Page One (indonesian version)

One Day To Love

“Johaeyo, kamu bukannya tak tahu kan?” kataku bingung dengan pertanyaannya yang mungkin ke sejuta kalinya padaku.

Dia meringis, mengacak-acak rambutnya sepertinya kesal dengan jawabanku. Ku miringkan kepalaku semakin tak mengerti, apakah kata-kataku begitu sulit dipahaminya? Kurasa aku sudah menjelaskannya dengan kalimat paling akurat yang pernah ku tahu. Aku mendesah kesal sendiri mengamati reaksinya.

“Memang sebegitu sulitnya ya kata-kataku? Kenapa kau seakan tak mengerti juga…”

Dia terbelalak memandangku, “Nan??? Tak mengerti???Yak!!!…kau yang juga tak memakai otakmu dengan benar! Bukankah sudah kubilang aku tak suka padamu? Lalu kenapa kau masih menempeliku seperti permen karet?? Pergilah!!!” teriaknya begitu tak berperasaan. Mengusirku seperti aku ini seekor lalat yang mengganggu makanannya.

Aku  cemberut, rasa sakit hatiku sudah jauh berkurang sejak penolakannya yang pertama dan ini adalah yang ke…hehe mungkin terlalu banyak hingga cukup membuatku kehilangan harga diriku. Tapi aku sungguh tak peduli. “geundae…nan johaeyo.” Ulangku menuai emosinya lagi.

“Dan jawabannya akan tetap sama meski kau ulangi hingga kau bahkan lupa apa arti kalimat itu dari kepalamu. Jadi jangan lagi buang waktumu…arasso???” peringatnya. Mengambil ponselnya dari atas meja dan akan beranjak meninggalkanku.

“Kenapa kau tak suka padaku?” tanyaku berusaha menghalanginya pergi. Meski aku masih tetap duduk di tempatku yang sama tanpa memandangnya.

Dia tertawa tak habis pikir dengan apa yang baru saja kulontarkan padanya, tapi itu berhasil membuatnya kembali mencari wajahku walau dia tetap berkeras tak mau kembali ke kursinya. “Kenapa? Kenapa aku tak suka padamu? Kau bercanda…haruskah kujelaskan padamu satu persatu?? Kau tak merasa itu akan semakin mempermalukanmu?”

Aku mangangkat wajahku menatapnya yang seakan sedang menantangku, aku tertegun sesaat. Separuh hatiku menciut karena aku hampir bisa menebak apa yang akan dijabarkannya padaku tapi aku tak punya apapun lagi selain keberanianku. Aku harus melakukannya sampai akhir. Itu janjiku pada diriku sendiri. “Marhaebwa! Tak mungkin begitu mustahilnya untukmu menyukaiku.”

Dia tersenyum lagi, terkejut dengan kepercayaan diriku. “Jinjaro?” dia menuntut kepastianku lagi sebelum apa yang akan diucapkannya membuatku menyesal, tapi aku hanya mengangguk sekali melenyapkan keraguannya.

“Geurae, tapi jangan menangis setelah mendengarnya ok? Dan ini adalah pertama dan terakhir kalinya kau mendengar ini. jadi setelah ini…aku tak mau melihatmu lagi berkeliaran di sekitarku. Mengerti?” dia mulai mengajukan syaratnya.

Aku mengangkat bahu, “Bisa kita dengar dulu apa itu? aku akan memikirkannya.”

Dia kembali terbelalak, “Yak!!! Jinja!” dia memandang langit-langit, tampak berusaha mencari cara mengendalikan emosinya kali ini. dan setelah beberapa saat dia mengangguk-angguk sepertinya mengabaikan keberatanku akan syaratnya. “Arasso! Lagipula kalau setelah ini kau masih tak tahu malu mengejarku, aku yakin kau pasti salah satu orang yang bermasalah.”

Aku tersenyum, sama sekali tak merasa tersinggung. Aku sudah cukup senang dia tak membuatku berjanji menghilang dari hidupnya.

“Dengarkan baik-baik, pertama alasan aku tak menyukaimu adalah karena kau tak tahu malu mengejarku seperti ini. kau tahu ini sudah 6 bulan lebih…mestinya kau sadar bagaimana lelahnya aku menghadapimu. Lagipula bagaimana laki-laki akan menyukai perempuan yang begitu bebasnya mengumbar perasaannya di depan semua orang berkali-kali. silahkan kau menyebutnya emansipasi…tapi maaf aku orang dulu, dan sikap sepertimu bukan salah satu yang kuanggap sebuah daya tarik dari seorang perempuan..” dia tersenyum mengakhiri penjelasan pertamanya, berusaha menangkap reaksiku tapi aku masih diam tak bergeming. Ini salah satu alasan yang bisa kuprediksi jadi aku tak terkejut.

“Lalu apa yang kedua?” Tantangku dengan wajah yang kubuat sedatar mungkin meski rasanya hatiku mulai berdenyut tak nyaman.

Dia tersenyum, rupanya mempersiapkan alasan lain yang ebih kejam daripada yang pertama, “Kedua…kau bisa melihatnya dengan cukup jelas tanpa aku harus mengatakannya padamu. Kalau aku menyukaimu aku butuh yang bernama chemistry. Dan jujur saja aku sama sekali tak merasakannya saat pertama kali bertemu denganmu hingga sekarang. jadi apa yang kau harapkan? Kau tak bisa terus memaksakan perasaanmu kan? dan ketiga, untuk menyukai seseorang…kau sama sekali bukan tipeku. Suka berlarian kesana kemari, memakai pakaian serampangan bahkan saat kau harus bekerja paruh waktu di gedung yang begini besar dan tertawa tanpa peduli siapa di sekitarmu. Aku bukannya bilang kau buruk, hanya saja bukan seperti itu yang kusukai. Apa kau masih belum puas?” tanyanya padaku setelah penjelasannya yang panjang.

Aku mendesah, terdiam di tempat dudukku. Ya…dia sudah menyebutkan semuanya. Hal-hal yang kulakukan dan itu ternyata bukannya jadi pesonaku tapi membuatnya sakit mata bahkan untuk melirik ke arahku. Lalu apa yang harus kulakukan? Aku menatap ujung meja di depanku berpikir keras…aku tak boleh menyerah sekarang, meski ini sudah terlalu menyakitkan untukku entah kenapa hatiku tak membiarkanku menyerah secepat ini.

“Jadi kau pikir kau sama sekali tak menyukaiku?” tanyaku, berusaha mengulur waktu sambil berpikir.

“Berpikir? Aku sama sekali tak perlu melakukannya. Aku tahu aku tak mungkin menyukai gadis sepertimu jadi…bisakah kau menerima kenyataan dan melupakanku?” dia memperjelasnya lagi, memberiku saran yang paling kubenci.

“Tapi…tapi…tapi kau sama sekali tak mengenalku, bagaimana bisa ku memutuskan kalau kau tak akan menyukaiku?” kataku semakin panic.

“Percayalah! Aku cukup mengenalmu.” Balasnya tenang, rupanya dia mulai berpikir dia sudah akan menang kali ini.

Ahhh….ini menyebalkan, jebal! Otthokkae??

Dia tersenyum, sudah memastikan kemenangannya. “Geureom…” Dia sudah beranjak menyingkir melihatku yang tak juga menemukan kata-kata untuk menahannya lagi.

“jankamman…jankammmanyo!!!” Pekikku tanpa sadar, seraya bangkit dan berdiri menghalangi langkahnya. Aku menata hatiku, ada satu hal yang tersisa…satu hal tempatku bergantung untuk terakhir kalinya, “Beri aku waktumu…seminggu…” kataku masih mencoba memastikan ideku sendiri dalam otakku.

“Mwo!!! Seminggu???” Dia berteriak, hampir mendekati histeris menurutku. ya…dia keberatan. Aku tak perlu memintanya menjelaskan apa arti keterkejutannya itu.

“Ah..aniyo..aniyo…sehari! ya…cukup sehari dari waktumu.” Ralatku cepat, aku tak mau membuat keadaan bertambah buruk dengan membuatnya berpikir bahwa permintaanku sama sekali tak masuk akal.

Dia melipat tangannya, curiga dengan ideku yang muncul serabutan saat dia hampir berhasil membuatku enyah dari hidupnya. “Wae?? Kenapa aku harus memberimu satu hari? Kau tak berpikir semuanya sudah selesai sampai disini?”

“Arayo...tapi, setidaknya beri aku waktu sehari bersamamu. Kalau aku tak bisa membuatmu menyukaiku aku tak akan lagi mengangganggu hidupmu.” Aku mengatakannya dengan tatapan sama sekali tak yakin, ya!!! Siapa yang mau kubodohi…selama ini dia bahkan hanya merasa aku mengganggunya dan sehari lagi bersamanya aku pasti sudah gila jika itu akan merubah pemikirannya tentangku. Lalu apa yang harus kulakukan selain itu? aku sudah hampir tamat.

“Kau sadar dengan apa yang kau katakan? Enam bulan dank au sama sekali tak lebih dari fans ribut yang membuatku pusing? Apa bedanya satu hari lagi bersamamu. Berhentilah melakukan hal-hal yang tak berguna. Kembalilah pada hidupmu, aku yakin itu lebih menguntungkan untukmu.” Dia menepuk kepalaku seakan dia sedang mengingatkan anak SMP yang ketahuan membolos. Dan aku semakin membenci itu.

“Aku tahu, tapi aku mau mencobanya.” Tukasku lebih mantap. Aku menyadari hanya ini usahaku yang tersisa untuk membuatnya menyukaiku.

“Mari kita akhiri disini, aku benar-benar sibuk kalau kau belum tahu.” Dia meletakkan salah satu tangannya di bahuku dan mendorongku minggir dari hadapannya. Masih tertegun aku baru menyadari dia hampir di luar jangkauanku setelah beberapa langkah.

Aku sontak berbalik, membangunkan kesadaranku dan berteriak padanya. “satu hari! Dan aku akan benar-benar menghilang dari hidupmu. Aku tak akan melihat ke arahmu lagi, tak akan bicara padamu lagi dan tak akan berusaha mengenalmu lagi. setelah satu hari itu…” aku menelan ludah, berharap aku tak pernah mengatakannya. “untukmu, tak akan ada lagi seseorang bernama Sin Oh Yun.”

 

Aku mengetukkan sepatu flatku di depan pintu masuk Theme Park, menunggunya yang tak juga muncul sesuai janji waktu bertemu yang telah disepakati. Aku hanya bisa menatap teleponku berkali-kali barangkali dia memberi kabar jika dia akan terlambat kali ini. tapi sesuai perkiraanku, dia tak akan repot-repot memberitahuku agar aku tak mengkhawatirkannya. Dia memang tak pernah peduli padaku, hingga kadang membuatku bertanya-tanya sendiri bagaimana aku bisa begitu menyukainya. tapi bagaimana lagi, sekejam apapun dia memperlakukanku aku selalu menemukan alasan untuk membuatku tetap menyukainya. bagaimana aku tak menyukainya jika dia sekeren itu, bersuara sebagus itu dan tertawa semanis itu. kemarahanku akan sikapnya sudah pasti menguap lenyap di detik pertama aku melihat wajahnya. Jadi sia-sia saja jika aku memutuskan untuk tak mengejarnya, hatiku lebih tak nyaman jika aku tak melihatnya.

Aku melirik jam tanganku lagi, sudah hampir siang dan aku sudah berdiri hampir setengah jam. Aku mendesah, ini hari terakhirku bersamanya. Ya…aku bisa memastikan itu. sejak awal aku tahu rencanaku terlalu absurd untuk bisa sukses. Karena itu, harapanku satu-satunya hanyalah dia datang tepat waktu dan membuat hari ini cukup panjang untuk kuhabiskan dengannya. Aku berbalik memandangi pintu masuk yang sudah mulai ramai orang…memandangnya cemas kalau-kalau aku tak jadi masuk kesana.

“berhentilah berwajah seperti itu, kau seperti orang yang sedang menunggu pacarmu yang mungkin tak datang. Dan aku tak mau dianggap orang yang bertanggung jawab untuk itu.” Suara itu sontak membuatku berbalik cepat, hampir saja menabrak sang pemilik suara itu.

“Ah! Oppa!!” jeritku kegirangan, semua keresahanku hilang sudah melihatnya. dia datang! Itu sudah lebih dari cukup.

“Oppa?? Hah! Kita seumuran, jangan membuat orang lain salah paham.” Koreksinya tajam padaku.

“Ye…ajusshi…” Aku menurut seraya menundukkan badanku sedikit.

Dia tiba-tiba mendelik padaku, “Yak!!! Jinja!! Kau bilang apa?”

Aku hanya tertawa keras melihat raut wajah kesalnya, entahlah…aku tahu dia marah padaku tapi aku tak keberatan. Dia bahkan melakukannya dengan begitu imut. Aku bahkan merasa mungkin itu adalah salah satu agyeo nya yang paling manis. Lihat kan?? aku pasti sudah siap masuk rumah sakit jiwa.

“Kajja!” Seruku senang mendahuluinya menuju pintu masuk. Aku benar-benar tak sabar untuk segera menghabiskan waktuku bersamanya. Ah…aku benar-benar merasa aku dan dia sedang berkencan.  Dengan bersemangat aku segera menuju tempat penjualan tiket, namun semuanya berjalan lancer hingga saat aku akan mengeluarkan uangku.

“Gunakan ini saja.” Dia sudah mengeluarkan salah satu kartunya, membuatku terpaku bersama dompetku yang masih separuh terbuka.

“Ah gwencanha…biar aku saja..” Kataku mencoba menolak.

Dia menatapku tanpa ekspresi apapun, “jangan samakan aku denganmu, aku punya cukup banyak harga diri untuk tak membiarkanmu membuatku harus menggunakan uangmu. Jadi kalau kau mau hari ini tetap jadi milikmu, tututi saja apa kataku.” Kemudian dia kembali beralih pada loket tiket masuk yang sudah mengembalikan kartunya bersama dengan dua lembar kertas yang dibelinya.

Aku senyum-senyum sendiri melihatnya, membuatnya tampak heran dengan reaksiku.

“Wae??”

Aku menggeleng masih tak bisa menghilangkan senyum di bibirku, “Aniyo…rasanya seperti benar-benar kencan…haengbokhae…”

Matanya terbelalak, “YA!!!! Kau benar-benar….”Dia berusaha menahan dirinya untuk tak meledak, “Aish…Jinja! Kajja! Aku pasti sudah gila setuju dengan semua ini.”

Mengabaikanku yang masih sibuk dengan fantasi liarku, dia menerobos tubuhku bergabung dengan keramaian yang sedari tadi tampak dari luar. Membuatku harus berlarian mengejarnya dengan kakiku yang pendek. Sungguh hari ini aku akan melupakan semua hari terakhir ini dan apapun yang dikatakannya nanti aku akan berusaha memaafkannya. Dia ada disini, bersamaku dan aku akan membuat hari ini hari terakhir terbaik yang pernah kumiliki.

“Kenapa harus di tempat ini? kenapa semua gadis ingin pergi kencan disini? Apa mereka pikir teriakan histeris dan tawa lebar mereka membuat laki-laki jadi terkesan? Pasti mereka sudah membaca artikel yang salah.” Tanggapnya skeptic.

“histeris? Tawa lebar?” aku menggaruk-garuk kepalaku berpikir apa itu ada hubungannya, “kenapa laki-laki harus terkesan dengan hal semacam itu?”

“Bukankah itu intinya, kau kelihatan heboh dengan semuanya dan perempuan pikir itu hebat untuk ditunjukkan. Apa gadis-gadis sepertimu merasa itu ekspresi yang menyenangkan untuk dilihat?” jelasnya dengan kata-kata semakin tak manusiawi.

Aku memaksakan diri untuk tak mencibir ke arahnya, sebenarnya dimana laki-laki ini dilahirkan? Apakah di tengah pertempuran berdarah tanpa sedikitpun kedamaian dan salah satu cara membunuh seseorang adalah dengan kata-kata yang mematikan? Sungguh sulit dipercaya.

Aku menarik nafas, meredakan darahku yang mulai naik. Aku sungguh ingin membuat kenangan yang menyenangkan hari ini. “kau tahu, itu hampir sama saat kau berakting di depan kamera dan ribuan fans meneriakimu gila-gilaan. Apa kau tak merasa jantungmu berdetak lebih cepat? Bukankah kau detik itu juga merasa lebih bersemangat.” Aku melihatnya mempertimbangkan, “Dan saat kau bersama seseorang yang kau sukai dan ternyata kau bisa membuatnya bahagia, pasti kau akan merasa puas dengan dirimu sendiri kan? kau akan berpikir…ah aku sungguh bisa membahagiakannya, dan dia sungguh sangat cantik tersenyum seperti itu. dan selanjutnya…”

“Selanjutnya…itu akan jadi membosankan.” Sambungnya malas.

Aku mendesah semakin kasihan padanya, “tentu saja kau akan semakin jatuh cinta padanya…aish…aku sungguh tak tahu apa yang sebenarnya ada dipikiranmu.”

“ya terserahlah…sekarang kau mau apa?”

“Aku…” aku tersenyum lebar sembari mengedarkan pandanganku di sekeliling taman bermain yang luas dan ramai, berusaha menangkap wahana yang paling kususkai. “Aku…ingin naik yang itu, itu dan itu ah…itu juga.” Seruku riang dengan sebuah telunjukku kemana-mana. Kupandangi dia  mengharapkan sedikit ekspresi antusias darinya tapi aku hanya bisa mendesah pasrah. Dia bahkan sedang tak memperhatikanku.

“ne, geurae…lakukan apa yang kau suka. aku tak peduli…aku hanya perlu menghabiskan waktu dan menunggu hari berakhir.” Putusnya semudah itu.

Aku menggeleng kuat, ‘Andwaeyo…jeoldae andwae! Kalau aku kemari dan bersenang-senang sendiri aku bisa melakukannya tanpamu. Tapi kau kan sudah kemari…kenapa kau tak sekalian mencoba semuanya. Tenang saja…” kutepuk dadaku meyakinkannya, “aku akan jadi teman yang menyenangkan.”

“Aku meragukannya…arasso…arasso! Lakukan sesukamu, kuharap aku segera pergi dari sini.” Dia berjalan mendahuluiku, menuju wahana pertama yang kutunjuk tanpa mengatakan apapun padaku. Hmmm….Sin Oh Yun, kau harus bersabar…banyak bersabar. Kataku dalam hati sebelum berlari mengikutinya.

“Gamsahamnida…” kataku begitu petugas itu selesai mengecek sabuk pengamanku. Melirik ke arahnya yang masih berwajah datar seperti patung lilin aku berusaha tak terganggu dengan itu. “Kau siap?”

Dia menelengkan kepalanya padaku, menganggapku lucu. “haruskah?”

“Ya!!!! Kau sungguh sama sekali tak bisa diajak berse…AAAAAAA!!!!!!!!” aku tak sanggup menyelesaikan kalimatku karena wahana yang kunaiki sudah meluncur sedemikian cepatnya membuatku melupakan rasa kesalku padanya.

Kakiku masih gemetaran selama sekitar dua menit benda itu melemparkanku kesana kemari bahkan hingga berputar-putar. Kepalaku rasanya pasti pusing sekli karena bumi yang kuinjak seperti bergulung-gulung di kakiku. Aku hampir tak lagi merasakan daratan yang datar.

“Woahhh…kakiku,kakiku…” keluhku sambil membungkuk dan memukul-mukul betisku. Semuanya mulai mati rasa dan aku harus cepat mengembalikan refleksnya.  “jankammanyo…biarkan aku istirahat dulu.” Tahanku begitu melihat bayangannya mulai menjauh.

“kalau kau tak bisa naik yang seperti itu, kenapa kau mencobanya? Benar-benar merepotkan!” tandasnya tak suka.

Aku mendongak berusaha mencarinya dengan tatapanku yang masih tak focus, “kelihatnya seru sekali, jadi itu menggodaku.” Aku menghela nafas sekali. Mencoba terlihat baik-baik saja. “kajja!…kita lanjutkan, aku juga tak mau membuang banyak waktu berdebat denganmu.”

Dia melengos tak menghiraukan alasanku, berjalan di depanku masih dengan langkah tak peduli. Aku, yang terlalu terbiasa dengan sikapnya ini hanya bisa senyum-senyum sendiri di belakangnya, memandang punggung yang terasa begitu dekat denganku.

“Kau…tak ada jadwal hari ini?” Tanyaku mulai berbasa-basi sambil berjalan menuju wahana berikutnya masih sedikit sempoyongan.

“Huh! Tentu saja! Kau pikir aku pengangguran yang bahkan punya kenikmatan sehari untuk santai? Yah…tapi mau bagaimana lagi?” Dia menoleh dengan senyum culasnya, “membayangkan kau menghilang dari hidupku sungguh menyenangkan. Bagaimana aku bisa melewatkannya.” Tubuhnya berbalik lagi menertawakankan bibirku yang mulai mengerucut lagi.

“Ya!!!bisa tidak sehari saja kau melupakannya? Nan arassoyo…aku akan menghilang bahkan sebelum kau menyadarinya. Jadi berbaik hatilah padaku hari ini. ne oppa??” rujukku di akhir kalimatku.

“Ara…ara…”dia terdengar bosan, “kau mau apa lagi?”

Aku berlari, mensejajarkan posisiku dengannya, menunujuk sebuah stad makanan dengan jariku “bagaimana dengan ice cream? Igeo…katanya ada yang enak disana.”

“Ne…theme park kemudian ice cream. Apalagi yang kuharapkan! Ini seperti membawa bayi liburan.” Sindirnya masam.

“jeongmal? Ah…oppa! kalau begitu lihat aku…apa bayi ini lucu menurutmu?” Kataku manis sambil mengambil posisi agyeo dengan kedua tanganku di bawah dagu, “kyeopta??”

Pandangannya tertegun, sejenak…mungkin beberapa detik kemudian dia mencebik kerahku dan berjalan lagi. Gwenchana oppa!! inilah salah satu daya tarikmu, meski aku kadang berharap kau tak sedingin itu.

“Oppa!! gidariyo!!” teriakku, berlari menyusulnya yang sudah lebih dulu meninggalkanku.

Tempat ini mulai penuh begitu hari beranjak semakin siang, hmmm…tentu saja karena ini adalah akhir minggu yang menjadi favorit orang untuk bersenang-senang. Dimana-mana dibandingkan rombongan keluarga aku lebih banyak memperhatikan orang-orang yang kemari untuk kencan. Mereka bergandengan tangan, tertawa bersama dan saling berlomba menunjukkan siapa yang paling romantic di antara mereka. Ahh…mereka sungguh beruntung. Kupandangin lagi sosok laki-laki penuh kata-kata kejam yang sedari tadi menemaniku. Dia tampak seperti orang sakit flu yang di paksa untuk liburan. Bagaimana bisa aku tak menyebutnya begitu? Dia memakai mantel tebal dengan sweater besar yang hampir menutupi separuh wajahnya, kaca mata hitam dan topi yang semakin membuat dirinya tampak lebih transparan. Dia beruntung ini bukan musim panas yang bisa membuatnya kebaran dengan pakaian semacam itu, tapi tetap saja…mestinya dia berusaha lebih baik untuk terlihat normal. Tidakkah dia tahu? Aku bahkan rela memakai mantelku yang lebih tipis agar aku tampak lebih menarik berjalan disisinya.

“Woahh…coklatnya banyak sekali!!!” kataku riang melihat ice cream ku yang menjulang dengan banyak coklat dan almond di atasnya. Aku mengambil sendok pertamaku dan begitu menyentuh lidahku rasanya hampir bisa membuatnya beku. “Ahh…dingin.”

“kau benar-benar sudah gila? Di udara sedingin ini dan kau memesan ice cream?ah…kupikir itu masuk akal juga, setelah ini apa yang akan kau lakukan? Berhubungan dengan permen dan balon?” tanyanya lebih seperti menghinaku daripada penasaran.

“Aku suka ice cream! Tak peduli apapun musimnya aku akan memakannya. Andwaeyo?” aku balik bertanya.

“Ani…kenapa aku harus mengaturmu? Aku sama sekali tak peduli dengan apa yang kau lakukan.” Dia meminum americanonya dengan santai, kemudian mengedarkan pandangannya di keramaian di sekitarnya. Selang beberapa detik dia kembali menatapku yang masih sibuk dengan ice creamku. “karena kita sudah disini …kenapa kau menyukaiku? aKu selalu bicara kasar padamu dan aku bahkan menolakmu beberapa kali. keapa kau masih juga mengejarku? Apa kau sungguh tak punya urat malu?”

Ku letakkan sendokku kesal mendengar pertanyaannya, “kau sungguh keterlaluan! Kenapa laki-laki boleh sesuka hati mengejar seorang gadis sementara gadis sebaliknya?? Apa kaumku hanya boleh menyatakan cinta sekali dan menyerah? Ya!!!! Dunia macam apa itu!”

“Kenapa kau marah? Tentu saja itu akan menyelamatkanmu. Apa kau mau jadi bulan-bulanan banyak orang karena menjadi seseorang yang tak punya harga diri? Mengais-ngais cinta seperti pengemis?” balasnya lagi yang semakin membakar amarahku.

Aku mendesah, menentramkan hatiku. Tapi tetap tak bisa menahan geraman yang keluar dari mulutku. “pengemis?? Aku memperjuangkannya…apakah para fans mu yang selalu bilang mencintaimu setiap hari kau anggap begitu juga?”

“Ahh…aku tahu! Jadi kau menyukaiku karena kau adalah seorang fan. Bukan begitu?” sambungnya.

Kalimatku selanjutnya terhenti, aku menunduk memandang gelas ice creamku entah kenapa tiba-tiba rasanya ada yang hangat di pipiku. “kalau kasusku…tentu saja berbeda.”

“tentu saja…bukannya kau hampir seperti stalker…”

Aku mendongak, “nega???” aku mencoba berpikir lagi. “Stalker? Aku memang suka mengikutimu saat aku sedang di kantor manajemen, tapi aku juga sibuk jadi kupikir aku bertemu denganmu paling tidak hanya beberapa menit kalau kau sedang ada disana selain itu saat kebetulan aku bertemu denganmu di lorong. Dan mungkin akhir minggu karena aku sedang tidak sibuk…tapi belakangan ini bukankah aku tak pernah mengikutimu? Ahh…itu membuatku kesal…kalau saja aku tak mengambil dua kerja paruh waktu aku pasti akan punay waktu lebih bany…”

“2 kerja paruh waktu? Wae? Apakah kantor manajemenku membayarmu terlalu sedikit?” dia tampak tertarik.

“Aniyo…bukan begitu…hanya saja kerja paruh waktuku yang kedua untuk kepentingan penelitianku jadi aku harus melakukannya juga.” Jawabku sambil kembali pada ice creamku yang sempat terlupakan.

“Apa itu?”

“itu seperti kantor layanan hukum untuk orang-orang yang tak bisa membayar pengacara, kau tahu…mereka lebih banyak tersandung perkara hukum karena mereka tak cukup mengerti. Aku kesana untuk bekerja dan memahami kasus-kasus apa yang banyak terjadi jadi…aku bisa menyimpulkan kejadian apa yang banyak merugikan orang-orang kecil seperti mereka. Itu sungguh menyita waktuku, meski aku tak keberatan…tapi membuatku sulit ,melihatmu. Aku bahkan harus merekam beberapa acaramu agar tak sampai terlewat. Jadi tarik kata-katamu…aku bukan stalker!” peringatku.

Dia terdiam, tampak berpikir sebelum kembali bicara. “Kau…mengambil pendidikan hukum?”

Aku mengangguk. Memandangnya penasaran kenapa dia tiba-tiba tertarik.” Ada yang salah?”

Dia tertawa tiba-tiba tapi aku sama sekali tak mengerti apa artinya itu, apa dia mengejekku lagi? “Ya!!! Kenapa kau tertawa!!!” sentakku terganggu.

Dia menghentikan suara tawanya, mendorong tubuhnya menuju punggung kursi di belakangnya. Tampak mempertimbangkan sesuatu seraya menatapku dengan pandangan penuh selidik, “itu..mengejutkan.” katanya singkat.

“Kau pikir aku hanya bisa tergila-gila padamu tanpa melakukan hal lain yang berguna?” aku mencibir, kemudian saat sesuatu terlintas di benakku wajahku berubah cerah, “apa kau terkesan?”

Dia mendengus, “jangan berharap!” dia mendadak berdiri, “aku bilang mengejutkan, bukan berarti tiba-tiba aku jatuh cinta padamu. Kajja! Aku sudah bosan terlalu lama disini.”

Tak ada yang bisa kulakukan jika dia mulai dikuasai sifat sesuka hatinya, aku hanya bisa pasrah mengikutinya meskipun ice cream di gelasku bahkan belum habis separuh.

“kau mau naik yang mana lagi?” tanyaku. Mencoba menganggapnya akhirnya mulai antusias. Masih dengan menyuapkan sesendok kecil ice cream ke dalam mulutku aku kesusahan menyamakan langkahku dengannya.

“aku sama sekali tak tertarik, hanya berusaha membuat waktu cepat berlalu dan melihatmu pergi.” Tandasnya masih tanpa ekspresi. Baiklah! Sudah cukup!

Aku mengambil satu langkah lebar dan melompat tepat dihadapannya, membuatnya cukup tertegun dengan aksiku. Langkahnya tertahan, menatap mataku yang mulai panas.

“kenapa kau harus seperti ini?” sentakku kesal, tak bisakah dia sedikit saja menghargaiku? Apa itu seperti aku sedang menyuruhnya membunuh seseorang?

“Andwae?” dia sama sekali tak tampak merasa bersalah.

“Andwae! Jeoldae andwae! Bagaimana kau bisa membuatku benar-benar begitu rendah di hadapanmu! Apa salahnya dengan menyukai seseorang? Apakah menyukaimu begitu berdosanya hingga aku pantas mendapat  hukuman seperti ini? Ah Jinja!!! Bagaimana aku bisa menyukaimu?” teriakku tertahan, aku menyadari dimana aku…dikelilingi kerumunan ribuan orang dan aku tahu seharusnya aku bahkan tak menunjukka ekspresi marah di muka umum. Tapi dia sungguh keterlaluan! Semuanya sudah melampaui batas kesabaranku.

“Geurae…kenapa kau menyukaiku? Lebih baik kau sama sekali tak menyukaiku jadi aku tak perlu lagi terpaksa menghabiskan hari yang menyebalkan ini. itu lebih mudah bukan?” Dia balas menamparku dengan kata-katanya. Membuatku semakin tak tahan lagi, kalau saja aku bisa memperlihatkan bagaimana menderitanya perasaanku selama ini. tak bisakah dia sedikit lebih berbaik hati padaku?

Aku menarik nafas panjang, menenangkan hatiku selain bekerja keras menahan air mataku.

“Apa aku bahkan tak berhak menghabiskan satu hari yang menyenangkan bersamamu? Sejak awal aku tak berharap bisa mendapatkan hatimu hanya dalam waktu sehari. Tidak bisakah kau menganggap ini sebagai permintaan terakhirku. Aku sendiri juga tak tahu kenapa aku menyukaimu sebesar ini,  tapi aku ingin memberikan kesempatan perasaan ini paling tadi berusaha hingga akhir. Aku ingin menyukaimu sampai sebatas keadaan memperbolehkannya, setelah itu akan dengan tenang melepaskannya. Apakah itu juga tak boleh?” tukasku, mengabaikan orang-orang yang mulai curiga memandangiku. Aku sungguh terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang bertengkar di jalanan.

Dia menatapku tajam, menguji keseriusanku. Tapi bisa kurasakan tubuhnya melunak kemudian dan mulai mendengus lagi. dia menyerah.

“Dwaesso…dwaesso…ah!!! Kau sungguh membuatku stress! Sekarang menyingkirlah! Apa kau ingin menghabiskan seharian ini berdiri dan mematung bersamaku?”

Senyumku mengembang, “Jeongmalyo? Jinjja??? Yaksok??”

“dasar cerewet! Ayo jalan!” serunya. Menyingkirkanku dengan sebelah tangannya tanpa tenaga. Dan berjalan lagi kembali mendahuluiku.

Dan sisa hari berjalan lebih tenang daripada sebelumnya, setidaknya Dia tak lagi menyerangku dengan kata-katanya yang menyakitkan. Meski dia lebih banyak diam dan tetap kesusahan untuk tersenyum tapi dia mencoba mengikuti apa yang kumau. Dia memilih mengekorku di belakang sementara aku bersenang-senang dengan semua hal yang kulihat. Menertawakan badut-badut bertubuh tambun yang bertebaran di sekeliling jalan yang menghubungkan setiap wahana yang ada, menganga lebar memandang akuarium super besar dan hampir pusing karena banyaknya ikan yang berenang berkeliling dalam jumlah yang fantastis.

Hari beranjak semakin sore dan aku bisa melihatnya lebih santai begitu langkah kami semakin jauh memasuki tempat hiburan itu. aku tersenyum menatapnya yang kini tampak tenang mengamati seluruh isi tempat ini dari tempat yang paling tinggi disini. Sebentar lagi malam…dan gerbang akan mulai tertutup. Gerbang surga kecil ini dan gerbang hatiku untuk menyukainya. aku menatapnya lagi. bertanya-tanya apa yang dirasakannya. Seperti sedang menebak hasil dari sebuah ujian yang kuikuti, apakah aku lulus? Apakah dia akan menyukaiku akhirnya? Dan terus terang aku lebih takut untuk mendengar jawabannya.

Guratan langit yang mulai menjadi jingga bagai detik bom waktu untukku, aku hanya tahu bahwa bom itu pasti akan meledak. Dan dalam sekali dentumannya akan menyapu habis seluruh kesempatanku bersamanya.

“Kyeopta!!!” seruku melihat seisi taman hiburan ini mulai dihiasi oleh lampu warna-warni yang mulai menyala bergantian. Tampaknya seperti kilauan permata dari atas sini.

Dia tersenyum, ikut mengaguminya bersamaku. “Ternyata lebih cepat dari yang kubayangkan.” Tandasnya, mengendurkan senyumku. Begitu cepat merubah suasana hatiku, sungguh aku tak berharap dia ingat tentang itu…paling tidak…dia mau melupakannya sedikit lebih lama lagi.

“Hmm?” tanyaku tak perlu, aku jelas sudah tahu apa itu.

Dia membalikkan badannya menghadapku, wajahnya tak lagi begitu dingin…dia hanya menatapku tenang. Ya…memang ini yang diharapkannya bukan? Aku memaksakan diri mengembangkan senyum, rasanya berat lebih tepatnya terlalu menyakitkan.

“kau pandai juga bersenang-senang, jadi…”Dia memandang jam tangannya, “masih ada setengah jam lagi. kau mau apa?”

Jadi hanya selama itukah waktu yang tersisa, sungguh seperti menunggu detik kematianku. “Kopi??” tawarku.

Dia mempertimbangkannya sejenak.

“Joha! Kopi…” dia memandang meja bar di sudut restoran, hampir menghampirinya sebelum kembali menatapku. Sadar tengah melupakan sesuatu. “kau suka yang bagaimana?”

“Nan?? Hmmm…cappuccino dingin dan float, banyak float…” jawabku bersemangat seraya merentangkan tanganku membentuk setengah lingkaran yang besar, seperti aku menginginkannya sebanyak itu.

Dia menatapku tampak tak terlalu terkejut., “ya…tentu saja, apalagi yang kuharapkan selain sesuatu semanis itu. geurae…tunggu disitu, aku akan membawakannya untukmu.”

Dia sudah pergi berbalik lagi membelakangiku, meninggalkanku yang kembali murung. Kupandangi sendu tempat duduk yang ditunjuknya dan dengan kekuatanku yang tersisa aku menyeret tubuhku disana. Lelah…bukan karena semua yang kulakukan hari ini . tapi…karena aku tahu kenyataan yang harus kuhadapi sebentar lagi. pandanganku menerawang, mengingat kembali waktu-waktu yang kuhabiskan mengejarnya. Aku tertawa, menertawakan diriku…ahh…yang bisa kuingat hanya bagaiamana aku merajuk dan memohon padanya. Kembali mengakui perasaanku padanya dan ditolak saat itu juga. Aku hanya bisa ingat bagaimana dia akan mendesah bahkan begitu melihat bayanganku dan bagaimana aku berlarian di lorong hanya karena ingin menatap matanya dan membuatnya tahu aku disana. Ya!!! Sin Oh Yun…kau pasti punya hobi aneh untuk mempermalukan dirimu sendiri. Kataku pada otakku, setidaknya mungkin setelah hari ini aku akan mencoba berpikir lebih waras.

“ada yang lucu?”

Suara itu menghancurkan fantasiku, aku mendongak melihatnya sudah kembali dan berdiri di depanku.

“Ani…hanya membayangkan sesuatu.” Aku mendongak melihat gelasnya, “Americano lagi?”

“Kau ingin membuatku kembung…hanya coklat, aku bahkan belum makan seharian ini…” Tandasnya menjawab tebakanku.

Mendadak aku jadi ingat, “Ah…makan…” aku mengelus perut, karena sekarang dia mengatakannya jadi rasa laparnya tiba-tiba mulai terasa. “pantas saja…kupikir aku memang melupakan sesuatu tadi…bagaimana kalau kita makan dulu, aku rasa pasta enak juga…kudengar disini ada pasta yang enak, mereka bilang chef nya langsung dari itali…kau mau mencobanya?”

Aku menatapnya, hanya sedetik aku bisa tahu pandangan apa itu. “ehm…kurasa aku akan makan itu lain waktu…”koreksiku pelan. Setengah jam…ingat itu Oh yun-ah…

Dia tertawa, terlalu lebar untuk kuanggap begitu terpaksa melakukannya. “Kau tahu…kau benar-benar lucu.” Dia tertawa lagi mengabaikan ekspresiku yang semakin bodoh karena tak mengerti.

“Waeyo?”

Dia mencoba menenangkan dirinya, tampak tak serius memberi jawaban atas ketololan ekspresiku, “aku sudah memesan sesuatu, pasta…kau senang sekarang?” dia tertawa lagi.

“Ya!!! Kau sedang menggodaku!!” aku mulai kesal, tapi bahagia. Entah kenapa inisiatifnya membuatku berharap.

“Dengar…bukannya aku ingin jahat padamu, tapi jujur saja…satu hal yang kupelajari darimu hari ini. kau bukan orang pengangguran yang hanya berlarian kesan kemari mengejarku. Kau punya sesuatu yang serius…jadi, seharusnya tak akan jadi masalah ada aku atau tidak. Kenapa kau harus memaksakan keadaan? Seperti kebanyakan orang lain yang menyukai siapa yang mereka lihat di depan layar, semuanya tak lebih hanya ilusi. Kau hanya membuat imajinasimu sendiri…kenyataannya kau mungkin akan menyesalinya nanti.” Terangnya, memandangku yang mulai diam mendengarkannya.

“Waeyo??nan johaeyo. Menyukaimu adalah satu hal lain yang menyenangkan untukku. Aku sama sekali tak merasa ada yang percuma dengan melakukannya. Menahan diri untuk tak melakukannya itu seperti membohongi diriku. Dan aku lebih nyaman seperti ini…seseorang bilang saat kau harus memilih, pilihlah pilihan yang jauh lebih tak menyakitkan. Dan menyukaimu jauh lebih baik meski aku harus menghadapi banyak penolakan darimu. Aku boleh memilih seperti itu bukan? Lagipula…bersamamu mungkin aku bisa ikut terkenal, itu menguntungkan juga kan?” Aku tertawa, menyeruput cappucinoku…”Ahh!! Maa!!!”

“Bagaimana aku bisa menemukan perempuan sepertimu, kau bilang menyukaiku semudah kau memesan kopi untuk dirimu. Dan kau pikir menurutku kau serius? Kau hanya menggodaku bukan?”katanya lagi, menemukan alasannya yang lain.

“benarkah?” aku terbelalak, menelan kopi di mulutku lebih cepat dari yang seharusnya. “jadi kau tak menyukaiku karena kau pikir aku hanya bermain-main denganmu?Joha!!! katakan padaku, bagaimana supaya aku terlihat sungguh-sungguh menyukaimu?”

Dia menyandarkan tubuhnya, masih tertawa tak percaya. “Ah sudahlah! Itu sama sekali bukan masalah penting. “ bersamaan dengan harapanku yang pupus seseorang akhirnya menuju ke mejaku dan meletakkan dua piring makanan di atasnya. Aku mengernyit memandangi menu yang sudah terhidang di depan mataku.

“lasagna?” tanyaku lebih pada diriku sendiri.

Dia mengangkat alisnya, “wae? Anjohae? Itu juga bisa disebut pasta juga kan?” tanyanya.

“ye…” kataku lirih, takut-takut menyinggungnya. “Aku tak terlalu suka pasta yang tebal, semakin tipis semakin baik. Ah…gwencanhayo…aku makan, mungkin rasanya lebih enak daripada dugaanku.”

“dan membuatku melihatmu berjuang memakannya dengan terpaksa? Lupakan saja! Aku akan menggantinya.” Serunya hampir memanggil pelayan ke arahnya.

“aniyo…gwencanhayo…jeongmal gwenchanayo…” aku berusaha menahannya sekaligus piring yang sudah dihadapanku. Ingin rasanya aku mengoreksi kata-kataku tapi sepertinya sudah terlambat.

“spaghetti and meatball, itu pasta tipis yang kutahu.” Katanya setelah mengatakan pesanannya pada pelayan wanita itu dan lagi-lagi tanpa bertanya dulu padaku. Membuatku kembali cemberut menatapnya. “Wae? Kau tak puas juga?”

Aku menggeleng, “seharusnya kau bertanya dulu…” saranku.

“Seharusnya kau memakannya selahap mungkin, tak peduli apakah kau suka atau tidak. bukannya kau ingin membuatku senang?”

Aku mengetukkan sepatuku di lantai, bosan mendengar penuturannya yang selalu menyudutkanku bahkan terasa begitu sakit di telingaku. “Menyukai seseorang bukan berarti membuatmu mirip dengannya kan? apa kau sedang mencari saudara kembar hingga semua orang yang menyukaimu harus mempunyai persamaan yang mencolok. Kau menyukai seseorang karena mereka berbeda bukan? Karena kau menganggapnya menarik hanya dengan mengikuti apa yang akan dilakukannya. Bagaimana mereka terkejut dengan hal yang tak pernah kau pikirkan, tertawa untuk sesuatu yang kau anggap sederhana dan menangis karena rasa sakit yang tak wajar. Rasa sukamu berkembang menjadi rasa ingin mengerti dan memahami. Dan setelah kau berhasil melakukannya kau hanya tinggal mendukung dan menjaganya. Itu kedengarannya logis kan?”

Penuturanku selesai, tapi matanya yang menatapku lekat masih tak berubah. Aku tertegun di kursiku, secara tak kusadari aku perlahan menarik diriku menjauh dari meja hampir meninggalkan garpuku diatas lasagna yang tak kusukai. Wae geurae?? Kenapa dia menatapku seperti itu. apa dia baru saja menyadari keanehan di wajahku? Mungkin aku salah satu fosil dari jaman batu?

“Waeyo?” tanyaku bingung, setelah susah payah berhasil mengeluarkan suaraku. Ini pertama kalinya dia mendengarkanku dengan konsentrasi setinggi ini. biasanya…aku hanya mendapatkan dengusan dan lirikan bosan matanya. Bahkan saat aku sedang menyatakan perasaanku.

 “Kau menghafalnya dari artikel yang mana?”

Apa dia bilang? Genggamanku mengeras. “Ya!!!! Jinja…napeun nom!” umpatku tak tahan. Bagaimana dia bisa mengubah semua ketulusanku menjadi semcam lelucon!!!

Mendengarkan makianku, dia malah semakin tertawa. Begitu keras hingga aku yakin dia mulai menangis karena terlalu terhibur. Memangnya apa yang baru saja kulakukan? Melakukan pertunjukan lawak didepannya?

“Gemanheyo…”geramku diantara gigiku agar aku tak berteriak lagi, dan dia mestinya berhenti selagi aku masih berbaik hati. Tapi seperti yang bisa kutebak itu hanya semakin meningkatkan volumenya. “Gemanhae…” aku mengurangi formalku kali ini, berharap dia menyadari sesuatu dan berhenti.

“dan kupikir aku sama sekali tak akan mendengar itu darimu,” katanya di sela-sela tawanya.

“Ya!!! Jugosso!!!” pekikku tertahan dan bungkam seketika saat seorang pelayan kembali ke mejaku meletakkan makanan yang lain.

“Silahkan dinikmati.” Ujarnya sambil menunduk sopan. Mau tak mau membuatku menahan diri dan melakukan hal yang sama.

“Gamsahamnida…” ucapku pelan masih dengan pandangan mematikan padanya, entahlah…aku sama sekali tak keberatan dia marah padaku tapi menertawakanku? Itu sungguh melukai harga diriku yang bahkan sudah tak banyak lagi tersisa.

Rona wajahnya mengendur, berusaha mengurangi kepuasannya menertawakanku. Berusaha kembali pada makanannya yang terlupakan. “Jadi kau memiliki sisi yang ini juga.” Tandasnya tak kumengerti.

“Hmm?”

“Ada satu hal dimana kau menganggapku menyebalkan, kupikir aku sempurna di matamu.” Katanya tanpa merasa ada yang aneh dengan pendapatnya itu, ya mestinya memang begitu. Dia tahu dia sesempurna itu. paling tidak di mata penggemarnya.

“kau…kalau saja aku tak menyukaimu. Dengan semua kebiasaanmu memperlakukanku aku yakin aku memang sudah gila. Bertahan sejauh ini dengan semua itu, kau tak merasa aku salah satu manusia super? Dan kekuatan terbesarku adalah cukup keras kepala untuk menyukaimu dengan semua kata-kata penghancurmu.” Kataku sambil mulai membuat garpuku menari-nari di atas piring spaghetti ku. Dan memasukkannya ke dalam mulutku dalam ukuran super besar. “Hmmm…daebak!!!!” aku mencoba bersuara dengan mulutku yang penuh. Tiba-tiba amnesia dengan kekesalanku padanya.

“Mani joha?” tanyanya tak perlu. Masih setengah tertawa.

Aku hanya mengangguk bersemangat tak sanggup lagi bicara.dan kembali pada makananku yang masih menggunung dan begitu mengundang seleraku. Dan tanpa kusadari aku bahkan menghabiskannya tanpa banyak bicara dengan orang di depanku ini, melupakan tujuan sebenarnya aku berada di tempat ini. ini benar-benar jauh diluar yang kubayangkan…maa!!!

“Pelankan makanmu…tak ada yang akan merebutnya disini.” Nasehatnya tanpa benar-benar kudengarkan.  Yang kuperhatikan hanya saos merah penuh dengan bulatan daging yang besar hampir memenuhi piringku. Memutar-mutar garpuku hingga alat itu sanggup mengangkat spaghetti sebanyak yang bisa dililitkannya.

Masih mengunyahnya perlahan, sontak aku tertegun menyadari apa yang baru saja kulupakan. Orang itu masih mengamatiku yang seperti babi kelaparan. Ahhh!!!! Aku melengos menyesal…apa yang sudah kulakukan? Bagaimana kebiasaan memalukan ini tetap kupelihara. Susah payah berusaha menormalkan isi mulutku yang mulai menggembung tak terkendali dan dengan punggung tanganku mencoba membersihkan apa yang berceceran di sekitar mulutku. Dan saat kulihat hasilnya aku benar-benar harus mengakui kalau cara makanku sama sekali tak berkembang sejak umurku 5 tahun.

Spontan aku membungkukkan kepalaku sedikit, merasa bersalah. “miyanheyo…” kataku pelan sambil masih sibuk dengan mulutku. Oh Yun-ah…micheosso!!! “Anmogo??” tanyaku lumayan terkejut melihat isi piringnya masih penuh.

“Melihatmu cukup membuatku kenyang untuk dua hari ke depan.” Jawabnya tak habis pikir, menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkahku. “ck,ck,ck…”

“Ah…miyanheyo…” aku meminta maaf lagi. merutuki diriku yang tak pernah berpikir lama begitu melihat sesuatu yang enak.

Dia tersenyum, kemudian perlahan tertawa sembari mendorong tubuhnya ke depan menjangkau garpunya dan mulai makan. Aku masih memandangnya tak mengerti, apa yang dipikirnya lucu? Mataku menyelidik mencari petunjuk tapi tak juga menemukannya.

“wae??” tampak mulai terganggu.

“kau banyak tertawa sejak tadi.” Tandasku terus terang.

“Andwae??” tanyanya lagi, dan selalu membuatku mengerut menahan kekesalanku. Dibandingkan mengatakannya dengan wajar dia lebih senang memuntahkan semua pertanyaanku.

“ye…lakukan apa yang kau suka. Ah! Matta!!!” kuturunkan garpuku cepat hingga membuat dentingan yang lumuyan keras. “Oppa! kau mengantarkanku pulang kan?”

“Kenapa aku harus melakukannya? Kau bisa naik taksi dari sini…ini juga belum begitu malam”

“Shiroyo!!!” Potongku cepat. “ne oppa?? hanbon do!” rajukku sambil mengangkat jari telunjukku tepat di depan wajahku.

“Jinja…kau ini sungguh merepotkan. Kau pikir skandal apa yang akan kau buat jika ini di dengar media? Mengantarkan seorang gadis pulang sama saja mengakui kalau aku ini pacaran denganmu?  Kau tak mengerti hal semacam itu?” semburnya keberatan.

Aku masih memasang muka memelas dihadapannya. “jebal oppa…aku janji aku tak akan membuatnya sulit untukmu. Aku akan berhati-hati…sangat berhati-hati. Kita akan pergi seperti hantu hingga manusiapun tak akan sanggup mengenalimu. Ne oppa???”

“Shiro!” jawabnya cepat dan memaksa mulutnya menelan lasagna potongan besar untuk menghindari perdebatannya denganku.

“Oppa…”Rajukku, memohon lagi.

“Ya!!!” teriaknya tak sabar.

Aku mendengus, membanting garpuku keras. “Oppa!!! kau sungguh memyebalkan.”

 

#######

“Gomawoyo oppa…” katanya dengan senyumnya yang menurutnya manis, manis?? Bagaimana bisa aku bahkan berpikir bahwa itu manis meski aku memakainya sebagai alasan. Lagipula ini sungguh menggangguku…aku benar-benar mengantarkannya pulang, sejauh apa gadis ini telah meracuni otakku hingga aku setuju dengan semua permintaannya yang sungguh tak masuk akal. Mungkin sejak awal aku harusnya mendorongnya sejauh mungkin.

“kau puas sekarang bukan? Cepat masuk!” Kataku ketus, meski sedikit tak nyaman melakukannya. Aku tak mau menatapnya, entah apa yang memusingkanku. Kupikir secepatnya dia pergi itu akan lebih baik.

“Arassoyo oppa…” timpalnya dengan nada yang begitu manja di telingaku. “Geurigu…” Dia menatapku setelah berhasil membuka sabuk pengamannya. “aku pasti memegang janjiku oppa.”

Ah…benar, janji itu…aku mematung sejenak karena mendengarnya. Saat ini dengan segala perhatian yang kupunya aku mengamati wajahnya. Dia tersenyum ke arahku, ya…dia banyak tersenyum padaku bahkan tertawa di sekitarku meski aku tak acuh padanya. Sin Oh Yun…aku menyebut namanya dalam hati, kenapa tiba-tiba itu bukan lagi hal asing untukku. Dan bagaimana mungkin saat ini otakku mengirim sinyal bahwa dia sebenarnya tak terlalu buruk. Dia mengesalkan dan selalu ribut kesana kemari berusaha mengekorku tapi…jankamman…wae??

“benarkah?” aku bisa merasakan kata itu bahkan sedikit tersangkut di tenggorokanku.

“ne…aku tahu aku membencinya, tapi aku akan menepati janjiku.” Ulangnya lagi, ada nada sedih dalam kata-katanya.

“kau tak akan lagi menggangguku dengan pernyataan-pernyataan cintamu itu?” ya jinja!!! Aku memarahi diriku. Apa lagi yang kucoba pastikan. Percaya dan segera pergi dari sini, seharusnya itu yang harus kulakukan sekarang.

“Aniyo, aku tak akan melakukannya. Aku sudah bilang bukan? Sin Oh Yun akan keluar dari hidupmu. Meskipun kau yang pertama kali menyapaku aku tak akan menganggap pernah mengenalmu. Pekerjaan paruh waktuku akan segera berakhir, jadi setelah itu aku tak akan pernah bertemu denganmu lagi. pasti itu akan lebih mudah untukku.” Terangnya, tak berani memandangku. Entah kenapa dia menundukkan kepalanya begitu sibuk dengan jarinya sambil menjawab pertanyaanku.

“Berakhir? Kau tak akan bekerja disana lagi?” kenyataan apa lagi yang tak kuketahui. Kenapa semakin membuatku tak nyaman. Apa karena udara yang dingin hingga membuat suasana hatiku jadi begitu tak menentu?

Dia menggeleng lemah, masih tak menatapku. “mollayo?” Dia tertawa perih, dan suara itu sampai di telingaku. Merasa bahwa memang tak seharusnya aku tahu apa yang dilakukannya.

Aku terdiam, tak tahu lagi harus bicara apa. tapi aku juga enggan menyuruhnya keluar dari mobilku. Keheningan itu seperti membuat kebingunganku menjadi-jadi…tampaknya apa yang akan terjadi begitu bertentangan dengan apa yang ingin kulakukan. Jalanan mulai sepi. Malam beranjak semakin larut…hanya ada beberapa orang berlalu lalang keluar dari mini market. Aku baru menyadari dimana gadis ini tinggal, daerahnya begitu sepi dan sunyi…apa dia disini tinggal sendiri? Bagaimana dia bisa berjalan seorang diri di tempat seperti ini?....aku terhenyak, Kenapa aku jadi mengkhawatirkannya? Ini sungguh salah…

“keundae…” dia berhenti, tampak ragu melanjutkan. “Bolehkah aku mengatakan sesuatu? Sebelum kau kehilangan ingatanmu tentangku?”

Aku diam, tak tahu apakah harus setuju atau tidak. Tapi dia membaca keheninganku sebagai sebuah persetujuan. Jadi dia beranjak mulai mengangkat wajahnya…memandangku.

Wajahnya yang tertutup bayangan membuatku tertegun, sekarang aku tahu kenapa dia tak mau memperlihatkannya padaku. Diluar kesadaranku aku meremas kuat kemudi yang ada di genggamanku. Rasa bersalah itu muncul tiba-tiba melihat kedua retina matanya yang memerah menahan sesuatu keluar dari sana.

“nan johaeyo, mani…ahjumani johaeyo.” Tertawa seraya mendongakkan kepalanya menghindari sesuatu jatuh dari matanya. “kau pasti familiar dengan kata-kata itu bukan? Ah…seharusnya aku juga tak perlu berkali-kali mengatakannya. “ dia mulai menghindari mataku lagi, menyisir rambutnya pelan dengan jemarinya yang gugup.

Jantungku berdetak cepat, menunggu…meski aku tak tahu apa yang harus kutunggu darinya. Dia mengatakannya jutaan kali padaku dan sama sekali tak ada yang istimewa dengan itu. aku hanya akan menganggapnya sebagai angin yang mudah lewat dan terlupakan. Hanya saja hari ini…apa karena ini adalah terakhir kalinya aku mendengar ini darinya? Kenapa rasanya harus berbeda. Ini adalah hari yang kutunggu paling tidak salah satu yang kuharapkan.

“kalau kau berpikir aku berbohong, kau salah besar. Mungkin aku kelihatan begitu konyol karena berlarian sambil menyatakan perasaanku. Tapi itu benar-benar sungguhan. Dan tak bisa lagi melakukannya rasanya berat untukku. Agak sakit…disini…” dia mencengkram dada kanannya. Air matanya mulai mengalir tapi aku masih melihat sesekali dia berusaha menahannya. “tapi aku juga sadar akan sulit bagimu untuk menyukaiku. Aku hanyalah satu dari jutaan orang yang tertarik padamu. Hanya saja…aku terlalu keras kepala dan tak tahu malu jadi aku bisa melangkah sejauh ini.” dia tertawa, tersedak diantara tangisnya.

Aku hanya sanggup mematung melihatnya, dorongan ingin mengurangi rasa sakit itu begitu menggodaku. Tapi harga diriku menghalanginya. Bukankah ini yang kuinginkan?

“Oppa…kau harus menjaga dirimu, minumlah susu atau coklat jangan selalu kopi. Makanlah teratur dan jaga staminamu. Kau tahu, kau hampir membuatku jantungan saat kau pingsan karena kelelahan dengan semua jadwal drama mu. Kupikir kau sekarat waktu itu…” dia menghapus air matanya lagi, menghalangi hidung dan pipinya yang mulai basah. Matanya mengarah padaku, berusaha menyembunyikan kesedihannya dengan putus asa. Susah payah menunjukkan senyumnya padaku. “miyanhae….kalau selama ini aku mengganggumu, rasanya seperti banyak serangga mengerubungimu bukan waktu aku ada. Seperti yang kau bilang…mungkin karena aku terlalu ribut dan menyebalkan. Tapi kuharap hal itu akan berhenti setelah aku pergi. Kalau ada yang mengganggumu lagi…kau harus cepat menendangnya keluar, arassoyo?? Jangan berbaik hati lagi.” dia menarik nafas. Membuatku merasakan sebesar apa usaha yang dikeluarkannya untuk setiap kata itu.

Seperti orang bodoh, aku hanya menyimak dengan patuh apa yang dikatakannya padaku. Ada peperangan sendiri di hatiku yang harus kukendalikan. Hingga aku tak sanggup melakukan apapun untuk menghadapi situasi ini. apakah ini salah satu kebaikan hatiku yang lain? Membiarkannya menyatakan apapun yang tersisa dari perasaannya. dalam satu kesempatan terakhir yang kuberikan padanya. Ya!!! Kenapa aku begitu terdengar jahat bahkan untuk diriku sendiri? Gemanhe Sin Oh Yun…apakah kau ingin membuatku mengasihanimu?

“Soo Hyun-shi…gomawoyo…untuk semuanya hingga hari ini.” Dia mengemasi tasnya.

Oppa obseo??? Bisakah dia merubah semuanya secepat ini. nafasku memburu…apa sebenarnya yang harus kulakukan??

“Sin Oh Yun…”

“Gwaencanhayo…gokjongmayo…nan gwaencanhayo.” Dia memotongku, seperti sengaja melarangku mengatakan apapun. Dan ini semakin membuatku sangat…sangat…tak nyaman. Rasa sakit itu hampir menjangkauku dan aku tak tahu lagi bagaimana harus menghentikannya. “bolehkah aku minta satu hal lagi? hanya hal mudah. Kupikir tanpa kumintapun kau akan melakukannya juga.”

“marhaebwa…” jawabku pelan, apa yang kau inginkan? Menyapamu sesekali? Ya…mungkin aku akan melakukannya. Aku terdengar gila bukan? Tapi akan kulakukan…kurasa aku terlalu kejam jika memintamu melupakanku dan menjadi orang asing satu sama lain.

“Begitu keluar dari mobil ini, maukah kau pergi secepat mungkin? Aku takut aku akan berubah pikiran dan melanggar perjanjianku denganmu. kau juga tahu aku begitu keras kepala bukan? Maukah kau melakukannya?” pintanya dengan air mata yang masih sesekali merembes dari kedua pelupuk matanya. Hanya mempertahankan senyumnya yang semakin menyedihkan.

Mataku terbelalak, perkiraanku salah besar. Jadi dia ingin menghilang dariku secepat itu? kurasa itu hal mudah baginya. Menyukaiku?? Apa ini yang akan dilakukan seseorang dengan rasa suka sebesar itu? Ya!!! Sin Oh Yun!! Aku tak akan masuk perangkapmu semudah itu.

“Joha!!! Itu hal mudah untukku. Lagipula hari ini hari terakhir aku bertemu denganmu.” kataku sinis, harga diriku terluka. Aku bahkan sempat berpikir untuk melunak padanya. Tapi ini yang dimintanya bukan? Kuharap dia tak akan menyesalinya.

“Arayo…” dia menghapus air matanya untuk terakhir kalinya. “Soo Hyun-shi…annyeong! Fighting! Kau yang terbaik!” dia mengangkat genggaman tangannya.  Lemah dan segera membuka pintu dengan sekali sentakan. Gerakan yang sama sekali tak kusadari.

Aku menatap jalanan didepanku, tak lagi mengawasinya pergi lebih memilih berkonsentrasi dengan kemudiku dan menyalakan mesinnya. Kau bahkan tak akan menyangka secepat apa aku pergi, janjiku dalam hati. Kekesalan menguasai hatiku membuatku marah dengan sendirinya. Marah karenanya…marah karena keputusannya yang begitu mudah mengatakan akan menghilang dariku, marah karena dia menangis dan tetap memintaku pergi. Aku marah…dia mempermainkanku kan?? tentu saja itu benar. Sejak awal ini memang rencananya.

Kuinjak gas mobilku begitu kuyakin ada suara pintu tertutup dan seketika itu juga rodanya melesat meninggalkannya jauh di belakangku. Menahan diri untuk tak melihat ke arahnya, tapi akhirnya aku melakukannya. Dia tampak berdiri disana, semakin mengecil sejalan dengan semakin jauh jarak yang kubuat dengan mobilku. Aku mendengus, ya!!! Ini yang harus kulakukan.

Mobilku semakin jauh meninggalkannya, dan aku sudah hampir mencapai jalan raya kembali kepada kehidupanku tanpanya. Tapi kenapa dengan hatiku? Bagaimana aku bisa tak bersorak gila-gilaan dengan kepergiannya. Seharusnya aku berpesta besar karena pengganggu ku memutuskan untuk mengundurkan diri dari kebiasaannya.

Bayangan lampu memenuhi kaca depan mobilku, bergantian memantulkan cahaya lampu jalanan yang berdiri berjajar di pinggir jalan dan semakin membuatku pusing.. Udara semakin sesak di dalam sini. Kenapa tiba-tiba begitu panas? Aku yakin pendingin sudah kunyalakan sewajarnya bahkan aku menurunkan suhunya lebih rendah daripada biasanya. Tapi kenapa aku begitu sulit bernafas? Putus asa, kunyalakan radio di dalam mobil dan membuka lebar-lebar jendelaku berharap ada udara lain yang bisa melegakan paru-paruku.  Apa yang sebenarnya terjadi? Atmosfir macam apa ini? aku menatap jalanan berharap teralihkan oleh sesuatu, sempat akan menelepon seseorang untuk menghilangkan bayangannya, bayangannya yang menangis di hadapanku, tawanya yang begitu ceria dan kekesalannya begitu menggelikan. Wae?? Kenapa semua itu harus menghantuiku sekarang? setelah susah payah akhirnya hari ini datang juga…

“Oppa!!! Sin Oh Yun imnida…nan johaeyo.” Katanya tanpa basa-basi.

“Mwo???” aku hampir sontak mendorong diriku ke belakang karena begitu terkejutnya, dia masuk ke kantor manajemenku dengan setelan resminya tapi dia berteriak seakan sedang ada jumpa fans dihadapannya.

“waeyo?? Kau terkejut oppa!! tenang saja kau akan menyukaiku nanti.” Ucapnya penuh percaya diri, dan meninggalkanku begitu saja dengan tampang konyolku yang memalukan. Sebenarnya apa yang sedang dilakukan gadis ini? sedikit bergidik melihatnya tapi segera kuputuskan untuk melupakannya. Bukannya aku tak pernah menghadapi seseorang yang lebih menakutkan darinya, aku akan melupakannya…atau kupikir begitu…sebelum hari berikutnya datang.

“Oppa! gwaencanhayo? Aku dengar kau sempat sakit waktu syuting kemarin. Aku membawakanmu bekal. Kau pasti lupa makan bukan?” dia datang tiba-tiba dengan keranjang besar penuh makanan. Membuatku tak sanggup protes karena begitu cepat dari yang kusadari. Dia sudah duduk di depan mejaku, di tengah banyaknya kru yang sedang sibuk mengatur set berikutnya. “aku membuatnya sendiri, tapi kimchi ini kiriman ibuku. Kujamin pasti lebih enak daripada yang pernah kau makan. Ah! Aku akan menyiapkannya untukmu.”

Dia tak memperhatikan wajahku yang melongo menatapnya, otakku bakan sempat kosong melihat tangannya yang mulai cekatan mengeluarkan semua makanan itu dari dalam keranjang. “Ya!!! Apa yang kau lakukan!!!” teriakku untuk pertama kalinya.

Tangannya terhenti, memandangku tanpa merasa aneh sedikitpun. “memberimu makan…” katanya dengan tampang polosnya.

“Siapa kau??aku tak mengenalmu! Ka!!!!” aku berteriak lagi, merasa terganggu…ini syuting terpanjangku dan aku tak membutuhkan orang lain lagi untuk menambah kelelahanku.

“Sin Oh Yun…bukankah aku sudah memperkenalkan diri padamu? Kau lupa?” sekarang dia yang ganti terkejut dengan responku bahkan sedikit tampak kesal karena aku lupa namanya. Apa yang sebenarnya terjadi dengan gadis ini? apa dia sudah gila?? “Oppa…jinja…” tambahnya lagi menambah kekesalanku.

Aku semakin tak habis pikir dengannya, mencoba mengedarkan pandangan berusaha melenyapkan masalah yang ada dihadapanku.

“Ya!!!! Siapapun yang disana!!!” teriakku pada kru yang bertanggung jawab dengan keamanan di tempat ini. “Singkirkan dia!!!” aku tak lagi memiliki kesabaran padanya.

“Waeyo oppa??” tanyanya masih tak juga mengerti, apakah otaknya sudah tertinggal di suatu tempat. Bagaimana bisa ada orang selambat ini memperlakukanku dengan sesuka hati.

Dan meski hari itu dia berhasil keluar dari tempat itu, hal itu sama sekali tak menghalanginya untuk muncul di set yang lain. Dia sebenarnya siapa?? Hantu yang terobsesi denganku?? aaahhhh!!! Dia sungguh membuatku stress.

Dan hari itu, dia muncul lagi. kali ini menanggalkan setelan resminya. Hanya gaun musim panas tipis dan cardigan pendeknya. Berlari kecil menghampiriku, membuat rambut yang dikuncirnya berayun kesana kemari.

“Oppa….” katanya seraya tersenggal, bertumpu pada kedua lututnya. “Chajatta!!” katanya ceria, sama sekali tak sadar aku tak ingin dia menemukanku.

Kulempar skenarioku di atas meja, mencoba menahan kemarahanku. Tak lagi berteriak padanya…mungkin itu bisa berhasil.

“Geurae…apa yang kau inginkan?”

“nan bogoshipeosso…” ucapnya tanpa ragu-ragu. “sudah hampir seminggu aku tak bertemu denganmu.”

Kupejamkan mataku, berusaha menambah dosis kesabaranku. Seharusnya dia bisa melihatnya, bagaimana sulitnya aku melakukannya. “Agassi…aku tak mengenalmu…aku menghormati perasaanmu karena menyukaiku sebagai seorang penggemar…jeongmal gomawoyo. Tapi bisakah kau menghormati kehidupan pribadiku? Seperti yang kau lihat aku sangat sibuk…lain kali akan kuinformasikan jika ada jumpa penggemar di tempat lain. Geureom…” aku mempersilahkannya pergi, aku sudah cukup sopan mengatakannya bukan?

Dia terdiam sebentar kemudian menggeleng, “Aniyo…bukan seperti itu, aku menyukaimu seperti seorang namjachingu. Andwaeyo?”

“Ya!!!! Bagaimana seharusnya aku harus mengatakannya padamu?” kesabaranku habis. Ini sungguh diluar yang bisa kuatasi.

“aku hanya ingin bertemu denganmu oppa…kau keberatan? Ah…aku membawakanmu sesuatu. Kau suka coklat?”

“Ya!!!!! Sin Oh Yun!!!” teriakku lagi, dan seperti dugaanku dibandingkan ketakutan dan lari dia hanya mampu menatapku takjub.

“Kau ingat namaku?”

Aisshhh…jinja….aku benar-benar bisa gila.

“Wae,wae,wae???” aku bergumam sendiri di dalam mobil, kenapa ingatan itu mulai datang satu per satu. Aku bahkan tak pernah sungguh-sungguh mengingatnya. Tapi kenapa sekarang semua itu seperti menyerang otakku dan membuatnya tinggal jauh lebih lama dari yang kuharapkan?  Ku pandangi ponselku, dan satu lagi ingatan tentangnya muncul ke permukaan.

Sore itu, saat hujan lebat dan hampir badai…aku harus tertahan di kantor manajemen cukup lama. Sejenak aku mengira aku akan terganggu lagi karena bertemu dengannya. Dan mengantisipasi ide itu jadi kenyataan aku sudah memikirkan tempat persembunyian bahkan kata-kata yang akan kugunakan untuk menyerangnya. Tapi…seraya aku berputar-putar di lobi seseorang tiba-tiba datang membawakanku segelas kopi panas dan sebuah catatan kecil.

“Gamsahamnida.” Kataku seraya menunduk singkat padanya. Dia membalasku dan buru-buru pergi tanpa sanggup kucegah.

Masih bertanya-tanya aku mengamati kopi itu sambil membalik catatan kecil itu.

 

 
   

 

 

 

 

 

 

 

 

Aku hanya bisa tertawa membacanya, dan merasa begitu bodoh tentang bagaimana sibuknya aku membuat rencana saat aku harus bertemu dengannya.

Jankamman….aku menghentikan mobilku spontan, merasakan keanehan untuk kenangan itu. aku terpaku, wae….kenapa aku harus memikirkan sesuatu bahkan sebelum bertemu dengannya? Apa secara tak sengaja aku menunggunya? Kenapa aku harus menunggunya? Dan benarkah saat itu aku kecewa karena dia ternyata tak muncul?

Nega??? Apa yang sesungguhnya telah dilakukan gadis itu padaku???

Aku tak tahu lagi, aku sudah tak mampu lagi berpikir. Aku hanya ingin memastikan satu hal…memastikan kenapa aku begitu tersiksa dengan lenyapnya gadis itu, kuputar begitu saja kemudiku di jalanan yang sunyi, mengabaikan decit ban mobil yang menakutkan karena gesekannya yang tajam oleh kecepatan tinggi yang sama sekali tak berusaha kukurangi saat melakukannya.

Dengan jendela yang masih lebar terbuka, aku bisa merasakan kekuatan angin yang menerpaku. Aku tahu aku sedang memacu mobilku dengan kecepatan yang jauh dari aturan yang sebenarnya. Seharusnya aku berhati-hati di jalanan yang mulai gelap ini, hanya saja…semua pikiran itu lenyap. Hanya dia yang tersisa di benakku. Mengaduk-aduk kewarasanku untuk berpikir dengan benar. Aku bahkan masih tak percaya dengan apa yang sedang kulakukan. Semua dorongan ini mengarahkanku padanya, rasanya aku akan menyesal seumur hidup jika tak melakukannya. Itu membuatku tak punya pilihan lain, aku akan melihatnya…sebentar melihatnya. meyakinkan diriku apakah semuanya hanya halusinasiku. Aku yakin dia saat ini tidur dengan nyaman di rumahnya, dia hanya akan bangun besok dan menjalani hidupnya dengan tenang. Tunggu….ahhh…jinja….itulah yang harus kulakukan.

Belokan yang kulewati kuhajar habis dengan singkat, dan hanya dalam waktu beberapa menit aku sudah berada di ujung jalan yang sama lagi. tempat dimana aku meninggalkannya berdiri menangis beberapa waktu yang lalu. Menyingkirkan keraguanku, dan anehnya itu begitu mudah kulakukan, aku beranjak keluar dari mobilku.

Rumah itu gelap, pagarnya terkunci. Apa dia sudah pergi tidur? Aku mendengus…bukankah ini sesuai perkiraanku?tampak Puas…aku melangkah mundur kembali ke mobilku. Ternyata sia-sia aku kemari. Meyakinkan sesuatu yang sudah pasti benar sungguh membuang waktu. Dia mungkin sudah tidur dan bermimpi indah. Aku hanya akan mempermalukan diriku sendiri jika dia tahu aku kemari apalagi tahu alasan sebenarnya aku berada disini.

“Kau sungguh hebat Sin Oh Yun…” gumamku. Meraih pintu mobil untuk membukanya. Memutuskan untuk pergi sebelum dia menyadarinya.

Tapi sejenak tanganku terhenti, aku terhenyak untuk beberapa saat begitu mataku menangkap bayangan punggung yang cukup jauh dari jangkauanku. Dari apa yang dikenakannya, aku tahu orang itu pasti Oh Yun. Apa yang dilakukannya disana? Kenapa dia berjalan seorang diri di tempat segelap itu malam-malam begini! Apa dia mau mati?

Kekhawatiranku mengambil alih tubuhku dengan cepat, aku membanting pintu mobil dan tanpa pikir panjang berlari mengejarnya.

“Oh Yun pabo!! Sebenarnya kau mau membuatku gila sampai sejauh mana??” kataku lebih pada diriku sendiri sembari berlari sebelum sosok itu menghilang dari pandanganku.

Dia berbelok! Kemana dia berbelok? Beruntung aku melihatnya sebelum aku kehilangan jejaknya. Dan beberapa meter kemudian kupelankan langkahku begitu aku yakin jarakku dan dia cukup dekat. Semakin pelan dan terhenti begitu aku melihatnya duduk di salah satu bangku kayu di tengah-tengah taman bermain.  Kepalaku penuh pertanyaan dengan apa yang akan dilakukannya…apa yang membawanya kemari semalam ini. semua keramaian sudah pergi, tak ada lagi anak-anak kecil berteriak memanggil ibunya disini atau penjual makanan ringan untuk sekedar mengganjal perut. Tak ada siapapun…jadi kenapa dia kemari?

Aku bertahan mengamatinya dari jauh, dan sepertinya dia masih tak menyadari kehadiranku. Aku juga tak beranjak mendekatinya, mencari jawaban yang ingin kuketahui. Keheningan malam dan udara dingin yang mulai menembus jaketku membuatku membeku….dan itu hanya sebagian dari alasannya. Inikah orang yang tak akan kutemui lagi? inikah seseorang yang akan berubah menjadi orang asing untukku? Kenapa sekarang kenyataan itu terlihat begitu berat untuk kupahami. Dia…gadis paling ceria dan tak tahu malu yang pernah kukenal. Apa aku tak lagi bisa melihat semua itu? lagipula kenapa aku membutuhkan semua itu darinya? Siapa dia?

Aku menggenggam tanganku kuat di balik saku jaketku, kesal dengan diriku sendiri. Dia disana…diam dan memandang kosong kegelapan malam yang tak menarik, sesekali memandang ponselnya ragu-ragu kemudian menurunkannya lagi. semakin menyiksa rasa penasaranku…tapi gerakan di sekitar sudut matanya yang merupakan petunjuk paling jelas untukku. Dia melakukannya sejak tadi, sejak dia mengucapkan selamat tinggalnya padaku.

Aku menunggu…tapi dia masih tak bersuara. Masih menggenggam ponselnya. Apa dia sesedih itu? apa aku menyakitinya sedalam itu? langkahku bergeser perlahan, aku ingin menghapus air mata itu. mengeringkannya dengan tanganku. Dan semakin dekat…tangis itu sampai ke telingaku, dan luka yang dirasakannya mengikat paru-paruku hingga membuatku seperti kehabisan nafas lagi. apa aku terlalu jahat padanya? Hingga orang yang kupikir tak bisa marah karena ulahku…sekarang bahkan menangis di tempat sesunyi ini? apakah dia selalu melakukannya diam-diam? Menderita sendirian? Dan berapa kali aku membuatnya menangis seperti di waktu-waktu yang lalu?

“Ya!!! Sin Oh Yun!!!” teriakku padanya, kemarahanku meledak. Marah pada diriku, merasa apa yang selama ini kulakukan sama sekali tak masuk akal. Bagaimana aku bisa memperlakukannya seburuk itu?

Dia mendongak, mencari suaraku dan tak butuh banyak waktu menemukanku yang cukup putus asa dihadapannya.

“Oppa….” panggilnya lirih, dia memanggilku begitu lagi. apa itu pertanda baik untukku?

Dia bangkit berdiri masih bingung, mungkin menemukan kesadarannya. Kemudian air mata itu mengalir lagi. “Oppa…miyanheyo, jeongmal miyanheyo…”

Miyan?? Miyanhae wae?? Aku sama sekali tak mengerti. Bukankah seharusnya dia mengusirku pergi.

“Aku berjanji tak akan mengganggumu lagi, tak akan menemuimu sebisaku. Tapi bisakah sesekali aku melihatmu? Melihatmu dari jauh sudah cukup untukku. Kumohon jangan menganggapku orang asing. Memandangmu yang tak mengenaliku sungguh menakutkan untukku. Ne oppa?? jebal…”dia mengatakan semuanya terburu-buru seperti ada sesuatu yang mendesaknya. Dia menunduk lagi…terisak lebih dalam. Hampir kehilangan kemampuannya bicara.

Aku terdiam, masih terkejut dengan reaksinya.

“aku sudah mencobanya oppa…percayalah aku sudah mencobanya. geundae…appo…mani appo…” dia meremas dadanya, “Yeogi…” masih menangis dihadapanku.

Aku menelan ludah, kerongkonganku terlalu kering untuk kenyataan yang terbuka di depanku. Buya?? Bagaimana kau bisa terluka seperti ini…kenapa aku bisa membuatmu begini menderita? Oh yun-ah…

“Pabo…” kataku lirih, merasa bersalah karena hanya itu kata yang bisa keluar dari mulutku.

“arayo…nan paboya! tapi jika menjadi bodoh bisa melihatmu, aku sungguh akan melakukannya.” Jawabnya semakin menyakitiku, perlahan menyakitiku.

Aku melangkah mendekatinya, sudah kupastikan…sekarang semuanya tampak lebih mudah untukku setelah melihatnya. aku mengerti sekarang sejauh apa dia sudah masuk dalam kehidupanku, sedalam apa dia menanam pengaruhnya dalam otakku dan sekuat apa kenangannya melampaui alam bawah sadarku. Untuk pertama kalinya, sejak aku meninggalkannya beberapa menit yang lalu, akhirnya aku bisa bernafas. Paru-paru bersorak lega dengan oksigen yang cukup. Tubuhku merenggang karena darahku kembali mengalir dengan benar. Bagaimana mungkin aku melepaskannya jika kehilangannya hampir merusak semua organ-organku dari dalam. Aku membutuhkannya untuk melanjutkan hidupku, paling tidak saat ini…aku tak tahu pengaruhnya akan menghilang dalam jangka waktu berapa lama. Tapi untuk saat ini, aku tak bisa melepaskannya. Aku benar-benar akan menjadi makhluk egois baginya, ingin memilikinya meski tanpa mengerti perasaan sebesar apa yang harus kuberikan untuk sepadan dengan apa yang dirasakannya padaku.

“Saran siapa yang kau ikuti? kau pasti akan mati jika kau berani merekomendasikannya pada temanmu.”

Dia mengangkat wajahnya, terbelalak seraya berpikir. “Mwo?”

Tak menunggunya memecahkan apapun dari makna yang tersirat itu, aku menarik lengannya meletakkan yang lain di belakang lehernya. Menciumnya.

Sesuatu yang ternyata begitu mudah kulakukan, dengan dorongan yang terlalu besar untuk kulawan. Dia milikku, tak akan ada kesempatan bagi siapapun untuk memilikinya, semua senyum itu, tawa itu dan kebodohan yang tanpa henti menempel padanya seperti penyakit akut itu. aku tak akan rela memberikannya pada siapapun.

Dia membeku di pelukanku, tapi aku bisa merasakan perlahan bulu matanya yang menyentuh pipiku menutup. Tangannya naik mencengkeram jaketku…seperti ingin berpegangan pada sesuatu untuk menahan dirinya dari kejutan yang kuberikan padanya. Namun, seperti saat aku pertama menciumnya dia tiba-tiba melepaskan diri dariku. Cukup linglung untuk berdiri. Dia menyentuh bibirnya sambil menggeser kakinya menjauh dariku.

Wajahnya tampak semakin merah bahkan di tempat segelap ini, dan aku yakin itu bukan karena sisa tangisannya. “Oppa…”

Aku tersenyum, mengerti apa yang jadi pertanyaannya, “ne…kau berhasil melakukannya. Semuanya kedengarannya mustahil untukku tapi kau melakukannya.”

Dia terdiam, terbelalak menatapku dan perlahan mulai bersuara. “Jin…jaro???” dia masih tak percaya. Membuatku semakin merasa gemas padanya. Bukankah ini yang diinginkannya? Apa wajahku yang sudah memalukan ini terlihat bohong dihadapannya?

“Ya!!! Paboya!! kau seharusnya bisa menebaknya saat melihatku disini. Apalagi yang sedang kulakukan selain merendahkan diriku disini setelah kau mengusirku? pergi secepat aku bisa?? Kau sungguh ingin menyingkirkanku seputus asa…Ah!”

Dia melompat ke pelukanku sebelum aku berhasil menyelesaikan kekesalanku padanya, membuatku hanya bisa tersenyum sambil memeluknya lebih erat. Ahhh…ini sungguh menyenangkan. Kapan terakhir kalinya aku sebahagia ini memeluk seseorang.

“Oppa…saranghae…jeongmal saranghae…”

Aku hampir meledak tertawa mendengarnya, sudah kuduga dia akan mudah mengatakan hal semacam itu. tapi kali ini rasanya begitu hangat mendengarnya. Kata-kata membosankan itu jadi seperti mantra yang membangunkan semua urat kebahagiaanku. Ya…kau memang harus mengatakannya.

Aku mengelus rambutnya, kali ini tak akan melepaskannya lagi. “Ara…da…ara…Oh Yun-ah”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
lovehyunzy #1
Chapter 1: so sad that i dont understand single word. :(