1. Apa belahan jiwa itu nyata?

Hey, Soulmate!
Please Subscribe to read the full chapter

 

 

"Jeongyeon—"

"Kakak."

"Apa belahan jiwa itu nyata?"

Chaeyoung bertanya mendadak. Duduk membelakangi Jeongyeon di jok belakang. Sementara sang kakak mengayuh sepeda mereka susah payah melewati lintasan berkerikil. Jeongyeon tak segera menggubris. Konsentrasinya tertuju penuh pada upaya menyeimbangkan kedua stang saat harus melewati kelokan tajam. 

"Jeongyeon!" Panggil Chaeyoung yang menginginkan jawaban. 

Keluar decakan jengkel dari mulut kakaknya itu sebelum menjawab: "tidak tahu. Dan panggil aku kakak, bocah. Perhatikan sopan santunmu."

Lalu sepeda mereka berjalan menuruni jalan curam dibalik bukit.

"Tapi Jeongyeon—"

"Kakak." Koreksi Jeongyeon cepat-cepat memotong.

"Kak Jeongyeon, bagaimana jika belahan jiwa itu nyata adanya?"

"Kau habis menonton film apalagi? Bukannya Ma sudah melarangmu menonton film-film orang dewasa?"

"Aku tidak menonton apapun. Aku membacanya."

"Kau membaca buku?" 

Chaeyoung bisa dengan jelas mendengar nada keraguan dari suara kakaknya lalu memutar mata. 

"Tidak."

Menoreh kebingungan di wajah sang kakak. 

"Lalu?"

"Sebuah fiksi penggemar."

"Huh?"

"Fiksi penggemar, atau seringkali disebut ff. Singkatan dari bahasa Inggris yang berarti sama. Fanfiction. Itu bukan buku karena aku tidak membacanya lewat buku melainkan aplikasi ponselku." Jelas Chaeyoung panjang lebar.

"Apalagi itu?"

"Pokoknya, seandainya belahan jiwa itu nyata adanya, menurutmu bagaimana kita bisa mengindikasikannya?"

"Mengindikasikan apa?"

"Jika seseorang adalah belahan jiwa kita."

Jeongyeon menghela napas panjang.

"Ini kenapa aku menentang keputusan Ma untuk memberikanmu ponsel."

"Jawab saja!" Erang Chaeyoung.

"Aku tidak tahu. kau yang membacanya, bukannya di sana ada penjelasannya juga?"

Chaeyoung mengembungkan pipi.

"Tidak ada. Penulisnya hanya menuliskan kisah fiktif antara dua tokoh nyata yang saling terikat takdir satu sama lain. Mereka, dikisahkan memiliki satu tanda tertentu yang menyimbolkan takdir mereka. Sebagai belahan jiwa. Dalam cerita itu, keduanya bisa merasakan adanya belahan jiwa mereka lewat tanda itu, yang bereaksi jika keduanya dekat atau salah satu dari mereka tertimpa hal yang buruk."

Jeongyeon sebenarnya tak tertarik, dan bahkan tak mengerti satu hal pun yang Chaeyoung bicarakan. Namun, mendengar antusiasme dalam nada bicara sang adik memaksanya untuk setidaknya mencoba mendengar. Meski kepalanya dipenuhi keheranan perihal mengapa bocah kelas lima sekolah dasar bisa berpikir sejauh ini. Karena, bahkan bagi dirinya, pemikiran mengenai hal-hal yang menyangkut romansa atau seseorang yang kelak mengisi hatinya amatlah asing. 

Namun Chaeyoung memang selalu berpikir jauh lebih dewasa dari anak seusianya.

"Aku tidak tahu hal yang seperti itu. Jika maksudmu belahan jiwa seperti bagaimana ibuku dengan penuh kerelaan menerima ayahmu sebagai suaminya, mungkin ada. Kenapa memangnya?"

"Hanya saja.."

"Hm?"

"Kuharap itu nyata. Jika seandainya aku memang ditakdirkan bersama seseorang yang sudah dituliskan sebagai belahan jiwaku dan cinta kami akan seerat dua tokoh dalam cerita itu, maka mungkin aku tak akan mengalami hal yang ayahku alami."

Keheningan lantas menyelimuti perjalanan mereka. Hanya terdengar Kayuhan sepeda Jeongyeon. Masalah ini memang selalu membuat suasana berakhir canggung dalam keluarga mereka. Jeongyeon dan Chaeyoung tak terlahir dari rahim yang sama. Ayah Jeongyeon meninggal saat dirin

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet