End

contrite

Dia tertegun, tidak tahu sebelumnya bahwa kehilangan akan semenyakitkan ini.

 

-

 

“Jae, tunggu!”

 

Langkah pemuda tersebut terhenti mendengar suara yang familier itu memanggil namanya. Menunggu empunya suara untuk menghampiri tanpa membalikkan badan.

 

“Jae, aku akan memasak beberapa makanan, datang ke tempatku nanti malam, ya?”, wajah mungil gadis itu muncul di hadapannya dengan mata berbinar dan rona merah hasil dari usahanya untuk berlari menuju pemilik nama tersebut.

 

Lelaki itu hanya memandang wanita di depannya dengan tatapan dingin yang menusuk.

 

“Sibuk. Tidak bisa.”

 

Usai melontarkan jawaban tersebut, Jae melangkahkan kedua kakinya, meninggalkan wanita yang hanya bisa melihat punggung lelaki yang ia panggil kekasih itu semakin menjauh dari penglihatannya dengan senyum lemas.

 

-

 

Di dalam sebuah bar ternama itu, Jae terlihat lesu sembari menyiapkan minuman kepada para pelanggan yang semakin malam terus berdatangan untuk memenuhi hasrat meminum segelas atau lebih minuman beralkohol yang ditawarkan. Pikirannya melanglang buana, mengakhiri perjalanannya pada bayangan sesosok gadis dengan mata bercahaya dan senyuman menawan.

 

Ia tidak dapat memungkiri kenyataan bahwa perasaannya kepada sang kekasih yang dulunya menggebu-gebu kini semakin redup nyaris padam tak bersisa. Kendati demikian, hatinya tidak sampai untuk berpisah, sebagian dari dirinya masih ingin mendapatkan perhatian dari si perempuan spesial itu.

 

Egois memang. Jae adalah seorang egois yang mementingkan keinginannya sendiri.

 

-

 

Jam telah menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Namun tidak ada tanda-tanda bar akan tutup. Jumlah pengunjung hari ini sangat ramai, mungkin karena malam itu adalah malam minggu.

 

Di tengah kesibukannya meracik minuman-minuman alkohol, handphone di saku celananya berdering nyaring. Jae dengan tergesa mengambil handphone berwarna hitamnya itu dan sekilas melihat nama si penelepon kemudian mengangkatnya dengan malas.

 

“Ada apa?”

 

Tidak ada jawaban, namun pria itu dapat mendengar suara tangis yang tertahan yang keluar dari mulut gadisnya.

 

Namun Jae adalah Jae. Ia tidak peduli alasan di balik tangisan pacarnya. Ia tidak merasa khawatir dan cemas. Yang ia inginkan hanyalah sesegera mungkin menyelesaikan panggilan telepon dan melanjutkan pekerjaannya sebagai seorang bartender dan melayani pengunjung yang terus meminta minuman darinya.

 

“Jae, tolong aku, aku sangat sakit”, suara yang ditunggupun akhirnya terdengar lirih di telinga pria jangkung tersebut.

 

“Kau tahu kan bahwa aku sedang bekerja? Tolong jangan ganggu aku, Aku akan menghampirimu nanti setelah shift-ku berakhir”, tanpa aba-aba Jae memutuskan panggilan, mematikan handphone-nya dan kembali bekerja.

 

-

 

Pukul 05.30 pagi. Dengan wajah mengantuk, Jae mengendarai motornya menuju kawasan apartemen tidak jauh dari tempatnya bekerja. Ia masuk ke dalam lift dan menekan angka 6.

 

Sesampainya di depan kamar sang gadis, Jae menekan bel guna memberitahu gadisnya bahwa ia telah tiba. Namun tidak ada jawaban, tidak ada bunyi langkah tergesa si kekasih setiap kali dirinya berkunjung. Tanpa pikir panjang, Jae memasukkan kode di padlock yang terpasang di pintu.

 

Jae melihat keadaan ruang tamu yang dipenuhi cahaya kuning dari lampu di sudut ruangan, mencari keberadaan sesosok wanita.

 

Kosong.

 

Pria itu kemudian masuk ke dalam kamar tidur, tersentak melihat genangan darah merah di dekat tempat tidur.

 

Deg.

 

Merogoh saku celana guna meraih telepon genggam milikinya sembari berjalan mundur keluar dari kamar, Jae kemudian mengaktifkan handphone yang sedari tadi dimatikan.

 

Lima panggilan tak terjawab dari gadisnya.

 

Mencoba untuk menghubungi kembali nomor tersebut. Butuh delapan kali deringan agar teleponnya diangkat.

 

“Halo?”, terdengar suara keibuan dari seberang telepon.

 

Bukan. Itu bukan suara dari wanita yang sempat menjadi kesukaannya dulu.

 

Lelaki itu masih tidak dapat berkata-kata ketika suara di seberang telepon kembali terdengar, menanyakan apa hubungan Jae dengan si pemilik handphone tersebut.

 

“Saya kekasihnya.”

 

Hening. Namun tak lama terdengar tarikan napas dalam dari wanita yang memiliki suara keibuan itu.

 

“Kekasih anda pada pukul 01.25 tadi telah dilarikan ke rumah sakit. Diduga bunuh diri karena kami menemukan sebuah pisau kecil di dekat tubuhnya. Tak lama setelahnya menurut perkiraan kami ia menghubungi nomor darurat untuk meminta pertolongan. Namun mohon maaf sekali, dari tim medis terlambat memberikan bantuan sehingga nyawanya tidak tertolong. Kami mohon maaf sedalam-dalamnya.”

 

Wanita tersebut mengakhiri pembicaraannya. Terdiam menunggu respon dari pria yang kini jatuh bersimpuh di depan pintu kamar. Suara Jae tertahan, napasnya tidak beraturan, seperti ada yang mencekiknya. Ia memutuskan secara sepihak panggilan tersebut untuk kemudian mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. Berharap apa yang didengarnya barusan hanyalah mimpi.

 

Namun ia tahu, bahwa hal tersebut nyata adanya. Bahwa darah yang bergelimang di kamar tidur gadisnya adalah nyata

 

Jae tidak menyangka bahwa panggilan telepon di pukul 01.00 tadi akan menjadi panggilan terakhir dari kekasihnya. Kekasih yang telah ia khianati. Dan lagi, ia menyesal, sangat menyesal akan kenyataan bahwa ia begitu teganya memperlakukan gadisnya dengan tidak adil, tidak mempedulikan permasalahan gadisnya, karena selama ini yang ia pedulikan adalah dirinya sendiri.

 

Satu tetes.

 

Dua tetes.

 

Air mata terus berjatuhan di pipi pria itu tanpa disadari. Ditahan seperti apapun air matanya tidak dapat berhenti. Air mata kesedihan. Air mata kemarahan. Air mata penyesalan.

 

Di seberang pintu kamar gadis yang saat itu telah meninggalkannya, Jae hanya bisa menyandarkan punggungnya ke tembok seraya menutup wajahnya dengan kedua tangan. Isak tangis keluar dari mulutnya.

 

Sakit. Hatinya sakit seperti diiris oleh pisau tajam yang telah diasah di atas kayu.

 

Namun semuanya sudah terlambat bukan?

 

FIN

 

Epilog

 

“Jae, kau tidak mengangkat telepon. Jadi biarkan aku mengirimkan voicemail ini. Aku sakit, Jae. Sangat sakit. Akhir-akhir ini aku memimpikan adegan kematian kedua orang tuaku akibat kecelakaan waktu itu. Kalau bukan akibat diriku yang keras kepala menentang mereka dan pergi dari rumah, mereka tidak akan mencariku di tengah hujan deras hanya untuk tertabrak truk besar yang mengakibatkan mereka harus kehilangan nyawanya kan? Aku tidak kuat lagi Jae. Semua ini salahku, kan? Maka lebih baik jika aku menebus kesalahanku pada mereka, kan? Kalau aku pergi apa kau akan bersedih atasku? Aku rasa tidak mungkin. Aku tahu bahwa rasamu padaku sudah mulai padam Jae. Tapi aku dengan bodohnya tetap bertahan. Menunggu dirimu, menunggu perasaanmu kembali kepadaku. Namun aku juga memiliki batasan, Jae. Melihatmu seperti ini, aku pikir pergi adalah jalan terbaik bukan? Menebus kesalahanku pada orang tuaku, dan membiarkanmu lepas dari eratanku. Selamat tinggal, Jae. Aku akan merindukanmu.”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet