The Death of You

Happy Death Ending

Hari ini adalah saatnya. Hari ini adalah waktunya, dimana sesuatu yang aku tunggu dan harapkan akhirnya memiliki kesempatan untuk datang dan terkabul. Kupandang jalanan yang kulewati dibalik jendela bus. Menenangkan diri, memastikan semuanya berhasil, lalu ku mulai aksi ku. Bus berhenti di tempat pengisian bahan bakar. Aku beranjak dari kursi ku dan memandang pria di sebelah ku yang tertidur pulas.

“Kris.. Kris.. bangun!”, aku bangun kan Kris, aku guncangkan bahunya, namun ia hanya berguman tidak jelas dan tak membuka matanya sama sekali. Aku guncang sekali lagi.

“Oahm.. ada apa sayang?”, Kris akhirnya bangun. Kekasih ku yang terpaut usia 20 tahun itu tersenyum pada ku. Usianya sudah hampir setengah abad, namun ia masih cukup tampan di mata ku. “Aku akan turun untuk membeli makanan dan minuman. Bus tampaknya akan berhenti cukup lama. Bisa kah kau ikut turun menemaniku?”, tanyaku. “Tentu saja. Ayo!”, Kris menjawab singkat dan tanpa menunggu-nunggu ia keluar dari bus bersamaku.

“Aku mencintaimu. Kau tahu?”, kata pria tua itu tiba-tiba sembari menghembuskan asap rokok dari bibirnya yang tipis. Asap rokok itu tak sampai menyentuh wajah ku, namun tampak seperti kabut yang memisahkan aku dengan Kris. Ku perhatikan bagaimana perlahan Kris mengembalikan rokok di antara dua bibirnya dan menghisapnya perlahan. Terbayang oleh ku bagaimana awalnya kami bertemu dan menjadi seperti ini. Ya, aku ingat betul awalnya. Awalnya aku hanya seorang karyawan baru di perusahaan tempat kami bekerja. Saat itu Kris adalah seorang CEO. Bukan sekedar CEO, namun CEO yang tampan, matang dan ramah pada semua karyawan, termasuk aku yang pendiam ini. “Aku tahu”, jawabku akhirnya.

Sudah 30 menit kami duduk di kedai ini sambil meminum kopi dan merokok. Bus yang kami tumpangi agak rusak, sehingga kami harus menunggu dulu di kedai sambil menunggu bus tersebut selesai diperbaiki. Hari itu aku memang sengaja memintanya naik bus bersamaku. Kris sudah hampir menghabiskan rokok keduanya ketika sopir bus memanggil kami semua yang di kedai untuk naik yang bus sudah normal kembali. Aku dan Kris kembali duduk di kursi yang sejak awal kami tempati. Kupandang jendela, dan dari jendela aku pandangi refleksi Kris yang terlihat samar namun cukup untuk mengamati kondisinya. Kondisi? Ya, kondisi, ada sebuah kondisi dari Kris yang kunantikan. Keperhatikan dirinya melalui refeksi di jendela. Tampak jelas bahwa wajah Kris pucat, namun ia tak berkata apa-apa. Tangan dan kakinya mulai bergetar ringan dan seperti tanpa aliran darah, sekarang punggung tangannya juga tampak lain. Tangannya lalu mulai terkulai ke samping. Kakinya juga mulai diam, tak bergerak, namun masih ia tak berkata apa-apa. Mata Kris terbelalak, seperti ada yang berkelojotan di dadanya. Tangan dan kakinya bergerak lagi setelah itu, namun tiba-tiba menjadi kaku, sangat kaku. Terlihat dari refleksi di jendela bagaimana matanya terbelalak kaget dan nafasnya tersenggal-senggal. Akhirnya tubuhnya berhenti bergerak. Matanya terbuka lebar, namun aku tahu bahwa sesuatu di balik mata itu sekarang telah pergi. Aku tersenyum puas dan meliriknya untuk terakhir kali. “Aku bukan orang baik”, kata ku terakhir kali pada Kris yang sudah tak bernafas lagi sebelum akhirnya tertidur dalam lautan kebahagiaan.

Dalam tidur ku, aku bermimpi tentang bagaimana hidup ku bersama Kris. Tentang bagaimana kami jatuh cinta. Tentang bagaimana aku menjadi wanita simpanan Kris. wanita simpanan dari seorang pria beristri. Dalam mimpi ku, adegan-adegan masa lalu lewat sekilas bagaikan film. Aku melihat kembali pertemuanku dengan Kris di pesta perusahaan. Aku melihat kembali bagaimana akhirnya kami bercinta di kompartemen kereta yang mewah dalam sebuah perjalanan bisnis. Aku duduk di pangkuannya menggenggam rambutnya yang hitam sementara tangannya di pinggulku. Kami bergetar dan berkeringat. Kemudian adegan berganti dengan adegan dimana aku menangis dan meminta hubungan kami diakhiri. Aku katakan pada Kris bahwa aku tidak sanggup berbagi, bahwa aku tidak tahan membayangkan Kris bercinta dengan istrinya sendiri. Kemudian adegan demi adegan berganti dengan cepat sampai akhirnya kilasan masa lalu ku berhenti pada saat dimana Kris dan aku membuat Tiffany, istri Kris masuk ke rumah sakit jiwa. Kami membuatnya gila dengan berbagai cara, memanipulasi kejadian, mengganggu tidurnya setiap malam, mengacaukan obatnya, hingga akhirnya ia mengalami delusi bahwa anak-anaknya telah mati. Padahal Tiffany memang tak pernah berhasil melahirkan bayinya, ia selalu keguguran di awal kehamilan. Ia menangisi boneka-boneka bayi yang sengaja Kris taruh di bathtub yang penuh air, seolah itu adalah bayi-bayi yang tenggelam. Tiffany yang sudah tak waras lagi berteriak-teriak ketakutan. Akhirnya dokter memutuskan bahwa ia harus dirawat di institusi kejiwaan. Kemudian kami bersama, aku dan Kris. Aku akan bahagia, pikirku saat itu, namun aku ketakutan. Aku takut akan ada orang lain yang melakukan hal yang sama pada ku seperti yang kulakukan pada Tiffany. Aku takut dibuat gila dan dikirim ke rumah sakit yang sama dengan perempuan itu. Perlahan aku sadari bahwa sebenarnya aku sudah gila sejak awal, sejak bersedia menjadi kekasih gelap Kris, sejak aku mencintai Kris terlalu dalam. Sejak aku ketakutan bahwa Kris akan kembali pada istrinya. Sejak aku merencanakan semua hal gila yang akhirnya membuat Tiffany ikut gila. Tiffany sudah bukan ancaman, tapi aku masih sangat ketakutan. Aku menjadi pencemburu yang sakit, tidak pernah mempercayai Kris. Kekasih ku yang tak tahan akhirnya sering memukuli ku.

Pukul 03.30 wib dini hari bus kami sampai di tempat tujuan. Namun aku berpura-pura tidur. Sesuai dugaanku, kondektur bus menghampiri kami untuk membangunkan kami. Aku diam saja saat ia mengguncang-guncang bahu ku. Kemudian tiba-tiba aku mendengar suara bedebam keras. Aku tahu suara itu barasal dari mayat Kris yang jatuh ke samping ketika kondektur bus tersebut mengguncangnya. Kondektur berteriak ketakutan saat ia sadar bahwa salah satu penumpangnya sudah deng mati. Mendadak pagi hari yang gelap dan sunyi berubah menjadi pagi hari yang gaduh. “Ada penumpang meninggal!”. “Ada yang mati!”, “Panggil ambulans!” dan masih banyak teriakan-teriakan sejenis. Aku hanya berdiri kaku di sebelah bus, pura-pura terkejut dan memasang tatapan mata kosong, namun kepala ku tidak kosong. Aku berpikir bahwa aku sebenarnya adalah orang sakit yang pintar dan kejam. Aku benar-benar hebat dalam hal buruk, pikirku. Aku sudah menduga pembunuhan yang kurencanakan akan berhasil, namun tidak mengira akan berhasil sebaik itu. Rokok yang isinya sudah kucampur dengan tanaman beracun kering berhasil membunuhnya. Tapi polisi tidak akan menemukan bahwa rokok itu lah yang membunuhnya. Pada kenyatannya rokok tersebut memang tak bisa membunuh jika tidak didukung hal lain, seperi sup ayam ginseng pala. Sesaat sebelum kami naik bus, aku memasakannya sup ayam ginseng dengan ekstra pala. Pala yang sangat banyak, karena aku tahu pala akan meningkatkan efek dari zat lain sampai dua kali lipat. Seperti racun yang ada dalam rokok. Racun tersebut tidak akan membunuhnya dalam dosis kecil, namun akan membunuh seseorang yang dalam tubuhnya sudah terdapat pala, ditambah metabolisme yang cepat karena berkeringat, dalam sekejap orang itu akan mati karena kelumpuhan saraf dan gangguan pernafasan. Sementara itu, orang-orang berusaha menenangkanku.

“Chanyeol.. Tegar lah. Semua akan baik-baik saja”, kata Sehun yang saat itu menemaniku di pemakaman. Aku hanya tersenyum lemah. Tentu saja semua akan baik-baik saja. Kris Wu mati. Sekarang aku tak perlu takut kehilangan lagi.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
AmberKeyHolder7
#1
Chapter 1: Uuh... Uum...
helloimrayn
#2
Chapter 1: omaigat sakit nih si chanyeol-__- muka Hello Kitty gitu jadi psycho smacam horror masa .-.
tapi ini indonesia!au atau gimana? soalnya ket waktunya wib._.v
anyway, keep writing ya! (≧▽≦)/~┴┴
charlotte96
#3
Chapter 1: Dis is shet. -_-

GAH!! DX