Americano & Caffe Latte

Americano & Caffe Latte

“Caffe latte?” pekik Eunji begitu melihat kedatanganku yang membawa segelas cup berisi caffe latte dan sebungkus croissant cokelat kesukaannya.

“Wae?’ tanyaku santai, kemudian menyesap isi cup itu. Aku dan Eunji berjanji bertemu di kursi umum depan Tiffany’s untuk kemudian berjalan bersama menuju kantor.

“Tumben. Sekarang kau bersahabat dengan kopi?” tanyanya, sambil merebut bungkusan croissan dan mengambil sepotong lalu memakannya. Aku kemudian duduk di sebelahnya dan ikut memakan croissant.

“Aku hanya sedikit merindukannya,” jawabku asal.

Eunji tersenyum.

“Wae?” tanyaku heran.

“Kau dan kopi. Sepertinya itu sudah lama sekali,” gumamnya.

Aku ikut tersenyum lalu kembali menyesap caffe late.

“Apakah ini pertanda baik?” tanyanya lagi.

“Maybe. Ah, apa tidak sebaiknya kita segera berangkat? Aku takut telat.”

“Oh ayolah! Kalaupun kita telat, tidak akan memarahi.”

“Hei, kita harus memberikan contoh yang baik pada anak buah kita,” aku melotot ke arah Eunji.

“Baiklah-baiklah.”

Kami berdua kemudian berjalan sembari mengobrolkan banyak hal. Terutama soal pekerjaan. Kami bekerja di sebuah majalah lifestyle wanita. Aku kepala divisi stylist dan Eunji adalah kepala divisi fotografi. Otomatis kami sering bertemu dan berdiskusi karena tugas kami yang berkaitan. Selain itu, kami juga bersahabat semenjak di bangku kuliah. Tak heran kalau kami sangat akrab.

“Kemarin malam divisiku mengadakan makan malam bersama. Anak-anak divisiku memang gila, judulnya memang makan malam bersama. Tapi akhirnya malah jadi mabuk bersama,” ceritaku.

“Eh? Bagaimana bisa?”

“Iya, setelah makan, mereka memesan berbotol-botol soju dan mabuk. Oh, tapi aku dan Hyubin tidak mabuk. Lebih tepatnya, kami berdua tidak minum karena mengalah agar bisa menyetir dan mengantar mereka pulang. Dan kau tahu apa yang paling epic dari kejadian semalam? Mereka keluar dari restoran sambil bergandengan tangan lalu begitu keluar mereka menarikan lagu Gee bersama-sama.”

“Jinja? Anak buahmu kan ada 8 orang kalau dikurangi Hyubin.”

“Iya, mereka menari-nari seperti ini,” aku kemudian menirukan kejadian tadi malam.

“Hyo, awas!” teriak Eunji.

Terlambat. Aku terlanjur menabrak seorang laki-laki dan parahnya caffe latte yang kupegang tumpah di kemejanya.

Aku dan Eunji hanya bisa membulatkan mata. Laki-laki itu juga terlihat terkejut.

“Ommo. Maaf maaf maaf. maafkan aku.” Aku segera mengeluarkan tissu dari tas dan mengusap noda caffe late di kemeja laki-laki itu.

“Gwenchana, gwenchana,” kata lelaki itu sembari berusaha menghentikan gerakan tanganku.

“Tapi ini, parah sekali,” pekikku panik.

“Jinja, gwenchana,” laki-laki itu meraih tisuku dan mengusap sendiri noda di kemejanya.

Aku menggigit bibir, gesture yang selalu kulakukan ketika cemas dan merasa bersalah.

“Maafkan, aku,” aku segera membungkuk 90 derajat pada laki-laki itu.

“Iya, maafkan temanku. Dia memang ceroboh,” Eunji ikut meminta maaf dan membungkukkan badan.

“Anniyo, anniyo. Jinja gwenchana,” laki-laki itu tersenyum dan menampakkan lesung pipinya.

“Emm tapi itu parah sekali nodanya,” kataku sambil menunjuk kemejanya.

Eunji melongo, “Omooo, kau melakukan kesalahan besar, Hyo~ya.”

Laki-laki itu melihat kembali kemejanya dan terlihat sangat terkejut. Kemejanya berwarna putih dan noda caffe-latte-ku berhasil membuat pola coklat yang sangat besar.

“Aku harus mengganti kemejamu,” aku segera membuat keputusan.

“Eh tapi...”

“Tuan, sepertinya kau buru-buru ke kantor kan? Tidak mungkin kan ke kantor dengan kemeja seperti ini? Ayo, ikut aku, aku akan mengganti kemejamu,” paksaku.

“Iya, tuan. Kau turuti saja temanku ini,” Eunji ikut memaksa.

“Eh baiklah...”

Begitu mendengar persetujuannya, aku segera menarik lengan laki-laki itu dan menariknya menuju ke arah Ralph Lauren store. Eunji mengikutiku dari belakang.

“Hai, aku ingin kemeja seperti yang dipakai tuan ini,” kataku pada pramuniaga yang menyambut kami.

“Nona...” sela laki-laki itu.

“Namaku Kim Hyori, kau bisa memanggilku Hyori,” potongku, masih menariknya untuk mengikuti langkahku.

“Hyori~ssi, kau tidak perlu membelikan kemeja yang mahal untukku. Toh kemeja yang kupakai ini juga tidak mahal,” protesnya.

Aku menggoyang-goyangkan jari telunjukku, “tidak tidak. anggap saja ini permintaan maafku padamu.”

Eunji terkikik di belakang kami.

“Nona, bagaimana kalau ini?” pramuniaga tadi datang sambil membawa sepotong kemeja yang hampir mirip dengan kemeja laki-laki itu.

“Bagaimana?” tanyaku pada laki-laki itu.

Ia hanya mengangguk.

“Oke, segeralah masuk ke kamar ganti, tuan,” aku mendorongnya agar masuk ke dalam kamar ganti sambil menyorongkan kemeja itu padanya.

Laki-laki itu hanya menurutiku. Aku kemudian mencari kursi untuk duduk. Eunji kembali mengikutiku.

“Aigoo, aku haus. Aish, kopiku tumpah,” gerutuku, mengabaikan komentar Eunji.

“Ini, minum punyaku,” Eunji lalu menyodorkan botol minumnya.

Aku segera menyambar dan meminum isinya.

“Laki-laki itu tidak berdaya dengan paksaanmu. Daebak!” komentar Eunji sambil terkikik.

Aku hanya tertawa mendengar komentar Eunji.

Mendadak handphone Eunji berbunyi. Ia segera mengangkatnya.

“Ne? Oh? Sekarang? Baiklaah. Iya, tenang saja, aku sudah dekat dengan kantor. Hmmmm.”

“Wae?” tanyaku ingin tahu.

“Aku harus ke kantor sekarang. Kutinggal tidak apa-apa kan?” tanyanya.

“Ada sesuatu yang penting?” aku ikut khawatir.

“Ini urusan internal divisiku, tenang saja.”

“Baiklah,” aku mengibas-ngibaskan tangan, menyuruhnya untuk pergi.

“Aku duluan yaa,” ia pamit sambil berlari-lari kecil meninggalkan store ini.

Aku kemudian menghembuskan nafas panjang. Lama sekali sih laki-laki itu berganti pakaian, gumamku.

Lima menit kemudian, akhirnya ia keluar dari kamar ganti. Aku segera menghampirinya.

“Bagus,” pujiku.

Ia tersenyum, kembali menampakkan lesung pipinya.

“Jadi, kau pakai saja kemeja ini. Dan kemejamu yang ketumpahan kopiku, mana?” tanyaku.

“Ini, tapi untuk apa?” ia bertanya heran sambil mengangsurkan kemejanya.

“Tentu saja untuk ku-laundry. Tenang saja tuan, aku orang yang bertanggung jawab.”

“Eh, tapi ini sudah lebih dari cukup, Hyori~ssi. Aku jadi tidak enak.”

“Tenang saja,” hiburku sambil menepuk-nepuk bahunya.

“Eh...baiklah,” ia kembali menurut.

“Oh ya, bagaimana caraku mengembalikan kemejamu nanti,” gumamku.

“Catat saja nomor handphone, kau bisa bisa menghubungiku kapan saja untuk mengembalikan kemejaku,” tawarnya ramah.

“Oh boleh?”

“Tentu,” ia kemudian menyebutkan sederet angka yang aku catat di handphoneku.

“Oke, kusimpan dengan nama...”

“Siwon, Choi Siwon,” jawabnya dengan senyuman.

----*----

“Aku tidak pesan americano, opaa. Pahiiit,” protesku pada Siwon.

“Kalau kau mau minum yang manis, beli saja susu kental manis,” ledeknya, membuatku kembali memanyunkan bibir. Sementara dia malah tertawa kecil.

Semenjak insiden kemeja itu, kurang lebih 2 atau 3 bulan yang lalu, aku dan Siwon menjadi teman yang cukup akrab. Tiga hari setelah kejadian, aku menghubunginya untuk bertemu kembali. Awalnya, aku hanya bermaksud untuk mengembalikan kemejanya yang sudah bersih kembali, tapi Siwon malah mengajakku untuk makan siang dan minum kopi bersama. Katanya, untuk membalas kebaikanku.

Dari pertemuan itu, aku tahu bahwa Siwon adalah salah satu manajer operasional di perusahaan Hyundai dan usianya dua tahun lebih tua daripada aku. Dari pertemuan itu pula, aku tahu bahwa dia maniak americano, jenis kopi yang paling aku tidak suka. Dan dari pertemuan itu pula lah, aku menemukan banyak kecocokan dengannya.

Semenjak saat itulah, kami sering bertemu. Seperti malam ini.

“Aku mau caffe late, oppa,” aku beranjak dari kursi dan bermaksud untuk memesan lagi.

“Anni, aku saja yang memesankan,” dia segera mencegahku.

Aku hanya mengangkat bahu, lalu kembali duduk. Siwon oppa ini tidak jauh beda denganku, dia tipe pemaksa. Seperti saat ini, dia tiba-tiba memesankan americano untukku dan memaksaku untuk meminumnya. Padahal aku sudah bilang kalau aku tidak suka americano.

“Caffe latte-mu, nonaaa,” Siwon oppa datang sambil membawa secangkir caffe latte.

“Gumawooo,” aku segera meminumnya.

“Haus?” godanya.

Aku hanya mengangguk, membuat Siwon oppa terkekeh.

“Eunji apa kabar?” tanyanya kemudian.

Eunji juga sering ikut bertemu dengan Siwon oppa atau minum kopi bersama. Mendadak, kami bertiga menjadi sangat akrab. Seperti sahabat lama, padahal aku dan Eunji baru kenal dengan Siwon oppa dalam hitungan bulan. Sepertinya baru 2 atau 3 bulan kami kenal.

“Dia sedang ke Jeju, ada pemotretan di sana.”

“Kau tidak ikut?”

“Tidak, anak buahku yang ikut. Sebenarnya Eunji tidak ikut pun tidak masalah, itu hanya kedoknya agar bisa berlibur.”

“Sepertinya kalian sangat mendambakan liburan.”

“Bayangkan saja setiap bulan kau dikejar-kejar deadline dan harus kerja rodi untuk mengejar omzet penjualan. Kurasa bagian keuangan sudah gila sehingga membuat target setinggi itu. Anak-anakku sudah mengeluh ingin mati karena pekerjaan mereka,” jelasku sambil menghela nafas.

“Tapi sekarang kau masih terlihat santai,” komentarnya.

“Aku mencoba. Paling tidak, ini weekend dan aku harus memberikan sedikit liburan untuk tubuh dan pikiranku. Jadi, aku masih bisa keluar dari rumah dan minum kopi denganmu, oppa.”

“Lalu ketika weekdays tiba, kau akan kembali merasa ingin mati,” ia berkata sambil tertawa kecil.

“Anniyo, aku tidak mau mati sebelum menikah,” candaku.

“Segera lah menikah kalau begitu.”

“Ya! Kau pikir menikah itu segampang memesan caffe latte. Sudah, jangan membicarakan tentang pernikahan, kepalaku menjadi pusing.”

Siwon oppa malah tertawa.

“Tapi, usia kita memang sudah sepantasnya membicarakan itu kan? Aku sudah 28 tahun, kau dan Eunji 26 tahun.”

“Welll, lebih baik kau minum americano-mu, oppa. Sebelum dingin,” tunjukku pada cangkirnya.

Ia kembali tertawa.

“Jangan mencoba mengalihkan pembicaraan, Hyo~yaaa.”

Aku tertawa kecil.

“Aku masih ingin menjadi wanita single, oke? Dan Eunji? Jangan mimpi! Bahkan pernikahan tidak pernah terlintas di otaknya.”

“Jinja?” Siwon oppa tampak terkejut.

“Semenjak kuliah, ia sudah bertekad untuk hidup bersama anjing-anjingnya saja hingga tua nanti. Perceraian orangtuanya ketika ia masih kecil sepertinya membawa luka yang mendalam. Ia jadi...emm...takut dengan pernikahan.”

“Tapi dia masih suka laki-laki kan?”

Aku tertawa keras.

“Percayalah padaku, dia tidak bisa hidup tanpa mereka. Mungkin saat ini di Jeju juga ia sedang bersama laki-laki. Tapi yaa, hanya sebatas kencan. Dia tidak mau terikat dalam sebuah hubungan.”

Siwon oppa mengangguk-angguk.

“Aku ingin segera menikah, tapi tidak ada wanita yang mau denganku,” tiba-tiba ia mengeluh.

“Maldo andwae!” pekikku.

“Waeee?” tanyanya sambil tertawa.

“Lihat dirimu. Fisik seperti model, keadaan finansial lebih dari cukup, dan kepribadianmu juga tidak terlalu buruk,” komentarku.

“Yaa, tapi kenyataannya aku masih sendiri sampai saat ini,” keluhnya sambil berpura-pura memasang muka sedih.

“Minta dijodohkan saja,” saranku asal.

“Tidak mau, aku ingin mencari sendiri wanita yang kelak menjadi pendamping hidupku dan ibu dari anak-anakku.”

“Aww, romantis sekali Mr. Siwon Choi,” godaku.

Ia tertawa, kemudian menyesap americano-nya.

“Bagaimana kalau kau saja yang menikah denganku?” tanyanya jahil

Aku menunjuk diriku sendiri dengan jari telunjukku kemudian menggelengkan kepala.

“Wae?” tanyanya sambil tertawa.

“Emmm...keunyang...”

“Pikirkanlah,” potongnya sambil memasang muka serius.

“Mwo? Kau ini apa-apaan sih?” aku memukul pelan bahunya sambil tertawa.

Ia juga tertawa keras.

“We’re friend. Just friend,” tegasku.

“Yeah, we’re friend,” ulangnya sambil tersenyum singkat.

----*----

“Hyo~ya,” panggil Eunji begitu masuk ke dalam ruanganku.

“Ne?” aku sedang sibuk membuat rancangan layout di laptopku.

“Nanti malam kita akan makan malam dengan Siwon oppa lagi?” tanyanya sembari duduk.

“Hmm. Jam biasa dan tempat biasa.”

“Baiklah. Hyo~yaa,” panggilnya lagi.

“Wae?” aku menatapnya.

“Kau...tidak ingin berpacaran lagi?”

Aku tertawa kecil.

“Apa sih, Eunji~yaa. Aku sedang sibuk ini.”

“Aku serius. Sudah tiga tahun berlalu semenjak kepergian Sungmin oppa dan sampai sekarang aku tidak pernah melihatmu dengan laki-laki lain.”

“Eunji, sebaiknya kita bicarakan ini nanti saja ya,” aku segera beralih menatap laptop.

“Tiga bulan yang lalu, ketika aku melihatmu mau minum kopi lagi, aku sudah sangat gembira. Aku pikir itu awal yang bagus untukmu. Kemudian, kau dekat dengan Siwon oppa dan sering minum kopi. Aku makin gembira. Tapi kemudian, semuanya kembali seperti biasa. Kopi dan Siwon oppa hanya rutinitas buatmu, tidak berarti lebih. Kau memang tidak pernah berniat untuk melupakan Sungmin oppa dan mencari laki-laki lain kan?”

Aku hanya terdiam, berpura-pura memandangi laptop padahal pikiran sudah melayang entah kemana.

“Aku khawatir padamu, Hyo~ya. Aku tahu kalau kau sangat mencintai Sungmin oppa. Tapi bukan begini caranya. Ini namanya kau menyiksa dirimu sendiri.”

“Lebih baik kau pergi dari ruanganku sekarang, Shim Eunji,” kataku tegas.

“See? Kau memang keras kepala. Terserah, kalau ingin hidup selamanya dengan Sungmin oppa-mu yang sudah mati itu!” teriak Eunji.

“Aku bilang keluar!” aku ganti berteriak padanya, kemudian cairan bening mulai membasahi mataku. Samar-samar kulihat bayangan Eunji meninggalkan ruanganku. Aku kemudian menelungkupkan kepalaku dan menangis di meja kerja. Hal yang selalu kulakukan ketika Eunji mengingatkanku pada Sungmin oppa.

Kim Hyori, aku sudah lama mencintaimu, bagaimana kalau kita berpacaran?

Jagii~ aku sangat mencintaimu. Sangaaaaat~

Himnae, jagi~yaa! Oppa akan selalu mendukung dan mencintaimu~

Oppa memang tidak setampan Won Bin, idolamu. Tapi oppa bisa mencintaimu dengan segala hal yang kau miliki dan mungkin Won Bin tidak pernah bisa melakukannya untukmu. Hanya oppa yang bisaa~

Kau, mungkin bukan wanita tercantik dan paling sempurna di dunia ini. Tapi kau adalah wanita terbaik bagiku. Terbaik dari yang terbaik.

Aigooo, kenapa kau menangis? Kau terlihat lebih cantik ketika tersenyum. Terus tersenyum dan jangan menangis lagi yaa. Oppa selalu ingin melihatmu tersenyum.

Kau itu seperti potongan puzzle terakhir dalam hidupku. Selama ini selalu kucari untuk melengkapi segala kepingan puzzle kehidupanku. Dan begitu aku menemukanmu, hidupku terasa sangat lengkap dan sempurna. Sekalipun aku tidak pernah berpikir untuk melepaskan bahkan menghilangkanmu.

Mungkin aku bukan pria terbaik untukmu, tapi aku selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik untukmu, jagii~

Kau mau bertunangan denganku? Aku mungkin belum bisa mengajakmu menikah, tapi anggaplah pertunangan ini adalah bukti keseriusanku denganmu.

Aku memandangi jari manis tangan kiriku. Di sana tersemat cincin, cincin pertunangan kami. Cincin ini sepertinya sudah menjadi satu dengan jariku. Aku tidak pernah sekalipun berniat untuk mencopotnya. Hingga saat ini....

----*----

“Hai, oppa,” aku menyapa Siwon oppa ramah. Dia sedang duduk di meja favorit kami, sambil membaca sesuatu dari tabletnya.

Hal yang selalu kusukai dari Siwon oppa adalah dia selalu tepat waktu. Apapun keadannya.

“Hai,” ia kemudian menegakkan tubuh dan meletakkan tabletnya di meja.

“Sudah lama? Maaf, aku tadi bertemu dengan atasanku dan harus menemaninya mengobrol sembari menunggu jemputannya datang.”

“Anni, gwenchana. Mau pesan apa?” ia menyodorkan buku menu.

“Seperti biasa saja,” kataku tanpa susah-susah melihat buku menu itu.

“Apa kau tidak bosan makan spaghetti terus?” tanyanya sambil tertawa kecil.

“Aku malas mencoba makanan baru. Nanti kalau tidak enak, bagaimana?”

“Termasuk malas mencoba mencari pacar baru?” godanya.

“Eii~ Eunji mana?” aku segera mengalihkan pembicaraan. Sangat malas membicarakan masalah pacar, cinta, dan segala hal tentangnya.

“Tadi sore dia menelponku. Katanya, dia tidak ikut malam ini. Dia juga bilang kalau sedang bertengkar denganmu.”

Aku menghela nafas. Selalu begitu, Eunji akan selalu menghindariku apabila kami berdua sedang bertengkar.

“Ne. Tadi siang, kami sedikit berselisih pendapat. Tapi tidak apa-apa, beberapa hari lagi kami akan berbaikan lagi,” tuturku sambil tersenyum menenangkan.

“Eunji juga bercerita padaku kenapa bertengkar denganmu. Dia....menceritakan semua hal tentangmu.”

Aku mengerutkan kening, “Semua hal?”

“Yaa. Termasuk Sungmin yang membuatmu...emm masih single hingga saat ini.”

Aku kembali menghela nafas. Eunji ini benar-benar.

“Lalu? Kau juga akan mengasihaniku? Melihatku sebagai gadis lemah dan kasihan yang tidak bisa melupakan tunangannya yang sudah meninggal?” tanyaku dengan nada tinggi.

“Calm down, Hyo~ya,” Siwon oppa menepuk bahuku pelan.

Aku menarik napas panjang dan menutup mata. Menghitung dari 1 sampai 10. Cara ini selalu kulakukan untuk mengontrol emosiku.

“Kalau kau mau, kau bisa menceritakannnya padaku,” tawarnya.

Aku membuka mata, lalu memandangnya.

“Untuk apa? Bukankah Eunji sudah bercerita semuanya padamu?”

“Aku ingin mendengarnya langsung darimu.”

Aku sedikit ragu untuk mulai bercerita.

“Aku akan menunggumu hingga kau siap bercerita, Hyo~ya,” Siwon oppa tersenyum menenangkan.

“Oke, ehem. Jadi...Sungmin oppa adalah pacarku, dari sma hingga aku lulus kuliah. Kurang lebih, aku berpacaran dengannya selama 6 tahun. Dia sunbae-ku di sma dan juga di universitas, tapi kami beda jurusan. Kami...pasangan yang bahagia. Hubungan kami berjalan dengan lancar. Kami saling mencintai, saling mendukung, dan bahagia. Semua anggota keluarga, sahabat dan teman kami merestui hubungan kami. Orang-orang pun berpendapat kami adalah pasangan yang serasi. Yaa, mungkin ada masalah-masalah yang timbul, tapi semuanya bisa kami selesaikan dengan baik. Kemudian, Sungmin oppa lulus dari kuliah dan mulai bekerja di agensi periklanan. Semenjak itulah, dia terlihat sangat serius dengan hubungan kami. Hingga akhirnya, kami memutuskan untuk bertunangan dan berencana untuk menikah setelah aku lulus kuliah. Keputusan ini didukung penuh oleh kedua belah pihak keluarga. Ayahku dan orangtua Sungmin oppa, tipikal orangtua yang konservatif. Mereka lebih memilih anak-anaknya menikah muda, daripada terjadi sesuatu yang tidak pantas.”

Aku menghentikan ceritaku sejenak dan meminum air putih. Siwon oppa masih terlihat antusias mendengarkan ceritaku.

“Emmm...kemudian, seminggu setelah pertunangan kami, Sungmin oppa ditugaskan kantornya untuk pergi ke Jepang. Tapi, ia tidak pernah sampai ke Jepang, karena taksi yang membawanya ke bandara Incheon mengalami kecelakaan. Dan Sungmin oppa....meninggal di tempat kecelakaan,” aku mulai meneteskan air mata.

Siwon oppa segera memberikan tisu kepadaku.

“Gumawo,” aku meraih tisu itu dan mengusap air mata yang entah kenapa tidak mau berhenti keluar.

Suasana hening menyelimuti kami berdua. Aku masih sibuk mengusap air mata sementara Siwon oppa berpindah duduk di sampingku dan sesekali mengusap lenganku, berusaha menenangkanku.

“Aku...malas menceritakan hal ini, karena ya ini...aku akan terus menangis seperti ini,” kataku kemudian.

Siwon oppa hanya tersenyum.

“Hal yang paling aku sesali hingga saat ini adalah...saat itu...aku tidak bisa ikut mengantar Sungmin oppa ke bandara, karena ada ujian. Mungkin, kalau aku ikut mengantarnya, ceritanya akan berbeda...dan saat itu Sungmin oppa hanya tersenyum dan berpesan agar aku mengerjakan ujian dengan baik. Aku tidak pernah menyangka, bahwa itu adalah pesan terakhirnya.. aku...” air mataku mendadak keluar dengan deras.

Siwon oppa akhirnya memelukku erat. Aku kembali menangis dan kurasa tangisanku saat ini lebih parah daripada tadi siang.

Siwon oppa mengelus punggungku dan sesekali membisikkan kata yang menghibur di telingaku.

Selama beberapa menit, aku terus menangis di pelukannya. Kemudian, aku melepaskan pelukan Siwon oppa dan mencoba tersenyum padanya.

“Kejadian ini sudah berlangsung tiga tahun yang lalu, tapi tetap saja...” aku memaksakan diri untuk tersenyum.

“Anni, gwenchana. Tiap orang pasti punya cerita lama yang selalu membuat menangis ketika dikenang kembali,” Siwon oppa menenangkan, sembari membantu mengusap air mata dan merapikan rambutku.

“Gumawo, oppa.”

“My pleasure,” jawabnya, dengan senyuman berhiaskan lesung pipi.

----*----

“Jadi...alasanmu tidak menyukai americano, karena Sungmin dulu sangat menyukai americano?” tanya Siwon oppa bingung.

Keadaanku sudah mulai membaik. Kami berdua sudah makan malam dan saat ini sedang mengobrol santai sambil minum kopi. Seperti biasa, caffe latte untukku dan americano untuk Siwon oppa.

“Ne, bahkan...aku dulu pernah sangat membenci kopi, apapun jenisnya. Semua jenis kopi selalu mengingatkanku pada Sungmin oppa. Dan itu..sangat menyiksa.”

“Tapi sekarang, kau minum caffe latte.”

“Semenjak tiga bulan yang lalu, aku mencoba untuk...apa ya istilahnya...membuka diri? Yaa, aku hanya berusaha untuk menyukai kopi kembali. Tapi, untuk americano, sepertinya masih sedikit susah.”

Siwon oppa mengangguk-angguk.

“Aku sebenarnya, tidak ingin terus terperangkap seperti ini. Tapi...sangat sulit,” keluhku.

“Mungkin kau hanya kurang berusaha, Hyo~ya.”

Aku tersenyum kecut.

“Kau pernah dengar ungkapan bahwa waktu akan menyembuhkan segala luka?” tanya Siwon oppa.

“Ya. Dan itu terbukti tidak benar,” jawabku sinis.

“Tentu, karena itu ungkapan yang salah. Waktu tidak akan menyembuhkan segala luka, tapi waktu memberikan kesempatan bagi kita untuk menyembuhkan luka kita sendiri. Dan untuk kasusmu, kau tidak pernah menggunakan kesempatan itu, Hyo~ya. Lukamu tidak pernah sembuh, karena kau tidak membiarkan dirimu sendiri untuk sembuh.”

Aku tercenung begitu mendengar ucapan Siwon oppa.

“Dengar, mulailah dari hal kecil. Seperti, melepas cincin pertunanganmu itu. Lalu berkenalanlah dengan laki-laki lain. Dan lama-lama, kau mungkin bisa membuka hatimu untuk cinta yang baru.”

“Itu sulit, oppa.”

“Sulit, karena kau hanya membayangkan dan tidak melakukannya.”

Aku menghela nafas panjang.

“Kalau kau mau, aku bisa membantumu,” tawar Siwon oppa.

“Bagaimana caranya?”

“Aku bisa menjadi pacarmu dalam waktu tertentu, hingga kau siap membuka hatimu lagi.”

Aku terbelalak, lalu tertawa.

“Mungkin saja, setelah berpacaran denganku, kau bisa merasakan emmm apa ya namanya...cinta? kasih sayang? Lalu pada akhirnya, kau siap untuk kembali merasakan cinta baru.”

“Kau bercanda~”

“Tidak, aku serius.”

“Oppa~ mana mungkin aku berpacaran denganmu. Itu suatu hal yang tidak mungkin.”

“Tidak ada yang tidak mungkin, Hyo~ya.”

Aku memikirkan sejenak ide gila Siwon oppa itu.

“Oke, kita coba saja,” putusku kemudian.

Siwon oppa mengulurkan tangan, mengajak bersalaman, “deal?”

“Deal,” kataku sambil menyambut uluran tangannya.

----*----

Ini sudah tiga minggu aku dan Siwon oppa ‘berpacaran’. Awalnya memang terasa aneh. Orang yang selama ini menjadi teman, mendadak selalu memanggilmu dengan sebutan “sayang”, mengantar dan menjemputmu kemana pun, dan menelponmu tiap malam. Ia juga sering datang ke rumah, bermanja-manja denganmu dan mengajak kencan. Bahkan, ia sering mengobrol dengan ayahmu atau menonton berita bersama lalu mendiskusikannya.

Walau pada akhirnya, aku mulai terbiasa dengan semua hal itu. Dan kurasa, semua hal yang dilakukan Siwon oppa untukku terasa menyenangkan.

“Kita akan menonton film apa?”

Malam ini, ia mengajakku kencan di bioskop.

“Werewolf boy,” jawabnya, sambil menyetir.

“Song Joongki?” tanyaku dengan antusias.

Ia menengok ke arahku dan menatapku dengan pandangan tidak suka.

“Wae?” tanyaku heran, dengan tindakannya.

“Aku tahu Song Joongki tampan. Tapi aku ini pacarmu.”

“Lalu?” godaku.

“Aish, kau ini,” gerutunya, lalu kembali konsentrasi menyetir.

Aku terkikik karena kelakukannya. Walau Siwon oppa terlihat dewasa, tapi sebenarnya dia punya banyak sisi kekanakan. Hal ini baru aku ketahui, setelah kami memutuskan untuk ‘berpacaran’.

“Aku sudah lama tidak bertemu dengan Eunji. Dia apa kabar?” tanya Siwon oppa kemudian.

“Baik. Dia sedang asyik dengan lelaki dari Jeju,” kataku sambil tergelak.

Siwon oppa melihat ke arahku dengan tatapan bingung.

“Kau ingat kan ketika Eunji pergi ke Jeju untuk pemoteretan? Sekitar em...sebulan yang lalu?

Ia mengangguk.

“Nah, disana dia berkenalan dengan seorang laki-laki dan sekitar seminggu yang lalu mereka berpacaran.”

“Benar-benar berpacaran? Tidak sekedar berkencan lalu sudah, selesai?”

“Eung, mereka benar-benar berpacaran. Aku senang begitu mendengar berita ini, akhirnya Eunji mau  menjalin hubungan yang jelas.”

Siwon oppa tersenyum lebar.

“Oke, kita sudah sampai,” serunya kemudian.

Kami berdua lalu keluar dari mobil dan berjalan bersama untuk masuk ke dalam gedung. Aku spontan menggamit lengannya. Siwon oppa terlihat terkejut.

“Wae?” tanyaku.

“Anni, biasanya kan aku yang menggenggam tanganmu. Sekarang malah kau,” jawabnya dengan wajah bahagia.

Aku tertawa, “Hanya seperti itu saja, kau senang oppa?”

Ia mengangguk berkali-kali, seperti anak kecil.

“Arrasooo~” jawabku, masih sambil tertawa.

Kami segera masuk ke dalam ruang teater, setelah membeli tiket serta popcorn dan minuman. Siwon oppa menuntunku menuju nomor kursi yang tertera di tiket.

“Disini,” katanya, kemudian mempersilahkan aku duduk terlebih dulu. Ia kemudian duduk di kursi sebelah kiriku.

Tidak banyak orang yang menonton. Mungkin karena ini weekdays dan sudah terlalu malam. Kami berdua menonton pertunjukkan yang terakhir. Orang-orang sepertinya juga sudah menonton film yang booming ini.

“Sayang?”

Panggilan Siwon oppa menghentikan kegiatanku dari memandangi isi teater.

“Hmm?” aku menoleh ke arahnya dan cup! Tiba-tiba ia mengecup pipi kiriku.

Aku membulatkan mulut karena terkejut, sedangkan Siwon oppa malah senyum-senyum tidak jelas.

“Gumawo,” bisiknya di telingaku, membuatku terkikik lalu memukul lengannya pelan.

Dia tertawa lalu meraih tanganku dan menggenggamnya erat.

----*----

Sepanjang film berputar, Siwon oppa terus menggenggam erat tanganku. Sesekali ia juga menoleh ke arahku dan melihatku dalam jangka waktu yang cukup lama, lalu tersenyum. Meskipun aku tidak melihatnya secara langsung, tapi aku bisa merasakan semua tindakannya itu. Siwon oppa memang seperti itu. Di berbagai kesempatan dalam beberapa pertemuan kami, aku sering menangkap basah kejadian dimana dia memandangi wajahku lalu tersenyum sendiri. Tapi malam ini, entah mengapa aku merasa tidak suka dipandangi seperti itu. Membuatku jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya.

“Bagus ya filmnya?” tanya Siwon oppa begitu film selesai dan lampu di ruang teater mulai dinyalakan.

“Eung. Pantas saja banyak yang menonton film ini,” tambahku.

“Setelah ini, mau minum kopi?” tawarnya.

Aku mengangguk mengiyakan.

“OK! Kajja,” dia menarikku agar beranjak dari duduk dan berjalan keluar dari ruang teater.

Beberapa menit kemudian, kami sampai di coffe shop langganan kami. Anni, bukan hanya aku dan Siwon oppa, tapi juga Eunji.

“Caffe latte?” tanya Siwon oppa ketika akan memesan.

“Emmm, bagaimana kalau americano?” tanyaku balik sambil tersenyum.

“Jinja? Kau mau minum americano?” dia terlihat heran.

“Eung,” jawabku sambil menganggukkan kepala.

“Baiklah,” ia membelai lembut rambutku.

Aku tersenyum, lalu mencari tempat duduk untuk kami berdua. Sembari menunggu Siwon oppa, aku menelpon Eunji.

“Ya!” pekikku begitu telepon tersambung.

“Aigooo, Hyo~yaa. Kau menganggu tidurku.”

“Oh? Jam segini sudah tidur? Ini masih jam 11 malam. Kau kan biasa tidur pagi.”

“Aku besok pagi-pagi akan ke Jejuuuu.”

“Ohhh, menemui pangeranmu?” godaku.

Eunji tertawa.

“Kau sedang dimana? Sepertinya tidak di rumah ya?” tanya Eunji.

“Kencan. Dengan Siwon oppa.”

“Aigooo, uri Hyori kencan, kkkkk,” dia balas menggodaku. Aku hanya tersenyum karena ulahnya.

Eunji sangat gembira begitu tahu aku memutuskan ‘berpacaran’ dengan Siwon oppa. Ia bahkan tidak peduli dengan fakta bahwa ‘pacaran’ kami ini hanya sarana untuk menyembuhkan lukaku. Ia sangat percaya bahwa Siwon oppa adalah pria yang tepat untuk menggantikan Sungmin oppa. Bahkan ia juga meramalkan, bahwa dalam hitungan minggu aku akan benar-benar berpacaran dengan Siwon oppa.

“Emm, Eunji~ya sebenarnya aku ingin meminta saran darimu.”

“Apa?”

“Emmm jadi begini, dulu kan kau pernah bilang kalau dalam beberapa minggu...”

“Pesananmu sudah dataang,” tiba-tiba Siwon oppa datang sambil membawa dua cangkir americano dan sepiring pastry.

“Nanti saja aku menelponmu yaa. Bye,” aku segera memutuskan telepon tanpa memperdulikan teriakan Eunji di seberang sana.

“Siapa?” tannya Siwon.

“Eunji. Jadi, mana pesananku?”

“Ini,” ia memberikan cangkir padaku.

Aku menyesap isi cangkir itu, dengan diperhatikan Siwon oppa.

“Wow, tidak terlalu pahit,” komentarku.

“Well, aku emm memberikan sedikit gula.”

Aku mengerutkan kening, “wae?”

“Anni, aku hanya berpikir kau akan terlalu terkejut dengan rasa americano, lalu tiba-tiba muncul ide untuk memberikan sedikit gula. Agar yaa, kau yang terbiasa minum caffe latte tidak mendadak muntah dan menyemburkan americano ke wajahku.”

Aku terkikik karena ucapannya.

“Well, ide yang bagus Mr. Siwon Choi. Seperti ide berpacaranmu dulu itu,” balasku.

“Maksudmu?”

Aku tertawa lalu kembali menatap wajahnya.

“Kurasa...aku sudah siap membuka hatiku untuk orang lain saat ini. Thanks for your idea.”

Siwon oppa terlihat terkejut.

“Oh, jadi...kau akan melepas status ini? Maksudku, kita..tidak akan...berpacaran lagi?” tanyanya terbata-bata.

Aku tersenyum singkat, “mungkin...emmm lebih tepatnya memperbaiki status kita.”

Siwon oppa terlihat bingung.

“Oppa, aku tahu kalau kau sangat menyukaiku,” kataku sembari menggenggam tangannya.

“Ya. Aku menyukaimu, semenjak pertemuan pertama kita. Insiden kemeja dan caffe latte.”

Aku tergelak mengingat kejadian konyol itu.

“Tapi Hyo~ya, ideku berpacaran ini bukan sekedar untuk memuaskan hasratku. Tapi, aku benar-benar ingin membantumu. Membuatmu kembali bahagia itu...suatu hal yang membahagiakan pula untukku.”

“Oleh karena itu.. aku tidak ingin mengecewakan orang yang sangat menyukaiku.”

“Hyo~yaa langsung saja ke poinnya. Kenapa harus berputar-putar seperti ini?” dia terlihat kesal.

Aku tertawa melihat raut wajahnya.

“Oppaa, harusnya kau langsung paham begitu aku memesan americano malam ini, aigooo.”

Aku mencubit pelan pipinya.

“Iya, aku paham. Berarti kau sudah mau meminum americano lagi, sudah menyukai americano lagi, dan sudah mau membuka hatimu lagu untuk orang lain. Tapi yang aku tidak paham adalah status kita.”

“Tentu saja kita...tetap berpacaran. Tapi, benar-benar berpacaran. Bukan karena kau sedang membantuku.”

“Kau serius?” tanyanya.

Aku mengangguk.

“Lalu Sungmin? Kau...masih mencintainya?”

“Sungmin oppa...aku masih mencintainya. Tapi aku meletakan cinta untuknya di ruang khusus di hatiku, sama seperti ruang untuk ibuku yang sudah meninggal. Akan terus aku kenang, tapi tidak akan membuatku terperangkap dalam kenangan. Aku tetap mencintainya, tapi aku sudah membuka ruang hati yang baru, untukmu...”

Siwon oppa terlihat terkejut lalu segera memeluk tubuhku erat.

“Jadi...kau membuka hatimu untukku, Hyo~ya?” Siwon oppa melepas pelukan kami lalu bertanya lagi.

Aku tersenyum sembari mengangguk lagi.

“Gumawoo~ saranghae. I love you, a lot,” serunya, lalu kembali memelukku.

Aku tersenyum di balik punggungnya.

“Nado. I love you too,” jawabku, lalu mengecup pipinya lembut.

 

-FIN-

3:50 PM

3 Maret 2013

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet