersenyum, alasannya untuk bangun, alasannya untuk pergi ke taman, alasannya untuk segala hal. Itu tidak lama ketika Ia menyadari bahwa Ia jatuh cinta dengan pria yang Ia temui dibawah pohon sakura.

 

Bagi Luhan, apa yang Ia dan Sehun miliki lebih baik daripada setiap cerita roman, lebih baik dari sebuah dongeng.

 

Dua hati berdetak bersamaan..

 

 

 

————————–

 

 

 

Kata-kata sayang tidak di butuhkan sebagaimana Luhan dan Sehun bertumbuh lebih dalam cinta satu sama lain, hari demi hari.

 

“Biarkan Aku membawamu keluar untuk berkencan besok.”  Sehun bertanya dengan tangannya yang gemetar.

 

“Bukankah kita berkencan setiap hari?”  Luhan bertanya, kebahagiaan terdengar dalam suaranya.

 

“Tidak disini, ditempat lain.”

 

“Baiklah.”  Luhan menyetujui.

 

“Kita bertemu di bioskop besok jam 7 sore.”  Sehun menyeringai.

 

 

 

 

Luhan datang, Sehun datang tetapi mereka tidak  melihat satu sama lain.

 

 

 

 

“Apa yang terjadi?”  Tanya Sehun cemas ketika Ia datang ke taman di hari berikutnya setelah Ia berdiri didepan Luhan.

 

“Aku datang, Kau tidak. Apa kau pergi ke bioskop yang salah?”  Tanya Sehun dengan penuh pertanyaan. Luhan kesulitan untuk menjelaskannya. Luhan tidak mungkin mendatangi bioskop yang salah karena itu satu-satunya bioskop di kota.

 

“Aku…”  Luhan memulai namun Sehun memotongnya.

 

“Tak apa. Kencan kita di taman jauh lebih baik.”

 

 

Itu sudah  lama dan kencan terlewati yang mereka miliki terlupakan.

 

 

 

————————–

 

 

 

Luhan menemukan kebahagiaan setiap kali Sehun dan Minyoung datang ke taman, Ia merasa lebih hidup namun terkadang, Luhan merasa bahwa ada sesuatu yang salah. Seperti cara berpakaian Minyoung dan Sehun, atau hal-hal yang Minyoung tanyakan padanya. Ia bertanya-tanya, dimana Sehun dan Minyoung tinggal dan bahwa mereka bisa memiliki pakaian yang berbeda dan berbagai hal lain yang tidak Luhan lihat dimanapun.

 

Namun Luhan mengesampingkan semua ini; Ia lebih fokus pada debaran jantungnya setiap kali Sehun berada disekitarnya.

 

 

 

————————–

 

 

 

Lalu, suatu hari Luhan menyadari.

 

 

“Kau harus datang besok dan melihat ku tampil.” Sindir Sehun. Ia mengartikannya sebagai candaan karena Ia takut Luhan tidak akan datang, namun di matanya, Ia ingin Luhan berada di sana.

 

Sehun telah bekerja keras selama berbulan-bulan dan impiannya akan terwujud dalam satu malam. Sehun ingin Luhan berada di sana, lebih dari keluarganya, lebih dari Minyoung.

 

Sehun merasakan hatinya berdetak begitu kencang.

 

“Kau tahu, Minyoung tidak bisa ke sana. Saat itu sudah gelap, tapi tak apa jika kau tidak datang juga. Aku tahu ini sudah sangat terlambat dan mungkin kau memiliki sesuatu yang lebih baik untuk..”

 

“Tentu.”

 

Tidak menyangka dengan jawabannya. Mata Sehun membuka lebar.

 

“Benarkah?”

 

Luhan mengangguk.

 

Sehun dengan cepat menggeledah ranselnya untuk mencari sesuatu. Luhan tersenyum melihat betapa gelisahnya Sehun tadi.

 

“Ini alamat dan tiketnya.”

 

 

 

“Berjanjilah padaku, Kau akan datang.”  Sehun menimpali.

 

“Aku berjanji, Sehun.”

 

 

 

 

 

Ketika Luhan kembali ke rumahnya, Ia memeriksa alamat itu dan berpikir bahwa ada sesuatu yang berbeda. Ia tahu di mana tempat itu tapi apa yang mengganggunya adalah tempat itu merupakan lahan kosong. Itu adalah salah satu dari sekian banyak yang ayahnya miliki dan bangunan itu belum dibangun dalam waktu 3 tahun. Ia memeriksa dua kali alamat itu tapi tetap sama. Ada campuran emosi dari dirinya. Ia takut untuk memeriksa tiketnya.

 

Dengan tangan yang gemetaran, Ia memfokuskan matanya pada kartu kecil dan rasa sakit di hatinya tumbuh.

 

 

 

SME Showcase

 

7:00pm

 

28 Agustus 2012

 

 

 

 

 

“Tapi besok adalah tanggal 28 Agustus 1972.”

 

 

 

Keesokan harinya, Luhan mencoba untuk mengabaikan informasi yang Ia ketahui. Terus mengatakan pada dirinya bahwa mungkin Sehun menulis alamat yang salah dan ada kesalahan dalam pencetakan tiket. Jadi, Luhan berlari ke gedung itu dan mencarinya tapi ketika Ia sampai, Itu benar-benar hanya sebuah ruang kosong yang besar.

 

“Ini tidak mungkin terjadi.”  Ia mengulangnya sepanjang malam.

 

 

Tapi itu adalah…  Itu adalah kenyataan merka.

 

 

Luhan berlari ke pohon sakura mereka. Ia menunggu Sehun. Ia tahu bahwa jika Ia tidak muncul, Sehun akan mencarinya dan Itu adalah tempat pertama di mana Sehun akan lari juga jadi Luhan menunggu.

 

 

 

 

 

“Ia tidak akan ada di sana.”  Ujar Jongin.

 

“Ia telah berjanji. Mungkin Ia punya suatu hal yang harus di lakukan. Aku yakin Ia akan datang.”

 

“Pertunjukan akan di mulai lima menit lagi.”  Jongin melanjutkan.

 

“Aku harus mencarinya. Mungkin, Ia tersesat atau sesuatu.”

 

“Sehun, tidak. Ini akan segera di mulai.”

 

“Mungkin Ia sedang menunggu di taman.”  Sehun hendak berlari ketika sebuah tangan menghentikannya.

 

 

 

“Aku membutuhkanmu Sehun.”  Jongin memohon.

 

Sehun berada dalam sebuah dilema.

 

“Kau memberinya alamat dan gedung ini tidak sulit untuk di temukan.”

 

Sehun berpikir sejenak.

 

“Aku membutuhkanmu di sini. Tetaplah tinggal.”

 

Sehun tinggal.

 

 

 

Luhan menunggu, hatinya sakit. Ia mengguncang realisasi dan terus menggumamkan kata-kata seperti sebuah mantra, “Ini tidak mungkin terjadi.”

 

 

 

 

Keesokan harinya, Luhan adalah yang pertama kali sampai di taman. Ia menunggu selama satu jam dan Ia hampir kehilangan harapan sampai Ia melihat seseorang yang Ia kenal berjalan ke arahnya. Hati Luhan hancur berkeping-keping.

 

 

Mata Sehun menunjukkan kemurungan dan kesedihan.

 

 

“Maafkan aku.” Luhan berujar. Luhan berada dalam sebuah dilema untuk mengakui semua yang Ia telah pahami tetapi Ia takut Sehun mungkin melihat Ia sebagai orang gila karena pada suatu titik, Luhan pikir Ia gila.

 

“Tidak apa-apa.”  Sehun menjawab tapi kekecewaan terlihat jelas di matanya.

 

“Sesuatu terjadi.”  Luhan berbohong. “Itu darurat. Aku harus pergi ke rumah sakit.”

 

Mata Sehun tiba-tiba berubah dari kekecewaan menjadi kekhawatiran, “Apa yang terjadi, Apa kau baik-baik saja?” Sehun memeriksa tubuh Luhan.

 

“Tenanglah Sehun. Aku baik-baik saja. Hanya sakit kepala biasa. Mereka memberiku obat. Aku baik-baik saja.”  Luhan meyakinkannya.

 

Hal selanjutnya, Sehun membuat hati Luhan di pompa keras.

 

“Aku senang kau baik-baik saja.”  Bisik Sehun pada rambut Luhan sebagaimana yang muda melingkarkan lengannya di yang tua. Luhan menenggelamkan kepalanya di dada Sehun.

 

Perlahan-lahan, lengan Luhan menemukan jalannya ke punggung Sehun.

 

 

“Maafkan Aku.” Ujar Luhan tapi Ia tahu bahwa Sehun tidak mendengarnya.

 

 

 

————————–

 

 

 

Sehun bersemangat untuk bertemu Luhan. Ia memiliki banyak hal untuk diceritakan,  seperti bagaimana Ia dipuji dan ditawarkan oleh perusahaan hiburan setelah showcase.  Ia ingin Luhan mengetahuinya.

 

 

Sehun tiba, tetapi terkejut melihat seorang pria tua sedang duduk di tempat biasanya mereka duduk. Tidak pernah Ia melihat orang lain berada di tempat mereka. Terdengar posesif mungkin, tetapi Sehun tidak ingin orang lain menempati tempat mereka. Itu adalah sesuatu yang spesial; itu adalah milik Luhan dan Sehun.

 

 

 

Sehun mencoba untuk ramah.

 

 

 

“Selamat siang, Pak.”

 

 

 

Pria tua itu tidak menghiraukan Sehun bahkan sekejap. Sehun mulai tidak sabar. Ia khawatir jika Luhan datang, mereka tidak akan dapat memiliki percakapan mereka seperti biasanya.

 

 

“Pak.”  Sehun mencoba lagi.

 

 

Tiba-tiba pria tua itu berdiri.

 

 

“Ada apa?”  Pria tua itu bertanya pada Sehun. Sehun tidak bisa menanggapi.

 

 

“Aku sedang menunggu… ”  Suara Sehun mengecil, Ia tidak tahu bagaimana menyebut Luhan. Pacar? Teman? Kekasih? Dan kemudian Ia terketuk.

 

 

Sehun tersenyum cerah, “Aku sedang menunggu seseorang yang aku cintai.”

 

Pria tua itu tersenyum dan perlahan-lahan berjalan pergi meninggalkan Sehun dengan sebuah kalimat, “Selalu buka hatimu; bukan matamu. “

 

 

 

 

Sehun menunggu.

 

 

Luhan tidak pernah datang.

 

 

 

 

 

 

————————–

 

 

 

 

 

Sehun bahagia setiap kali Ia berbicara tentang adik laki-lakinya. Luhan tahu betapa Sehun peduli pada adik laki-lakinya tersebut. Itu sebabnya berita mengejutkan menghancurkan Sehun berkeping-keping.

 

 

Sehun sangat berantakan ketika Luhan menemuinya di pohon itu.

 

 

Luhan memegang Sehun erat; Ia berjanji pada dirinya sendiri, Ia tidak akan pernah pergi.

 

 

Sudah sejam setelah Sehun akhirnya tenang.

 

 

“Datanglah ke pemakaman. Ku mohon.” Mata Sehun terlihat tak bernyawa dan setiap bagian dari dirinya sakit.

 

 

Luhan tidak pernah measa begitu tidak berharga dan putus asa. Ia ingin berada di sana bersama Sehun. Ia ingin menghibur Sehun; Ia ingin Sehun merasakan betapa Ia mencintainya namun seberapapun Ia mencoba, Ia tidak bisa dan tak akan pernah bisa.

 

 

 

“Aku akan datang. “

 

 

 

Luhan menahan hasratnya untuk menangis.

 

 

 

Sehun tiba-tiba meraih Luhan dan menariknya ke dalam pelukan; Luhan bisa merasakan tubuhnya yang hancur tetapi Ia tidak keberatan.

 

 

 

 

 

 

————————–

 

 

 

 

 

 

Pemakaman Minyoung berlangsung selama berjam-jam. Sehun mencoba menguatkan diri; melawan air matanya, tetapi tetap saja berliter-liter air mata telah melarikan diri dari matanya. Ia telah memiliki keyakinan yang terbangun dalam dirinya bahwa Luhan akan berada di sana untuk menghiburnya. Ia menunggu. Pada awalnya, Sehun berkata pada dirinya sendiri bahwa Luhan hanya tersesat. Atau mungkin, Luhan malu untuk masuk ke dalam, jadi Sehun dari waktu ke waktu akan memeriksa tetapi tidak ada tanda-tanda keberadaan Luhan.

 

 

Ini adalah waktu yang paling memilukan bagi Sehun, dan Ia pikir hanya Luhan yang bisa membuatnya merasa hidup kembali. Ia tahu hanya Luhan yang dapat melakukan itu. Ia tidak keberatan dengan kencan yang Luhan lewatkan, showcase pertama dan yang selanjutnya; Ia tidak pernah keberatan karena Ia akan selalu menemukan Luhan keesokan harinya di pohon sakura mereka. Tetapi hari ini berbeda, karena Luhan seharusnya berada di pemakaman, menghiburnya.

 

 

Dunia Sehun runtuh; bukan hanya karena adik laki-lakinya meninggalkannya tetapi karena seseorang yang Ia percayai dan cintai, sekali lagi mengecewakannya.

 

 

 

 

 

 

Tetapi Luhan datang ke pemakaman. Hanya saja Sehun tidak melihatnya.

 

 

 

 

 

 

————————–

 

 

 

 

 

 

Ini adalah tahun 1972, Luhan tahu itu. Ia berada di tahun 1972. Selama sebulan terakhir, Luhan telah merenungkan.

 

 

Ia tidak pernah sekalipun membayangkan di sepanjang hidupnya bahwa ini bisa terjadi. Tetapi itulah yang terjadi; Ia bertemu Sehun di bawah pohon sakura. Ia bertemu dengan seorang lelaki dari masa depan;  lelaki dari tahun 2012.

 

 

Pertama kali Ia memperhatikan adalah ketika Sehun memiliki gagdet yang disebut Ipod. Luhan termasuk kalangan elite dan setiap kali ada mesin baru yang dikembangkan; ayahnya akan memberikannya kepadanya tetapi tidak sekalipun Ia menjumpai sesuatu sesuatu bernama iPod. Ia tidak memperdulikannya meskipun, Ia pikir mungkin Sehun membelinya dari negara yang jauh.

 

 

Pakaiannya tampak berbeda. Luhan bukan orang yang modis. Ia memilih untuk menggunakan celanajeans dan kemeja sederhana, tetapi pakaian Sehun jauh berbeda dari pakaian-pakaian yang tersedia di toko-toko.

 

 

Luhan terkadang-kadang bingung karena Sehun akan menyebutkan tahun atau saat yang untuk Sehun terjadi di tahun 2000, karena Luhan tahu, tahun 2000 adalah masa depan. Tetapi Ia membiarkan Sehun terus berbicara karena Ia senang mendengar kebahagiaan dalam suara Sehun.

 

 

Saat itu malam hari sebelum showcase Sehun. Malam dimana Luhan memahami takdir yang mereka miliki.

 

 

Sehun tinggal di tahun 2012. Luhan di tahun 1972. Dan satu-satunya tempat yang menghubungkan mereka adalah pohon sakura.

 

 

Setiap kali Sehun meminta Luhan untuk bertemu di tempat tertentu selain pohon sakura, Luhan akan datang tetapi Ia tidak akan bisa melihat Sehun disana karena Sehun berada di waktu yang berbeda.

 

 

Setelah Minyoung meninggal, Luhan datang kembali ke pohon sakura, tetapi Ia tidak melihat tanda-tanda keberadaan Sehun. Luhan menangis, lebih banyak dari air mata yang Ia keluarkan di hari kematian ayahnya. Ia tahu Ia tidak akan pernah bisa bersama Sehun, Ia tidak akan pernah bersama Sehun.

 

 

Tetapi Sehun tetap mengunjungi pohon sakura itu. Ia datang setiap hari, tetapi Sehun tidak ada di sana. Sehun tidak pernah datang.

 

 

Luhan mengunjungi pohon sakura itu,  30 tahun dan menghitung.

 

 

Saat pemakaman, Luhan tidak datang pada tahun 1972 tetapi pada tahun 2012, tetapi itu bukan Luhan yang sama. Luhan menjadi tua. Kehadiran Luhan datang. Ia menunggu selama bertahun-tahun. Ia ingin berada di sana. Ia datang karena Ia berjanji pada Sehun. Tetapi Sehun tidak melihatnya,  Sehun melihat seorang pria tua.

 

 

Tidak pernah sebanyak secercah pengakuan di mata Sehun ketika Ia menatap Luhan. Karena bagi Sehun, tidak ada siapapun disana selain dirinya dan seorang pria tua.

 

 

 

Jadi Luhan menunggu,

 

 

 

 

Sampai Sehun bisa melihatnya lagi.

 

 

 

 

 

 

————————–

 

 

 

 

 

Sehun tidak melihat Luhan lagi. Tidak peduli seberapa Ia telah patah hati; tidak peduli seberapa banyak Ia menderita; Ia tetap datang; Ia tetap mengunjungi pohon sakura itu. Untuk bulan pertama, Sehun telah sendirian. Ia telah menangis – menjerit akan rasa sakit yang yang masih melekat di hatinya. Sehun akan selalu berada di pohon sakura menunggu Luhan, tetapi tidak ada yang datang, Sehun tidak melihat Luhan.

 

 

Saat itu adalah hari peringatan kematian Minyoung, bukannya mengunjungi makam adiknya; Sehun memilih untuk pergi ke pohon sakura. Ia percaya bahwa Minyoung ingin Ia pergi kesana karena itu adalaha tempat kesukaan Minyoung. Dan karena, meskipun patah hati, air mata dan rasa sakit, sedikit harapan yang masih ada dalam hati Sehun bahwa mungkin, Luhan akan ada di sana.

 

 

Saat itu hampir senja; naungan langit perlahan-lahan beranti menjadi abu-abu. Sehun merasakan hatinya hancur lagi – tidak ada tanda-tanda keberadaan Luhan. Ia membenamkan wajahnya ke dalam telapak tangannya, takut air matanya akan jatuh sampai sebuah tangan berada di bahunya. Detak jantung Sehun berada dalam kecepatan tinggi, Ia takut, Ia merasa takut; Ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya ketika melihat Luhan jadi perlahan-lahan Ia mendongak untuk memastikan.

 

 

“Apakah kau baik-baik saja?”

 

 

Sehun hanya mengangguk pelan.

 

 

“Ini sudah mulai gelap, kau harus pulang.”  Seorang pria tua telah menyambutnya.

 

 

Sehun tidak menanggapi. Pria tua itu duduk disamping Sehun.

 

 

“Aku melihatmu disini tiap hari.”  Pria tua itu memulai.. “Kau datang untuk pohon itu? Setiap orang menyukai pohon itu.”  Pria tua itu tersenyum dan Sehun mencoba untuk mengingat karena Ia bersumpah; Ia pernah melihat senyuman itu.

 

 

“Aku juga datang kesini tiap hari.”

 

 

“Aku tidak melihatmu disini.”  Sehun untuk pertama kalinya menjawab.

 

 

” Aku disini tiap hari selama bertahun-tahun. Aku datang kesini setiap hari.”

 

 

“Aku juga datang kesini tiap hari, Pak, tetapi Aku tidak melihatmu.”

 

 

Pria tua itu tersenyum.

 

 

“Kau harus membuka hatimu, bukan matamu.”

 

 

 

 

 

 

————————–

 

 

 

 

 

Pada tahun 2012, Luhan sudah berumur lima puluh tahun. Ia tetap datang untuk melihat pohon sakura itu. Hanya setelah waktu itu Luhan datang untuk mengetahui bahwa disaat-saat Ia sedang menunggu Sehun; Sehun berada disana tetapi pada masa nya. Ia mengamati Sehun dari kejauhan; seberapa banyak Sehun menangis dari hari ke hari. Bagaimana Sehun menjeritkan namanya; seberapa banyak Sehun benar-benar mencintainya.

 

 

 

 

 

————————–

 

 

 

 

 

Keesokan harinya, Sehun datang lagi dan dengan terkejut, seorang pria tua sedang duduk di sebuah bangku di bawah pohon sakura. Sehun menemukan teman duduk yang baru.

 

 

 

Ia mengetahui bahwa pria tua itu sudah berumur 67 tahun. Dan dirawat di panti jompo dari rumah sakit dimana Sehun bekerja.

 

 

Mereka menghabiskan waktu mereka dengan berbicang-bincang dan hati Sehun menjadi cerah.

 

 

 

 

 

————————–

 

 

 

 

 

“Aku selalu percaya pada dongeng.”

 

 

“Minum obatmu, Tuan Xi.”  Sehun memegang 2 pil dan segelas air. “Aku telah membawanya bersamaku karena kau harus meminumnya.”

 

 

“Kupikir aku melakukan sesuatu, kembali ke hari-hari itu.”

 

 

“Aku mengenal seseorang yang juga percaya pada mereka.”  Sehun berkata dengan pahit.

 

 

“Kupikir dongeng itu nyata.”

 

 

“Tidak, mereka tidak nyata.”  dengan marah yang bergejolak.

“Dongeng itu tidak ada.”

 

 

Tuan Xi hanya tersenyum.

 

 

 

 

————————–

 

 

 

“Sehun, berapa lama aku akan hidup?”

 

Sehun terkejut ketika Tuan Xi menjatuhkan pertanyaan.

 

“Maafkan aku. Aku  tidak seharusnya menempatkan-mu dalam situasi itu.”  Wajah Tuan Xi menjadi sedih dan Sehun merasa hatinya terpukul. Ia menjadi dekat dengan pria tua itu. Sebagai dokter di rumah sakit, Ia ditugaskan untuk menjadi salah satu yang mengurusi Tuan Xi. Terus-menerus memeriksa tanda-tanda gejalanya, tekanan darahnya dan memastikan Ia meminum obat yang tepat dan memakan makanan dengan jumlah yang tepat.

 

Tuan Xi seperti sebuah keluarga, Sehun terkadang berpikir.

 

 

 

————————–

 

 

 

“Aku telah menunggu juga, tapi Ia tidak datang.”  Sehun melontarkan pembicaraan sedih.

 

Ada kesedihan di mata Tuan Xi.

 

“Ini adalah hari peringatan ke-3 tahun kematian adikku, Tuan Xi.”  Sehun memulai. “Aku minta maaf karena tiba-tiba…”

 

“Tidak, tidak apa-apa Sehun.”  Tuan Xi meyakinkannya, “Apakah kau ingin mengunjungi pohon sakura?”

 

Sehun mengangguk perlahan.

 

 

 

————————–

 

 

 

Saat itu adalah hari pertama musim gugur ketika bunga pertama dari pohon sakura telah jatuh. Saat itu hampir senja, dan langit berlukiskan warna oranye mencolok melengkapi pohon yang berwarna merah muda.

 

“Kau harus membuka hatimu.”  Ucap Tuan Xi setelah mereka mencapai pohon sakura.

 

“Aku akan menceritakan sebuah kisah. Aku tahu kau bosan mendengarnya. Tapi aku akan tetap menceritakannya.”  Canda Tuan Xi.

 

“Aku tidak akan pernah bosan dengan ceritamu, Tuan Xi.”  Sehun tersenyum.

 

“Aku telah jatuh cinta pada seseorang di sepanjang hidupku, Aku tidak pernah jatuh cinta pada orang lain. Dan Aku tahu, Aku akan mencintainya sampai nafas terakhirku.”

 

Sehun terkejut; Ia tidak tahu bagaimana menanggapinya. Ia tahu Tuan Xi tidak memiliki keluarga karena Ia menolak untuk menikah.

 

“Tetapi nasib sekejam waktu.”

 

Sehun mengerutkan alisnya tetapi Ia membiarkan Tuan Xi melanjutkan ceritanya.

 

“Terkadang tidak peduli betapa Kau mencintai seseorang, tidak peduli bagaimana hatimu terasa sakit karena seseorang, jika Kau tidak ditakdirkan untuk itu, kalian tidak akan pernah bisa bersama.”

 

“Dan kupikir itu adalah takdirku. Itu kejam.”

 

“Aku disini, tiap hari, memandang dari jauh. Menyaksikan bagaimana seorang yang kucintai menangis, bagaimana cinta dalam hidupku menderita; Aku mengalami rasa sakit lebih dari yang bisa Ia bayangkan. Tetapi, Aku tidak bisa bersamanya. Ia tidak akan melihatku. Ia tidak akan mengenaliku.”

 

“Kau tahu Sehun, Aku telah menunggu selama bertahun-tahun untuknya. Yang aku inginkan adalah agar Ia tahu  bahwa Aku tidak pernah  meninggalkannya. Nasib hanya kejam kepada kami. Aku ingin Ia tahu bahwa Aku benar-benar peduli padanya.”

 

“Jadi, sampai nafas terakhirku, Aku akan menunggunya.”

 

“Aku akan menunggu hari sampai Ia bisa melihatku lagi.”

 

 

 

Tuan Xi tersenyum.

 

 

 

“Aku akan selamanya menunggu.”

 

“Aku akan segera mati, Aku bisa merasakannya. Dan aku benar-benar takut, bukan untuk mati, tetapi Aku takut akan pergi tanpa memenuhi keinginan terakhirku.”

 

Satu bunga jatuh dari pohon sakura.

 

“Waktu adalah hal yang menyebalkan. Aku mengetahuinya dari remaja di televisi.”

 

“Sehun.”

 

 

 

 

 

 

“Apa kau tahu nama pertamaku?”

 

Tuan Xi menggapai tangan Sehun, senyum tidak pernah luput dari wajahnya. Mata Sehun melebar karena terkejut, tenggelam dalam realisasi, hatinya di palu keras di dadanya, sebagaimana air mata yang akan jatuh.

 

Tuan Xi mencoba yang terbaik untuk mengucapkan kata-kata terakhirnya sementara menempatkan tangan kanannya di pipi kiri Sehun.

 

“Aku senang kau disini.”

 

 

 

 

 

“Aku akan selalu disini… di pohon sakura kita.”

 

 

 

 

 

Tuan Xi tersenyum cerah karena Ia tahu, di detik nafas terakhirnya, keinginannya terkabul.

 

 

 

 

 

 

“Aku mencintaimu.”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Karena Sehun melihatnya lagi.

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
teenwolf29
#1
Chapter 1: bingung bacanya tapi tetep aja nyelekit dihati;-;
kkyu32 #2
Ini keren bgt:" tp endingnya..... rada gantung sih. Srgitu dulu deh. /nangis/