end.

Reunite
Please Subscribe to read the full chapter

 

 

 

 

 

 

 

Istirahat makan siang adalah waktu yang ditunggu-tunggu bagi sebagian besar pekerja korporat untuk meregangkan tubuh dan merilekskan pikiran mereka. Sejak sepuluh menit yang lalu ruangan sudah mulai longgar dan sepi, ditinggalkan oleh penghuninya menuju ke kantin atau warung-warung sekitar jalanan kantor. Ada pula yang langsung mengeluarkan bekal empat sehat tidak sempurnanya ke arah pantry atau balkon untuk mereka santap di sana.

 

Berbeda dengan Kim Chaewon. Beberapa hari ini ia sudah membiasakan diri untuk tidak ikut keluar ruangan. Ia punya rencananya sendiri.

 

Setelah menatap nanar layar laptopnya selama beberapa detik, ia pun menyerah dan menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi—menghela nafas sejenak. Tangannya terkulai ke lantai, berusaha merogoh isi tas tangannya, seperti sedang mengacak undian berhadiah.

 

Oke, kira-kira siapa yang akan jadi pemenang hari ini…? Monolog Chaewon dalam kepalanya.

 

Yak, selamat kepada Ibu Almond & Chocolate! Lanjutnya, sambil tersenyum melihat bungkusan protein bar di tangannya—menu santap siangnya hari itu.

 

“Lo seriusan mau makan itu doang?” rekan kerjanya, Winter, melongo melihat protein bar yang sudah Chaewon gigit seperempat. Rupanya ia masuk kembali ke ruang meeting, kelupaan untuk mengambil ponselnya yang sedang diisi daya batrei.

 

“Gue lagi ngidam ayce. Ntar malem, yuk?”

 

Winter mendengus mendengar jawaban tidak nyambung itu. “Lo makan makanan diet demi bisa buffet ntar malem?? Okeeeh!” seru gadis berambut hitam sebahu itu, yang seringkali orang salah kira dirinya dan Chaewon adalah satu manusia yang sama.

 

“Lagi stres banget kayaknya nih, sampe keluar setan rakusnya,” kekeh Winter seraya mendekati Chaewon dan memijit pundaknya perlahan.

 

Membuat Chaewon memejamkan matanya—masih mengunyah protein barnya—dan merilekskan pundaknya, pasrah akan sentuhan jemari Winter yang menekan simpul-simpul ketegangan pada bahunya.

 

“Tenang aja, ntar budgetingnya gue bikin serinci mungkin biar lo kalo mau koreksi gampang. Yang ga masuk akal langsung gue cut,” kata Winter sedikit memberi kepastian bahwa progres pekerjaan mereka akan baik-baik saja.

 

Chaewon tahu, ia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan begitu dirinya ditunjuk sebagai project leader sebuah campaign di perusahaan tempatnya bekerja. Ada ideologi dalam dirinya yang harus ia taati agar project ini berjalan sesuai dengan rencana dan harapannya. Tidak heran jika hal ini sedikit membuatnya tertekan. Sehingga dalam seminggu belakangan, prioritas dalam hidupnya hanyalah bagaimana agar project perdananya bisa diterima, berjalan dengan lancar, dan tentunya sukses mencapai target. Oleh karenanya, ia berjanji akan meminta maaf pada dirinya sendiri nanti, kalau project ini sudah selesai.

 

 

 

Sesuai dengan permintaannya, sepulang kerja, Winter menemaninya pergi makan ke resto ayce favorit mereka, bersama dengan rekan satu tim lainnya, Yunjin dan Lia.

 

Sambil menyantap makan malam mereka, obrolan dan candaan pun saling melengkapi kebersamaan itu. Melepas penat dunia kerja sejenak untuk kembali menjadi insan biasa dan gadis-gadis di penghujung dua lima.

 

“Makan yang banyak, Jin,” celetuk Winter sambil meletakkan daging panggang yang baru matang ke piring Yunjin. “Kasihan dia, abis diputusin,” lanjutnya. Membuat Chaewon dan Lia sontak menoleh ke arah Yunjin yang malang.

 

Dengan cekatan, Lia yang duduk di sebelahnya pun langsung menghibur Yunjin dengan kata-kata emasnya. Bahwa ini bukanlah akhir dari segalanya dan dirinya akan siap sedia menyediakan telinga dan bahu untuk rekannya itu.

 

Chaewon pun jadi teringat akan lembar percintaan dalam hidupnya yang sudah lama kosong dan terabaikan. Seakan memang sengaja untuk ia tinggalkan begitu saja semenjak peristiwa itu. Saat di mana dirinya mati-matian melupakan seseorang dan mencari pelampiasan demi kebaikan dirinya sendiri.

 

“Guys, kalo semisal kalian ada kesempatan buat ketemu sama mantan gebetan yang paling ga bisa kalian lupain. Kira-kira kalian bakal ambil kesempatan itu, ga?” tanya Chaewon tiba-tiba, membuat ketiganya berhenti mengunyah dan berpikir untuk menjawab pertanyaannya.

 

“Tergantung, sih. Kalo gue ada kenangan baik sama dia, ya gue mau aja ketemu. Ngobrol gitu, nostalgia. Asal pas lagi ga punya pacar,” jawab Lia.

 

Winter pun meneruskan, “Kalo gue sih ga mau ya. Prinsip hidup gue kan, ‘masa lalu biarlah masa lalu~ jangan kau ungkit jangan ingatkan aku~’,” sambil joget jempol dangdutan.

 

Dan Yunjin pun tertular menyambungnya, “Masa lalu biarlah masa lalu~ sungguh hatiku tetap cemburu~” lengkap dengan beatbox kendang outro-nya.

 

Meski pertanyaannya tidak sepenuhnya terjawab, tetapi Chaewon tidak menyesal karena hiburan dadakan yang rekan kerjanya berikan.

 

 

 

Selesai dengan rutinitas malam, Chaewon duduk di samping kasur dan membuka laptopnya. Mengecek agenda apa saja yang harus dirinya lakukan esok hari. Ini sudah hari Rabu dan jadwal presentasinya adalah Senin minggu depan. Ia tentu ingin mempersiapkan yang terbaik bagi timnya, reputasi kerja, serta harapan dalam dirinya sendiri.

 

Sebelum ia teringat akan undangan reuni yang ia terima pagi tadi. Cukup mendadak memang, tetapi ia sendiri juga yakin jika tidak mendadak maka agenda itu hanyalah jadi wacana selamanya.

 

Lima tahun yang lalu adalah waktu di mana dirinya masih aktif terlibat komunitas modern dance di fakultasnya. BFF atau “Blue Fame FISIP” adalah nama tim mereka, yang terdiri dari berbagai macam angkatan mahasiswa yang masih aktif. Chaewon adalah generasi kedua dari komunitas itu. Selain karena tergabung dalam dance crew sekolah ketika SMA, ada daya tarik tersendiri baginya atau lebih tepatnya seseorang yang membuatnya mantap bergabung dengan BFF untuk waktu yang lama.

 

Tanpa Chaewon sadari, jarinya pun sudah menari di touchpad laptop untuk mencari folder kenangan semasa kuliah itu. Dan ia pun mendapatkan apa yang ia cari, sebuah folder dengan nama “BFF ❤”.

 

Berbagai macam foto ia temukan di sana, membuat sudut bibirnya terangkat sempurna mengenang memori-memori indah di masa itu. Mulai dari foto ketika latihan rutin, hangout bareng, persiapan kompetisi, perform di acara-acara kampus, dan foto dirinya berpose memegang sebelah piala kemenangan sebuah kompetisi, sebelah lainnya dipegang oleh kakak tingkatnya. Atau lebih tepatnya, sosok yang ia jadikan role model. Alasan utama dirinya bergabung di BFF. Sosok yang pernah membuatnya berseri-seri, sekaligus pelaku di balik patah hati terbesar dalam hidupnya.

 

Chaewon akui, masih ada sedikit bagian dari dirinya yang belum bisa menerima kenyataan bahwa crushnya semasa kuliah tidak pernah melihatnya dari sisi lain. Apapun usaha yang ia lakukan, berapa banyak kata pujian tulus yang ia utarakan. Katingnya itu akan selalu menghiburnya dan mengatakan bahwa Chaewon sudah ia anggap seperti adiknya sendiri.

 

Foto itu ia lalui, hingga beberapa langkah kemudian, sebuah klip video terpampang di layar. Ia coba mengingat konteks video ini dan akhirnya menyerah, memilih untuk menekan tombol play saja. Oh…rupanya cuplikan video ketika makrab.

 

Chaewon jadi teringat peristiwa itu, di mana ketika ia ingin merekam Sakura—crushnya—dan menjadikannya kenang-kenangan secara diam-diam. Tetapi rencananya gagal karena seorang teman di sampingnya melihat aksinya dan ikutan nimbrung berbicara terlalu keras, sehingga menarik perhatian Sakura—dan gadis di sebelahnya. Karena tidak ingin malu ketahuan sedang bucin, Chaewon pun ikut-ikutan temannya untuk bermain-main dengan rekaman video itu—yang entah mengapa jadi berpindah fokus ke gadis di sebelah Sakura.

 

“Cinta pertama…aku menemukan cinta pertamaku…,” kata temannya berlagak menjadi narator ketika Chaewon memperbesar optikal kamera ke sosok gadis itu—gadis yang tidak Chaewon ketahui namanya selama ini.

 

 

(flashback)

 

Ketika aktivitas malam, Chaewon yang sudah mulai suntuk dengan permainan kartu akhirnya memilih untuk keluar ruangan. Lantas kecewa saat mengetahui bahwa spot impiannya sudah dipakai duluan oleh seseorang yang tidak ia kenali punggungnya. Karena sudah kepalang tanggung dan malas untuk kembali ke dalam villa, ia pun melanjutkan langkahnya mendekati spot itu.

 

“Hei, kayaknya gue belum tahu nama lo?” sapa Chaewon ketika sadar bahwa gadis yang duduk di sampingnya adalah subjek tak terduga dalam rekaman videonya sore tadi.

 

Gadis itu nampak sedikit terkejut dan segera memindahkan cup tehnya ke tangan kiri, menawarkan jabatan tangan kanan kepada kakak tingkatnya.

 

“Halo kak, sori. Gue Kazuha. Kita ga pernah satu tim soalnya hehe.”

 

Chaewon membalas jabatan tangan Kazuha. “Chaewon. Sama siapa biasanya?”

 

“Sama kak Yeji,” balas Kazuha sambil nyengir.

 

“Ohh pantes ga pernah tahu. Gue di timnya Kkura.”

 

“Iya, kak. Gue tahu. Btw, kenapa kok kak Chaewon ga bikin tim sendiri aja?”

 

Chaewon menaikkan sebelah alisnya, “Why…?”

 

“Ya… Kalo gue lihat sih lo mampu ngelead dan bikin tim sendiri.”

 

Pernyataan Kazuha membuat Chaewon hening sejenak.

 

“Eh sori, kak. Gue lancang banget ya ngomongnya?” Sebelah tangan Kazuha menyentuh paha kiri Chaewon. Membuat sang empunya anggota tubuh mengeluarkan senyumnya.

 

“Engga, santai aja. Gue cuma kaget, soalnya belum pernah denger orang ngomong gitu ke gue.”

 

“Ini dalam artian positif ya kak, beneran. Gue bahkan siap kapan aja buat pindah ke tim lo kalo semisal lo mutusin buat bikin tim sendiri.”

 

Chaewon menangkup tangan Kazuha yang masih berada di atas pahanya. “Thank you ya, udah lihat sisi lain dari diri gue. Tapi gue masih belum kepikiran buat lakuin itu.”

 

Sepersekian detik kemudian, Kazuha menarik kembali tangannya sambil mengucapkan maaf. Baru sadar jika tangannya melakukan kontak fisik terlalu lama dengan orang yang baru ia kenal.

 

“Kok malah di luar? Ga ikut main?” tanya Chaewon basa-basi untuk memecah kecanggungan mereka.

 

Kazuha menyeruput minumannya, “Bosen kalah kak, gue ga pernah beruntung kalo main game. Kak Chaewon sendiri?” Ia pun menawarkan teh hangatnya kepada Chaewon yang terlihat tidak membawa apapun.

 

“Sebetulnya males ikut makrab,” bisiknya ke arah Kazuha dan menerima sodoran cup plastik di tangannya. “Cuma dipaksa anak-anak,” lanjutnya.

 

Kazuha menunggu katingnya selesai minum sebelum melemparkan sebuah bom fakta ke arahnya, “Pasti karena kak Sakura ikut, kan?”

 

Dan benar saja, untung Chaewon sudah menelan minuman hangat itu sehingga ia tidak tersedak parah. Bukannya menolong, Kazuha malah terbahak-bahak di kursi rotan yang ia duduki. Membuat Chaewon menatap sinis ke arahnya.

 

“Semua orang tahu, ya?” tanya Chaewon pasrah.

 

“Semua orang tahu, kak,” kata Kazuha berusaha meredakan tawanya.

 

Mereka pun terdiam dalam pikiran masing-masing, menengadah mengamati bintang yang menghiasi langit malam.

 

“Lo bisa jaga rahasia, ga?” Chaewon tiba-tiba memberi adik tingkatnya sebuah penawaran.

 

“Waduh, apa nih, kak?”

 

“Lo ada naksir siapa gitu di sini?”

 

Kazuha tersipu mendengarnya. “Engga ada sih, kak. Kenapa, kak?”

 

“Oh… Ya kalo ada ntar gue bantu comblangin, buat bayaran lo mau jaga rahasia gue.”

 

“Spill aja, kak. Ga dibayar juga gue ga masalah kok. Daripada sama-sama bosen ga tahu mau ngapain di sini.”

 

Chaewon pun kembali meminum teh hangat di tangannya—bekalnya untuk bercerita, sebelum mengembalikan ke sang empunya.

 

Ia pun mulai berc

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
yeonier #1
Lets gooooo