Nae Dongsaeng Chapter 1

Nae Dongsaeng

Kris tidak pernah menangis. Sejak ia dapat mengingat segala hal dengan jelas hingga usianya sekarang menginjak angka dua puluh dua, tak pernah sekalipun ia  ingat dirinya pernah menangis. Bahkan ketika jasad  kedua orang tuanya terkubur dibawah tumpukan tanah-tanah merah yang dingin, ia tak sedikit pun meneteskan air mata. Baginya, menangis hanya dilakukan oleh orang-orang lemah dan dirinya bukanlah salah satu dari mereka. Namun sekarang ia ingin berdamai dengan kristal bening yang dulu sangat dibencinya, memberikan sebuah ruang kecil bagi hatinya untuk mengeluarkan rasa sesak yang menusuk ulu jantungnya, mematahkan rusuk-rusuknya hingga yang ia rasakan hanyalah sakit yang teramat sangat.

Kris ingin seperti mereka, yang dapat menangis sesuka hati hingga semua sesak yang ia rasakan menghilang. Tapi Kris terlalu takut, ia takut jika satu kristal bening yang keluar dari lensanya akan menarik ribuan kristal lainnya untuk berlomba-lomba melarikan diri dari kedua iris coklatnya

Kris memejamkan matanya yang lagi-lagi mengabur, memaksa buliran bening yang menggunung di kedua pelupuknya kembali ke dasar irisnya. Satu tangannya yang menggenggam botol dengan warna ungu kehitaman bergerak menuju bibirnya, namun ia mengumpat saat tak ada cairan yang keluar. Dibantingnya botol malang itu hingga mengenai puluhan botol serupa yang berjajar tak jauh disampingnya. Kris menghela nafasnya kasar. Tatapannya menerawang jendela kamarnya dengan pantulan siluet jingga. Sinar lembayung nampak membias diantara pohon oak raksasa yang tumbuh disamping rumahnya. Akar-akarnya yang mencuat sesekali dihinggapi burung-burung malam yang mencari sisa-sisa nektar yang terjatuh di sela-sela akar oak.

Indah’ batinnya.

“Berhentilah! Kau pikir dengan menenggaknya berbotol-botol dapat menghilangkan kesedihanmu?”

Lamunan Kris terhenti saat sebuah suara menariknya kembali ke dunia nyata. Pemuda itu mendengus pelan saat menyadari sosok tinggi dengan syal biru tengah menatapnya sendu.

“Diamlah!” serunya marah. Kembali tangannya meraih botol yang tergeletak disamping kirinya, mengarahkan penutupnya ke arah kanan hingga aroma alkohol yang kuat menguar menusuk hidung keduanya.

“Kau pikir merelakan satu-satunya orang yang kau miliki di dunia ini pergi mudah, huh?” ucapnya lagi. Bibirnya mengerucut saat berciuman dengan pinggiran botol, meneguk isinya hingga meloloskan beberapa tetes cairan yang dapat melemahkan saraf-saraf otaknya.

Sosok tinggi dengan surai pirang itu berjalan mendekat lalu mendudukkan dirinya berhadapan dengan Kris. Mata sendunya memerangkap iris coklat di depannya. Tangannya bergetar saat meraih botol yang berada di genggaman pemuda itu, menariknya cepat lalu membantingnya hingga suara pecahannya menggema memenuhi langit-langit kamar.

“Apa yang kau lakukan, hah?” teriak Kris geram. Matanya menatap nyalang sosok dongsaengnya –Oh Sehun yang kini tengah menatapnya. Ditantangnya almond coklat yang terlihat sendu itu hingga membuat empunya menundukkan kepala –takut.

“Aku tidak ingin pergi, ge. Itu bukan kemauanku.” ucap Sehun lirih. Gunungan kristal bening tampak menumpuk di kedua pelupuk almondnya. Kris berdecih, dialihkan tatapannya pada siluet jingga yang masih setia menghiasi langit senja. Ia suka melihatnya, warna jingga yang cantik selalu membuat hatinya tenang. Tapi entah mengapa, saat ini perasaannya tidak juga membaik. Emosinya kembali memuncak mengingat perkataan Dokter tadi pagi, ditambah lagi sosok dongsaengnya yang seharian ini berusaha ia hindari tengah duduk berhadapan dengannya. ‘’ makinya dalam hati.

“Kumohon, berhentilah melakukan hal-hal bodoh, melihatmu seperti ini semakin membuatku membenci diriku sendiri –Hiks” Kris tercekat saat mendengar isakan lirih yang keluar dari bibir Sehun. Matanya membelalak lebar saat melihat cairan bening mengaliri pipi pucatnya, menciptakan sebuah jalur yang tampak berkilauan terkena sinar jingga matahari.

“Jangan memulai Hun! Aku benci melihat air matamu” hardik Kris. Nafasnya mulai memburu seiring dengan dadanya yang naik turun dengan cepat. Ia tidak suka melihat dongsaeng satu-satunya itu menangis.

“A –aku takut, ge... A –aku takut mati.” Hati Kris mencelos saat mendengar satu kata laknat yang sangat dibencinya. Apalagi kata itu terucap dari mulut dongsaengnya. Kris menelan ludahnya kasar, melihat Sehun yang tengah terisak dengan tubuh bergetar membuat kedua irisnya kembali memburam. Amarahnya hilang seketika berganti rasa sesak yang kembali menyergap dadanya.

“Obat-obatan itu tidak membantuku sama sekali, ge. Bahkan kemo sialan itu membuat rambutku terus-terusan rontok. Aku sering mengeluarkan isi perutku dan membuat gege tidak selera makan. Lihatlah, gege nampak kurus akhir-akhir ini dan ini semua karenaku. Ditambah lagi, gege juga harus bekerja keras untuk membayar pengobatanku. Aku –Hiks.. –Hiks” Sehun tak dapat melanjutkan kalimatnya.

Kris lagi-lagi mengumpat menyadari betapa egois dirinya. Harusnya ia tahu, yang lebih tersiksa disini adalah Sehun. Dongsaengnya itu telah menderita sejak lama, namun apa yang dilakukannya makin menambah penderitaan dongsaengnya bukan makin menguranginya.

“Mian –Mianhae” ucap Kris lirih. Ia mengulurkan jemarinya, menggenggam jemari pucat milik dongsaengnya yang terus-terusan bergetar. Tapi satu tepisan kasar dari pemiliknya sanggup menyentakkan jemari Kris menjauh dari miliknya.

Sehun tak dapat menahan isakannya. Namja yang lebih muda empat tahun dari Kris itu menepuk-nepuk dadanya keras. Ia lelah –sangat lelah. Kalimat mematikan yang diucapkan oleh Dokter keluarganya dua tahun lalu membuatnya ingin mengakhiri hidupnya saat itu juga. Namun Sehun tak ingin mati secepat vonis yang diucapkan Dokter. Ia tidak ingin meninggalkan Kris dan membuat gegenya itu hidup sendirian. Untuk itu, Sehun rela memperpanjang masa penderitaannya dengan menelan ratusan pil-pil pahit yang membuat lidahnya mati rasa, puluhan kemoterapi yang menyiksanya telah ia jalani, namun entah mengapa penyakit yang menggerogoti tubuhnya tak mau berhenti menyiksanya.

 

.

.

.

TBC

.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet