Fin

Jenius
Please log in to read the full chapter

Wendy tersenyum ketika Irene menghampirinya. Tapi ternyata Irene berjalan tidak sendiri, ia bersama seorang wanita bersama Jennie keduanya saling tersenyum dan Jennie menggandeng tangan Irene. Ketika mereka sudah tiba di hadapan Wendy.

“Wen, maaf ya hari ini aku balik sama Jennie, soalnya aku mau nemenin Jennie.”

“Oh, ya udah Rene nggak apa-apa kamu sama Jennie aja.”

“Wendy!” Seulgi berlari ke arah Wendy dan langsung menggandeng tangan Wendy.

“Kamu temenin aku jalan yuk.” Irene hanya melihat interaksi keduanya.

“Ayok.” Ujar Wendy tak kalah bersemangat.

“Ya udah Rene aku nemenin Seulgi ya. Kita janjian lagi nanti. Bye.” Ujar keduanya berlalu dari pandangan Irene dan Jennie.

 

“Tadi  Jennie ya Wen, yang sering kamu ceritain itu.”

“Iya.”

“Nggak berhenti aja Wen.”

“Iya, kayaknya aku mau berhenti deh. Capek juga.”

“Kamu emang udah confess Wen.”

“Udah, dua kali tapi tetap aja jawabannya sama.” Wendy sambil nyengir jawab Seulgi.

“Ya udah Wen, berhenti aja.” Wendy mengangguk dan tersenyum sambil meminum minumannya yang di traktir Seulgi.

 

“Eh, kemaren aku di kasih jaket dong sama Kak Wendy.”

“Aku juga loh di kasih hot pack. Tu orang baik banget ya.”

“Kak Wendy emang terkenal baik ke siapa aja sih.”

“Aku pikir dia perhatian kayak gitu ke  kak Irene aja.”

“Ke siapa aja kali, buktinya kemaren waktu kak Joy jatuh pas lari yang paling heboh kan kak Wendy.”

“Iya juga ya, berarti aku salah faham selama ini. Orang tuanya kak Wendy didik anak top banget sampai perhatian gitu ke siapa aja.”

“Jadi pengen PDKT sama tu orang, gimana ya kalau jadi pacarnya kak Wendy, pasti bahagia banget ada yang perhatian sama kita gitu.”

“Iya aku juga punya cita-cita cari pacar kayak kak Wendy.” Tanpa mereka sadari Irene berjalan di belakang keduanya, mendengar percakapan adik kelas mereka.

 

Irene berhenti di gerbang sekolah, hari ini ia tidak di jemput. Niatnya Irene hari ini dia pengen naik bus, nggak tau kenapa. Apa mungkin dia kangen pulang bareng Wendy yang selalu naik bus, karena akhir-akhir ini ia selalu pulang sedikit terlambat karena harus ikut kegiatan tari di kampusnya.

“Hai Rene, tumben belum di jemput.”

“Aku lagi kepengen naik bus.” Tak lama sebuah mobil berhenti di depan Irene.

“Rene, pulang bareng yuk.” Dari mobil itu Jennie menurunkan kaca mobilnya sambil menawarkan tumpangan kepada Irene.

“Nggak dulu Jen, hari ini aku mau naik bus sama Wendy.”

“Ayolah Rene, kalau naik bus kamu jalan lagi kan ke rumah mu.”

“Nggak apa Jen, hitung-hitung olah raga.” Jawab Irene sambil tersenyum ke arah Jennie.

“Ya udah kalau gitu, aku duluan.” Jennie pergi dari sana meninggalkan Irene dan Wendy. Wendy sedikit bingung dengan sikap Irene, karena memang Irene tidak pernah menolak ajakan Jennie.

“Kok nggak pulang bareng Jennie, kan dia bisa antar kamu sampai depan rumah.”

“Kamu juga bisa antar aku sampai depan rumah.”

“Ya tapi kan nggak jalan kaki Rene.”

“Kalau aku pengennya jalan kaki sama kamu emang kenapa.”

“Terserah lah, dasar kepala batu.” Wendy jalan terlebih dulu, Irene berlari kecil menyusul Wendy, di rasa mereka sudah berjalan sejajar tanpa canggung Irene menautkan tangan keduanya. Tangan mereka sudah seperti magnet yang kalau udah dekat saling tarik menarik.

 

Irene beberapa kali menguap dan wajahnya terlihat capek.

“Kamu kalau ngantuk, barung di bahu aku aja Rene.” Dengan senang hati Irene membaringkan kepalanya di bahu Wendy, dan ia pun mulai terpejam, karena memang ia merasa ngantuk. Perjalan dari sekolah ke rumah keduanya membutuhkan waktu 15 menit. Rumah mereka searah, rumah Irene dan Wendy hanya berjarak beberapa rumah. Keduanya memang dekat sebagai sahabat, sudah lama mereka selalu bersama. Di sini, Wendy merasakan apa yang ia miliki dengan Irene sangat berarti, sudah 2 kali Wendy menyatakan perasaannya pada Irene, namun gadis itu menganggap apa yang Wendy rasakan padanya karena kedekatakan keduanya selama ini.

“Rene, kita udah sampai.” Wendy dengan lembut membangunkan Irene, akhirnya mereka berdua turun dan jalan bersama menuju rumah mereka.

“Kamu sekarang makin terkenal ya Wen.”

“Maksudnya?”

“Iya, aku tadi dengar ada adik kelas yang muji-muji kebaikan kamu.” Wendy hanya tersenyum.

"Kamu kan tau aku orangnya gimana Rene."

"Aku sempat mikir kamu ngelakuin itu cuman buat aku Wen."

"It was Rene, tapi aku mikir lagi kenapa cuman ke kamu aja. Sedangkan banyak juga yang butuh diper

Please log in to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
chchcn #1
Chapter 1: Nyesel dulu baru jadian ya nggak hehehe
hardcolors #2
Chapter 1: Niceeee