More than Me [One Shot] [Indo Fan Fict]

Description

More than Me

–Kim Mi Hyun’s First Fan Fiction–

Cast: Kim Myungsoo and Jung Soojung || Duration: Vignette || Genre: Romance, Hurt/Comfort, Fluff || Rating: G

=Summary=

Di tengah peliknya hidup, Myungsoo masih bisa bertahan, masih bisa tersenyum.

Karena ia tahu, ia memiliki Soojung.

–oOo–

“Sudahlah, kalian pulang saja!”

Suara Myungsoo yang keras menggema di seluruh ruangan. Pria itu kemudian memijat pelan dahinya, berusaha keras mengekang emosi yang kembali memuncak.

“Kami hanya mencemaskanmu, Myung.” timpal Sungyeol, sebisa mungkin bersabar.

Myungsoo berdengus, kemudian berjalan menuju jendela. Tangan kirinya bertumpu di tembok, sedang kedua maniknya menatap udara kosong. Tak tinggal diam, Sungyeol menghampiri Myungsoo, memegang bahunya seolah ingin membagi beban yang terus dipanggul Myungsoo sendirian.

“Biarkan kami membantumu.” Untuk yang kesekian kalinya Sungyeol membujuk Myungsoo. Tapi toh, Myungsoo, si keras kepala, tak akan semudah itu mengubah keputusannya. Myungsoo menghentak pelan bahunya, tak ingin tangan Sungyeol terus bertengger disana.

Hyung, kau tak dengar ucapanku barusan? Apa kau tuli??” Sarkatis. Namun Sungyeol tahu, Myungsoo tak bermaksud berucap kasar padanya, dia hanya..sedang sensitif, mungkin?

“Jaga sikapmu! Bagaimanapun juga Sungyeol itu hyung-mu.” Sunggyu menyela. Tampaknya ucapan Myungsoo barusan membuat emosi Sunggyu tersulut.

Myungsoo hanya menghela napas, mengeluarkan karbondioksida lewat mulut sambil memutar bola matanya. Lelah. Hari ini Myungsoo sangat lelah. Ia membutuhkan waktu sendirian, tapi entah mengapa teman-temannya ini tidak memahaminya. Mereka malah bersikeras ingin membantunya membereskan studio, walau berulangkali telah Myungsoo tolak.

Sunggyu menggerakkan bola mata dan dagunya, mengisyaratkan pada teman-temannya—termasuk Sungyeol—untuk meninggalkan studio duluan. Setelah hanya ada mereka berdua—Sunggyu dan Myungsoo—Sunggyu mengangkat kakinya yang sedaritadi terlipat, menggerakkannya dengan santai ke arah Myungsoo.

“Aku butuh waktu,” Myungsoo berucap seolah tahu kalau Sunggyu akan mengeluarkan berbagai rangkaian kata untuk membujuknya.

“Sendirian.” lanjut Myungsoo dengan penekanan.

Tak ada yang bisa Sunggyu perbuat. Si Keras Kepala telah membulatkan keinginannya, hingga jika kau terus membujuknya, kau hanya akan mendapat caci maki hingga kata-kata kasar yang keterlaluan.

Sunggyu berdecak, “Sendiri? Kau pikir, apa yang bisa kaulakukan seorang diri?” ujar Sunggyu dengan kesal.

“Bodoh!” Sunggyu mengatai Myungsoo sambil memukul belakang kepala temannya itu. Terdengar rintihan Myungsoo, dilanjut dengan gerakan tangan Myungsoo yang mengusap-usap pelan kepalanya.

“Kalau kau butuh sesuatu, kau tahu dimana kami.” lanjut Sunggyu, datar. Tanpa memperdulikan Myungsoo yang menolehkan kepalanya, Sunggyu terus berjalan menuju pintu keluar.

“Terima kasih, Hyung.” Myungsoo berucap tepat sebelum Sunggyu berhasil menjejakkan kaki di luar pintu. Sunggyu menoleh, mendapati Myungsoo yang sedang tertunduk lesu. Sudut bibir Sunggyu tertarik, ia yakin si Keras Kepala telah menyesali perbuatan kasarnya tadi.

“Dasar! Itu gunanya teman.”

Rasa menyesal mengepung Myungsoo. Ia merasa bersalah karena telah berucap sarkatis pada Sungyeol, selain itu dengan kasarnya pula ia menolak pertolongan dari teman-temannya yang notabene mengkhawatirkan kondisinya.

“Aku pergi. Saat kau sudah puas menyendiri, bergabunglah dengan kami.”

–oOo–

Menyedihkan. Malang. Tidak beruntung. Semua kata-kata itu terus berputar di benak Myungsoo.  Pria bermarga Kim itu tak henti-hentinya menyalahkan diri dan terus mempertanyakan takdirnya.

Sejak penyitaan studio foto milik Myungsoo, tak ada yang bisa pria itu lakukan selain melanjutkan kuliah sambil bekerja paruh waktu disana-sini. Semua barang di studio foto pun telah Myungsoo jual, tentu untuk menutupi sisa-sisa hutang dan membayar biaya kuliahnya. Tak ada yang tersisa, kecuali kamera SLR yang pertama kali Myungsoo beli.

Mengapa Tuhan membuat takdirku seperti ini? Myungsoo membatin, sedikit kecewa pada kenyataan yang dihadapinya.

Air mata itu tergenang, karena Myungsoo mendongakkan kepalanya, menahan agar bulir-bulir yang menyatakan isi hatinya tak berjatuhan. Myungsoo tak bisa bersandar, walaupun ia sangat ingin. Kedua orang tuanya telah pergi, meninggalkannya yang kala itu terlalu optimis akan sukses menjajaki karir di dunia photography.

Tidak. Bukan pergi ke luar kota atau negeri, tapi pergi menghadap Sang Pencipta. Myungsoo begitu menyesal, bahkan terpuruk kala itu. Tak seharusnya ia membuat kedua orang tuanya terlilit hutang hingga akhir hayatnya, membuat orang yang telah susah payah membesarkannya kembali merasakan kesulitan karena permintaan anehnya untuk membuka studio foto, itulah yang Myungsoo sesali.

Tapi toh, penyesalan memang selalu datang di akhir. Mungkin Myungsoo bisa menyesal sekarang, tapi ia tak akan bisa mengembalikan semua seperti semula. Sudah terlanjur.

Kala itu, Myungsoo dalam perjalanan pulang—ingin mengistirahatkan sejenak tubuhnya sebelum kembali bekerja paruh waktu. Namun, taman yang terletak tak jauh dari rumahnya, menarik perhatian pria itu.

Myungsoo menyalakan kameranya, mengarahkan lensa pada sebuah objek, membidik, lalu mengambil beberapa jepretan. Ternyata kemampuan Myungsoo masih sama. Ia kemudian melihat hasil gambar yang sudah diambilnya, terus bergeser hingga sampai pada foto yang pertama kali Myungsoo ambil dengan kamera itu. Potret seorang gadis yang sedang memasang wajah masam.

Seulas senyum tercetak, Myungsoo terkikik kecil saat untuk kesekian kalinya melintasi taman kenangannya. Soojung. Itu nama gadis dalam potret itu. Seorang gadis yang sekalipun memasang wajah masam akan tetap terlihat manis dan cantik di mata Myungsoo.

Berbagai kenangan bersama Soojung mulai berseliweran di benak Myungsoo. Hingga sebuah batu tiba-tiba saja menghantam kenangan indahnya. Sebuah kemungkinan yang membuat resah hati Myungsoo muncul, kemungkinan dimana Soojung juga akan pergi dari hidupnya, sama seperti kedua orang tua dan studio foto milik Myungsoo.

Soojung.

Aku tidak boleh egois. Soojung berhak mendapatkan pria yang lebih baik dibandingkan aku.

Menahan Soojung untuk tetap bersamaku hanya akan menyiksanya.

 

Aku tidak memiliki apa-apa lagi, bahkan masa depan dengan secercah harapan keindahan pun tidak.

 

Aku harus melepasnya..

 

 

“Myung!”

Myungsoo terlonjak kaget, secepat mungkin mendongakkan kepala untuk memastikan siapa yang memanggilnya. Sepasang mata itu terbelalak, tak yakin dengan apa yang dilihatnya, terlalu takut jika itu hanya ilusi semata.

Sesosok gadis yang sudah lebih dari 3 minggu tak ditemuinya—karena sang gadis berlibur ke Eropa—kini sedang setengah berlari menghampiri Myungsoo dengan rambut yang sedikit berantakan karena terlalu tergesa-gesa.

“Apa yang terjadi?” Gadis itu bertanya dengan deru napas yang terdengar lengkap dengan kecemasan yang tak ditutup-tutupi. Myungsoo masih kesulitan mencerna impuls yang diterima otaknya, ini terlalu tiba-tiba hingga terasa tidak nyata.

“Heh?! Kau dengar tidak, sih?” Soojung berucap dengan tak sabaran, kesal karena Myungsoo hanya memandanginya seolah-olah dirinya adalah hantu.

“Jung?” Myungsoo menyebut nama gadis itu, sekali lagi berusaha meyakinkan diri bahwa bayangan yang ditangkap penglihatannya bukanlah fatamorgana.

Soojung memutar bola matanya, “Cepat ceritakan! Apa yang terjadi?” desak Soojung.

Myungsoo menggaruk belakang kepalanya seraya menyembulkan kurva tipis di bibirnya, berusaha menenangkan Soojung. Tanpa tunggu aba-aba, Soojung segera mengisi ruang kosong di samping Myungsoo, menatap pria itu lekat seolah menagih penjelasan yang ditunggu-tunggunya.

Helaan napas Myungsoo terdengar berat, namun tatapan Soojung lebih mengintimidasinya saat ini, hingga rasanya lebih baik ia memperlihatkan luka itu pada Soojung. “Studioku disita.” Myungsoo berujar.

“Aku tahu,” Soojung menyahutinya dengan cepat (benar-benar di luar dugaan), “kenapa mereka menyitanya?”

Soojung itu perempuan, tapi mengapa hati gadis itu tidak peka? Hingga mampu mengeluarkan pertanyaan yang tak sedikit pun membuat Myungsoo merasa tenang. Justru malah membuat Myungsoo kembali mengingat lukanya yang sedang dalam proses penyembuhan.

“Aku tidak bisa melunasi hutangku.” Myungsoo berujar seolah tak terjadi apa-apa.

Soojung mengembuskan napasnya dalam-dalam, seolah sudah menerka apa yang akan Myungsoo ucapkan. Gadis itu kemudian melipat tangannya di dada. “Huh, mereka itu. Apa tidak bisa memberi toleransi lagi?” Soojung menggerutu sendiri.

“Jangan menyalahkan mereka! Mereka sudah memberiku toleransi, kok. Hanya saja, aku terlalu malas dan kurang giat bekerja.”

Soojung melihat senyum pahit di bibir Myungsoo, tak hanya senyum tapi juga luka yang ada di baliknya. Terkadang ia sadar, kalau Myungsoo-lah yang selama ini membuat hubungan mereka tetap utuh. Myungsoo si Peka yang peduli terhadap sesama. Sering berandai-andai jika ia menduduki posisi orang lain, dan sering mengalah demi kepentingan bersama. Tapi, saat tekadnya membuka studio foto sudah bulat, tak ada yang bisa menghentikannya.

“Sekarang, apa yang kaulakukan?” Soojung bertanya dengan hati-hati.

“Kuliah dan bekerja paruh waktu.”

Myungie,” Soojung memanggil Myungsoo dengan ragu-ragu, “Aku bisa meminta ayah memberimu pekerjaan.”

Myungsoo terkesiap, tapi Soojung malah menunjukkan wajah polosnya, membuat Myungsoo menarik sudut bibirnya.

Jungie..” Myungsoo berusaha memberi pemahaman pada Soojung, namun gadis itu malah kembali berargumen.

“Ayah itu sangat menyukaimu. Dia bilang, kemampuanmu itu kalau dimanfaatkan dengan baik bisa menghasilkan sesuatu yang baik pula. Jadi, aku yakin sekali kalau—”

“Aku mencintaimu.”

Soojung membulatkan matanya, tak sempat menerka jika Myungsoo akan mengucapkan isi hatinya yang sudah Soojung ketahui sejak lama. Semburat merah menghiasi pipi Soojung.

“Aku tulus mencintaimu. Tak peduli siapa kau, tak peduli dengan embel-embel gadis tercantik atau pewaris tunggal perusahaan ayahmu yang kausandang.”

Soojung mengulum bibir bawahnya, sedikit tidak mengerti mengapa Myungsoo kembali memperjelas hal-hal yang sudah diketahuinya. Nalarnya bereaksi, berusaha menebak kemana arah pemikiran Myungsoo.

“Aku tahu kau mencintaiku dengan tulus,” ucap Soojung dengan pelan. Matanya terus bereksplorasi, memandang entah kemana tapi yang jelas bukan tertuju pada Myungsoo. “Untuk apa kau memperjelasnya lagi?” Soojung melanjutkan ucapannya.

“Kau tahu. Tapi orang lain?”

Bagaikan sebuah clue, ucapan Myungsoo membuka pemikiran Soojung hingga ia dapat mengetahui kemana maksud perkataan Myungsoo.

“Mungkin saja mereka akan mengira kalau aku memanfaatkanmu.” Myungsoo menambahkan.

Soojung menghela napas frustrasi, Myungsoo benar-benar berpikir ke arah yang bahkan tak terpikirkan oleh Soojung. Dan yang membuat Soojung tak dapat berargumen lagi adalah ketika ia sadar kalau ucapan Myungsoo benar adanya.

Keadaan pun menghening. Tapi Myungsoo maupun Soojung tak berniat untuk keluar dari keheningan itu, setidaknya mereka butuh sedikit waktu lagi untuk menenangkan hati agar dapat berpikir lebih jernih.

Jungie?” Myungsoo memutuskan untuk memecah keheningan. Myungsoo tak langsung melanjutkan ucapannya, seolah menunggu Soojung untuk merespon terlebih dahulu sambil mengumpulkan seluruh keberaniannya.

“Hm?”

Myungsoo mengulum bibir, seolah ragu untuk berucap. “Kau tahu? Kau pantas mendapatkan yang lebih baik dibandingkan aku.”

Seketika hati Soojung terhantam. Apa maksud ucapan Myungsoo? Ia tidak bermaksud untuk mengakhiri hubungan mereka, kan? Jelas-jelas beberapa menit yang lalu Myungsoo baru saja menyatakan perasaannya untuk yang kesekian-kalinya pada Soojung. Tidak, Soojung tidak bisa hidup tanpa Myungsoo.

Myungie..” Soojung mencoba menginterupsi.

“Jung, aku tidak memiliki harapan untukmu. Bahkan untuk kita. Kau tahu bagaimana sulitnya hidupku saat ini, dan aku tak mau kalau kau sampai terlibat dalam kesulitan itu.”

Soojung tak menjawab.

“Hidupku cukup pelik, hingga tak ada hal indah yang bisa kaunikmati di dalamnya. Setiap hal yang kulakukan tak ada gunanya, hingga terasa bodoh dan terkesan membuang-buang waktu. Hanya ada nafsu sesaat tanpa memikirkan masa depan. Apa kau mau terjebak dalam hidup yang seperti itu bersamaku?”

Menahan diri. Itulah yang Soojung lakukan. Sejujurnya ia ingin berucap, menghentikan rentetan hal buruk yang terus Myungsoo katakan. Namun lidahnya terasa kaku, hingga tak sanggup untuk berargumen dengan Myungsoo.

Jungie, aku tak punya apa-apa lagi. Di dunia ini pun, aku tak memiliki siapa-siapa lagi. Aku tak ingin kalau—”

“Hentikan..” Soojung, dengan suara serak karena menahan tangis, mengiterupsi serentetan hal buruk yang coba Myungsoo jabarkan. Myungsoo terdiam. Sedaritadi ia bicara, ia tidak menyadari jika sudut mata Soojung sudah terbasahi oleh air mata.

“Apa hanya hal-hal buruk yang bisa kautawarkan padaku?” Soojung mencoba melanjutkan kalimatnya dengan tenang, “Apa masa-masa yang telah kita lalui bersama tak indah di matamu? Apa menyatakan perasaanmu padaku itu tak ada gunanya? Lalu, menjadi kekasihku adalah hal bodoh dan membuang-buang waktumu?”

Tidak. Myungsoo tidak pernah berpikir seperti itu. Masa-masa bersama Soojung adalah masa-masa terindah yang pernah Myungsoo lalui. Menyatakan perasaan pada Soojung adalah hal paling berguna yang pernah Myungsoo lakukan. Dan menjadi kekasih Soojung bukanlah hal bodoh dan membuang-buang waktu, melainkan sebuah kebahagiaan yang tak terkira.

“Kau tak memiliki apa-apa, tak memiliki siapa-siapa. Lalu apa arti aku dan teman-temanmu? Menurutmu, mengapa sekembalinya aku dari Eropa, aku segera datang kemari dan menemuimu?!”

Soojung meluapkan semua emosinya yang tertahan, seiring dengan air mata yang perlahan membasahi pipinya. Myungsoo terhenyak. Di hadapannya Soojung menangis, dan karenanya pula Soojung menangis.

“Kau pantas mendapatkan yang lebih baik dibandingkan aku.” Soojung meniru ucapan Myungsoo lengkap dengan nada bicaranya, saat ia berhasil mengendalikan diri kembali.

Myungsoo hanya diam, tak dapat berucap karena merasa bersalah telah membuat Soojung menangis.

Myungie, mungkin kau bukanlah pria terbaik. Tapi bagiku, kau adalah pria paling baik yang memang tercipta untukku.” Ucapan Soojung sampai ke hati Myungsoo dan entah bagaimana ucapan itu begitu menenangkan bagi Myungsoo.

Soojung masih sesunggukkan, dengan sekali gerak Myungsoo berhasil menggiring Soojung masuk ke dalam pelukkannya. Tangis Soojung kembali pecah, tapi anehnya malah membuat seringai terukir di wajah Myungsoo.

“Jangan menangis lagi.” Suara Myungsoo sedikit teredam karena sebagian wajahnya terkubur di rambut Soojung.

Soojung memukul-mukul dada Myungsoo, seolah melampiaskan kesedihannya. Tapi hal itu tak membuat Myungsoo membiarkan Soojung keluar dari pelukkannya, justru malah membuat Myungsoo semakin mengeratkan lingkaran tangannya.

Tampaknya Soojung mulai lelah, hingga ia hanya dapat bersandar di dada Myungsoo yang terasa amat hangat. “Jungie?” Myungsoo berusaha memastikan jika Soojung tidak tertidur dalam pelukkannya (biasanya sehabis menangis Soojung akan tertidur), namun ternyata Soojung merespon walau dengan suara serak.

“Bagiku kau adalah hal terindah yang pernah kutemui. Bagiku kau adalah hal paling berharga, sehingga aku tak mau sampai kau terluka.” Cheesy. Jarang sekali Myungsoo begini.

Soojung tak merespon, tenaganya sudah habis karena terus-terusan menangis sambil memukuli Myungsoo sebagai bentuk pelampiasan.

Jungie?”

“Suaraku sudah habis, jangan paksa aku untuk banyak bicara.”

Myungsoo terkekeh geli, “Terima kasih, ya?”

Soojung mendorong pelan tubuh Myungsoo, seraya menarik diri agar bisa memandangi Myungsoo secara keseluruhan. Mata Soojung tampak sembap, hidungnya pun memerah serta jejak air mata yang masih jelas terlihat. Walau begitu, Soojung masih saja cantik di mata Myungsoo.

“Untuk apa?” Suara Soojung yang serak kembali terdengar.

“Semuanya..”

Soojung terdiam untuk sesaat, seolah memuaskan keinginannya untuk menatap Myungsoo dalam jangka waktu yang lama.

“Aku janji. Aku akan menjadi pria paling baik untukmu.” Myungsoo berucap dengan mantap.

Semburat merah kembali menghiasi pipi Soojung, disusul dengan senyuman tulus yang mampu membuat Myungsoo juga turut tersenyum bersamanya.

Foreword

Di tengah peliknya hidup, Myungsoo masih bisa bertahan, masih bisa tersenyum. Karena ia tahu, ia memiliki Soojung.

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet