that night..

Give me a Sign

 

---

 

 

“Sehun-ah, stereomu tak bisa dinyalakan...”

 

Itu adalah kalimat terakhir yang kukatakan malam itu. Suara selanjutnya, suara paling mengerikan yang pernah kudengar seumur hidup. Lalu terdengar teriakan. Satu orang, dua orang. Terlalu banyak teriakan hingga aku tak mampu mengenali suaraku sendiri, suara Sehun, atau apa pun. Aku merasakan benturan kuat di sisi kepala. Tak ada rasa sakit, hanya sebuah sentakan kuat yang tak bisa kugambarkan.

 

Kemudian gelap.

 

Dan hening.

 

Semua suara tertelan ke perut bumi.

 

 

---

 

 

Aku terbangun oleh sebuah sentakan. Kesadaranku kembali ke tempatnya dan rasa awas menyergap. Aku berada di sebuah ruangan serba putih, terduduk menyandar di dinding. Tubuhku terasa begitu dingin, hampir mati rasa, dan kuduga itu diakibatkan oleh keringat yang membasahi pakaian.

 

Lamat-lamat kusadari, aku tak sendiri di sana. Langkah-langkah kaki berseliweran tak teratur ke segala arah. Terburu-buru. Penuh kepanikan dan tak seorang pun melambatkan langkah untuk memberi perhatian padaku, seolah-olah aku tak terlihat.

 

“Perdarahan di sebelah sini!”

 

“Tambah obat penenangnya!”

 

“Seseorang, lakukan napas buatan!”

 

Teriakan terdengar di mana-mana sementara aku menjelajahi ruangan. Para pemilik langkah-langkah cepat itu berlabuh di satu tempat, di banyak tempat tidur di sana. Aku melihat tubuh tak berdaya di salah satu tempat tidur, berdarah, terluka, merintih, dan mencari pelampiasan rasa sakitnya dengan erangan memilukan. Kulihat perawat, para pemilik langkah, berusaha meredakan penderitaannya dengan menyuntikkan cairan bening lewat pembuluh darah. Perlahan tapi pasti, sang pasien tenang.

 

“Tenanglah, Baekhyun-sshi, kami akan mengobatimu...” kata sang perawat.

 

Pasien bernama Baekhyun itu hanya mengerang, mengatakan apa pun yang dimaksudkan dengan putus asa. Ia tak sendirian di sana. Tubuh-tubuh lain bergelimpangan di tempat tidur lainnya. Dalam kondisi yang sama atau lebih mengerikan. Beberapanya sedang ditangani, dibebat perban atau plester. Seorang wanita meraung-raung menahan perih luka di sikunya, seorang anak menangis keras, seorang pria menolak diobati karena terlalu menyakitkan rasanya ketika permukaan kapas beralkohol membasuh lukanya.  

 

Melihat jumlah korban yang berjatuhan cukup banyak, kupikir sebuah kecelakaan besar pasti sudah terjadi. Mungkin melibatkan banyak kendaraan. Mungkin...

 

Ya, Tuhan... SEHUN?!

 

Otakku bereaksi lambat. Bagaimana bisa aku melupakan Sehun? Di mana dia?

 

Aku mendatangi setiap tempat tidur. Dan kutemukan dirinya tengah tergolek tak bergerak di tempat tidur paling dekat dengan dinding. Terluka di sisi wajah dan belum diobati. Darahnya mulai mengering, menghitam. Pelipisnya memar. Kepalanya pasti sudah menghantam sesuatu dengan keras. Bagaimana pun, aku merasa lega saat kulihat dadanya masih bergerak naik turun dengan ritme teratur namun hembusan napasnya sangat lemah untuk menghangatkankan jemariku yang sepenuhnya mati rasa. 

 

Dengan tangan gemetar, aku mengguncang bahunya. Tak ada reaksi.

 

“Se-Sehun-ah...” panggiku. “Sehun-ah, bertahanlah, Sehun-ah. Aku ada di sini” aku mendongakkan kepala, melihat ke sekeliling ruangan. Pada kekacauan yang sedang terjadi. Kenapa tak seorang pun memperhatikan Sehun-ku. “Seseorang! Tolong selamatkan Sehun! Tolong selamatkan dia!” teriakku sekuat tenaga. “Seseorang!!!”

 

Tak seorang pun mendengarku.

 

Mempedulikanku.

 

Sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing.

 

Seseorang berjubah putih akhirnya berlabuh ke sisi Sehun. Name tag-nya bertuliskan Zhang, seorang dokter. Syukurlah, Sehun sudah jauh lebih aman sekarang. Dr.Zhang seseorang yang bisa diandalkan. Tangan terampilnya memeriksa sekujur tubuh Sehun, menandai luka-luka yang bisa ditemukan. Ia mengernyit saat menekan bagian rusuk, merasakan kejanggalan di sana. Beberapa patahan atau mungkin ...

 

Dengan cekatan ia mengisi kartu penanda yang dipasang di kepala tempat tidur Sehun. Yellow code. Perdarahan ringan, patah tulang rusuk, dan..

 

“Minseok hyung!” panggil dr.Zhang. Seorang perawat berbaju biru berlari ke arahnya dengan memeluk sejumlah peralatan pengobatan. “Bersihkan lukanya dan segera bawa ia ke dr.Do. Lakukan penatalaksanaan”

 

“Baik” jawab Minseok tanggap.  

 

Aku melihat kaus Sehun disobek. Bau alkohol menguar. Perawat lainnya datang membawa benda-benda yang diperlukan untuk mengobati luka-lukanya.

 

Aku terduduk di sana. Tak melakukan apa pun kecuali menangis keras.

 

Tak ada seorang pun mempermasalahkan tangisanku.

 

Tak seorang pun peduli.

 

 

---

 

 

Sejam setelahnya, kutemukan diriku memandangi tubuh Sehun terbaring di tempat tidur kamar perawatan. Kondisinya sudah jauh lebih baik, semua lukanya sudah diobati. Kedamaian membayangi wajah teduhnya. Kubayangkan senyumnya, tawanya, kehangatan yang selalu menaungi di setiap tatapannya padaku di hari-hari sebelumnya. Kuingat setiap detiknya karena setiap saat aku bakal melupakannya.

 

Untungnya, masih kuingat jelas semuanya bagaikan baru terjadi beberapa saat yang lalu. Coba kupendam semuanya tak akan kubiarkan menghilang begitu saja. Hanya kenangan itu yang kupunya sekarang. Aku tak punya banyak hal dengan semua keterbatasan yang kumiliki sekarang.

 

Sial.

 

Jika saja aku tak mempermasalahkan stereo itu, semua pasti berjalan baik-baik saja.

 

Kecelakaan besar itu tak akan terjadi.

 

Sehun pasti masih hidup. Baekhyun-sshi, semua orang, tak perlu merasakan kesakitan itu.

 

Ini salahku.

 

 

---

 

 

Bahuku ditepuk seseorang.

 

Aku tak merasakan kedatangannya.

 

“Luhan...” panggil sosok itu. Pakaian putihnya terlihat begitu cemerlang, hampir membutakan mata. Sesuatu dalam suaranya membuat bulu kudukku merinding. Hanya senyum tulusnya yang membuatku tak menyergah tangannya dan berteriak ketakutan. Takut, karena aku tak menangkap tanda-tanda kehidupan dalam sorot matanya. Hanya tatapan dingin seolah hidup tanpa belas kasihan. “Ayo...”

 

“Tapi Sehun-ie...” aku melihat ke arah Sehun dan kembali pada sosok itu, meminta penjelasan.

 

“Sehun akan baik-baik saja.”

 

“Kau... yakin?”

 

“Percaya padaku. Belum saatnya.”

 

Kata-kata itu sudah cukup menjamin apa yang kuinginkan. Aku mendesah dan mengangguk susah payah. Dengan langkah gontai, aku berjalan di belakang sosok itu, keluar dari ruangan, melintasi koridor, ke sebuah ujung yang belum pernah kuketahui keberadaannya.

 

Kami melintasi korban-korban kecelakaan yang tak beruntung. Perawat Minseok kulihat mendorong sebuah troli, sesosok tubuh yang ditutup kain. Tangan pemilik tubuh tersibak dari penutupnya, memperlihatkan jemari dengan cincin di jari manisnya.

 

Aku tahu cincin itu.

 

Pemberian Sehun sebagai tanpa peresmian hubungan kami.

 

Itu tubuhku.

 

Samar-samar dapat kudengar tangis orang-orang yang kukenal di ujung koridor di belakangku. Orang tuaku dan Jongdae dan semua orang yang kukenal. Menangisi kemalanganku. Seorang anak, seorang adik angkat, seorang teman.

 

Mereka harusnya tahu, ada satu sosok lagi yang harus mereka lihat, pastikan keselamatannya. Untukku. Tapi apa daya, tak seorang pun tahu soal Sehun karena aku terlalu pengecut mengungkapkan keberadaannya pada semua orang yang berpikir Luhan sang anak baik, tak akan bertindak di luar batas kenormalan. Sosok yang mereka lihat selama ini, sebuah kepalsuan yang kujaga sepenuh hati.

 

Ini yang kusesali sekarang. Seandainya aku lebih jujur, lebih terbuka mengenai kekuranganku ini, maka Sehun tak akan melewatkan harinya sendirian setelah ini. Hanya aku yang dimilikinya sejak dia keluar dari panti asuhan setahun lalu. Sehun yang berusia 19 tahun, yang menjemput kehidupan dewasanya bersama mantan pengasuhnya ini. Yang mengira masa depan yang panjang telah menanti mereka di Busan sana.

 

Sehun-ah, maafkan hyung...

 

“Luhan, saatnya pergi” kata sosok itu mengingatkanku kembali, yang kini kukenali sebagai malaikat maut. Baru kutahu jika mereka tak semenakutkan penggambaran tugas mereka, menjemput nyawa manusia kembali ke pelukan Tuhan.

 

“Boleh aku ajukan satu permintaan terakhir? Ijinkan aku berada di sini sampai Sehun bangun. Aku ingin melihatnya sadar. Aku... ingin menemaninya.”

 

Sosok itu menggeleng. “Maaf, waktumu sudah tiba. Kita tak bisa menunggu lebih lama lagi. Kau juga tahu penantianmu tak akan merubah apa pun, kan?”

 

Sehun tak akan bisa melihatku saat bangun nanti.

 

Ya, apa yang kuharapkan? Percuma saja.

 

Aku sudah mati.

 

Kami tiba sebuah ujung Kulihat Baekhyun berjalan gontai di belakang sosok menyilaukan lain, tersenyum lemah padaku. Aku membalasnya dan ikut bersimpati atas nyawanya yang akhirnya tak terselamatkan.

 

 

 

---

Blame Breaking Benjamin for this.

Thankyou for reading.. ^^

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
amusuk
#1
Chapter 1: reread oohh reread
seideer #2
Chapter 1: sedih ne huhuhuhuhuuuu..
baekhyun mati lagi...
inkysky
#3
Chapter 1: Sedih ya, kok jadi nangis gini.
Dan anehnya yang kusedihkan malah kematian si Baekhyun. Entahlah. Ini pasti karena lagu yang kudengarkan aaah--kalau soal angst...aku lemah ihiks ; w ; good job.
amusuk
#4
Chapter 1: sayang aku lagi ga pengen bersedih2 di akhir #apanya
ini ironis banget, apalagi pas tahu klo Sehun dari panti asuhan dan dgn keputusannya... Ah, blame my imaginary angst now for making me emphasize the feel T.T