A Little Thing Called Magic - 4

A Little Thing Called Magic

4

            “Kau.. sedang apa disini?”

            Gadis itu hanya tersenyum lalu membungkuk sopan, membuat lelaki bermarga Lee itu terlihat bingung.

            “Kau mengenalinya, Seungyub-ssi?” tanya Hyungjun memandang kedua manusia yang saling bertatapan, namun hanya satu dari mereka yang terlihat terkejut.

            Seungyub masih terdiam dengan pikirannya. Ia sedang menyelami apa yang sedang ada di dalam otaknya.

            “Oh, never mind. Come in, Krystal-ssi!” ajak Hyungjun ramah. Krystal masih tetap tersenyum melewati Seungyub yang masih mematung di dekat pintu.

            “Jadi ini studiomu, that’s cool!” puji Krystal yang saat ini sudah duduk berhadapan dengan Hyungjun.

            Hyungjun mengangguk—masih dengan senyumannya. “Bahasa Koreamu fasih, namun dengan aksen yang berbeda. Seperti dia, kameramen di sebelahmu. Dia juga dari Amerika.”

            “Terlalu tampan untuk jadi seorang kameramen.”

            Seungyub menoleh ke arah Krystal, “That’s my hobby, and now that’s became my job.”

           “Yah, Seungyub-ah! Jangan kaku seperti itu, harusnya kau menyambut Krystal Jung ini dengan ramah.”  Ucap Hyungjun hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

            Seungyub berdiri, membungkuk. “Baiklah, lebih baik aku menunggu di luar saja.”

            “Dia kenapa...”

            “Mungkin dia masih terganggu, karena ini hari Minggu.” Ujar Krystal.

            “Ah, benar juga. Anak itu memang kadang keras kepala, sungguh aku minta maaf atas sikapnya tadi.”

            “It’s okay.” Krystal tersenyum simpul.

 

 

****

           

            Seungyub duduk di dalam studio, sambil memegang gelas kertas berisi kopi panas. Ia menyesap kopinya, lalu memejamkan matanya membiarkan indra perasanya menikmati rasa pahit manis dari kopinya.

            “Apa aku bermimpi? Kurasa tidak, tapi kenapa ini bisa terjadi? Oh, aku bisa gila.”

            “Kau memang sudah gila.”

            Suara itu, suara yang sudah beberapa minggu ini tidak didengar oleh lelaki yang sedang menyelami pikirannya tersebut.

            Gadis pemilik suara itu, ia kemudian ikut duduk di sebelah Seungyub.

            “Long time no see. How are you, Lee Seungyub?”

            “I’m really fine. Mengapa kau bisa ada disini?” tanya Seungyub sambil menatap ke arah lain.

            “Entahlah, manajerku yang merekomendasikan ini padaku. Memangnya kenapa? Kau tidak merindukanku?” canda Krystal dengan senyuman khasnya.

            Seungyub tersenyum datar. “Tidak apa-apa. Jadi, kau tinggal dimana? Berapa lama kau akan disini?”

            “Kau ingin menawarkan tempat tinggal untukku?” Krystal terkekeh. “Aku tinggal di 521 Cheongdam-dong, Gangnam-gu, Seoul. Mungkin hanya beberapa minggu saja.”

            Seungyub mengangguk.

            “Kau tinggal dimana? Bolehkah aku ke apartemenmu?”

            “Untuk apa?” Seungyub menyesap pelan kopinya lagi.

            “Ayo katakan. Dimana?”

            “Di apartemen sekitar Apgujeong.”

            Krystal mengangguk-angguk senang. Ia melirik jam tangannya, sudah menunjukkan pukul 11.45. “Seungyub, kau mau makan siang?” ujarnya kemudian berdiri.

            “Tentu, kalau kau dengan baik hati menawarkannya untukku.” Seungyub menyusul berdiri, lalu berjalan mendahului Krystal di belakangnya.

            “Hey, tunggu aku!”

 

 

****

           

            The House of Jajangmyeon, Seoul.

 

            “Wah, kau benar-benar datang, Choi Sulli!”

            Sulli hanya diam, kemudian duduk di hadapan lelaki berambut cokelat terang yang tengah menyunggingkan senyuman yang sudah tak asing bagi Sulli.

            “Cepat, apa yang ingin kau bicarakan? Kau sudah menggangu hari liburku.”

            Lelaki itu hanya memutar bola matanya. “Oh, jangan terlalu cepat seperti itu. Aku masih ingin berlama-lama melihat wajah cantikmu itu.”

            “Yah, Kim Jongin! Aku tidak ingin bercanda!”

            “Bahkan aku tidak bercanda.” Lelaki bernama Jongin itu menyentuh pipi halus Sulli pelan, “Bagaimana kabarmu?”

            Sulli menepis tangan Jongin, yang disambut sunggingan berbahaya dari lelaki itu.    

            “Jangan sentuh aku lagi.”

            “Baiklah. Kau tahu? Aku mengajakmu kesini karena aku ingin memberi tahu bahwa kakak tersayangmu, Ara, yang membuat keputusan padaku untuk mengakhiri hubunganku denganmu.”

            Sulli tertawa hambar. “Jadi hanya ini? Apa kau menyuruhku ke sini hanya untuk memberitahu tentang jalang itu? Kau hanya membuang waktuku saja.”

            “Dan sekarang dia, hamil.”

            Butuh beberapa detik, Sulli mencerna kalimat tersebut.

            “Mwo?! Yah, jinjja nappeun namja!” umpat Sulli, matanya mulai berkaca-kaca.

            “Wow, ternyata kau peduli padanya. Kupikir kau sangat membenci kakak manismu itu.”

            Sebuah tamparan dengan sekuat tenaga atas kemarahan, dilayangkan ke wajah Jongin.

            “Kau sama saja dengannya! Otak kalian terbuat dari apa sebenarnya? Oh astaga...” Sulli berdiri hendak meninggalkan lelaki yang tengah memegangi sudut bibirnya itu.

            “Dia, mungkin sudah di rumah. Sedang menangis.....” ucap Jongin santai dan menusuk.

            “Kurang ajar!”

 

****

           

            Seungyub dan Krystal hendak memasuki sebuah cafe yang berisikan menu spesial Jajangmyeon di The House of Jajangmyeon.

            “Kau tahu darimana tempat ini?”

            “Aku hanya mendengar rekomendasi banyak orang. Dan tentu saja karena nama tempatnya yang ditulis dengan bahasa Inggris, membuatku mudah membacanya.”

            Kemudian Seungyub melihat seorang gadis yang sedang menampar pria di dalam cafe tersebut. Ia melihat seseorang yang akhir-akhir ini sering menemaninya. Kemudian gadis itu terlihat menangis saat meninggalkan pria berambut cokelat terang itu—yang juga pernah dilihat Seungyub di suatu tempat.

            Gadis itu setengah berlari keluar dari tempat itu, sambil mengusap pipinya yang berlinang air mata. Ia melewati Seungyub.

            “Sulli-ya!”

            Namun gadis itu tidak menggubris sapaan dari Seungyub, gadis itu hanya berjalan cepat melewati Seungyub.

            “Kau mengenalinya?” tanya Krystal ikut menoleh ke arah gadis dengan highlight colorful di rambut hitam lurusnya. “That’s wonderful hair.”

            Seungyub yang hendak berlari mengejar, namun lengannya di tahan oleh Krystal.

            “Kau mau kemana?”

            “Maaf, aku tidak bisa makan siang denganmu, lain kali saja.”

            “Tapi, mobilmu...”

            “Aku akan kembali lagi nanti, kau... makan siang dulu saja. Aku pergi.”

 

 

 

            “Sulli!” panggil Seungyub lalu ia berlari mengejar Sulli yang makin hilang dari pandangannya.

            Seungyub masih mengatur napasnya, ia sudah berlari cukup jauh dari tempat makan tadi. Sekarang ia berada di tempat, bisa disebut sebagai taman. Karena adanya pepohonan yang sebagian dari daunnya ditutupi salju, sebuah tempat yang cukup luas. Terdapat kursi-kursi kayu yang tersebar di taman tersebut.

            Seungyub tersenyum. Tidak cukup sulit mencari Sulli, karena rambutnya yang mudah diingat dan paling mencolok diantara yang lain. Lelaki itu menghampiri gadis yang sedang melamun menatap anak-anak kecil yang dengan riang gembira membuat bola salju bahkan beberapa dari mereka yang bermain perang salju.

            “Mau sampai kapan melamun disini? Tidakkah kau merasa dingin?” ujar Seungyub melepas jaket tebalnya, dan memakaikannya pada Sulli. Lalu ia duduk di sebelah gadis itu.

            Sulli menoleh, matanya sembap. “Mengapa kau mengikutiku?”

            “Aku tidak mengikutimu. Entahlah, aku juga tidak mengerti mengapa aku bisa sampai disini.” Ucap Seungyub mengelak pertanyaan Sulli.

            “Terimakasih..”

            “Untuk apa?”

            “Untuk tidak membiarkanku beku karena melamun disini.”

            “You’re stupid.” Sahut Seungyub .

            Sulli menginjak sepatu Seungyub. “Yah! Jangan mengataiku bodoh, kau yang bodoh! Meninggalkan gadis tadi sendiri, lalu membiarkan jam makan siangmu tersita hanya untuk kesini.”

            Seungyub meringis. “Ah, benar juga.”  Kemudian Seungyub melanjutkan, “Kau tidak bertanya siapa gadis itu?”

            “Untuk apa? Apa itu urusanku? Sepertinya  aku pernah melihatnya, tapi aku lupa dimana...”

            “Mungkin dompetku.” Sahut Seungyub yakin—lebih pada meyakinkan diri sendiri.

            “Kenapa bisa yakin begitu?”

            “Dompetku pernah tertinggal di kedai Jajangmyun, dan sudah pasti kau membuka dompetku. Kalau tidak, kau tidak akan tahu dompet itu milik siapa.”

            Sulli meringis. “Ah, iya. Kau masih ingat.”

            “Dan, lelaki tadi, aku rasa aku pernah melihatnya, tapi dimana ya...”

            Sulli menoleh, ia agak terkejut. “Dimana?”

            Seungyub berpikir sejenak, kemudian ia berseru. “Minimarket! Ah iya, waktu itu dia membeli sesuatu, yah... entahlah untuk kebutuhan pribadinya.”

            “Jinjja, nappeun. Nappeun namja.” Bisik Sulli masih kesal. “Natal tahun ini, apakah seburuk ini?”

            Seungyub menoleh bingung. “Apa maksudmu?”

            “Gadis itu, gadis bodoh itu. Dia hamil,”

            “Siapa? Gadis bodoh?” Seungyub masih terus mengingat-ingat siapa yang sering dipanggil gadis bodoh oleh Sulli, “Ara nuna?”

            Sulli mengangguk, air matanya mulai menetes lagi.

            “Yah, kubilang jangan menangis lagi. Kau terlihat jelek.” Seungyub mengusap pipi Sulli, dengan ibu jarinya. “Bagaimana itu bisa terjadi? Ah, baiklah, lebih baik kau ke apartemenku untuk menjelaskan semua ini, aku akan membantumu untuk mengatasi ini. Oh, salju turun lagi, benar-benar dingin.” Ujar Seungyub sembari menarik tangan Sulli.

            “Tidak mau.”

“Ya! Kenapa tidak?” Seungyub melepas tangan Sulli.

Sulli meringis. “Aku lapar, kau tidak mengajakku untuk makan siang dulu? Di apartemenmu kan tidak ada yang bisa dimakan.”

Seungyub mendengus. “Bahkan hanya sekali kau masuk ke apartemenku, dan kau bisa membuat pernyataan seperti itu?”

Sulli mengerucutkan bibirnya. “Ayolah....”

“Aku tidak mengerti, baru saja beberapa menit yang lalu kau menangis. Dan sekarang...”

“Sudahlah! Aku makan siang sendiri saja!” dengus Sulli jalan meninggalkan Seungyub di belakangnya.

Seungyub hanya tersenyum, lalu berjalan mengikuti Sulli. Tetap di belakang punggung gadis itu.

           

*****

 

            “Malam natal nanti kau kemana?” tanya Seungyub sembari fokus melihat jalanan di balik kemudinya.

            “Busan,” ucap Sulli. “Aku ingin merayakan Natal bersama Ayah dan Ibu,”

            Seungyub mengangguk.

            “Kau sendiri?”

 

            Aku ingin bersamamu.

 

            “Aku? Aku masih bingung,”

            Sulli terdiam, agak heran dengan jawaban lelaki di sebelahnya.

            “Bukankah kau bisa merayakan dengan gadis tadi?”

            Seungyub tertawa, tertawa hambar. “Tidak, kupikir sebaiknya tidak,”

            “Mengapa? Tidakkah dia cantik. Ah, ralat, sangat cantik,”

            “Kau berpikir begitu?”

            Seungyub melihat dari ujung matanya, Sulli mengangguk.

            Setelah pembicaraan itu, hanya keheningan di antara mereka berdua. Dari sepanjang jalanan Seoul yang terlihat putih akibat salju yang terus turun sejak tadi pagi hingga mereka sampai di rumah Sulli.

            Ketika Sulli hendak membuka mobil, Seungyub menahan lengannya.

            “Ada apa?”

            “Tunggu sebentar,” Seungyub lalu keluar lebih dulu dari mobilnya.

            “Dia mau apa?” gumam Sulli bingung.

            Pintu dari sebelah kiri terbuka. “Silakan,”

 “Jadi, kau hanya ingin melakukan ini?” Sulli tersipu lalu turun dari mobil.

Seungyub memasang wajah seriusnya. “Kapan kau berangkat ke Busan?”

“Sekitar 3 hari lagi, ada apa?”

“Aku akan mengantarmu ke stasiun,”

“Tidak usah, aku bisa sendiri,”

Seungyub menggamit kedua tangan Sulli. “Tapi aku ingin melakukannya,” lelaki itu menghela napas,”Bukan gadis itu yang kuinginkan, tapi kau-lah yang aku inginkan untuk menghabiskan malam natalku nanti,”

            Sulli terdiam. Rasanya seperti ada kupu-kupu yang berterbangan di perutnya. Ada rasa tersendiri di dalam benaknya.

            Seungyub tersenyum. Perlahan ia melepas genggamannya. “Sampai jumpa,” Ia melambaikan tangannya sebelum masuk ke mobil.

            Sulli menatap kepergian mobil Seungyub, sampai mobil itu hilang penglihatannya. Ia tersenyum simpul, tersenyum akibat apa yang dikatakan lelaki tadi, lelaki yang baru ia kenal sekitar dua minggu. Lalu ia berbalik dan masuk ke rumahnya.

 

            “Aku pulang....,”

            Baru saja melepas sepatu, Sulli sudah disuguhi pemandangan yang tidak disangka-sangka. Yoo Ara, kakak tirinya, berada di pangkuan lelaki brengsek itu.

            Sulli berlari mendekati kakaknya. Dan menyadari darah segar mengalir dari pergelangan tangan, juga di kedua paha dan betis gadis itu. “ADA APA DENGANNYA? APA YANG KAU LAKUKAN!” Sulli meremas pakaian yang dikenakan Jongin,”YA! JAWAB AKU!? ADA APA DENGANNYA!”

            Jongin menggeleng-gelengkan kepalanya, lelaki itu menatap nanar gadis yang lemah di pangkuannya.

 

 

TO BE CONTINUE

credit poster by http://cafeposterart.wordpress.com/

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Sapphiref
#1
Chapter 5: agak kurang greget jiz~_~ tapi keren kok wkwk jadi inget sama supird /?
Sapphiref
#2
Chapter 2: cool keep writing ne^-^)9