Final

In Between

“Hei, handphone-mu berbunyi. Kau tidak mau mengangkatnya?” tanya Minwoo sambil memasukkan suapan terakhir spaghetti buatanku ke mulutnya.

“Tidak, nanti saja,” aku tersenyum ke arahnya. Sedari tadi handphone-ku memang berbunyi. Tapi setelah melihat siapa yang menelpon, aku malas untuk mengangkatnya.

“Menunggu apa? Siapa tahu klien-mu yang menelpon dan itu urusan yang penting,” tanyanya lagi, kemudian meneguk air putih di gelasnya.

“Bukankah makan malam kita lebih penting?” jawabku sambil sedikit nyengir.

Ia tertawa kecil, “kau ini~” jawabnya sambil mencubit pipiku.

Aku kembali tersenyum, lalu melanjutkan makanku. Seperti biasanya, selama lima bulan hubungan kami berjalan, jumat malam adalah waktu spesial untukku dan Minwoo. Kami khusus mempergunakan waktu itu untuk makan malam berdua. Makan malam dimana saja, di restoran, apartemenku, atau apartemen Minwoo, yang penting hanya berdua. Sambil makan, kami mengobrolkan banyak hal yang mungkin terlewatkan untuk dibicarakan selama seminggu. Kami tidak punya banyak waktu untuk berkencan. Aku dan Minwoo sama-sama sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Aku dengan setumpuk rancangan desain gaun pengantin dan Minwoo dengan berkas-berkas berkaitan dengan market research yang sama sekali tidak kumengerti. Oleh karena itu, jumat malam adalah waktu spesial kami. Untuk malam ini, kami makan di apartemen Minwoo tapi aku yang memasak.

“Jagiii~ kau masih ingat Eric dan Andy?” Minwoo menuangkan air putih ke gelasku yang hampir kosong.

“Ah, gumawoo~ Tentu saja aku ingat dua sahabatmu itu.”

“Aku ingin mengajak kau makan bersama mereka. Tidak hanya mereka sih, pacar Andy sepertinya juga akan ikut. Bagaimana?”

“Oh, Andy akhirnya punya pacar?”

“Ne~ mereka baru berkencan beberapa minggu yang lalu. Jadi besok sekalian ia ingin mengenalkan pacarnya.”

“Oh.. Boleh boleh. Kapan? Dimana?”

“Besok siang, di Pacific Place.”

Aku mengerutkan dahi begitu mendengar nama restoran itu, “apa ada acara spesial?”

Pacific Place adalah restoran mahal. Kami pernah sekali makan di sana dan setelah itu kapok bukan main. Makanan yang disediakan memang sangat enak, tapi harganya mencekik lidah dan menguras isi dompet kami.

Minwoo tersenyum lebar, “ne~ Merayakan promosiku sebagai manajer baru di kantor.”

Aku membulatkan mata dan mulut, segera berlari ke arahnya dan memeluk tubuhnya erat, “chukkae!!!” pekikku riang.

“Ugh, aku tidak bisa bernafas, jagiii~” keluh Minwoo sambil berusaha melonggarkan pelukanku kemudian tertawa. Aku ikut tertawa lalu mencium pipinya.

“Chukkae~” pekikku lagi. Minwoo sudah lama memimpikan naik jabatan menjadi manajer. Ia sudah tiga tahun bekerja di kantornya sebagai supervisor dan kerap kali mengeluhkan susahnya naik jabatan. Padahal manajernya sudah dipromosikan untuk menjadi GM di divisinya, yang berarti posisi itu akan segera kosong dan ia adalah kandidat terkuatnya.

“Kapan pengumumannya? Kenapa baru sekarang kau memberitahuku?” tanyaku bertubi-tubi, masih memeluk tubuhnya meski tidak seerat tadi.

“Tadi siang. Aku menunggu waktu yang tepat, haha. Kalau aku memberitahukan tadi siang, kau hanya bisa memberi ucapan selamat via telepon dan aku tidak akan mendapatkan pelukan dan ciuman di pipi kan?” tanyanya jahil.

“Mwoyaa~” aku terkikik, tapi kemudian mencium kembali pipinya, “I’m so proud of you.”

----*----

Aku sudah berbaring di tempat tidur dan sedang membaca novel sambil mendengarkan musik, kebiasanku sebelum tidur. Jam di meja kerjaku sudah menunjukkan pukul 12 malam. Minwoo sudah mengantarku pulang dari satu jam yang lalu. Begitu membuka halaman selanjutnya dari novel yang sedang kubaca, handphone-ku kembali berdering. Begitu melihat siapa yang menelpon, kuhela nafas panjang. Nama yang sama dengan orang yang menelpon ketika aku sedang makan malam dengan Minwoo tadi.

“Yobseyo~”

“Jihye~ah”

“Hmmm..”

“Kau tidak mengangkat teleponku tadi.”

Aku duduk sambil membenarkan posisi bantal untuk menjadi penyangga di kepala tempat tidur, “Ini jumat malam, jika kau lupa.”

Aku selalu menekankan pada temanku dan juga beberapa klienku bahwa jumat malam adalah malam dimana aku tidak bisa diganggu gugat. Termasuk dengan telepon ataupun pesan. Aku tidak mau merusak suasana kencanku dengan Minwoo.

“Mianhe.”

“Yeah... Jadi kenapa kau menelponku berkali-kali?”

“Soal makan siang besok. Aku yakin Minwoo sudah memberitahumu.”

“Uh-huh. Lalu?”

“Lets pretend that...”

‘Yeah, yeah, I know. Kau tidak perlu mengingatkan.”

Ada jeda sejenak. Aku tahu dia paling tidak suka dipotong pembicarannya. Aku sangat tahu.

“Baguslah kalau begitu,” responnya singkat.

“Dan. Kuharap kau tidak lupa bahwa malam ini belum terhitung sebagai malam ke-empat belas dalam perjanjian kita. Tidak seharusnya kau menghubungiku.”

“Ya ya ya. Aku hanya...mengingatkan tentang hal ini. Aku tidak tahu bahwa Minwoo akan berencana mengajak kita semua makan siang besok.”

“Kau tahu kan, Minwoo suka memberikan kejutan.”

Ia tergelak dari sambungan telepon. Aku bohong jika mengatakan tidak rindu mendengar suara tawanya.

“Wae?” tanyaku heran, karena aku merasa tidak membuat sebuah lelucon. Meski aku tahu pasti, ia selalu tertawa dan tersenyum setiap kali mendengar celotehanku.

“Tidak, aku hanya teringat kejadian-kejadian konyol yang aku alami dengannya karena kesukaannya membuat kejutan itu.”

“Oh...Okay, so...see you tomorrow...”

“Hmmm. Jalja, Jihye~ah”

“Ne~”

Begitu menutup telepon, aku kembali membaringkan tubuh dan menutup mataku erat-erat, berusaha menghilangkan bayangan wajah Minwoo yang selalu hadir ketika aku berkomunikasi dengan pria yang tadi menelponku.

Aku tidak selingkuh. Kalau kau mengira seperti itu, kau salah. Aku hanya dekat dengan pria lain, di luar sepengetahuan kekasihku. Dan pria itu adalah sahabatnya. Aku hanya berteman dengannya. Yah, meskipun terkadang aku merasa hubungan kami lebih dari teman. Meskipun terkadang aku merindukannya. Meskipun aku sangat menyukai senyum dan tawanya. Meskipun terkadang aku merasa bahwa aku dan dia lebih klop, daripada aku dengan Minwo. Tapi tetap saja, aku tidak selingkuh. Aku masih menyukai Minwoo.

Semua permasalahan ini berawal ketika Minwoo mengenalkanku pada Eric dan Andy, dua sahabat sekaligus teman kerjanya di kantor. Perkenalan terjadi ketika aku diajak Minwoo mengikuti gathering karyawan di kantornya sekitar tiga bulan yang lalu. Seluruh karyawan diperbolehkan membawa keluarga atau pasangannya. Karena keluarga Minwoo tidak tinggal di Seoul, dia akhirnya mengajakku. Sementara Eric dan Andy datang sendiri, karena belum punya pacar dan keluarga mereka tinggal di luar negeri.

Saat itu, Minwoo, Eric dan Andy sama-sama menjabat sebagai supervisor tapi dari divisi yang berbeda. Eric adalah asisten manajer di divisi finance, sementara Andy adalah asisten manajer divisi human resource. Secara mengejutkan, aku dan Eric menemukan hal-hal menarik diantara kami berdua. Kami berdua sama-sama bergolongan darah B. Kami berdua juga sangat suka membaca novel dan memiliki sejumlah pengarang favorit yang sama. Bahkan kami sama-sama menggilai Coldplay dan U2. Aku masih ingat bagaimana kami berdua terheran-heran karena bisa memiliki banyak kesamaan seperti itu.

“Aku tidak bisa lepas dari novel lima sekawan ketika kecil,” ujarku sambil menggigit cup cake rasa cokelat, ketika kami berempat membicarakan masa kecil. Kami memutuskan untuk mencari tempat duduk terpisah dari karyawan lain, karena acara gathering mulai membosankan tapi obrolan kami makin seru.

“Aku juga. Favoritku adalah Five on a Treasure Island,” sambar Eric.

“Oh, aku juga! Itu adalah novel lima sekawan pertamaku,” pekikku riang.

“Aku tidak suka membaca. Jadi aku tidak paham apa yang kalian bicarakan,” keluh Minwoo sambil meneguk cola.

“Yeah, aku menghabiskan masa kecilku menyelamatkan putri kerajaan bersama dengan Mario Bross,” tukas Andy, yang disambut high five dari Minwoo. Aku tergelak melihat tingkah mereka berdua.

“Tapi Jihye~ah,” Eric mencolek lenganku, “menurutku Endless Night dari Agatha Christie adalah novel terbaik yang pernah kubaca.”

Aku membulatkan mulut karena terkejut, “hei, menurutku juga begitu! Bagaimana bisa?” aku memandanginya dengan raut muka heran.

“Hei hei, nerdie. Kami tidak paham dengan pembicaraan kalian. Jadi bagaimana kalau kita membicarakan siapa band favorit kita?” usul Andy.

“Coldplay,” jawabku dan Eric bersamaan. Kami berdua bertatapan dengan wajah heran.

“Oh ayolah, kalian berdua tidak asyik sekali. Pengarang favorit sama, buku favorit sama dan kali ini band favorit yang sama?” Andy menggeleng-gelengkan kepala.

“Jagi~ bukankah kau punya band favorit yang lain?” tanya Minwoo, sambil merapikan rambutku. Dari raut wajahnya, sepertinya ia tidak terlalu suka dengan kenyataan bahwa aku dan Eric memiliki banyak kesamaan. Sejujurnya, aku dan Minwoo adalah dua orang yang sangat berbeda. Tapi terkadang perbedaan itu yang membuat hubungan kami menjadi lebih menyenangkan.

“U2?” jawabku sambil menengok ke arahnya.

Kini gantian Eric yang membulatkan mulut, “kau tahu, Bono adalah pahlawanku dari semenjak aku bersekolah di sma.”

“Oh my God~” aku tertawa kencang, “bukankah ini terlalu aneh jika disebut sebagai kebetulan?”

Andy ikut tertawa karena melihat begitu banyak kesamaan pada kami dan bagaimana ekspresi kami begitu mengetahuinya. Sementara Eric hanya tersenyum kecil, sambil memainkan jemariku.

“Apabila ini terlalu aneh jika disebut sebagai kebetulan, mungkin ini takdir,” jawab Eric sambil tersenyum simpul.

Semenjak itulah, aku dan Eric menjadi sering berkomunikasi. Awalnya untuk mendiskusikan novel dan pengarang favorit kami serta beberapa musik favoritku yang ternyata juga di gemari olehnya. Lambat laun, obrolan kami meluas kemana-mana. Tidak pernah dalam hidupku kutemui kejadian seperti ini. Berkenalan dalam jangka waktu singkat dengan seseorang, tapi terasa seperti sudah saling mengenal selama bertahun-tahun. Bahkan bersama Minwoo pun tidak kurasakan yang seperti ini.

Tidak butuh waktu yang lama untuk tahu banyak hal mengenai Eric. Ia dulu adalah mahasiswa jurusan finance di Seoul National University dan lulus dengan predikat cumlaude. Ia menghabiskan masa sekolahnya di Amerika Serikat (sama sepertiku), sehingga lancar menggunakan bahasa Inggris. Ia orang yang tepat waktu, tidak suka menunggu, tidak suka dipotong atau disela ketika sedang berbicara, selalu membawa novel di dalam tasnya (persis sama sepertiku!), pantang makan udang dan cumi-cumi karena alergi.

Selama dua bulan saja aku sudah sangat mengenal Eric. Bahkan kurasa, aku lebih mengenalnya daripada Minwoo, yang notabene adalah pacarku. Hingga dua minggu yang lalu, Eric mengajakku minum teh di tempat kami biasa bertemu.

“Jihye~ah, aku sepertinya menyukaimu lebih dari teman,” ujarnya tiba-tiba sambil menatap mataku lekat-lekat.

Aku membulatkan mulut. Rasanya ingin memuntahkan teh yang baru saja kuminum.

“Emmm, kau tahu Eric, aku tidak suka lelucon seperti ini.”

Eric mengerutkan alisnya, tanda bahwa ia serius dan tidak bercanda.

“Okey..” aku terbatuk-batuk kecil, “kau tahu kan kalau aku ini...”

“Tapi kau belum menikah dengan Minwoo. Kalian hanya berpacaran.”

Aku mendelik tajam ke arahnya, “tapi tetap saja. Aku dan Minwoo sudah punya rencana untuk masalah itu.”

“Minwoo tidak pernah mengatakan hal itu padaku.”

“Belum,” ralatku, “jadi...jelas kan jawabanku?”

“Jinja? Kalau begitu, katakan kalau kau tidak menyukaiku,” katanya tegas. Membuatku menelan ludah.

Hal itu sulit kulakukan. Kenapa? Karena selama aku mengenalnya, lama-lama muncul sedikit rasa suka. Suka, antara pria dan wanita. Maksudku, kau pasti lama-lama akan menyukai orang yang ternyata punya banyak kesamaan denganmu dan sangat mudah kau kenal, meski kau baru bertemu dengannya selama dua bulan bukan? Kurasa Eric juga cukup mengenalku dengan baik atau mungkin lebih baik daripada Minwoo mengenalku? Entahlah. Dan ada beberapa waktu dimana aku merasa menyesal kenapa harus bertemu Eric setelah aku bertemu Minwoo.

“Tidak bisa kan? Kau juga menyukaiku, Jihye~ah. Aku tahu itu,” ia melemparkan senyum penuh kemenangan, sama seperti dulu ketika ia bercerita sudah 3 kali menonton konser U2.

Aku menjilati bibirku yang mendadak kering, “well, Eric. Ini bukan lagi masalah aku menyukaimu juga atau tidak. Tapi, aku sudah terikat janji dan komitmen dengan Minwoo. Ia percaya sepenuhnya padaku dan secara tidak langsung aku harus menjaga kepercayaan itu.”

Eric menggenggam tanganku, “ini takdir, Jihye~ah. Tidak setiap saat aku bisa bertemu dengan wanita sepertimu. Aku tahu Tuhan pasti sudah merencanakan sesuatu dengan pertemuan kita yang tidak biasa ini.”

Aku melepaskan genggaman tangan Eric dan beralih memainkan mug berisi teh yang ada di hadapanku. Eric menghela nafas panjang.

“Baiklah...bagaimana kalau kita membuat perjanjian empat belas hari? Selama empat belas hari, kita tidak akan saling berkomunikasi dalam bentuk apapun. Anggap saja aku tidak pernah ada dalam kehidupanmu sebelumnya. Lalu setelah itu, kita bisa memutuskan apakah memang ini memang takdir atau hanya kebetulan yang terjadi secara bersamaan.”

“Kau tahu, ini seperti break dalam sebuah hubungan percintaan,” komentarku.

“Hubungan kita memang hubungan percintaan kan? Maksudku, tidak ada hubungan laki-laki dan wanita yang murni karena persahabatan atau pertemanan. Hanya kau saja yang berusaha mengelak selama ini,” balasnya.

“Whatever,” aku mengedikkan bahu. Keras kepala adalah sifat dasar Eric dan juga sifat yang sialnya juga menonjol di diriku.

“Kutunggu kau empat belas hari lagi, di sini, di waktu yang sama seperti ini,” tutupnya sebelum beranjak pergi meninggalkanku dan meninggalkan album X&Y, album ketiga Coldplay, yang ia pinjam dariku seminggu yang lalu.

Aku kembali ke masa kini dari sekian banyak kenangan bersama Eric selama dua bulan ini. Besok adalah hari kedua belas dan kami harus bertemu untuk bertingkah seperti tidak ada apa-apa sebelumnya. Minwoo dan Andy tidak pernah tahu kalau aku dan Eric berhubungan dekat setelah gathering itu. Aku tidak bisa membayangkan seandainya mereka tahu kenyataan ini...

----*----

“Kau cantik sekali hari ini,” puji Minwoo. Hari ini sudah tiga kali ia mengatakan hal yang sama seperti itu. Ketika menjemputku di apartemen, di dalam mobil ketika kami menuju Pacific Place, dan saat ini ketika kami sudah sampai dan sedang menunggu kedatangan yang lain.

“Ya ya ya, aku tahu hahaha,” jawabku sambil tertawa kecil. Minwoo tersenyum, lalu menggenggam tanganku dan menciumnya.

“Saranghae~” ucapnya sambil memandangiku dengan eye-smile-nya.

Aku memandanginya dengan tatapan malas, “yah! Ini di tempat umum, apa kau tidak malu?”

“Wae~ kenapa aku harus malu? Aku hanya mengungkapkan rasa cintaku padamu.”

Aku menjulurkan lidah, “you’re such a sweet talker.” Minwoo hanya tertawa kecil, lalu mencium tanganku lagi.

“Oh, itu Andy,” aku melepaskan tanganku dari genggaman Minwoo. Andy berjalan ke arah meja pesanan kami sambil menggandeng seorang gadis cantik.

“Anyeooong~” sapanya sambil tersenyum lebar. Ia terlihat sangat bahagia. “Ini, Hyunri, Lee Hyunri, pacarku,” ia mengenalkan gadis yang digandengnya.

“Anyeong haseyo~” Hyunri membungkukkan badannya ke arah kami.

Aku dan Minwoo membalas sapaan Hyunri dan mempersilahkan mereka berdua duduk. Kami segera terlibat percakapan dan sebagian besar membahas bagaimana Andy bisa berpacaran dengan Hyunri. Kami juga memutuskan untuk memesan appetizer terlebih dahulu sambil menunggu Eric yang entah kenapa belum datang juga.

Ketika aku sedang asyik menikmati bruschetta dengan topping salad tomat pesanan Minwoo, Eric akhirnya muncul. Ia meminta maaf karena terlambat dan beralasan bahwa mobilnya yang sempat mogok membuatnya terlambat. Aku hanya tersenyum kecil ketika Eric menyapaku. Kami berusaha sebisa mungkin untuk terlihat biasa-biasa saja di depan Minwoo dan Andy.

“Jagiya~ tanganmu kenapa dingin sekali?” tanya Minwoo dengan wajah khawatir. Kami berlima sedang membicarakan film The Conjuring sambil memakan pesanan kami, ketika Minwoo tiba-tiba menggengam tanganku dan merasakan bahwa telapan tanganku sangat dingin.

“Oh jinja?” aku kaget karena tidak menyangka Minwoo akan mengetahuinya. Semenjak Eric datang dan duduk di hadapanku, aku merasa grogi luar biasa. Oleh karena itu, keringat dingin terus-menerus membasahi telapak tanganku.

“Apa kau tidak tahan dengan AC di ruangan ini?” ia mulai mengusap-usap kedua telapak tanganku agar terasa lebih hangat.

“Sepertinya suhunya normal, hyung,” timpal Andy sambil memperhatikan AC yang terpasang di sudut ruangan.

“Gwenchana?” tanya Minwoo lagi. Aku hanya mengangguk sambil menggigit bibirku. Dari sudut mataku, terlihat bahwa Eric juga memperhatikanku.

“Emm, mungkin aku butuh ke toilet,” aku berusaha mencari-cari alasan, lalu beranjak dari kursiku.

“Perlu kutemani?” Minwoo menawarkan dirinya. Ia terlihat sangat khawatir dan saat itu aku makin merasa tidak enak dengannya. Setelah berbohong mengenai segala hal yang berkaitan hubunganku dengan Eric, kini aku berbohong lagi mengenai hal ini padahal ia sangat mengkhawatirkanku.

“Tidak usah, aku permisi dulu,” aku kemudian berjalan menuju toilet dengan langkah cepat. Sesampainya di dalam, aku berusaha mencuci telapak tanganku dan mengelapnya dengan tissu lalu mengeringkannya di mesin. Hal itu berkali-kali aku lakukan hingga aku merasa bahwa telapak tanganku tidak sedingin tadi.

Begitu keluar dari toilet, aku sedikit terkejut karena ada Eric yang berdiri sambil menyandarkan tubuhnya di depan toilet untuk laki-laki.

“Tanganmu dingin karena grogi melihatku kan?” tanyanya langsung. Seperti yang kuduga, ia langsung tahu. Aku yang tidak mau mengakuinya, hanya mengendikkan bahu.

“Aku tidak bisa menunggu dua hari lagi untuk mengatakan hal yang sama, Jihye~ah,” katanya lagi, “aku menyukaimu lebih dari teman.”

Aku menghela nafas panjang, “dan jawabanku masih sama seperti dulu. Aku tidak bisa. Aku tidak peduli dengan takdir atau semua omong kosong yang kau bicarakan kemarin itu. Aku lebih mempedulikan perasaan Minwoo dan hubungan kami.”

Semalaman aku berpikir mengenai hal ini. Mungkin aku dan Eric memang tercipta untuk memiliki banyak kesamaan. Kami mungkin lebih terlihat seperti pasangan yang bisa saling mengerti satu sama lain. Tapi, aku sudah terikat hubungan dengan Minwoo. Sudah sepantasnya kalau aku lebih memperhatikan Minwoo daripada Eric. Minwoo juga sudah memberikan kepercayaannya padaku. Aku tidak bisa dengan seenaknya menyalahgunakan kepercayaan itu. Yang paling penting, aku tidak mau menyakiti Minwoo. Ia selalu memperlakukanku dengan baik, sangat baik bahkan. Jadi...ya, pada akhirnya aku memutuskan untuk menghentikan semua ini. Mungkin selanjutnya aku bisa meneruskan hubunganku dengan Eric hanya sebatas teman, seperti halnya Eric dengan Minwoo dan Andy. Tidak lebih dari itu.

“Kau tidak memperdulikan perasaanku?” tanya Eric. Dari wajahnya terlihat bahwa ia sedikit terluka dengan perkataanku tadi. Aku kembali menghela nafas panjang, lalu menggelengkan kepalaku.

“Minwoo yang terpenting untukku saat ini,” tegasku.

Eric menggertakkan giginya, “dengar Jihye~ah. Aku masih percaya bahwa semua kebetulan yang kita rasakan ini adalah takdir. Aku tidak peduli kalaupun kau hanya menganggapnya sebagai omong kosong. Aku juga tidak peduli kalaupun kau tetap memilih Minwoo daripada aku. Aku akan tetap menunggumu.”

Aku membulatkan mata mendengarnya, “Hey, look, kau masih bisa mendapatkan wanita lain selain aku. Kau tidak perlu bersikeras seperti itu. Aku dan Minwoo bisa saja melangsungkan...”

“Aku akan tetap menunggumu,” potong Eric, lalu berjalan meninggalkan toilet.

“Oh my God,” keluhku setelah melihat tubuh Eric yang lama-lama menghilang dari pandanganku. Aku tidak pernah menyangka bahwa sifat keras kepalanya juga muncul di situasi seperti ini.

Dengan langkah gontai, aku kembali menuju meja pesanan Minwoo dan mempersiapkan diriku agar tidak kembali gugup dan grogi ketika menghadapi Eric.

“Gwenchana, jagi~?” Minwoo langsung menyambutku. Aku hanya menganggukkan kepala dan tersenyum menenangkan. Andy dan Hyunri juga terlihat cemas, mungkin karena aku terlalu lama di toilet.

Minwoo kembali menggenggam tanganku dan mengusap-usapnya lagi, “sudah tidak dingin lagi seperti tadi,” ia tersenyum lebar kepadaku.

Aku membalas senyumannya dan menarik tanganku, “aku mau makan lagi.”

“Ne, makan yang banyak,” ia mengusap-usap rambutku lembut lalu membiarkanku menghabiskan makanan. Dari sudut mataku, aku kembali melihat bahwa Eric masih sesekali memperhatikanku. Sementara Minwoo asyik mengobrol dengan Andy mengenai posisi kerjanya saat ini. Sesekali Hyunri juga ikut menimpali, karena ia juga bekerja sebagai market researcher seperti Minwoo.

“Minwoo~ya, aku tidak habis,” aku menarik-narik lengan kemeja yang dipakai Minwoo. Makanan yang kupesan rasanya sangat enak, tapi selera makanku hilang karena sedari tadi Eric terus-menerus melirik ke arahku dan diam-diam memperhatikanku. Dan hebatnya, Minwoo, Andy, dan Hyunri tidak menyadarinya.

Minwoo menoleh ke arahku dan tersenyum kecil, “jangan dipaksakan, kasihan perutmu.”

“Sayang makanannyaaa~,” rajukku. Aku paling tidak suka membuang makanan, tapi aku juga sudah tidak mau makan lagi.

“Nanti kuhabiskan,” jawabnya sambil kembali mengelus pelan rambutku. Aku tersenyum lalu mencium pipinya, “gumawo.”

Ia hanya mengangguk, lalu mencubit hidungku. Kurasakan Eric kembali memperhatikanku. Kali ini kuberanikan diri untuk membalas tatapannya. Dan ketika momen itu terjadi, mendadak lagu Heaven Knows milik Rick Price terdengar di seluruh ruangan restoran ini. Aku tidak terlalu suka lagu ini, tapi aku tahu persis kalau Eric sangat menyukainya.

“My friends keep telling me, that if you really love her, you've gotta set her free. And if she returns in time, I'll know she's mine”

Setelah lirik itu terdengar, Eric berdehem kecil dan menatapku tajam. Ia kemudian mengatakan sebuah kalimat kepadaku tanpa mengeluarkan suara, “aku akan terus menunggumu.”

 

-FIN-

19:47 WIB

12 September 2013

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet