[FANFIC VER] - A DIARY

[FANFIC VER] - A DIARY

Mengapa engkau tega mengingatkanku pada memori hati tanpa seijinku? Memaksaku kembali memanggil lagi elegi itu. Membuatku lemah tak berdaya diambang perasaan ini. Mengenangmu menyesakkan jiwa. Kini aku hanya ingin melupakan semua. Menghapus air mata dan menyembuhkan luka. Tak seharusnya selama ini aku meratapi hidupku. Atas asaku yang tak pernah kuungkapkan padamu. Hari-hariku yang tak berarti. Seperti saat setelah kepergianmu, hatiku serasa dicabik-cabik pedang tajam seorang samurai tak berhati nurani. Masih memikirkanmu, tentu saja. Kuingat tatapan terakhir dari matamu, terpejam sudah kedua bola mata yang dulu selalu kunanti sinarnya.

Entah itu kuasa Tuhan atau setan. Tapi mengapa kau tak pernah mendatangiku dalam mimpi? Untuk sekedar memberi pancaran matamu yang kurindukan. Aku harus sadar, kau telah pergi untuk selama-lamanya. Beserta hati-hatiku yang berserakan untukmu. Kau cinta pertamaku. Semua orangpun dapat melihat penah asmara telah menusuk hatiku. Aku selalu membayangkan kau jadi kekasihku. Aku selalu berharap dapat mengungkapkan perasaanku padamu. Itulah satu hal yang sampai kini masih kusesali. “Tuhan, beritahu aku untuk berhenti mencintainya. Na ottokhe nega mollaseo.“

********************************************************************************************************************************************************************

April 2011.

Kala aku merasa sendiri. Ada sesuatu dari dalam hatiku yang mengatakan kau ada disini. Aku selalu tahu kau ada disini. Ribuan kali aku lukiskan cinta di dasar hatiku, aku tak ingin melupakanmu. Andai kau tahu, bayang dirimu masih terlihat di mataku. Kau takkan lekang dari dalam hatiku, meski kau tak pernah mencintaiku. Tak pernah kuingkari, ada sosok lain yang hinggap di hatiku, tapi tak satupun dari mereka yang lenyapkan kau dari hatiku. Jiwaku sepi tanpamu. Kau laksana mutiara indah dalam cangkang hatiku. Tetap terjaga rapat-rapat disana. Tetap bersinar walau tak ada mentari yang menyinarinya. Andai kau masih ada.

Aku ingin kau tahu satu hal. AKU MENCINTAIMU. Cukup itu saja, walau sekejap saja kau hadir kehadapanku. Aku mengingatmu dalam setiap detik dalam hidupku. Walau kutahu kau takkan kembali. #Now Playing: G. NA – I Miss You Already Pelan, air mata mulai membasahi pipiku. Na ottokhe nega bogo sipojyo, bolsso noye pumi geuriwo. Kuresapi satu persatu kata yang ada di lagu kesayanganku itu. Sama, sama persis dengan kehidupanku. Aku bingung. Apa yang harus kulakukan? Aku terus merindukanmu. Aku masih menyukaimu, kenapa kita harus dipisahkan oleh ruang dan waktu? Mungkinkah kau juga merasakan apa yang kurasakan?

Tetap percaya kita kan bertemu lagi adalah satu kata untuk menggambarkan isi hatiku sekarang. Sore tadi, kudengar cerita dari seorang teman. Lara hati yang sama denganku. Mencintai tanpa balas kasih yang pantas untuk kami. Perbedaannya adalah dia menempuh 4 tahun penantian untuk bersama seseorang yang dicintanya. Saat akhirnya dia harus berakhir terpuruk dengan serpihan hatinya. Melihat ‘seseorang’ itu telah mencintai orang lain, bahkan orang yang cukup dia tau. Youngmin, penantianku tak selama gadis malang itu. Cintaku juga mungkin tak sedalam gadis itu. Tapi ada beberapa kesamaan antara aku dan dia.

Kami sama-sama di belakang malaikat kami. Namja itu dan kau, Youngmin. Enggan pergi menjadi bayangmu, rela membunuh hati sendiri mendengar cerita tentang gadis-gadismu. Terutama, tak mau pergi dari hati malaikat kami. Inilah pengorbanan terbesar dalam hidup kami. Haha. Betapa bukan kekasih sejatinya aku. Selembar fotomu pun aku tak punya. Namun gambar dirimu masih terlihat jelas. Seperti aku baru melihat wajah itu hari kemarin. Rambut acak-acakan, mata indah bersinar, kulit yang putih. Harum tubuhmu pun masih kuingat. Tapi memang bukan didasarkan pada rupa fisikmu aku mencintaimu.

Ah, jadi teringat di suatu sore setelah pulang sekolah itu. Aku pulang melewati jalan yang biasa kulewati semasa aku bersekolah di bangku kelas 11 Sekolah Menengah Atas. Dengan membonceng motor yang dikemudikan appaku. Kami melaju perlahan. Sembari menikmati lembayung senja berhias kilauan air hujan di pepohonan. Desir angin menyapu seluruh tubuhku. Kuayunkan kakiku sedikit untuk lebih merasakan desiran itu, tak kuduga disanalah kulihat kau. Tak menyadari saat pertama melihatmu, sesosok dengan kaos hitam dan matic serta adik kecil, yang mungkin keponakanmu, di dashboard berdiri manis sambil kau ajak bercengkrama.

Hem, motor yang sama kau gunakan di saat ajal menjemputmu. Seketika seperti ada lantunan lagu indah di dadaku. Gembira, haru-biru. Jika itu cinta, kurasa bukan. Aku baru meyakini kau cinta pertamaku saat aku di bangku kelas 12. KAGUM. Itulah kata-kata yang tepat untuk menggambarkan suasana hatiku saat itu. Lirih aku berbisik, “Siapa namja itu?” kupandangi terus kau sampai sudah tak terlihat karena ada tikungan. Percayakah kau Youngmin? Itulah pertemuan pertama kita yang mungkin tak pernah kau sadari hingga napas terakhirmu. Mungkinkah kau percaya aku merindumu sampai saat ini? Hanya gemerisik rerumputan yang mendengar ungkapanku ini.

Pukul 2, tanggal 24, siang yang tenang untuk mengenang kisah kita. Dengan tubuh tertidur di atas bantal besar di teras rumah, aku melihat ke angkasa raya. Awan berarak-arak membuat bola-bola kapas lembut nan indah. Ada setitik cahaya di antara awan-awan itu. Makin dekat makin dekat dan makin dekat. Lambat laun membentuk sesosok tubuh. Laki-laki. Berambut acak-acakan. Bermata indah. Berkulit putih, indah. Dan tersunging seulas senyum paling manis sedunia yang pernah aku lihat. Kubuka lebar-lebar mataku. Tak pernah kulihat mimpi yang senyata ini. Malaikatku, Youngmin. Kau hadir ke hadapanku!

Cahaya terang itu kini tak lagi menyilaukan mataku. Benar-benar damai yang terlihat dari wajahmu. Tak ada bekas lara saat kau meregang nyawa. Namun hanya ada damai di sama. Menyambut diriku dengan tangan terulur. Mencoba menggapai jemariku. Walau tanganmu sedingin es, aku tetap erat menggenggamnya. Tak akan kulepaskan. Aku menangis. “Hajung-ah, kenapa kau menangis?” Tuhan, ini kali pertama dia berbicara padaku! “Saaa, saranghandageuyo.“ kataku terbata-bata. “Ssstt.” Pelan jarinya yang dingin menyentuh bibirku, mengisyaratkan aku untuk diam. “Kau tak perlu mengucapkan itu lagi. SARANG. Itu yang seharusnya aku katakan terlebih dahulu padamu. Beruntungnya aku. Meskipun aku. . .“

********************************************************************************************************************************************

2012, waktu sekarang.

KRIINNGG!! “Jungie, kau melamun?” Bel sekolah dan panggilan Hyuri, sahabatku, membuyarkan lamunanku tentang memori saat tiba-tiba aku bermimpi didatangi oleh Youngmin. “Ah, tidak aku hanya berpikir apa kau terpilih menjadi asisten Dosen Manajemen Keuangan“ kataku bohong. “Geojitmal! Aku tau itu. Tak perlu kau sembunyikan. Kenapa tidak kau katakan saja padaku?“ kata Hyuri. Berat, tapi aku akan mengatakannya pada Hyuri. “Aku tiba-tiba ingin mngunjungi makam Youngmin. Apa kau mau menemaniku membeli bunga pulang kuliah nanti?“ tanyaku. “Tentu!” Tak lama bus yang aku tumpangi berhenti di halte terdekat dengan makam Youngmin.

Aku sudah membawa 18 mawar putih, ini adalah angka kesukaannya dan bunga kesukaanku. Kulangkahkan kaki ke dalam areal pemakaman ini. Nama-nama yang tertera di setiap batu nisan yang tak kukenal kubaca satu-persatu. Aku seumur hidup belum pernah kesini! Eommaku melarangnya. Aku akan menjatuhkan harga diriku, begitu ujarnya. Aku nekad, demi melipur laraku. Uh, hatiku sudah tak kuat memandangi nisanmu, Youngmin! Aku mulai berlari, meninggalkan kesedihanku dan meninggalkan tempat ini. BRUUKK!! Kakiku kehilangan keseimbangan, ada seorang namja menabrakku di tangga makam.

Aku mendarat dengan pergelangan kaki kananku terpelintir lebih dulu dari anak tangga ke 3 atau 4 dari bawah. Buru-buru aku berusaha bangun namun tidak sukses. Seluruh kakiku seperti sakit semua dan darah segar mengucur deras dari mata kaki kananku. Untuk sesaat aku pusing setangah mati karena melihat darah, ya, aku takut darah. Namja itu mendekatiku. Langsung menanyakan padaku, “Neo gwaenchana, agasshi? Mianhamnida. Aku menabrakmu tadi di tangga”. Aku kebigungan menjawabnya, “Ah, gwaenchanseumnida. Lagi pula tadi aku yang turun tangga sambil berlari.” Aku tercekat, lidahku kelu.

Semenit yang lalu aku masih mengaduh dengan kakiku dan sekarang aku terpaksa menatap mata namja tadi, ia seperti Youngmin. “Apa agasshi bisa berdiri?“ ia bertanya. Aku diam.“Mungkin kakimu terkilir. Mari kubantu agasshi berjalan.“ Aku tetap diam. Malam sudah menjemput saat aku sampai di rumahku di daerah pinggir Myeongdong. Aku baru akan memegang handle pintu mobil namja tadi saat tiba-tiba pintu mobil sudah terbuka olehnya. “Kau tidak perlu repot-repot begini.“ aku tersenyum cengir. “Sudah seharusnya. Aku tidak repot kok.“ Dia berpamitan dan meninggalkan aku di depan pintu gerbang rumahku.

Kupanggil-panggil nama pembantu rumah tangga yang bekerja telah cukup lama, separuh usiaku. Kangwon Ahjumma, begitulah dia biasa dipanggil. Sejurus kemudian aku telah terlelap di tempat tidurku.

***********************************************************

Tok Tok Tok

“Annyeonghashimnikka. . .” “Ne, annyeonghashimnikka.” Ceklek, suara pintu terbuka. “Uuumm, ahjumma. Begini saya yang tadi malam menolong yeoja yang tinggal disini. Sepertinya tidak sengaja tadi malam dia meninggalkan handphonenya di mobil saya.” Namja ini mengakhiri kalimatnya dengan senyum. “Eh, maksudnya Hajung ne? Ah, Hajung-ah. . . Hajung-ah. . .” Tak lama anak perempuan yang dimaksud, Hajung. Sudah mempersilahkan masuk namja itu masuk.

********************

“Silahkan diminum dulu. Omo. . . handphoneku, gamsahamnida! Aku kira ini hilang entah dimana.” Aku bersyukur setengah mati karena namja ini menemukannya. Ah, aku lupa belum menanyakan namanya, “Aigoo, aku tidak sopan sekali. Sudah ditolong tidak tau namanya. Chogi, iremi muoshimnikka?” “Joneun Kwangmin imnida.” Deg! Entah, aku tak tau. Aku sudah berusaha bagaimana caranya menangkis kenyataan bahwa wajah laki-laki ini sama persis, aku tekankan sekali lagi. SAMA PERSIS! Dengan Youngmin, dan sekarang aku harus mendengar bahwa nama mereka hampir SAMA?!

Seolah tak percaya aku tanyakan sekeli lagi, “Nugu?” “Kwangmin, Jo Kwangmin imnida.” Apa? Bahkan marga mereka sama! Namun tak kubiarkan tangannya yang terulur menganggur begitu saja karena aku yang sibuk dengan kekagetanku oleh kesamaan marga Yongmin dan namja ini. Aku menyambut uluran tangan itu. Jemari itu begitu kuat. Hangat, “Joneun Hajung imnida.” Tak lama kami pun tenggelam dalam obrolan seru. Ternyata laki-laki itu tak jauh beda dengan Youngmin, hangat. Seperti genggaman tangannya tadi saat bersalaman. Dia enak diajak ngobrol. Wawasannya luas. Pandangannya sangat santun dan dewasa.

Aku memandanginya terus, sampai akhirnya dia bertanya, “Ada yang salah denganku? Kenapa dari tadi menatapku seperti itu?” “Oh, ige. . . “ aku gelagapan. “Eenngg. . . Kwangmin-ssi mengingingatkanku dengan sesorang” kataku jujur. Aku memanggilnya dengan imbuhan -ssi, seperti sebagaimana adat sopan santun di Korea. “Han saram?” Aku mengangguk. “Pacarmu?” “Mestinya begitu kalau kuterima pernyataan cintanya beberapa bulan sebelum dia meninggal.” “Apa sebegitu miripnya aku dengan dia?” Aku tak menjawab. “Bagaimana menceritakannya? Aku ingin menceritakannya denganmu tapii. . .” jawabku sambil menoleh kearah eommaku yang berjalan keluar kamar dan melewati ruang tamu. Menangkap sinyal yang aku berikan, Kwangmin mengajakku pergi.

***********************************

“. . . Mestinya begitu kalau kuterima pernyataan cintanya beberapa bulan sebelum dia meninggal. . .” Aku mirip dengan sesorang yang sudah meninggal? Mungkinkah? Sebulan kemudian –menunggu keberanianku datang untuk mendatangai rumah ayahku- Rumahku dulu dengan aboji, eommonim, dan Youngmin. Akhirnya aku melangkahkan kaki masuk ke rumah yang sebelumnya tak mungkin aku masuki lagi. Karena perceraian aboji dan eommonim tiga tahun sebelum kematian Youngmin. Kami, aku dan eommonim, tidak tinggal serumah lagi dengan aboji yang sudah memiliki istri barunya. Seperti dugaanku sebelumnya, aku menemukan sesuatu yang ganjil di kamar Youngmin.

Kupungut sebuah kalung liontin jam yang ada di rak sudut kamarnya.

****************************************************************************

Hari-hari berganti, aku dan Kwangmin semakin dekat. Kadang dia menungguiku selesai membantu dosen, dan kegiatan-kegiatan lainku sebagai Asisten Dosen. “Sebentar ya, aku tinggal ke toilet dulu.” Kata Kwangmin seraya melangkah pergi meninggalkanku di salah satu meja di KopMa. Kujawab dengan anggukan, hei! Apa yang ditinggalkannya di meja, batinku. Wah, kalung rupanya. Aku klik bagian atasnya yang seperti tombol stopwatch analog, terbuka! Ada kertas yang terselip di liontin jam ini. Ah, ini tidak benar. Aku tidak boleh seenaknya sendiri membuka kertas ini, ini kan milik Kwangmin, batinku. Namun rasa penasaranku yang kuat membuatku nekad membuka dan membaca isinya.

To: Park Hajung

:* Annyeonghaseyo? Aduh malah aku yang tersipu malu membayangkan senyumanmu :P Langsung ke intinya ya Jungie, aku sebenarnya ingin menyatakan dengan lebih resmi. Tidak lewat sms seperti itu, aku ingin memberikan ini dan menyatakan langsung padamu. Yah, kau tau lah. Siapa yang tau hari esok? Aku tau tak mungkin selalu ada kesempatan untuk menyatakan cintaku.

From: Jo Youngmin

“Apa ini?! Kau ini sebenarnya siapa?! Apa hubunganmu dengan Youngmin?!” Serentetan pertanyaan terlontar saat Kwangmin kembali ke hadapanku. Aku benar-benar tidak berharap apa yang Kwangmin katakan akan seperti apa yang aku bayangkan. “Aku tau ini pasti menyakitkan. . . “ “CEPAT KATAKAN SAJA!” aku menyambar kata-katanya yang belum sempat ia selesaikan. Kwangmin meraih tanganku, mengelusnya perlahan. “Simpanlah kalung ini. Bagi Youngmin kaulah cinta terakhirnya, tak perlu kau pedulikan aku. Sebagai kembarannya. Maafkanlah dia yang sampai saat ini masih membuatmu menangis. Hatimu pasti tidak terima, geurae? Tersiksa, terus memikirkannya sampai sekarang. Maafkanlah dia.” Bagaimana halus lembut kata saat dia bertutur tak perlulah kuceritakan.

Pendeknya, selembut malam-malam yang terselimuti mimpi-mimpiku. “Menangislah, kalau itu mampu mengurangi beban di hatimu.” “Antarkan aku ke makam Youngmin, aku mohon.” Tersenyum ia, mengangguk. Kurang dari 1 jam mobil Hyundai milik Kwangmin sudah terparkir dekat dengan tangga naik menuju tempat pemakaman, tangga tempat kami pertama kali bertemu. Tanpa membawa bunga, aku berbekal tangis. Aku berlutut, bersimpuh menghadap nisan Youngmin, aku mendongak. Menatap lurus ke manik-manik sayu yang sedari tadi menatap punggungku yang menggigil lewat tangisan-tangisanku disini, seakan mengatakan peluk tubuhku dan usap air mataku.

Dia meruntuhkan kesedihanku, sebuah pelukan dari Kwangmin yang belum pernah kutemui sebelumnya. Aku pernah berpelukan dengan banyak laki-laki. Tapi kenapa yang seperti ini baru kurasakan? Aku tak ingin membayangkan Kwangmin meninggalkanku seperti yang Youngmin lakukan. Kubalas pelukannya dengan erat seperti takut akan terhempas lagi kedalam kesedihan.

***************************************************************************************

Sejak awal, akulah pendosa disini, Hajung-ah. Aku jatuh cinta padamu pada pandangan yang pertama. Sulit untuk medengar keterbukaanmu padaku tentang Youngmin. Namja itu tidak memperdulikanmu dan tidak pernah menganggapmu. Namun kutemukan suatu celah untuk membuatmu percaya kau sempat Youngmin inginkan. Kalung itu, benar itu milik Youngmin. Tapi kertas itu? Ah, cinta tanpa harapan ini terlalu melukai hatiku. Akulah yang menulisnya semalam. Walau begitu aku tak bermaksud bermain dengan hatimu. Kau harus tahu, akan kusatukan lagi hatimu. Hingga kau memberikannya padaku. Namun kenyataannya aku tahu kau terlalu menginginkan Youngmin.

Setelah semua penantian itu kau harus menghadapi kenyataan yang menyakitkan, menyedikan. Ya, yeoja menyedihkan ini tengah menangis dalam pelukku. Tanpa peduli bahwa hati yang ada dibalik jiwa ini ingin memberikan kedamaian padanya. Dia, hati itu, menangis tentangmu. Dia memanggilmu. Dia mengatakan ada kau di dalam sini. Dia tahu kau terlalu lama memendam kesedihan. Sebenarnya hati ini yang bodoh atau hatimu, yeoja?

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet