Hurt. (Prologue)

Description

Menjadi single-parent di usia muda tak pernah terpikirkan oleh Min Jae-Hee. Setelah ditinggal Choi Minho, ia nyaris tak punya alasan lagi untuk hidup. Namun setelah kelahiran putrinya, Choi Minhee, ia seakan menemukan kekuatan yang telah lama hilang dari dirinya...

Meskipun berantakan, Jae-hee merasa hidupnya nyaris sempurna dengan adanya Min-hee. Namun, kesempurnaan itu tak bertahan lama, hingga kekuatannya itu mempertemukannya dengan masa lalu...

Foreword

Tentu saja aku masih ingat saat itu. Pagi itu, musim semi menyambut kami dengan begitu hangat. Kami duduk di pinggir sungai Han sambil mendengarkan lagu You Remind Me milik Usher. Itu hanya berselang dua bulan sebelum ia debut.

            Aku sengaja mengecilkan suara walkman, agar ia bisa mendengar pertanyaanku.

            “Kalau misalnya suatu saat nanti Oppa debut,” aku menerawang, memandangi bayangan gedung-gedung yang memantul diatas permukaan air, “apakah kita masih bisa seperti ini?”

            Ia terdiam. Dari gerak matanya, aku tahu dia sedang mencari jawaban yang tepat.

            “Aku…tidak tahu.” Senyum tipis tersungging di wajahnya.

            Aku hanya bisa tersenyum gelisah. “Aku tahu apa yang akan menjadi jawaban Oppa. Oppa pasti akan sangat sibuk nanti. Oppa pasti tak akan sempat mengunjungiku, meneleponku, atau malah jangan-jangan melihat wajahku saja, Oppa tidak punya waktu.”

            Ia hanya tertawa, tawa yang lepas. Bagiku—setidaknya untuk saat itu, melihatnya tertawa adalah hal yang paling aku inginkan sebelum aku mati.

            “Kau tahu,” katanya setelah tawanya selesai, “begitu banyak hal yang memenuhi pikiranku akhir-akhir ini. Akan ada banyak perubahan yang terjadi, tentu saja. Termasuk hubungan antara kau dan aku.”

            Senyumku memudar. Kalau kau menyuruhku menulis daftar 10 hal yang paling tidak ingin aku bicarakan dengannya aku rasa topic ini akan berada di puncak daftar. Perubahan hubungan. Aku tak pernah ingin membicarakan ini.

            Usiaku masih 15 tahun ketika itu, sementara ia akan memasuki usia 17. Bagi kami, yang masih sama-sama SMA, hal-hal seperti ini terlalu cepat menimpa kami.

            “Tapi,” ia menyentil dahiku, “tentu saja, aku akan selalu mengusahakan menyisakan waktuku untukmu. Meneleponmu atau menghubungimu via Skype.”

            Senyumku kembali terbit. Namun, aku segera teringat satu hal.

            “Oppa…” aku menerawang lagi, mencari kata-kata yang tepat. “Kalau…kalau seandainya…ada perubahan yang terjadi pada diriku suatu saat nanti…seperti…seperti…”

            Ia menoleh padaku. “Apa maksudmu?”

            “Kau tahu…malam itu…saat kau dan aku…”

            Raut wajahnya berubah. Aku tak berani menatap matanya. “J…Jae-hee…apa…apa kau…”

            Aku berusaha mencairkan suasana. “Tidak, tentu saja tidak!” aku memaksakan tawa. “Aku belum…belum itu kok. Aku hanya bertanya saja…untuk berjaga-jaga…”

            “Min Jae-hee, maukah kau berjanji padaku?”

            Aku tertegun. “J…janji apa?”

            “Jika ada sesuatu yang terjadi padamu, apapun itu, berjanjilah padaku untuk membiarkan aku tahu. Kau mengerti?”

            Tidak. Tak mungkin aku menepati janji itu. Namun, tatapan itu seakan menggerakan kepalaku untuk mengangguk.

            Aku tak mengingat banyak saat-saat beberapa detik setelah aku mengangguk. Wajahnya semakin mendekat padaku, pandanganku semakin menggelap, dan bibirku dan bibirnya menyatu, tak bisa bergerak lebih mendekat lagi.

            Aku tak ingat pernah berciuman lagi dengannya setelah itu. Yang aku ingat hanya satu, diantara semua janji yang pernah aku ucapkan padanya, hanya itulah satu-satunya janji yang tak pernah aku tepati.

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet