Chapter 1 - The Unleashed Feeling

Prince of the Darkness

Aku merapatkan jaket tebalku. Angin berhembus dengan kencang sore ini, sepertinya akan turun hujan. Kling. Bel di pintu kafe berbunyi saat aku melangkah masuk. Bisa kulihat, sepasang bola mata menatapku dari balik mesin kasir, seringai lebarnya tercetak dengan sangat jelas dan membuatku bergidik tidak nyaman. "Seongwoo hyung, kau baru sampai?" tanyanya dengan suara berat. Aku hanya mengangguk dan melangkah menuju ruang belakang.

 

"Cepatlah ganti seragammu dan bantu aku melayani kafe ini. Sebentar lagi pasti ramai karena jam pulang kerja," ucapnya sambil tetap tersenyum.

Aku tidak menggubrisnya dan terus berjalan untuk berganti pakaian. Aku tidak suka pria itu, lebih tepatnya aku tidak suka kepada ras manusia pada umumnya. Mereka munafik, egois, dan sederet kata-kata negatif lainnya yang sering terlontar dari bibir mereka untuk mengejekku.

Lai Guanlin. Pria itu bekerja bersamaku menjadi pelayan di kafe ini. Dari awal dia sudah menunjukkan sisi hangatnya kepadaku. Aneh sekali bukan? Disaat semua orang menghindariku, hanya satu pria yang mencoba bersahabat denganku. Bukankah orang sok baik seperti itu patut diwaspadai?

"Seongwoo, berikan kopi ini kepada tamu di meja tiga belas," ucap Minhyun si barista kepadaku. Aku melirik ke arahnya dengan kesal. Sudah hampir empat jam aku bekerja dan belum sekalipun aku beristirahat, tapi orang menyebalkan di depanku tidak ambil pusing dan mengangkat cangkir kopi sialan itu ke depan wajahku.

"Ini kopi pesanan kalian," ucapku jauh dari kata ramah. Aku melirik sekilas ke arah penghuni meja tiga belas. Dua orang berpakaian rapi di depanku langsung menatap wajahku dan melemparkan tatapan menilai, tipikal orang kaya sombong. Dengan hati-hati aku mengangkat cangkir di nampanku. Drrt drrt, suara ponsel yang tiba-tiba membuat salah satu dari kedua orang itu mengangkat lengannya dan tanpa sengaja mendorong tanganku. Cangkir berisi kopi panas tersebut jatuh tepat di atas jas pria tadi.

"ARRRRGH! PANAS! DASAR PELAYAN BODOH," teriak pria itu sambil berdiri dan mengibaskan tangannya. Aku mengambil lap di atas meja dan berusaha membantunya.

"Maafkan saya. Saya tidak sengaja," ucapku. Pria tadi menepi tanganku dengan kasar. Jari telunjuknya mengacung tepat di depan mataku.

"Jangan sentuh jasku. Kau kira dengan kata maaf saja cukup? Gajimu selama dua tahun juga tidak akan mendekati harga jas ini. Dasar pelayan sialan!"

Aku menautkan kedua alisku saat mendengar kata-kata kasar dari pria tua di depanku. Memang aku terbiasa dengan kalimat hinaan seperti itu, tapi sekarang rasanya ada yang terbakar di dalam dadaku.

"Pelayan sialan? Setidaknya saya punya sopan santun untuk tidak mengumpat siapapun. Saya jadi ragu, apakah bapak pernah bersekolah? Lagipula apa bagusnya jas itu? Bukankah mudah bagi anda untuk membeli jas yang baru? Oh iya, terlepas dari harga jas tersebut, seharusnya yang minta maaf itu anda. Bukankah anda yang tadi menyenggol tangan saya dan menyebabkan kopi itu tumpah?" Teriakanku sepertinya menarik perhatian pengunjung kafe. Kulihat pria tadi menahan amarahnya.

"Ada masalah apa di sini?" Manajer kafe memunculkan dirinya di tengah-tengah perdebatan kami.

"Pelayan anda sudah menumpahkan kopi ke atas jas saya dan dia tidak mau mengakui kesalahannya, bahkan pelayan ini bertindak kurang ajar!" Aku ingin tertawa mendengar kalimat pria itu.

"Apa anda tuli? Saya sudah minta maaf tadi," ucapku. Wajah pria di hadapanku semakin merah.

"Lihat kan! Benar-benar tidak tahu diri! Apa orang tuamu tidak pernah mengajarkan sopan santun, hah? Dasar manusia tidak berguna."

Aku selalu bisa mengontrol amarah. Tidak ada satu pun perkataan atau perlakuan seseorang yang dapat mempengaruhiku. Benteng pertahanan diriku begitu sempurna. Terlalu sempurna.

Tapi entah mengapa kali ini aku membiarkan seluruh rasa panas mengalir dalam badanku. Darahku berdesir dengan cepat dan detakan jantungku menggila. Sekan-akan bom waktu yang kusimpan rapi selama tujuh belas tahun kini siap untuk meledak.

Prang! Bunyi pecahan cangkir yang jatuh dari meja akibat hembusan angin dahsyat yang tiba-tiba datang tidak menyita perhatianku. Desahan kaget orang-orang akibat perubahan cuaca yang terjadi secara mendadak tidak menghilangkan fokusku terhadap amarah yang membara dalam diriku.

"Kau lah orang yang tidak berguna. Merendahkan orang lain, seakan-akan kau punya kuasa untuk melakukannya. Aku memang tidak punya orang tua, tapi itu lebih baik daripada punya ayah sepertimu." Aura intimidasi dariku menguar. Mata pria tua tadi tidak lagi memancarkan percaya diri. Sekelibat mata itu menatapku takut. Pria itu menjatuhkan dirinya ke atas kursi. Terduduk dan termangu memandangku.

"Ong Seongwoo. Hentikan. Kau sudah melewati batas" Minhyun memegang bahuku. Aku memalingkan pandanganku ke arahnya. Tatapan dari kedua bola mata besarnya tegas, menyaratkan aku untuk berhenti.

"Aku keluar dari kafe ini," ucapku sambil menepis tangan Minhyun, melempar seragam kerja bodoh ini dan mengambil barang-barangku.

Persetan dengan semuanya. Aku lelah, sangat lelah. Hidupku memang sudah tidak berharga. Kakiku terus melangkah ke arah gedung kosong dan terus berlari menaiki tangga sampai lantai teratas. Dadaku bergerak naik turun, menahan setiap amarah, frustasi dan kesedihan. Kulayangkan pandanganku kepada langit gelap.

"Kenapa? KENAPA HARUS AKU YANG MENDAPATKAN KEHIDUPAN SEPERTI INI? APA SALAHKU? KENAPA DUNIA BEGITU MEMBENCIKU?" Airmata yang sudah sekian lama kupendam akhirnya tumpah juga, menyatu dengan rintik hujan dan gemuruh petir.

Sakit. Aku menggenggam dadaku yang sakit. Seperti ada ribuan jarum yang menusuk jantungku. Apa aku tidak layak untuk hidup? Aku melangkah semakin dekat ke arah pinggir gedung. Lampu kota di bawahku seakan menghipnotis. Apa aku akhiri saja hidup ini? Mungkin aku bisa menemukan kebahagiaan dalam kematian. Lagipula dunia tidak menginginkan keberadaanku. Tinggal selangkah lagi aku bisa terbebas dari rasa sakit.

Aku menutup kedua mataku dan tersenyum.

"Selamat tinggal dunia dan selamat datang kematian," ucapku sebelum terjun dari atas gedung.

 

-To Be Continued-

 

 

 

Author's notes:

Ddeongwo sayang maaf ya :( Janji abis ini gak sedih-sedih lagi. 2 Chapter ini aja. Buat yang nunggu dan bertanya-tanya kapan Daniel muncul, sabar ya. Chapter depan udah muncul kok hihihi.

Terima kasih untuk perhatiannya buat tulisan yang berantakan ini. Silahkan kasih aku saran maupun masukkan supaya semakin baik ke depannya.

with love, Van

with love, Van

 

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
thornysilk
#1
Chapter 2: Kok sedih banget sih :'( jadinya ga tega liat ong..
LANJUT DONGGGGG GA SABAR MAU LIAT DARK CONCEPTNYAAAAA
anyway baru ketemu ff ini skrg, i missed out one of the most unique fics di tmpt ini. Awesome work so far, ga sabar mau liat nextnya gimana! Thank you for this chapter! Moga bisa liat kelanjutan soon ya!