[Musim Gugur -2]

The Man Who Stole My Autumn

Hari ini adalah hari yang indah. Matahari bersinar, angin berhembus, dan daun-daun berguguran. Musim gugur baru saja mulai dan sekarang adalah waktunya bagi banyak orang untuk melakukan refreshing, berjalan-jalan di taman atau pergi bersama teman-temannya.

Termasuk Ami.         

Ia sedang berada di sebuah warung kopi bersama teman-temannya, hang out selayaknya remaja sekolah menengah atas pada umumnya. Memperbincangkan banyak hal mulai dari guru-guru killer di sekolah sampai rencana masa depan seperti pendidikan, pekerjaan, dan percintaan.

Seperti sekarang ini.

“Eh, Ami, tahu tidak?”

“Apa?”

“Aku dengar Youngcho suka kamu lho.”

“Ih apaan sih!”

“Eh beneran, kemarin dia tanya-tanya ke aku soal kamu.”

“Bilang balik aku nggak suka!” Seru Ami sambil memukul Yoori, salah satu temannya. Yoori merespon dengan ketawa saja melihat Ami terganggu seperti itu.

“Yaa, Yoori, Ami semenjak putus dengan Kanghyuk sudah tidak mempedulikan dunia-dunia percintaan begitu.” Ucap Sangbyung, temannya yang lain.

“Nah benar itu.”

“Huuh, aku lama-lama sebal sama kamu Ami. Kamu yang mutusin, tapi kenapa malah kamu yang keliatan ngenes? Temenan sama kita-kita doang, nonton film sendirian, beli buku sendirian, Kanghyuk aja udah punya pacar baru, kenapa kamu belum?”

Pernyataan itu membuat Ami kesal dan kembali memukul Yoori.

“Yaa! Memang belum nasibku mungkin!”

“Hmm, tapi Ami, kamu beneran nggak ada yang kamu sukain saat ini?” Tanya Sangbyung.

“Nggak ada ihhh, udahlah, aku memang belum ada takdir cinta-cintaan sampai dua tiga tahun ke depan!”

Mendengar respon Ami, Yoori dan Sangbyung terkekeh, keduanya memahami Ami. Ami yang kesal menyeruput minumannya sampai habis. Sangbyung memperhatikan Ami dan mendalami apa yang baru saja Ami ucapkan.

Tidak biasanya Sangbyung merasakan ini, tetapi entah mengapa ia memiliki firasat yang sangat kuat. Maka, ia mengucapkan ini:

“Hati-hati lho, bisa saja cintamu datang malam ini.”

.

.

Setelah berjalan-jalan kurang lebih dua tiga jam lagi dengan Yoori dan Sangbyung, Ami akhirnya pulang ke rumah. Jam di ponselnya menunjukkan pukul tujuh malam dan langit sudah menggelap.

Ami pulang ke rumahnya dengan berjalan kaki setelah turun dari halte. Ia menelusuri jalan menuju rumah, melewati berbagai lika-liku karena rumahnya terletak di tengah-tengah lokasi perhunian.

Ketika sampai di depan rumahnya, Ami menengok ke arah pohon besar yang terletak di seberang jalan. Kata kakak perempuannya, pohon besar itu sudah hidup beratus-ratus tahun dan tergolong sakral makanya tidak ada yang berani menebangnya meskipun rantingnya mengganggu kabel listrik dan akarnya merusak konblok jalan.

Ia tiba-tiba merinding. Angin berhembus sangat kencang dan pohon-pohon di sekitarnya mengeluarkan suara gemerisik yang mengerikan. Ami cepat-cepat membuka kunci gerbang rumahnya dan masuk lalu menutup pintu gerbang. Tetapi tiba-tiba di depan rumahnya muncul seorang laki-laki yang sedang menatap pohon besar itu, membelakangi Ami.

Laki-laki itu memiliki rambut jingga merah muda yang kusam dan berpakaian simple berwarna putih.

Dan, heol, ia tinggi sekali.

Ami yang belum pernah melihat pria itu pun menghampirinya dan menepuk punggungnya.

“Permisi—“

Pria itu pun berbalik menghadap Ami.

Dan, heol untuk kedua kalinya. Pria ini tampan sekali.

Bentuk wajahnya panjang dengan pipi yang tidak menonjol dan rahang serta dagu yang indah. Alisnya tebal dan kuat, matanya terlihat lembut, hidungnya sempurna dan bibirnya penuh.

Apakah aku berada surga? Karena orang setampan ini tidak mungkin ada di dunia.

Ami tidak bisa berkata-kata, ia hanya terpaku memperhatikan pemandangan yang tersaji di depannya.

Pria itu memutuskan untuk mendekati Ami. Ami kaget tapi ia tidak bergerak. Dan barulah ketika pria itu cukup dekat dengan Ami, Ami menyadari bahwa badan pria itu besar dan bahunya lebar sekali. Ami tidak bisa berhenti menatapinya. Sampai pria itu memanggilnya.

“Hei nona, mata saya ada di atas sini.”

“O-Oh, maaf.. aku tidak fokus.” Lebih tepatnya tidak bisa.

Pria misterius itu terus menatapnya, tidak merespon, menunggu Ami untuk mengatakan sesuatu karena ia tahu bahwa Ami ingin mengatakan sesuatu.

“Ehmm, aku tidak pernah melihatmu di sekitar sini, apakah kau baru saja pindah?”

“Tidak.” Jawab pria itu, pelan.

“Oh, terus, apakah kau sedang tersesat?”

“Tidak juga.”

“Jadi, kau sedang apa—“

“Saya sedang mencari pohon besar seperti ini di tempat lain, apakah nona tahu dimanakah itu?”

Huh? Pria ini aneh sekali, pikir Ami.

“Uh, pohon besar—“

“Iya, yang besar.”

Kenapa ia memotong pembicaraanku terus sih?!

“Hmm, sepertinya aku kurang tahu—“

“Yang akan ditebang karena manusia-manusia serakah ingin terus membangun banyak bangunan di tanah suci ini.”

Ah, weirdo pula, sayang, padahal tampan.

Ami beberapa saat kemudian mengingat ada berita tentang protes masyarakat pribumi mengenai sebuah pembangunan hotel di tepi danau yang mengharuskannya untuk menebang sebuah pohon besar dan tua seperti yang ada di seberang jalan rumahnya. Ia pun menjawabnya.

“Ohh, itu, aku ingat! Kau pergi saja ke arah utara, terus mengikuti jalan utama nanti sampai kau menemukan sebuah danau, di sanalah pohon itu berada! Tapi mungkin jaraknya dari sini bisa sampai dua kilometer, sebaiknya kalau mau pergi ke sana kau menggunakan—“

“Baik, terima kasih nona, pohon sakti itu adalah milik Dewi Musim Panas, Irene, ia meminta saya untuk mengurus perkara tersebut agar pohon itu tidak ditebang. Sekali lagi terima kasih.” Ucap pria misterius itu sambil membungkuk.

AHHH, Irene? Nama perempuan? Apakah ia sudah punya pacar? Tetapi sayang sekali dia juga sangat freakkk. Pikir Ami sambil balas membungkuk.

Namun sebelum Ami masuk kembali ke rumahnya, pria itu tiba-tiba menahannya dan melakukan sesuatu yang tidak Ami duga.

Pria yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan Ami ini memegang wajah Ami dengan tangan kanannya, seperti ingin memeluknya, dan bertanya.

“Nona, nona ini manusia kan?”

Ami yang kaget atas perilaku pria ini tidak membalas secara verbal dan hanya mengangguk saja. Lagi pula pria ini sama sekali tidak menghargai personal space! Ia berada terlalu dekat, bagaimana bisa Ami menjawabnya?!

Pria misterius itu tersenyum.

Sangat manis.

Kemudian berkata.

“Maka nona harus melupakan saya.”

Sambil menepuk jari telunjuk dan jari tengahnya ke pelipis kepala Ami.

Seketika, semuanya menjadi gelap bagi Ami.

.

.

Dan esok pagi, Ami terbangun tanpa adanya sedikitpun rekoleksi memori malam hari kemarin.     

.

.

.

.

.

//to be continued//               


.

.

lelll, pada suka nggak? Wwkwkwk
Please give some comments or reviews ya guyss, thankyou!   

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
vrene_43
#1
Chapter 1: wah,bagus nih ceritanya! Sayang, kurang panjang... ^^"
Tetep ditunggu lanjutannya! :D