[FF] D'Cailin Scath [Chapter 4]

Description

Title : The Shadow (Chapter 4)

Authors : Panda ABstyle

Cast :

  • Xi Luhan
  • Bae Shin Mi (OC)

Support Cast :

  • Wu Yi Fan a.k.a Kris Wu
  • Song Qian a.k.a f(x)’s Victoria
  • Do Kyung Soo
  • Jane Willington (OC)
  • EXO

NB: Casts will be increase in some parts.

Length : Chaptered

Genre : Fantasy, Supernatural Romance., Mystery, Young Adult Fiction.

Rating : R (Restricted) [PG-17]

Warning : Sorry if we had a typo or mistake for this fan-fiction.

><><><><>< 

*Author’s PoV*

-PREVIEW-

 

”Apa maksudmu, jauh dari kata 'mungkin'?”

 

Victoria hanya menarik nafasnya pelan.

 

”Kita, akan susah keluar dari asrama ini,” ujar Victoria cepat. Sementara Luhan tidak menanggapinya. pandangannya tertuju pada suatu pusat yang membuat bola matanya tidak bergerak serta retina yang menimbulkan bayang-bayang objek yang dilihat semakin jelas dan terang hingga dapat memastikan bahwa apa yang kita lihat benar adanya.

“Chamkamman…” Luhan langsung berlari tanpa memerdulikan Victoria yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik serta tatapan maut seperti tajamnya pedang perang romawi. Seakan ingin menewaskan semua saja yang akan menggertaknya dalam waktu sekali tembak.

Tidak memuaskan rasa keingintahu-annya, Victoria terus berlari mengikuti cepat rata-rata dari pergerakan kaki Luhan, dengan kelincahannya berlari menuju makam yang lumayan jauh untuk dijamah walaupun sangat jelas dipandang oleh mata telanjang. Percepatan larinya ini mungkin akan dicatatnya sebagai rekor tercepat, bahkan melebihi ia dikejar anjing penjaga dua tahun lalu yang membuatnya harus kehilangan kulit mulusnya akibat terjatuh dan terkena gesekan aspal, ditambah anjing yang mencakarnya. Sungguh kejadian itu pahit, namun untungnya bekas itu sudah hilang dari kulitnya. Membuat Victoria dapat bernafas lega kembali.

“Museun iriya?” Bisik Victoria pelan ditengah senggakan nafas yang dikeluarkannya detik itu juga, langkah sigap Victoria memainkan pergerakannya, bersembunyi di balik sebuah nisan yang terdapat patung dewa terbesar di areal makam ini, sementara Luhan hanya berjarak 5 meter dari posisinya saat ini. Tepat di depan, hingga rata-rata memakan ukuran seseorang untuk berjalan 20 kaki dari tempat Victoria berdiri sekarang.

 

>•<

 

”Shinmi-ah..,” panggil Luhan pelan dengan suara yang berkharisma. Bahkan desiran angin tidak dapat mengalahkan halusnya suara yang keluar dari pita suara Luhan tersebut.

Hening.. Tidak ada jawaban. Shinmi tidak bergeming, tidak bergerak, seperti tidak menghembuskan nafas lagi. Itulah keadaannya sekarang.

Dengan sigap Luhan meraih pundak itu dan memutarnya. Disaat itulah Shinmi terlihat sangat terkejut oleh kedatangan Luhan yang tiba-tiba tersebut.

”Kau.. Museun iri?” Tanya Luhan, tangannya masih memegang pundak Shinmi.

”Eobseo.”

”Waeyo eobseo? Kenapa kau pergi dari ballroom kemarin malam, neoneun wae?” Luhan sedikit menaikkan nada bicaranya. Kecemasan itu mungkin sudah sampai ke tingkat tinggi. Bahkan wajahnya memerah seperti daun pohon oak yang berkeringan di musim gugur sekarang.

”Ani... Orangtua-ku hanya datang kemarin, ya seperti itu.” Shinmi menjawab takut. Keringat dingin membasahi dirinya sekarang, patung-patung yang menjulang hingga menutup sinar matahari, juga tidak membuatnya untuk bisa bernafas kembali normal saat ini juga.

Luhan memutar memori otaknya kembali. Sangat tidak mungkin, untuk mengutarakan alasan yang tidak berbobot seperti itu. Dengan membawakan orangtua, tidak mungkin hal yang seperti itu akan membuatnya menghilang dari ballroom itu.

”Sangat tidak mung--”

”Ah sudahlah Luhan-ah, aku capai membahas itu lagi. Sekarang giliran aku yang bertanya.” Potong Shinmi cepat, ucapannya pun tidak seperti biasanya. Perasaan yang menggebu hatinya cukup membuatnya marah, takut, cinta, tapi semuanya hanya tertutup kabut ketika Shinmi melihat kejadian semua itu. Sungguh diluar batas pemikirannya.

”Kau harus menja---”

”Jawab aku dulu. Jebal, Luhan-ah.” Sela Shinmi kembali. Saat ini, memang dirinya tengah diburu oleh perasaan tidak menentu. Seakan rasa senang, marah, haru, tak percaya semua dicampur menjadi adonan manis yang berasa pahit di otaknya.

”Geurae...”

 

”Apa yang kau lakukan di ballroom saat itu, setelah itu, semua sampai akhirnya kau terbangun di ranjangmu. Marajwo!”

 

”...”

 

”Na, saat itu. Kita datang bersama. Kau, mengambil vodka untukku geundae...,”

”Kau kissing dengan Jane saat itu?” Sela Shinmi cepat, wajahnya memerah hingga pelupuk mata yang mulai basah, panas. Saat itulah ia merasakan hal yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, bahkan Kris tidak pernah membuatnya seperti ini.

”Ani, bukan---”

”Ne... Aku tidak memotong pembicaraanmu, lanjutkan Luhan-ah!”

”Geundae...”

”Aku minta lanjutkan!”

”Ara...  ya seperti kau katakan tadi. Itu... Memang benar, mian...” Luhan kembali menatap Shinmi nanar, wajah Shinmi semakin memerah, hingga dagunya bergetar tanpa henti. Membuat hawa semakin terkesan menyeramkan, ditambah dengan lokasi yang sangat tidak cocok untuk percakapan seperti ini.

”Mian? Kau tak perlu mengatakan itu, aku sadar. Aku tak pantas berbicara dan seakan melarangmu kissing dengannya. Aku bukan yeoja chingu-mu, bukan?” Ujar Shinmi ketus.

”A--A--Ani...” Jawab Luhan dengan sedikit takut. Belum pernah ia mengalami ketakutan seakan hawa kematian terus menyerangnya.

Mengalami Goosebumps pasti sangat melekat dengan kondisi sekarang ini. Hingga bagaimana caranya untuk mengontrol agar tidak meng-explode semua rasa takut seperti itu.

”Hingga aku meminum Vodka-ku kemarin malam, dengan pikiran yang masih hilang timbul untuk mencarimu ke ruang kesenian, Shinmi-ah. Dan aku melihatmu di situ. Begitu samar, hingga aku jatuh ke pelukanmu Shinmi. Disaat itu juga kesadaranku hilang total, aku tertidur. Tapi..., Aku juga bermimpi, aku mencium seseorang yeoja, tapi aku tidak tahu siapa. Dan aku meminta agar yeoja itu tidak pergi. Hanya itu yang kuingat.” Jelas Luhan dengan panjang lebar, tatapannya kembali tertuju kearah Shinmi. Tubuh Luhan bergetar, ia tidak tahu apa yang tengah ia alami saat ini.

Perlahan Shinmi mengingat semua kejadian itu, tepat sekali Luhan mengatakan 'tteonajima' dan saat itu juga Luhan mencium dirinya.

Shinmi menyentuh bibirnya yang bergetar dengan tangannya yang menunjukkan bahwa ia sangat gerogi saat ini. Dirinya semula yang merasa marah, seakan mereda berbalik, justru ia sekarang sangat takut dan mengalami keringat dingin. Bagaimana tidak? Ia masih hafal betul disaat Luhan. Luhan... Semua itu masih tersirat baik di benaknya.

”Shinmi-ah...” Panggil suara yang dikenal Shinmi sangat baik. Luhan. Ia tak sanggup menyaksikan ini semua di hari ini. Seakan tidak ada hari esok, tubuhnya berbalik, berjalan menjauh dari Luhan. Tetapi...

Tubuh Luhan langsung meraih Shinmi ke pelukannya. Tidak ingin merasa naif, Luhan hanya mencoba memeluknya, dan tidak memikirkan apakah Shinmi mencintainya. Saat ini, bukanlah saat yang tepat untuk memikirkan itu semua.

”Mianhae....”

 

>•<

 

Dengan waktu yang sama Victoria masih setia diam tak berkutik memperhatikan Luhan yang sedari tadi membuat ia harus berfikir. 'Ada apa dengan Luhan? Apa yang salah dengan otaknya? Apa yang dilakukan dengannya?'

Dari pandangannya, Luhan berbicara sendiri dengan membelakangi sebuah nisan. Berulang kali untuk memastikan penglihatannya, Victoria benar-benar sama sekali tidak menemukan Luhan dengan siapapun. Baginya, di Pemakaman ini hanya ada dirinya dan Luhan yang terpisah oleh patung-patung dewa yang menjulang serta nisan yang berserakan. Anehnya, Victoria sudah pernah memergoki Luhan bicara sendiri dengan penghayatan yang tak dapat dibilang candaan. Dan ini untuk kedua kalinya Luhan bersikap seperti itu.

”Apa yang terjadi dengan namja itu?” Lirih Victoria pelan yang masih ditelan oleh kesunyian lokasi yang diinjaknya saat ini.

 

>>><<< 

 

*Author's PoV*

 

Victoria terus berlari. Terus, hingga didapatinya seorang namja imut berperawakan kecil yang berada tepat di 25 meter di depannya. Ujung lorong.

”Kyungsoo-yaa!” Teriak Victoria cepat. Membuat tubuh Kyungsoo langsung berbalik mendengar teriakan suara yang nyaring di telinganya.

Kyungsoo menatap seorang yeoja yang terlihat berlari menghampirinya dengan kecepatan tinggi disertai boot high heels, tanpa mengurangi kecepatan larinya. Mahir. Itulah yang ada di pikiran Kyungsoo sekarang.

”Wae geurae?” Kyungsoo langsung menyimpan kembali kunci asrama-nya yang tepat berada di ujung lorong itu di saku almamater hitamnya.

”Kau tahu ada apa dengan si anak baru itu?” Tanya Victoria cepat, dengan merapikan rok hitam yang dikenakannya, lalu menghadap ke arah Kyungsoo kembali.

”Luhan maksudmu?”

Victoria mengangguk cepat dengan rasa keingintahu-an yang masih memuncak di pikirannya. Menganggu. Itulah tepatnya, tapi apa yang bisa dikatakannya?

”Dia berbicara sendiri lagi di pemakaman, seperti yang kita pergoki di ruang kesenian.” Lanjut Victoria cepat, sementara Kyungsoo hanya tertawa kecil melihatnya, mungkin kali ini ia tidak berpikir lebih lanjut tentang hal itu?

”Mungkin dia hanya berhalusinasi. Kau tahu, bukanlah senang masuk ke asrama ini, pasti butuh kesabaran dan tekanan batin yang kuat. Mungkin dia berhalusinasi tentang orang yang dicintainya, bisa saja yang ditinggalnya sebelum masuk ke asrama ini. Eotte?” Victoria mengangguk jelas, ia memang tidak bisa membantah semua ucapan yang diutarakan Kyungsoo. Bijak. Itulah yang ada di pikiran Victoria saat ini.

”Tapi, kenapa ia berkeliaran di jam pelajaran? Dia bolos?” Tanya Kyungsoo.

”Aniya, dia di scores selama seminggu.”

”Ah, Algesseumnida. Ya sudah, lebih baik kau belajar untuk test bahasa besok, kau selalu tidak masuk dalam pelajaran ini bukan? Ini saatnya untuk berubah. Ayolah, aku di sisimu.” Lanjut Kyungsoo dengan menepuk kedua sisi pundak Victoria. Yeoja yang hanya beberapa centimeter lebih kecil darinya. Beruntung, namun ia tak memikirkannya. Ciptaan Tuhan, jauh lebih baik dari semua itu.

”Xiexie..,”

”Aigo, aku tak mengerti.”

”Itu hal yang gampang.”

”Ya, aku tahu itu 'Terima Kasih'.” Lanjut Kyungsoo dengan candaan yang membuat mereka tertawa. Sahabat. Tidak, bukan itu yang ada di benak Victoria. Bahkan, jika ingin ia mengutarakan dengan jujur, Mungkin, ia akan mengaku bahwa ia menyukai Kyungsoo. Walaupun, secara teknis dan pemikirannya dia tak tahu apakah Kyungsoo mempunyai rasa yang sama dengan dirinya.

”Ayo... Akan ada kelas lagi bukan? Kita akan masuk ke kelas yang sama sepertinya. Kajja.”

 

>>><<< 

 

Malam semakin merangkak larut. Angkasa menunjukkan mega senjanya beberapa jam yang lalu sudah berubah menjadi hitam. Hiasan langit juga telah bermunculan di setiap kilometer dalam jarak sebenarnya dari benda-benda tersebut terletak. Burung perkutut juga mulai meredam, suara burung hantu-lah yang menjadi alunan melodi malam yang menyeramkan.

Daun pohon oak terus berguguran, menyisakan ranting dan dahan pohon yang menyatu dalam batang pohon kokoh itu. Musim gugur sudah semakin berakhir, menyisakan cuaca dingin yang baru dimulai. Tepatnya malam ini, walaupun suhu belum menunjukkan penurunan secara drastis.

Namja itu mengikuti pergerakan malam dengan lamunan sendunya. Jendela kamar yang terbuka serta tirai yang dibiarkan berterbangan, ia membiarkan semua keluh kesahnya membaur dengan suasana kelabu malam ini. Kelam. Itulah yang dirasakannya.

Suara-suara terngiang di telinganya. Namun satu, suara yang sangat ia kenali. Bola basket yang dimainkan atau di dribble, itulah yang baru menjadi satu alasan tambahan penghantar insomnianya saat ini.

Namja yang bernama Luhan itu mempertajam penglihatannya di semua penjuru sekolah yang dapat dilihatnya dari asramanya, terutama kamarnya yang menurut namja itu sangat strategis. Tepat. Seperti ia melihat seorang namja. Dari postur tubuhnya, namja yang bermain basket itu tampak jauh lebih tinggi dari dirinya. Tidak, ia merasa belum pernah melihat namja itu, baik di asrama maupun di sekolah.

Dengan sigap, Luhan memanjat jendela kamarnya yang tidak mempunyai jerjak ataupun celah yang membebaskannya untuk keluar masuk. Cerdik. Satu kata untuk mendeskripsikan Luhan. Ia tidak lupa untuk mengambil seutas sprei dan bedcover yang disambungnya untuk menjadi tali yang digunakan untuk menuruni kamar di asramanya yang berada di tingkat atas.

Bed cover dan sprei itu pun diikat. Serta memastikan kuat atau tidaknya tali buatannya itu, Luhan terus menarik-nariknya hingga ia yakin kalau itu sudah aman. Susah. Itulah yang mendeskripsikan kerja kerasnya untuk turun malam ini.

Ya, tidak ada rapunzel disini, hanya tinggal mengulurkan rambut panjangnya dan pangeran pun menaikinya. Tapi Luhan tidak mengharap seperti itu, selama ini ia terus berpikir, rambut rapunzel dijadikan tali untuk pangeran agar bisa naik. Beban pangeran dan rambut itu saja sudah berat, pasti rapunzel akan merasa kesakitan. Tapi tidak tahu kenapa, dongeng lama itu mengatakan bahwa rapunzel baik-baik saja. Aneh. Terlalu rumit untuk difikirkan secara logis.

Melupakan soal dongeng lama rapunzel, akhirnya dengan susah payah Luhan berhasil menuruni ikatan tali itu. Walaupun tali itu tidak sampai bawah, akhirnya hal itu  mengharuskannya untuk melompat setinggi satu meter.

Kaki Luhan berlari menuju lapangan itu, namun dengan jarak beberapa meter dari lapangan itu, kakinya mulai melambat frekuensi dan kecepatannya hingga ia berjalan seperti anak kecil yang tersesat sedang mencari ibunya.

Namja itu melempar bola basket itu keras dan berjalan menjauhi Luhan. Namun dengan sigapnya suara itu langsung membuat langkahnya terhenti.

”Chamkamman..”

Namja itu berhenti, namun alangkah terkejutnya Luhan ketika namja itu berbalik. Perfect. pikiran itu terus mengelabui otak Luhan dengan sejuta tumpukan awan berbentuk seuntai kata 'Perfect' di dalamnya.

Piercing yang dikenakan oleh namja itu seakan memenuhi kedua telinganya, mata tajamnya, serta alis tebal, wajah tirus dan penuh dengan ras barat, rambut blonde, dan hal yang paling penting, perfect high. Jika ia menebak, namja ini akan mengalahkan semua namja populer di sekolah manapun.

”Annyeong...,” Luhan mencoba membuka mulutnya, hanya sekedar untuk menyapa namja ini. Dalam hitungan beberapa detik, namja itu tidak kunjung menjawab bahkan mulutnya saja tertutup rapat.

Luhan kembali menatap namja itu, bola matanya terlihat bergetar shaky tidak menentu. Senggang waktu, ia hanya tampak melihat ke langit dan memberikan raut wajah dengan kesan sendu.

”Ne..,” setelah sekian jarum detik berdetak, namja itu membuka mulutnya. Hanya mengatakan 'Ne' dengan kesan jaim tak menentu.

”Hei ayolah Aku.. Luhan, aku... murid baru disini.”

Namja itu menghela nafas beratnya yang membuat bekas hembusan nafasnya di udara dingin seperti ini. ”Aku Kris...”

Deru angin berlalu hanya menjadi melodi, mengisi kekosongan dan kesunyian antara Luhan dengan sosok namja tinggi yang diketahui bernama Kris tersebut. Luhan merasa mulutnya seakan terlem dengan perekat kuat. Otaknya terus berpikir, apakah ada hal yang ingin diutarakan atau memang ia canggung untuk mengajak namja itu berbicara, terlebih pandangan tajamnya yang harus membuat Luhan bergidik lebih cepat dari biasanya.

”Jika kau tak ada perlu denganku, aku pergi dulu.” Ucap namja itu dingin. Luhan tersadar akan lamunannya dan meneguk salivanya, namun ia hanya bisa diam dan menggangguk, membuat namja itu berjalan menjauhi dirinya. Siluet namja itu terlihat sempurna saat ia berjalan melewati sorotan lampu jalan yang menyinari dirinya. Dingin, itulah sifat yang langsung melekat ke benak Luhan tentang namja itu.

 

>>><<< 

 

”Jane... Kejadian beberapa hari yang lalu itu sangat wow! Bagaimana kalian bisa melakukannya secara terang-terangan begitu?” Pembicaraan tersebut masih saja terngiang di telinga Luhan. Basi. Tetapi ada orang yang masih saja membicarakannya.

Luhan menghela nafasnya lebih dalam, terlebih karena ia harus melewati Jane untuk sampai ke perpustakaan. Tempat pelarian karena alasan yang sama ia harus di scores dari kelas selama seminggu.

'Astaga... Mimpi buruk semacam apa ini?' Pikir Luhan yang serasa ingin membuang dan mencampakkan benda apapun yang berada di dekatnya dalam waktu kurang dari sepuluh detik.

”Tentu saja, Luhan dan aku sangat menyukainya.” Bisa diprediksi oleh Luhan bahwa Jane akan menggandeng tangannya dan membuatnya risih dalam hanya satu kata yang keluar dari mulutnya.

”Bisa kau lepaskan aku?” Hari ini mungkin, standar amarah Luhan sedang stabil dan terkontrol. Ia hanya menghela nafasnya setelah mengetahui ujian yang dihadapinya di sekolah ini.

”Eoh.. Tampaknya Luhan-mu sedang tidak menyenangkan hari ini.” Luhan menatap tajam perempuan yang sedari tadi berbicara dengan Jane. 

”Chagi..., sebaiknya kau tak perlu bersikap acuh seperti itu.” Sedetik dengan perkataan itu Jane hanya memeluk mesra Luhan dan bersandar di dada bidang Luhan. Sementara Luhan yang mendengarnya merasa risih dengan panggilan yang diutarakannya. Dan sejak kapan Jane berhak memanggil Luhan dengan sebutan Chagi? Menjijikkan.

”Ingat yang pernah kukatakan denganmu. Jika kau tidak menurutiku, orang-orang yang kau sayangi akan habis.” Ekspresi Luhan spontan memudar, tatkala mendengar untaian kalimat licik dari mulut Jane yang membuatnya langsung tidak berdaya, jantungnya pun seakan berdetak lebih lama dengan daya kontraksi yang semakin melemah. Bagaimana tidak? Otak dan nalurinya saja tidak bisa menerima jika orang kesayangannya akan habis jika hanya ia menolak Jane ketika yeoja itu selalu membual di depannya.

”Kau bisa lepaskan aku sekarang? Aku ingin pergi.” Luhan mencoba menekan kata-katanya dengan selembut mungkin yang ia bisa.

'Semoga saja dewi fortuna berpihak baik, agar dapat meluluhkan gadis evil itu' pikirnya sembari menggigit bibirnya paksa.

”Huh... Lepaskan saja Luhan-mu itu, dia sama sekali tak menyenangkan,” cetus yeoja yang sedari bersama Jane. Sama-sama membual seperti dirinya, seperti pula orang yang didekatnya.

”Hmm.. Yasudah, hush...” Dengan hati berbunga-bunga akhirnya Luhan bisa terlepas dari jeratan vampire itu. Seperti ia berhenti menggigit dan menghisap darah dirinya, saat surga inilah yang dinantikannya dari awal Luhan bertemu dengan gadis mengerikan ini.

 

>>><<< 

 

Suara dentangan jam kuno berdentang keras di telinga Luhan ketika kakinya baru saja menginjakkan sebuah karpet merah yang sudah tersobek di beberapa sisi.

Luhan merubah pikirannya untuk mengunjungi perpustakaan. Ruang kesenian jauh lebih menyenangkan baginya. Salah satu tempat di sekolah ini yang hanya ia cintai selain perpustakaan.

Luhan melirik sebuah piano grand tua dengan hiasan ukiran kayu di setiap sisinya. Walaupun dengan tuts-tuts yang bermain dengan sendirinya itu harus membuat Luhan bergidik ngeri.

Dengan keberanian yang masih tersisa di dirinya, ia mencoba berjalan menuju piano tersebut dan memainkannya. Ia terlihat merasakan sensasi baru hanya dengan menekan satu tuts piano tersebut, sehingga emosi melankolis itu membawa- nya kedalam alunan melodi yang indah.

Hingga cahaya matahari terus mengeruak masuk melalui celah-celah jendela besar membuat pantulan-pantulan sinar yang menyilaukan mata juga terpancar di masing-masing sisi ruang kesenian yang berada di ujung koridor serta jalan masuk yang seperti lorong rahasia, membutuhkan waktu yang lebih lama karena harus menuruni beberapa anak tangga dahulu, baru kita dapat menemukan ruang kesenian tersebut. Mungkin karena alasan tersebut ruangan kesenian sangat jarang dikunjungi oleh setiap siswa yang bersekolah disini.

Masih dengan pantulan sinar matahari yang menyilaukan, Luhan mencoba mengelakkan sinar matahari yang menuju matanya karena pantulan yang tidak biasa. Hal itu refleks membuatnya merunduk hingga ia menemukan sebuah benda berkilau tepat di bawah piano tersebut.

Luhan mengambil benda berkilau itu cepat, sebuah gelang dengan manik-manik beserta tumpahan glitter yang menghiasinya. Ia juga mencermati gelang itu seakan Luhan menyukainya.

Hingga ia membalik gelang tersebut.

Geundae...

”Sebuah angka atau.... semacam kode rahasia?”

 

-TBC-

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet