Fin

Minjeong's (Prequel)
Please Subscribe to read the full chapter

 

 


Kehadiran Pertama

 

Subuh itu sebuah ruang bersalin menampakan hiruk pikuk. Tiga orang paruh baya dengan beragam ekspresi berada di koridor di hadapan ruang bersalin itu. Seorang wanita dan dua orang pria.
Sedangkan didalamnya -ruang bersalin- seorang ibu muda tengah berjuang. Ia terkadang memejam, terkadang genggamannya pada pria disampingnya mengerat sampai buku-buku jarinya memutih. Ia melakukan semua instruksi yang diberikan padanya. Ia hanya ingin rasa sakit itu pergi.


'Aku benci rasa ini, sakit. Manusia kecil yang berada dalam perutku seolah ingin membunuhku perlahan' hati si ibu muda menggerutu.

"Ayo sayang kamu pasti bisa" ujar pria yang sedari tadi mengikuti mimik yang ibu muda itu lakukan.

 

Sang ibu muda kini perlahan mengatur napas dengan perasaan lega, perutnya kini tak sebesar tadi. Erangannya berganti dengan tangisan dari manusia kecil yang menyita seluruh atensi di ruangan itu.

"Selamat nyonya bayinya perempuan" seorang bidan dengan pakaian serba putih menyodorkan sesosok manusia kecil pada dekapannya.

'Perempuan huh' matanya berkaca, tak sadar ia mengelus pipi puan kecil ini.

Dia begitu kecil, rapuh, tak berdaya. 
'Apa yang terjadi jika kau ku lempar dari sini' ia bermonolog sembari tangannya kini beralih pada tangan yang lebih kecil itu.

'Lihat. Bahkan tanganmu hanya bisa menggenggam kelingkingku'
'Atau bagaimana jika ku tutup hidung mungilmu itu?'
'Atau—'

"Jimin, sayang. kenapa belum disusui?" pria yang setia menemani Jimin -si ibu muda- membuyarkan lamunan sadisnya terhadap bayinya.

"H-how?" Jimin dan pria tadi saling tatap sama-sama bingung.

"Tunggu aku panggil suster" dia kembali bergegas keluar ruangan, Jimin menatapnya menghilang dibalik pintu berganti dengan tiga orang paruh baya yang menghampirinya dengan senyuman dan perasaan yang sama leganya dengan Jimin karena dia dan bayinya sama-sama selamat.

Jimin hanya menarik sudut datar pada bibirnya. Setengah hati untuk membalas senyuman mereka.

 

Sehari, dua hari, seminggu, dua minggu, Jimin selalu tak tahan dengan tangisan bayinya.

Ia akan ikut menangis jika bayinya tak kunjung diam.
Ia kadang membiarkan saja bayinya sehingga ia berhenti sendiri.
Ia tak menginginkan manusia kecil yang orang-orang sebut bayi itu.

Ia sudah berusaha menjadi ibu yang baik -menurutnya- yang menyusui, meninggalkan apapun yang sedang Jimin lakukan ketika mendengar tangisan dari bayinya itu.

Tapi semuanya hanya membuat Jimin merasa gila.
Tak ada waktu untuknya dan salon. 
Tak ada waktu untuknya dan buku-buku yang sudah setengah jalan ia baca. 
Tak ada lagi jalan-jalan ketika weekend. Bahkan seolah tak ada waktu untuk sekedar mandi dengan tenang.

Ia juga tak merasa senang ketika pria yang tinggal serumahnya datang. Jimin tahu pria itu meringankan bebannya namun entah Jimin tak pernah merasa diringankan apapun olehnya.

Namun tetap saja Jim

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet