현실 이별 (The Farewell is Real)

현실 이별 (The Farewell is Real)

== PROLOG ==

Jangan biarkan darah menodai tanganmu dan jangan biarkan dendam menodai hatimu. Jangan rusak dirimu dengan nama balas dendam. Biarkan masa lalu menjadi masa lalu. (29 Juli 2021)

 

===

ANDWAE! [JANGAN!],”

Di dalam sebuah ruangan bernuansa abu-abu itu menggema suara teriakan dari seorang laki-laki yang masih terbaring di tempat tidurnya meskipun matahari menampakkan dirinya dan perlahan cahanya mulai menyusup melalui sela-sela kecil untuk menerangi ruangan itu. Matanya masih terpejam, napasnya seolah tersesak, namun keringat dingin bercucuran di dahinya yang mengernyit. Ya, dia baru saja bermimpi buruk hingga membuatnya enggan untuk membuka matanya. Karena ketika dia membuka matanya, dia harus menghadapi kenyataan yang bahkan lebih menakutkan dari mimpi buruk yang baru saja dia alami. Dan saat dia membuka matanya, hari-hari di depannya lebih menyesakkan dari adegan-adegan dalam mimpi buruk yang selalu mendatanginya itu.

***

 

1 Tahun yang Lalu…

Malam itu, petir terdengar saling bersahutan. Bahkan pemandangan langit gelap semakin tak bersahabat dengan sesekali kilat menampakkan dirinya seolah sedang memberi pertanda bahwa kedatangannya bersama hujan deras itu bukanlah alamat yang baik. Suara hujan kian deras meskipun setelah lebih dari satu jam langit mencurahkan air dari awan gelap yang masih belum enggan untuk meredakan tetesan demi tetesan hujan yang terus membasahi tanah kota Seoul yang tengah disapa dinginnya musim gugur itu. Sementara itu, suara sirine sebuah ambulans yang terparkir tepat di depan sebuah galeri seni pun turut mengiringi suara hujan yang masih belum lelah untuk tercurah itu.

“Kim Timjang [Ketua Tim Kim]!”

Saat terdengar sebuah suara yang cukup lantang untuk mengalahkan derasnya suara hujan itu, beberapa petugas mencoba menghentikan seorang detektif berpakaian serba hitam itu untuk mendekat pada laki-laki paruh baya yang dia panggil dengan sebutan Ketua Tim Kim itu.

Nwa [Lepaskan]!” ucapnya saat beberapa petugas mencoba menghentikannya.

Timjang-nim [Ketua Tim], apa yang terjadi?” tanya seorang petugas berpakaian preman yang baru saja datang namun tampak lebih tenang itu sehingga tidak ada petugas ayang menghalanginya untuk mendekat pada Ketua Tim Kim.

Ketua Tim Kim, atau Inspektur Kim Jungkook yang merupakan Ketua Tim Kejahatan Kekerasan Kepolisian Kota Metropolitan Seoul Unit 1 itu terdiam. Hanya menghela napasnya dalam-dalam sambil menatap kedua anggota timnya yang baru saja sampai di lokasi itu. Bibirnya membeku, lidahnya kelu, dia tak snaggup untuk memberikan jawaban yang sebenarnya seolah tertahan di pangkal tenggorokannya itu karena dia pun belum bisa menerima kenyataan yang baru saja terjadi di hadapannya itu.

Hyung, daedabhae [Hyung, jawab]!”

Menghilangkan formalitas di antara mereka, akhirnya detektif berpakaian hitam itu memanggil Ketua Tim Kim dengan sebutan ‘Hyung’ dengan harapan agar Ketua Tim Kim mampu memberinya jawaban.

“Seonghwa-ya, dengar…”

Belum sempat Ketua Tim Kim mencoba menjelaskan yang sebenarnya terjadi, namun beberapa petugas membawa sebuah tandu keluar dari dalam galeri seni itu. Dapat dipastikan ada seorang korban yang mereka bawa, dan dapat dipastikan bahwa nyawa korban tidak lagi bisa diselamatkan saat sebuah kain berwarna putih itu menutupi seluruh tubuhnya. Saat para petugas forensik hendak membawa jasad itu masuk ke dalam ambulans, tangan jasad itu terkulai.

ANDWAE [TIDAK]!” ucap detektif berpakaian serba hitam bernama Seonghwa, Park Seonghwa itu saat matanya menangkap dengan jelas tangan yang terkulai itu.

Melalui sebuah cincin yang masih terpasang sempurna pada jasad itu, Seonghwa mampu mengenali jasad siapa yang tengah dibawa oleh para petugas.

NWA [LEPASKAN]!” teriak Seonghwa.

Seonghwa masih mencoba menerobos penghalang para petugas yang tengah menahannya untuk mendekati pada jasad itu.

Andwae [Jangan], Seonghwa-ya…”

Ketua Tim Kim mencoba membujuk Seonghwa untuk tidak mendekati jasad yang sedang dimasukkan ke dalam ambulans itu.

NWA [LEPASKAN]!” ucap Seonghwa seraya menerobos para petugas yang menghalanginya dan menghampiri jasad itu.

Hyungnim!” teriak seorang detektif bernama San, Choi San, yang datang bersamanya itu.

Seonbaenim [Senior]!” ucap seorang detektif bernama Jung Yunho yang sudah berada di lokasi bersama Ketua Tim Kim.

Seonghwa menghampiri para petugas yang tengah membawa jasad itu.

Jamkkanman [Sebentar]…” ucap Seonghwa.

Para petugas pun berhenti dan membiarkan Seonghwa mencoba memeriksa jasad yang tengah mereka bawa. Perlahan, Seonghwa membuka kain penutup berwarna putih itu untuk memastikan bahwa ini tidak seperti yang dia lihat, memastikan bahwa jasad itu bukanlah jasad orang yang begitu dia kenali.

“Ji… Jihyeon-a…”

Tangis Seonghwa pecah saat kain berwarna putih itu terbuka, menampakkan dengan jelas wajah pucat seorang perempuan dengan mata tertutup sempurna, dengan noda darah yang mengotori wajah cantiknya. Wajah yang jelas sangat Seonghwa kenali itu, membuatnya terkulai lemas hingga terduduk berlutut sambil masih memegangi kain penutup berwarna putih yang membuatnya harus menemukan kenyataan bahwa seseorang yang begitu dia kenali, bahkan dia cintai itu kini tak bernyawa lagi.

“Jihyeon-a, maldo andwae [tidak mungkin]…”

Melepaskan tatapannya dari wajah jasad seorang perempuan bernama Jihyeon itu, perlahan Seonghwa menjangkau tangannya yang terkulai memucat itu. Pada jemarinya, masih terpasang sempurna cincin yang sangat Seonghwa kenali itu. Ya, cincin persahabatan yang Seonghwa juga memilikinya.

“Maaf, kami harus segera membawanya untuk diotopsi,” ucap salah satu petugas.

Jamkkanman [Sebentar]…”

Seonghwa memohon pada petugas untuk membiarkannya sejenak lagi menatap wajah dan tangan Jihyeon untuk terakhir kalinya.

Hyungnim…

San dan Yunho mendekat dan mencoba membujuk Seonghwa untuk membiarkan para petugas forensik membawa jasad Jihyeon. Sementara itu, Ketua Tim Kim memberi isyarat pada para petugas untuk segera membawa jasad Jihyeon. Perlahan, Yunho membantu menutup kembali kain berwarna putih itu, sedangkan San mencoba melepaskan tangan Seonghwa yang masih enggan melepaskan tangan Jihyeon yang sudah dingin dan kaku itu.

Hyungnim, lepaskan, ya?” bujuk San sambil melepaskan tangan Seonghwa dari tanhan Jihyeon.

Setelah San berhasil melepaskan tangan Seonghwa dari tangan Jihyeon, para petugas pun memasukkan jasad Jihyeon ke dalam ambulans dan membawanya untuk selanjutnya dilakukan otopsi.

“Jihyeon-a…”

Ketua Tim Kim, Seonghwa, San dan Yunho hanya mampu menatap kepergian ambulans yang membawa jasad Jihyeon itu. Meskipun suara sirine ambulans kian pelan karena jaraknya yang semakin menjauh dari tempat mereka berada, namun suara derasnya hujan masih dengan kejamnya membisingi malam yang dingin itu. Selain suara derasnya, air hujan itu pun bercampur dengan air mata Seonghwa, San dan Yunho yang juga perlahan mulai meneteskan air matanya seiring dengan pemandangan ambulans yang semakin jauh hingga tak terlihat lagi itu.

Ya, di malam yang gelap dan disertai hujan deras ini, telah terjadi sebuah pembunuhan yang memakan korban seorang perempuan bernama Jihyeon, Lee Jihyeon yang juga merupakan seorang detektif anggota Tim Kejahatan Kekerasan Kota Metropolitan Seoul Unit 1 itu. Yang mana, Jihyeon memang ditugaskan untuk menyelidiki sebuah pembunuhan berantai yang telah menewakan 7 korban dalam setahun terakhir. Yang pada akhirnya, penyelidikannya terhadap kasus ini justru malah merenggut nyawanya. Tentu peristiwa ini meninggalkan sebuah luka yang mendalam, di mana satu lagi petugas polisi yang harus gugur saat menjalankan tugasnya.

****

 

          Matahari pagi ini bersinar dengan cerah. Cahayanya menembus dedaunan rimbun dan menyapa dengan hangat. Namun meskipun matahari pagi ini bersinar dengan cerah dengan cuaca yang bagus, di sebuah pemakaman yang masih segar dan baru saja ditaburi bunga itu, tampak beberapa orang masih berdiri tegak dengan seragam berwarna biru tua itu menatap nisan yang bertuliskan sebuah nama, Lee Jihyeon. Ya, mereka adalah Park Seonghwa, Choi San, Jung Yunho, dan Ketua Tim Kim Jungkook yang masih berada di sana untuk melepaskan kepergian salah satu anggota tim mereka, Lee Jihyeon.

          “Akan kupastikan untuk menangkap bajingan itu!” ucap Ketua Tim Kim seraya mengepalkan tangannya.

          “Jihyeon Seonbae, aku janji, aku akan membuatnya membayar apa yang telah dia lakukan padamu,” timpal Yunho.

          Sementara San hanya menatap Seonghwa yang terdiam dan hanya menatap nisan bernama Lee Jihyeon itu. Kemudian, dia menepuk bahu Seonghwa seolah untuk menyemangati Seonghwa dan memberitahu Seonghwa bahwa dia ada di sisinya.

          “Kaja [Ayo],” ucap Ketua Tim Kim.

          Ketua Tim Kim, San dan Yunho pun meninggalkan Seonghwa yang masih berada di makam itu.

          “Jihyeon-a…”

          Perlahan, dengan suara yang serak, sambil menahan tangisnya, Seonghwa menyebut nama Jihyeon. Setelah selama upacara pemakan ia bungkam dengan tatapan kosong.

          “Wae [Mengapa]? Mengapa ini harus terjadi padamu?”

          Sebuah pertanyaan tanpa jawaban yang Seonghwa sadari betul, meskipun dia mengajukan ribuan pertanyaan pun, Jihyeon tidak akan menjawabnya, dan meskipun berat untuk mengikhlaskan kepergian Jihyeon, itu tidak akan Membuat Jihyeon kembali. Hingga akhirnya, Seonghwa hanya bisa memegangi dan mengusap nisan bertuliskan nama Jihyeon dan memandangi foto Jihyeon yang terpasang di sana.

          “Akan kupastikan untuk menangkapnya dan membuatnya membayarnya,” ucap Seonghwa.

          Meskipun masih terasa berat, namun sebuah tugas menanti Seonghwa untuk dapat menyelesaikan kasus pembunuhan berantai yang menjadikan Jihyeon sebagai salah satu korban itu. Seonghwa sadar betul, dia harus bisa menangkap pelaku yang melakukan ini pada Jihyeon agar Jihyeon bisa bahagia di atas sana dan agar beban dalam hatinya dapat terangkat.

          “Jihyeon-a, tunggu aku untuk membawanya berlutut di hadapan makam ini dan membuatnya menyesal telah melakukan ini padamu!”

          Perlahan Seonghwa beranjak dan meninggalkan makam Jihyeon.

          Sementara itu, di kejauhan tampak seseorang berpakaian serba hitam bahkan dengan mengenakan masker hitam dan topi hitam seolah untuk menyembunyikan identitasnya itu memperhatikan seluruh kejadian yang ada di hadapannya. Bahkan di mulai dari upacara pemakan hingga Seonghwa meninggalkan makam Jihyeon, dia masih berada di sana, menatap makam Jihyeon dari kejauhan. Meskipun batinnya berbisik untuknya beranjak, namun kakinya terasa berat untuk mendekati makam Jihyeon yang masih baru itu.

          Jihyeon-a, mianhae [maafkan aku]…

          Mata laki-laki berpakaian serba hitam itu tampak berkaca-kaca, bahkan air mata mulai memenuhi matanya seolah dia tak sanggup lagi menahan kesedihannya. Tetapi kemudian, dia menyeka air matanya sebelum ia mengalir membentuk sungai kecil di wajahnya yang tertutupi masker itu. Dia merasa tidak pantas untuk menangisi kepergian Jihyeon.

          “Jihyeon-a…”

          Suaranya terdengar parau, cukup menandakan bahwa ia menahan kesedihan yang tak sanggup ia luapkan atas kepergian Jihyeon itu. Meskipun batinnya terus berbisik agar dia menemui Jihyeon untuk terakhir kalinya, namun dia menolak bisikan batinnya karena bagaimanapun dia tidak pantas untuk mengantarkan Jihyeon ke peristirahatan terakhirnya. Hingga pada akhirnya, dia pun memutuskan untuk meninggalkan tempatnya tanpa mendatangi makam Jihyeon yang telah sepi itu. Sebisa mungkin, seiring dengan kakinya semakin melangkah jauh, dia menahan diri untuk tidak menoleh ke belakang dan menatap kembali makam Jihyeon karena itu hanya akan membuatnya semakin tersiksa.

****

 

          “Kejar!” teriak Ketua Tim Kim saat melakukan pengejaran pada orang yang disinyali sebagai pelaku pembunuhan berantai yang sudah lama mereka cari itu.

          Tim Kejahatan Kekerasan Kota Metropolitan Seoul Unit 1 yang diketuai oleh Ketua Tim Kim Jongkook itu melakukan pengejaran pada sebuah mobil sedan berwarna hitam yang digunakan oleh pelaku pembunuhan berantai itu untuk melarikan diri. Terjadi kejar-mengejar antara pelaku yang mencoba melarikan diri dengan Tim Kim Jongkook.

          “Aish!” dengus San yang saat itu berada di belakang kemudi saat sebuah mobil truk menghalangi jalannya.

          Karena truk yang sempat menghalangi Tim Kim Jungkook, hal itu mengakibatkan mereka kehilangan jejak pelaku. Meskipun begitu, mereka pun terus melakukan pengejaran ke tempat-tempat yang mungkin saja akan didatangi pelaku. Bahkan mereka mengerahkan bantuan dari polisi patrol setempat untuk memonitor dan mengejar pergerakan mobil sedan berwarna hitam yang digunakan pelaku itu.

          “Kim Timjang [Ketua Tim], kami berhasil Menemukan sedan yang disinyalir digunakan oleh pelaku,” ucap sebuah suara pada radio yang memberitahukan keberadaan mobil yang digunakan pelaku untuk melarikan diri dari polisi.

          Setelah melakukan pengejaran selama 30 menit, menelusuri jalanan yang semakin sepi, mereka sampai di sebuah hutan. Dan di jalan masuk menuju hutan itu, tampak mobil sedan berwarna hitam yang digunakan oleh pelaku dan beberapa mobil polisi yang terparkir di sana. Beberapa polisi tampak berjaga di jalan masuk menuju hutan itu.

          “Bagaimana?” tanya Ketua Tim Kim.

          “Kami sudah mengirimkan petugas dan memberitahu polisi hutan untuk mengejar pelaku dengan ciri-ciri seperti yang sudah disebutkan. Saat ini mereka sedang mengejarnya di dalam hutam,” jawab seorang petugas patroli yang berjaga di pintu masuk hutan.

          “Kaja [Ayo]!” ajak Ketua Tim Kim pada Seonghwa, San dan Yunho.

          Ketua Tim Kim, Seonghwa, San dan Yunho pun memasuki hutan untuk mengejar pelaku pembunuhan berantai yang selama ini mereka cari itu. Setelah sekian lama, dengan memakan korban salah satu rekan mereka sendiri, akhirnya mereka bisa Menemukan petunjuk dan barang bukti pasti yang mengarah pada bahwa orang inilah pelakunya.

          “Meomchwo [Berhenti]!” ucap Ketua Tim Kim saat mereka sampai di sebuah tebing.

          Di tepi tebing yang curam itu, tampak seorang laki-laki berpakaian serba hitam dengan menggunakan topi hitam itu berdiri menghadap pada tebing. Seorang laki-laki dengan tinggi badan sekitar 175 cm itu membelakangi Ketua Tim Kim, Seonghwa, San dan Yunho yang telah datang dan bersiap untuk menangkapnya itu. Meskipun berdiri membelakanginya, namun Seonghwa dapat mengenalinya. Bahkan matanya tertuju pada tangan laki-laki itu yang ternyata tengah menggenggam sebuah kalung berwarna perak dengan liontin bertuliskan huruf JH.

          “Serahkan dirimu!” perintah Ketua Tim Kim.

          Ketua Tim Kim, Seonghwa, San dan Yunho mengarahkan pistolnya pada laki-laki itu. Dikarenakan laki-laki itu berada di tepi tebing seolah ia bersiap untuk melompat bunuh diri terjun ke sana, mereka pun harus membujuknya untuk menyerahkan diri.

          “Kim Hongjoong!”

          Pada akhirnya, Seonghwa membuka suaranya setelah bungkam selama melakukan pengejaran terhadp pelaku yang bernama Kim Hongjoong ini. Mendengar Seonghwa menyebut namanya, Hongjoong hanya bisa tersenyum miris.

          “Kim Hongjoong, kami sudah mengetahui identitasmu dan tidak ada gunanya kau melakukan ini. Serahkan dirimu dan bayarlah semua yang telah kau lakukan di penjara,” ucap Seonghwa.

          “Park Seonghwa, chukhaehae [selamat],” jawab Hongjoong. “Akhirnya kau menemukanku,”

          Sebisa mungkin Seonghwa mencoba menahan amarahnya yang semakin membuncah saat Kim Hongjoong mencoba memprovokasinya. Seonghwa berusaha untuk mengendalikan dirinya untuk tidak menarik pelatuk pistol yang tengah digenggamnya itu.

          “Wae [Mengapa]? Mengapa kau ragu untuk menarik pelatuk pistolmu itu? Bukankah kau begitu ingin membunuhku?” tanya Hongjoong seraya membalik tubuhnya untuk menghadap pada Seonghwa yang mengarahkan pistol padanya itu.

          “Hyungnim, jangan terprovokasi olehnya,” ucap San.

          Hongjoong berjalan mendekat pada Seonghwa.

          “Kim Hongjoong, berhenti di tempatmu!” ucap Ketua Tim Kim.

          Hongjoong mengabaikan Ketua Tim Kim dan terus berjalan mendekat pada Seonghwa.

          “KIM HONGJOONG!” teriak Yunho.

          Saat Hongjoong semakin dekat, akhirnya San dan Yunho mengergap Hongjoong yang tampak tidak berniat untuk melakukan perlawanan itu. San dan Yunho pun memasangkan borgol pada kedua tangan Hongjoong.

          “Kim Hongjoong, kau ditangkap atas pembunuhan berantai yang menewaskan 8 orang korban dalam setahun terakhir. Kau berhak untuk membawa pengacara dan tetap diam. Semua pernyataan yang kau berikan akan digunakan untuk menentangmu,” ucap Seonghwa.

          Kim Hongjoong terkekeh.

          “Hanya ini, Park Seonghwa?” tanya Hongjoong.

          Seonghwa masih belum hendak untuk menanggapi apapun yang Hongjoong kaatakan padanya. Pemikiran dan batinnya masih sibuk untuk mengatur perasaannya menghadapi kenyataan bahwa sahabatnya sendiri lah yang telah mengkhianatinya dan membunuh Jihyeon.

          “Kembalikan!” ucap Seonghwa seraya merebut kalung dengan liontin berinisial JH itu dari tangan Hongjoong.

          Kim Hongjoong masih bisa terkekeh seraya menatap sinis pada Seonghwa.

          “Park Seonghwa, oh, Park Seonghwa. Mengapa kau tidak membunuhku? Bukankah itu yang kau inginkan untuk menebus kematian Jihyeon?”

          Hongjoong kembali memprovokasi Seonghwa yang sudah sekuat tenaga menahan amarahnya itu.

          “Park Seonghwa, mengapa kau diam saja?” tanya Hongjoong. “Aku tahu, sekarang kau begitu ingin memukuliku, bahkan kau ingin membunuhku. Lakukan saja! Lakukan seperti yang sudah kulakukan pada Jihyeon!”

          “KIM HONGJOONG!” ucap Seonghwa seraya menarik kerah baju Hongjoong dan mengepalkan tangannya.

          Kepalan tangan Seonghwa yang bersiap untuk memukul wajah Hongjoong terhenti. Ia hanya mampu untuk menggenggam dengan erat kerah baju Hongjoong dan menatap Hongjoong dengan penuh amarah.

          “Kau pikir aku sama sepertimu?” tanya Seonghwa. “KAU PIKIR AKU SAMA SEPERTIMU, KIM HONGJOONG?!”

          Seonghwa pun melepaskan kerah Hongjoong dan mendorong Hongjoong hingga tersungkur ke tanah. Setelah Seonghwa melepaskan Hongjoong, San dan Yunho pun membawa Hongjoong untuk diamankan.

          “Kim Hongjoong,”

          Untuk terakhir kalinya, Seonghwa memanggil nama orang yang menjadi sahabatnya itu. Saat Seonghwa memanggilnya, Hongjoong menghentikan langkahnya dan tersenyum kecil.

          “Pastikan untuk membayar semua yang sudah kau lakukan selama ini, dan pastikan untuk menebus kesalahan terbesarmu pada Jihyeon,” ucap Seonghwa.

          Mendengar ucapan Seonghwa, Hongjoong hanya tersenyum miris. Dia sendiri pun tidak tahu bagaimana perasaannya saat ini. Semua emosi bercampur aduk, hingga membuatnya sendiri kebingungan dengan perasaan-perasaan yang baru dapat dia rasakan itu. Ya, selama ini dia seolah hidup dalam kegelapan tanpa cahaya yang membuatnya bahkan tak mampu merasakan emosi-emosi apapun. Hidup dalam kebohongan dan berperilaku ‘normal’ seperti yang lainnya. Dan hidup dalam kepalsuan hanya agar membuatnya bisa berinteraksi untuk mencari ‘mangsa.’

****

          Setelah melakukan penyelidikan lebih lanjut dan mengumpulkan cukup barang bukti, akhirnya persidangan Kim Hongjoong pun dilaksanakan. Dengan bukti yang menyatakan bahwa Kim Hongjoong adalah seorang pembunuh berantai yang telah menewaskan 8 orang korban termasuk seorang detektif yang bertugas untuk melakukan penyelidikan kasus pembunuhan berantai yang dilakukan olehnya. Pada hari itu, media dan pemberitaan ramai-ramai memberitakan tentang vonis yang didapatkan oleh Kim Hongjoong. Di mana Hongjoong divonis penjara seumur hidup, dikarenakan perundang-undangan KUHP baru yang meniadakan hukuman mati untuk para tersangka kasus kejahatan berat seperti pembunuhan berantai.

          “Tuan Kim, seorang pembunuh berantai divonis penjara seumur hidup…”

          “Seorang pembunuh berantai berinisial HJ tidak melakukan banding untuk meminta pengurangan hukuman atas kejahatan yang telah dia lakukan…”

          “Tuan Kim, seorang pembunuh berantai yang telah menewaskan 8 orang termasuk salah satunya adalah seorang detektif yang membuat kepolisian berduka dan kehilangan…”

          “Detektif Lee, seorang detektif perempuan yang berprestasi yang gugur saat melakukan penyelidikan pelaku pembunuhan berantai, HJ…”

          “Masyarakat menilai, vonis seumur hidup yang diberikan untuk Tuan Kim belum setimpal untuk menebus kejahatannya yang telah dia lakukan terhadap para korban…”

          “Sekali lagi, kepolisian Korea Selatan berhasil mengungkap dan menangkap pelaku pembunuhan berantai yang menghantui seluruh negeri…”

          Pemberitaan ramai-ramai memberikan informasi terkini tentang vonis yang diterima oleh Hongjoong sebagai pelaku utama dari pembunuhan berantai yang terjadi selama setahun terakhir. Saat menerima vonis hukumannya, Hongjoong tidak mengatakan apapun dan keluar dari ruang persidangan tanpa memberikan komentar apapun pada para wartawan yang sudah berkerumun untuk mewawancarainya.

          Saat hendak menaiki mobil bis Kementerian Pertahanan yang akan kembali mengantarkan Kim Hongjoong ke lembaga permasyarakatan itu, Seonghwa menghampirinya.

          “Kim Hongjoong,”

          “Apa kau di sini untuk mengantarkan kepergianku, Park Seonghwa?”

          Di saat seperti ini pun, Hongjoong masih mencoba memprovokasi Seonghwa.

          “Kuharap ini akan menjadi hal yang perlahan menyiksamu dan membuatmu menyesali yang telah kau lakukan pada Jihyeon selamanya,”

          Hongjoong hanya tersenyum miris. Tanpa memberikan jawaban, dia pun menaiki bis berwarna biru itu. Melalui jendela bis itu, Hongjoong menatap Seonghwa untuk terakhir kalinya sebelum bis itu membawanya kembali ke lembaga permasyarakatan untuk menjalani hukuman seumur hidupnya.

          Mianhae [maafkan aku], Park Seonghwa…

****

 

1 Tahun Kemudian…

          Hari ini, musim gugur kembali menyapa Kota Seoul yang mulai dihiasi dengan guguran dedaunan yang berwarna kuning dan kecoklatan yang berjatuhan dari pepohonan. Dedaunan kering yang berguguran yang sebentar lagi menyambut datangnya musim dingin itu seolah perlahan-lahan menyampaikan pamitnya. Pada sebuah makam dengan nisan bertuliskan nama Lee Jihyeon itu, tampak seorang laki-laki kaus berwarna hitam, celana jeans berwarna hitam dan jaket denim berwarna biru tua dengan membawa satu bucket bunga mawar berwarna putih itu berdiri di sana.

          Setelah puas menatap nisan itu, laki-laki yang tak lain adalah Park Seonghwa itupun berlutut dan mulai membersihkan guguran dedaunan kering yang berada di atas makam Jihyeon itu.

          “Apa kabar, Jihyeon-a?”

          Lagi-lagi, sebuah pertanyaan yang tidak akan ada jawabannya itupun terlontar dari mulut Seonghwa. Seketika itu juga, kerinduan mulai memnucah dan memenuhi dadanya hingga membuatnya sesak. Tak terbendung lagi, buliran bening itu pun mulai mengalir bebas di wajah tampannya.

          “Pada hari ini, hari itu, di tahun lalu… ya, mengapa kau meninggalkanku?” tanya Seonghwa lagi.

          Seonghwa pun menaruh bucket bunga mawar putih itu di atas makam Jihyeon.

          “Lihat, apa yang kubawakan untukmu? Ini bunga kesukaanmu, bukan?”

          Selain bunga mawar putih, rupanya Seonghwa masih membawa sesuatu. Ia pun mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna turquoise itu dari saku jaket denimnya. Terdapat 3 cincin persahabatan dan sebuah kalung dengan liontin berinisial JH dalam kotak itu.

          “Kau ingat ini, kan?”

          Seonghwa pun mulai menggali sebuah lubang kecil di makam Jihyeon. Setelah membuat lubang kecil itu, dia pun menaruh satu persatu cincin persahabatan berwarna perak itu.

          “Lihat, ini milikmu. Ada namamu, Lee Jihyeon,” ucap Seonghwa sambil menaruh cincin yang selalu Jihyeon kenakan semasa hidupnya itu pada lubang kecil itu.

          Kemudian, dia mengeluarkan cincin kedua yang bertuliskan namanya, Park Seonghwa dan memasukkannya ke dalam lubang kecil itu bersama cincin Jihyeon. Terakhir, Seonghwa dengan berat hati mengeluarkan cincin ketiga yang bertuliskan nama Kim Hongjoong, lalu menaruhnya ke dalam lubang kecil itu juga.

          “Jihyeon-a, meskipun bedebah itu telah mengkhianati kita, aku masih menyimpan barang yang dia pakai, cincin persahabatan kita, di sini bersama milikku dan milikmu,”

          Seonghwa pun menguburkan ketiga cincin persahabatan itu di makam Jihyeon, dengan harapan meskipun kini mereka bertiga tidak bersama lagi, tetapi persahabatan mereka masih akan tetap ada dan abadi. Karena bagaimanapun, 10 tahun yang mereka lalui bersama-sama itu bukanlah waktu singkat. Meskipun ada pengkhianatan dan perpisahan serta luka yang diakibatkan karena pengkhianatan dan perpisahan itu, namun kenangan bahagia ketika mereka bertiga masih bersama itu mampu mengalahkan semuanya.

          “Jihyeon-a, meskipun dia telah mengkhianati kita, tapi aku masih berharap bahwa suatu hari nanti, di kehidupan kita selanjutnya, kita bertiga masih bisa menjadi sahabat. Terutama, aku mengharapkan semua luka dan pengalaman pahit yang pernah Hongjoong alami, tidak akan dia alami lagi di kehidupan kita selanjutnya, sehingga tidak akan ada lagi luka di antara kita,”

          Kemudian Seonghwa tertuju pada kalung dengan liontin bertuliskan JH yang masih berada di dalam kotak berwarna turquoise itu.

          “Kalung ini… dia masih memegangi bahkan sampai saat dia ditangkap, dasar bodoh,” ucap Seonghwa.

          Seonghwa pun menutup kotak berwarna turquoise itu dan beranjak dari makam Jihyeon.

          “Tenanglah di sana. Tunggu aku,”

          Setelah mengucapkannya, Seonghwa pun beranjak meninggalkan makam Jihyeon.

          Seonghwa mengendarai mobil SUV berwarna birunya itu untuk menuju ke sebuah tempat. Tempat yang diharapkan akan menjadi muara untuk menghapuskan semua dendam dan amarah yang seharusnya dia buang itu. Dan tanpa membutuhkan waktu lama, Seonghwa sudah sampai di Lembaga Permasyarakatan Daejeon. Di sana, dia Menemukan San dan Yunho yang rupanya baru saja selesai melakukan penyelidikan tambahan terhadap sebuah kasus perjudian yang sedang mereka selidiki pada seorang narapidana di sana.

          “Hyungnim…” sapa San.

          “Seonbaenim…” timpal Yunho.

          Seonghwa pun menghampiri San dan Yunho.

          “Apa kau akan menemuinya?” tanya Yunho hati-hati.

          Seonghwa hanya menganggukkan kepalanya.

          “Kaja [Ayo], Yunho-ya…” ucap San.

          San dan Yunho pun mengikuti Seonghwa yang menuju ke ruang pertemuan. Sebuah ruangan sempit dengan dinding berupa kaca anti peluru dan kawat-kawat baja yang kuat yang mempertemukan kembali Seonghwa dan Hongjoong. Cukup lama Seonghwa menunggu di sana karena Hongjoong tidak mau menemuinya. Selama beberapa menit, Seonghwa dan Hongjoong hanya saling bertatapan. San dan Yunho yang menunggu di luar merasakan adanya ketegangan antara Seonghwa dan Hongjoong yang hanya terpisahkan kaca anti peluru itu.

          “Sudah lama, Kim Hongjoong…”

          “Untuk apa kau menemuiku?”

          “Apa itu yang hanya bisa kau katakan?”

          Hongjoong menatap Seonghwa tajam.

          “Apa tujuanmu datang ke mari? Kau tidak puas karena aku tidak dihukum mati?”

          “Kau tidak ingat ini hari apa?”

          Hongjoong terdiam saat Seonghwa mengajukan pertanyaan itu.

          Mana mungkin aku tidak mengingatnya…

          Sebelum Hongjoong memberikan jawaban, Seonghwa pun menyerahkan sebuah kotak berwarna turquoise itu pada Hongjoong melalui lubang kecil pada kaca anti peluru yang memisahkan mereka itu.

          “Apa ini?”

          “Buka saja,”

          Hongjoong pun membuka kotak kecil itu dan menemukan sebuah kalung dengan liontin bertuliskan JH.

          Kalung milik Jihyeon…

          “Kau ingat? Kau memegangi erat kalung itu saat aku menangkapmu. Wae [Mengapa]?”

          “Untuk apa lagi?”

          Hongjoong tersenyum sinis pada Seonghwa.

          “Tentu saja karena ini adalah barang milik korbanku yang paling berkesan,”

          “KIM HONGJOONG!”

          Jawaban Hongjoong membuat Seonghwa membentaknya dan berdiri dari duduknya.

          “Ah, ini mengingatkanku pada hari itu. Kau tahu apa yang terjadi? Lee Jihyeon, gadis bodoh itu,”

          “Geumanhae [Hentikan], Kim Hongjoong!”

          “Gadis bodoh itu mendatangi mautnya sendiri,”

          Seonghwa sebisa mungkin menahan amarahnya saat menatap Hongjoong yang menceritakan peristiwa yang menimpa Jihyeon itu.

          “Kau tahu? Malam itu petir bersahutan, hujan deras, suasana yang sangat mendukung untukku menghabisi nyawanya,”

          “Kim Hongjoong!”

          “Sangat memuaskan untuk menusuknya menggunakan belati yang telah kuasah dengan sangat tajam itu. Dan kau tahu apa? Dia bahkan tidak memohon untukku membebaskannya,”

          Seonghwa menggebrak meja di hadapannya dan menatap Hongjoong dengan penuh amarah. Sementara Hongjoong hanya bersikap santai bahkan sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah saat dia menceritakan bagaimana dia membunuh Jihyeon di hadapan Seonghwa.

          “Jika saja saat itu dia memohon untukku membiarkannya tetap hidup setelah mengetahui semua rahasiaku, maka itu bahkan akan lebih menyenangkan,”

          “Kim Hongjoong, geuman [hentikan]!”

          “Dan hari itu adalah tepat setahun yang lalu saat aku menghabisi nyawa gadis bodoh itu dengan tangan ini,”

          “HENTIKAN, BAJINGAN!”

          Mendengar teriakan Seonghwa, San dan Yunho pun masuk ke dalam ruangan itu dan mencoba menenangkan Seonghwa.

          “Kim Hongjoong, hentikan!” ucap San.

          San dan Yunho memegangi Seonghwa yang bisa kapan saja itu menghancurkan kaca anti peluru yang memisahkannya dan Hongjoong itu.

          “Menyenangkan sekali melihatnya seperti ini,” ucap Hongjoong seraya beranjak dari duduknya.

          “Tenanglah, Seonbae [Senior], jangan dengarkan dia,” ucap Yunho yang berusaha menenangkan Seonghwa.

          Napas Seonghwa terengah-engah karena sebisa mungkin untuk menahan amarahnya dan dorongan untuk menghabisi Kim Hongjoong yang masih saja memprovokasinya itu.

          “Joha [Aku suka]. Membosankan melihatmu yang bersikap manis. Seperti ini membuatmu lebih hidup,”

          Hongjoong pun meminta petugas lembaga pemasyarakatan untuk mengantarkannya kembali ke ruang tahanannya.

          “Kim Hongjoong!”

          Saat Seonghwa menyebutkan namanya untuk terakhir kalinya, Hongjoong sempat menghentikan langkahnya, namun ia tidak mau menoleh untuk melihat wajah Seonghwa untuk terakhir kalinya. Hongjoong pun terus melanjutkan langkahnya menuju ke ruang tahanan yang sepi itu.

          Mianhae [maafkan aku], Seonghwa-ya…

          Setelah masuk ke dalam ruang tahanannya, Hongjoong menatap sebuah seragam tahanan yang tergantung di balik pintu yang bertuliskan 1024 yang merupakan nomor tahanannya. Kemudian, dia membuka kembali kotak kecil berwarna turquoise yang berisikan kalung dengan liontin bertuliskan inisial JH yang merupakan milik Jihyeon itu.

          “Jihyeon-a, mianhae [maafkan aku]…” ucap Hongjoong seraya memeluk kalung itu.

          Buliran bening itu tertahan di matanya, meskipun mendesak untuk keluar dari mata indahnya. Hongjoong merasa dia tidak pantas untuk menangisi kepergian Jihyeon yang meninggal di tangannya sendiri itu. Rasa bersalah dan penyesalan yang mulai menggerogotinya semenjak kepergian Jihyeon itu semakin menyiksanya ditambah dengan datangnya sebuah benda yang mengingatkannya akan sosok Jihyeon.

          Kim Hongjoong pun beranjak dari duduknya dan menuju pada rak kecil berisi buku-buku yang terkadang dia baca untuk menghabiskan waktunya yang sepi di dalam penjara. Pada rak kecil yang dia sembunyikan bersama buku-buku itu, ada sebuah pisau yang dia curi dari dapur umum lembaga permasyarakatan saat menjalankan tugasnya untuk piket membersihkan dapur.

          Jihyeon-a, aku tahu ini tidak akan cukup untuk menebus kesalahanku padamu dan Seonghwa. Tapi setelah sekian lama hidup dalam kegelapan dan tanpa mengenal sesuatu yang bernama emosi, melalui dirimu dan Seonghwa-lah aku mengetahui apa itu marah, sedih, takut, kesal, senang, bahagia, bahkan bagaimana mencintai seseorang, yaitu kau, Lee Jihyeon. Namun dendam ini telah menelan seluruh nuraniku hingga ia tetap membutakanku meskipun kau, di saat terakhirmu masih mencoba menyadarkanku dan membawaku menuju cahaya yang akan menyelamatkan hidupmu juga hidupku. Maafkan aku. Maafkan ketidakmampuanku yang melawan dia, monster dalam diriku yang terus melahap kesadaranku hingga akhirnya kau menjadi korban.

          Hongjoong mengangkat pisau itu dan mengarahkan pada lehernya.

          “1024, apa yang kau lakukan?!” tanya seorang penjaga yang kebetulan sedang melakukan pemeriksaan saat itu.

          Saat penjaga lembaga permasyarakatan itu sedang berusaha memanggil bantuan dan membuka kunci ruang tahanan Hongjoong, saat itu pisau itu mengiris pembuluh kepala Hongjoong yang menyebabkan darah mengalir begitu banyak dari leher Hongjoong. Seketika itupun, Hongjoong ambruk dan dengan darah yang berlumuran di lantai ruang tahanannya.

          “Jihyeon-a, tunggu aku…”

          Di saat terakhirnya, bayangan akan kebersamaannya bersama Jihyeon kembali terputar dalam ingatannya layaknya sebuah film yang dapat dia saksikan dengan jelas. Termasuk, bayangan saat Jihyeon harus menghembuskan napas terakhirnya, karena dirinya dan lama pelukannya. Saat yang menyedihkan yang menampar seluruh nuraninya untuk kembali pada kesadaran itu tergambar dengan jelas. Bahkan saat Jihyeon menutup matanya. Perlahan, Hongjoong pun menutup matanya dan menghembuskan napas terakhirnya, namun tangannya masih menggenggam dengan erat kalung dengan liontin bertuliskan HJ itu.

          Alarm di lembaga permasyarakatan dinyalakan. Petugas berhasil membuka pintu ruang tahanan Hongjoong. Mereka pun segera berusaha melakukan penyelamatan pada Hongjoong. Meskipun tidak akan membuahkan hasil, para petugas lembaga permasyarakatan masih mencoba memindahkan Hongjoong ke rumah sakit. Dan saat para petugas membawa Hongjoong yang sudah terkulai lemas dari gedung lembaga permasyarakatan itu, rupanya Seonghwa, San dan Yunho masih berada di sana. Mereka pun segera menghampiri para petugas yang membawa Hongjoong dengan tandu itu.

          “Apa yang terjadi?” tanya Yunho.

          “1024 melakukan percobaan bunuh diri,” jawab salah satu petugas.

          Mata Seonghwa tertuju pada tangan Hongjoong yang masih memegangi dengan erat kalung milik Jihyeon itu.

          “Hongjoong-a…”

          “Permisi…”

          Para petugaspun membawa Hongjoong pergi.

          Mengapa, Kim Hongjoong? Apa yang kau lakukan? Kebodohan macam apa yang kau lakukan? Apa maumu? Setelah membuat Jihyeon meninggalkanku, sekarang kau memilih untuk seperti ini?

          Selama ini, Seonghwa tidak menyadari bahwa provokasi-provokasi yang Hongjoong lakukan hanyalah untuk membuatnya membenci Hongjoong. Rasa bersalah yang menyelimuti diri Hongjoong membuatnya tak kuasa bahkan tak pantas untuk meminta maaf pada Seonghwa yang dirasa telah dia khianati itu. Sehingga, Hongjoong bahkan terus-menerus memprovokasi agar Seonghwa semakin membencinya. Bahkan ketika Hongjoong menyadari bahwa Seonghwa akan mulai memaafkannya pun, karena merasa tidak pantas mendapatkan maaf dari Seonghwa, Hongjoong pun memilih untuk membuar agar Seonghwa tetap membencinya atas apa yang terjadi pada Jihyeon. Dan dengan itulah, dia segera memilih untuk mengakhiri semuanya untuk menebus kesalahannya pada Seonghwa dan Jihyeon.

****

 

Pada hari itu…

          “Hongjoong-a…”

          Sebuah suara menggema di sebuah galeri seni yang sepi itu. Suara perempuan yang terdengar lembut dan lirih menyebut nama seorang laki-laki yang tengah berdiri sambil memandangi salah satu lukisan abstrak bernuansa hitam putih yang terpajang di sana.

          “Oh, Jihyeon-a…” jawab Hongjoong datar.

          Perlahan Jihyeon pun berjalan mendekat pada Hongjoong yang masih sibuk memandangi lukisan abstrak dengan inisial HJ pada sudut kanan bawahnya itu.

          “Edrwad Kim,” ucap Jihyeon.

          DEG!

          Mendengar nama itu, sejenak jantung Hongjoong seolah berhenti sejenak. Nama yang begitu familiar terdengar di telinganya itu meluncur dari mulut Jihyeon, sahabatnya.

          “Wae [Mengapa]” tanya Jihyeon.

          “Mwoga [Apa]?” tanya Hongjoong balik.

          “Kim Hongjoong!” bentak Jihyeon. “Jawab aku!”

          Jihyeon pun melemparkan beberapa foto yang dia temukan di rumah Hongjoong itu.

          “Apa ini?” tanya Hongjoong.

          “Apa kau akan terus berpura-pura seperti ini?” tanya Jihyeon balik. “Edward Kim…”

          Mendengar Jihyeon kembali menyebutkan nama itu, membuat terjadinya pergolakan dalam benak Hongjoong.

          “Andwae [Jangan]!” ucap Hongjoong.

          Hongjoong berusaha mengendalikan dirinya gara tidak berubah menjadi sosok Edward Kim, si pembunuh berantai yang kejam itu di hadapan Jihyeon dan membahayakan Jihyeon.

          “Kim Hongjoong…”

          “Ah, shikkeureo [berisik]!” ucap Hongjoong yang telah berubah menjadi Edward Kim itu seraya mencekik Jihyeon dengan satu tangan.

          “H-Hong… j-joong…”

          Jihyeon mulai kesulitan bernapas karena Hongjoong mencekiknya dengan erat.

          “Rupanya kau bisa menemukanku sampai sejauh ini jika kau bisa sampai ke mari,” ucap Hongjoong.

          BRUK!

          Hongjoong pun menghempaskan tubuh Jihyeon ke lantai.

          “Detektif Lee Jihyeon…”

          Saat Hongjoong berusaha kembali menyerangnya, Jihyeon pun memberikan perlawanan dengan menendang perut Hongjoong hingga membuat Hongjoong tersungkur. Jihyeon pun beranjak dan bersiap mengambil pistolnya.

          “Jangan bergerak, Kim Hongjoong!”

          “Kau berani menembakku?”

          Hongjoong menantang Jihyeon yang saat itu mengarahkan pistol padanya.

          “Jangan bergerak!”

          Hongjoong beranjak dan mengeluarkan sebuah pisau belati yang dia sembunyikan di balik mantelnya.

          “Coba saja!” ucap Hongjoong seraya menyerang Jihyeon dan menusukkan pisau belati itu pada perut Jihyeon.

          “H-hongjoong-a…”

          Mendengar Jihyeon menyebut namanya, Hongjoong pun kembali menjadi Kim Hongjoong. Saat tersadar kembali itulah, saat itu juga dia Menemukan bahwa tangannya menggenggam sempurna pisau yang digunakan untuk menusuk Jihyeon.

          “Jihyeon-a…”

          Hongjoong pun melepaskan dan melemparkan pisau yang dia gunakan untuk menusuk Jihyeon itu.

          “Jihyeon-a… jebal [kumohon]… mianhae [maafkan aku]…. Bertahanlah…”

          Hongjoong merangkul Jihyeon yang telah berlumuran darah itu.

          “Jihyeon-a… Aku— aku akan menelepon ambulans sekarang juga, kumohon bertahanlah,”

          Hongjoong hendak mengambil ponselnya untuk menelepon ambulans, namun Jihyeon menahannya dan menggenggam tangan Hongjoong dengan tangannya yang berlumuran darah.

          “Hongjoong-a…”

          “Mwo [Apa]?”

          Jihyeon menatap wajah Hongjoong dengan mata berkaca-kaca dan mulai meredup.

          “Hongjoong-a… Aku tahu selama ini kau menderita karena banyak hal… masa lalumu, keluargamu, dan dendammu….”

          “Jangan bicara lagi, ayo ke rumah sakit…”

          “Hongjoong-a… kumohon, untuk terakhir kalinya, jangan sampai dendam itu menodai tanganmu lagi dengan darah… biarkan aku menjadi yang terakhir… dan setelah ini… setelah ini… jalanilah hidupmu dengan baik… dan temukanlah kebahagiaanmu…”

          “Aniya… aniya… [Tidak… tidak…] Jihyeon-a… Kau harus bertahan…”

          “Semoga kau bahagia…”

          Mata indah Jihyeon padam, napasnya terhenti, jantungnya tak lagi berdetak, dan Hongjoong hanya bisa memeluknya dalam tangis. Tangisan yang diiringi dengan petir yang bersahutan dan suara derasnya hujan yang seolah mewakili tangisan Hongjoong untuk melepaskan kepergian Jihyeon di malam musim gugur yang dengan kejam menurunkan hujan dan menghembuskan angin yang dingin hingga menusuk tulang itu. Bahkan dengan tanpa ampunnya, kilat pun bermunculan seolah mencambuki Hongjoong yang mulai tenggelam dalam penyesalan telah membuat Jihyeon kehilangan nyawanya di tangannya sendiri.

          “JIHYEON-A!!!”

 

==THE END ==

 

== EPILOG (29 Juli 2021) ==

Park Seonghwa POV

Apa kau tahu apa sapaan paling menyakitkan? Saat aku mencoba menanyakan “Bagaimana kabarmu?” dengan senyuman di wajahku, tapi kau tak memberiku jawaban. Hening dan sepi. Aku hanya bisa menyapa makammu dengan air mata sebagai persembahan untuk menyampaikan kerinduanku padamu.

 

Kim Hongjoong POV

Sendirian di ruangan ini, hanya kekosongan dan kegelapan yang mengisi ruangan ini. Bertarung sendirian dengan emosi-emosi yang tak dapat digambarkan dan luka yang tepat mengenai jantunku. Aku hanya bisa memikirkan dirimu yang perlahan bisa mengubahku menjadi manusia yang layak setelah menjadi monster untuk sekian lamanya.

Kuharap, meskipun sekejap, kau bisa kembali dan mengulurkan tanganmu seklai lagi. Karena aku tak sanggup menanggung perasaan bernama penyesalan yang mulai menyiksaku setiap saat aku mengingat melihat matamu untuk terakhir kalinya.

Bahkan kata-kata “maafkan aku” tak dapat melunasi dosa-dosa yang telah kulakukan, dan tidak peduli betapa aku mencoba memohon dengan mengatakan “tolong” berkali-kali, ia tak dapat membawamu kembali ke mari. Tapi untuk terakhir kali dan selamanya, hanya “terima kasih” yang tersisa untukmu yang bisa menjadi cahaya kecil dan menghapuskan kegelapan dalam hidupku.

Terima kasih, selamanya.

 

====

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet