So Into You ; Our Feeling

So Into You
Please Subscribe to read the full chapter

Our Feeling

It's like you're uninterested, it's like you're always busy and it's like you think if you call first you're losing a game ...

You're different this time ...

~~~

Kutatap layar ponselku. Tak ada pesan satupun. Aku menghela napas, semuanya berubah, semuanya terasa sia-sia. Apa yang salah denganku? Ku buka kotak masuk pesan di ponselku. Masih belum ada balasan.

Aku menyerah, aku lelah—aku tak tau harus apa. Dia, dia yang selama ini mengisi hari-hariku, dia yang selama ini menjadi penyemangatku telah hilang begitu saja. Tuhan...apa salahku?

Ku ambil jaketku yang kugantungkan di balik pintu, kulangkahkan kakiku menuju keluar kamarku. Entah apa yang kupikirkan, aku ingin menyegarkan diri, menyegarkan pikiranku. Mungkin aku harus menghilangkan pikiran jelekku tentangnya.

Aku terus berjalan menyusuri jalanan. Entah kemana tujuanku. Tiba-tiba bulir air mata jatuh dari pelupuk mataku—apa yang ku tangisi?

Dadaku terasa sesak, sakit yang kurasakan bukan sakit karena tak ada kabar satupun darinya—melainkan sakit karena aku merasa dia telah hilang menjauhiku. Aku terus menangis seraya memegang dadaku yang semakin terasa sesak.

"Jinri?"

Ku hentikan langkangku ketika kusadari dihadapanku ada seorang pemuda—dia menatapku.

"S-sehun?"

Ucapku terisak.

Dia menatapku—bukan tatapan iba melainkan tatapan kekecewaan karena dia melihatku menangis.

Dia berjalan perlahan ke arahku. Tak satupun kata terucap darinya—dia menatapku lekat dan tak lama dia merengkuhku kedalam pelukannya. Aku—aku menangis sejadi-jadinya dalam pelukannya.

Dia mengusap rambutku dan mengecup puncak kepalaku. Kupeluk tubuhnya sambil terus menangis.

"Uljimayo ..."

Ucapnya lembut terhadapku. Kali ini pelukannya semakin erat. Dia—Oh Sehun—pemuda yang bisa kusebut sebagai sahabat terbaikku meskipun aku telah melukainya berkali-kali. Dia selalu ada disisiku ketika aku merasa sedih ataupun senang. Dia yang bisa menenangkanku dikala aku sedang membutuhkan seseorang.

Kulepaskan pelukanku. Dia menatapku lekat, tangannya menyentuh pipiku—jemarinya menghapus air mata yang mengalir dari mataku.

"Kau tahu bukan, aku tak suka melihatmu menangis. Jadi tersenyumlah."

Aku tersenyum mendengar perkataannya. Dia selalu bisa membuatku tersenyum tapi, aku tak bisa selalu ada disisinya. Aku menyayanginya selayaknya aku menyayangi kakakku. Maaf, aku tak bisa menyayangimu selayaknya aku menyayangi Chanyeol oppa ...

___

Sudah tiga kali Jinri mengirimkan pesan padaku. Entah apa yang merasuki ku hingga tak ada satupun pesannya yang ku balas. Oh Tuhan ... maafkan aku.

Kutatap langit-langit kamarku, bayangan itu masih terngiang dikepalaku. Bayangan ketika Sehun mengungkapkan perasaan terhadap Jinri—terhadap gadisku.

Aku cemburu, aku marah, aku marah karena aku membiarkan seseorang mengungkapkan cintanya pada gadisku. Egoiskah aku jika aku menginginkan dia hanya untukku?

Kuhembuskan napas putus asa. Aku tak ingin menyakiti Jinri, tapi mengingatnya membuatku marah pada diriku sendiri.

Kuputuskan untuk pergi menghampiri Jinri dirumahnya. Ku ambil jaket dan kunci mobilku. Kulajukan mobilku dalam kecepatan tinggi. Aku ingin meminta maaf padanya, meminta maaf dengan semua perlakuanku padanya.

Tak lama lagi aku akan sampai didepan rumahnya. Namun ku hentikan laju mobilku ketika kulihat sesosok gadis berjalan menyusuri jalanan yang akan ku lewati. Dia—Jinri—berjalan sambil menundukkan kepalanya. Dia ... menangis, astaga maafkan aku Jinri-ya.

Ku putuskan untuk berlari menghampirinya, namun lagi-lagi langkahku terhenti ketika kulihat pemuda menghampirinya. Kulihat dia—Sehun—menghampiri gadisku. Jantungku rasanya terhenti ketika ku lihat dia memeluk Jinri.

Kukepalkan tanganku, ingin rasanya kuhampirinya dan kulayangkan pukulanku padanya. Tapi, ku urungkan niatku.

Jinri menangis—menangis dalam pelukannya. Astaga Chanyeol, pria macam apa kau membiarkan gadismu menangis dalam pelukan pria lain?

Inikah rasanya? Sesakit inikah rasanya ketika kau melihat gadismu bersama pria lain? Kurasakan mataku mulai memanas, emosiku mulai memuncak. Ku putuskan untuk kembali masuk kedalam mobilku dan kulajukan mobilku—entah kemana.

___

Ah udara sore hari mungkin bisa menjernihkan pikiranku yang kacau. Kutatap jam dinding yang menggantung di dalam kamarku, 4:15pm KST belum terlalu sore untuk menikmati matahari sore bukan?

Kulangkahkan kakiku keluar rumah. Udara di bulan Februari memang terasa dingin. Angin musim gugur memang terasa lebih dingin.

Kulangkahkan kakiku menyusuri jalanan yang tak begitu jauh dari rumahku. Kulihat sekelilingku dan mataku tertuju pada seorang gadis yang berjalan menuju ke arahku. Dia menundukkan kepalanya, ku lihat bulir air mata jatuh dari matanya. Aku terhenyak seketika saat kulihat ia menangis.

Ku hampiri dia yang masih menangis—terisak—seperti orang yang merasakan kepedihan yang amat mendalam.

"Jinri?"

Ku panggil namanya pelan namun cukup untuknya mendengar suaraku dengan jelas karena memang suasana disekitarku yang tak begitu ramai.

Dia mendongakkan kepalanya menatapku, dan kulihat matanya yang merah dan sembab.

"S-sehun?"

Ucapnya terheran menatapku dengan suara paraunya. Hatiku terasa sakit melihatnya menangis. Melihat gadis yang sangat ku sayangi meskipun ku tahu dia hanya menyayangiku sabatas seorang kakak.

Aku melangkahkan kakiku mendekatinya, ku tatap dia yang kembali menundukkan kepalanya—menyembunyikan air mata yang keluar dari pelupuk matanya. Aku tak dapat mehanan rasa ini, ku peluk dirinya erat—ku usap rambutnya dan ku kecup puncak kepalanya dengan lebut.

Kurasakan tangannya yang balas memelukku, dia menangis sejadinya dalam pelukanku. Hatiku merasa teriris melihatnya seperti ini.

"Uljimayo ..."

Ucapku padanya seraya memeluknya semakin erat. Sungguh, aku membenci pemandangan seperti ini. Aku tak ingin melihatnya menangis seperti ini.

Ku sentuh pipinya dengan kedua tanganku ketika dia melepaskan pelukannya, ku hapus air matanya dengan jemariku.

"Kau tau bukan, aku tak suka melihatmu menangis. Jadi tersenyumlah."

Ku tatap kedua matanya dan dia tersenyum. Aku merasa lega ketika melihat senyumannya. Senyuman yang selalu kurindukan setiap saat. Seandainya senyuman itu hanya untukku Jinri-ya.

***

Ku tatap layar televisi yang ada dihadapanku. Ku pegang remot televisi seraya memindahkan channel televisi yang kutatap itu.

"Yah, tak bisakah kau menonton satu acara televisi saja?"

Keluh kakak ku seraya menghampiriku dan memukul kepalaku dengan bantal yang dipeganggnya. Aku hanya mendengus kesal menanggapinya. Ia duduk di sebelahku, ia menatapku dan menyesap coklat hangat yang baru saja dibuatnya.

"Tak bisakah kau tak menatapku seperti itu?"

Ucapku yang terus menatap lurus ke layar televisi yang ada dihadapanku. Ia terkekeh mendengar celotehanku.

"Ini sudah hari ke lima kau bertingkah seperti mayat hidup Jinri-ya."

Keluhnya seraya mengacak-acak rambutku. Kutepis tangannya yang terus mengacak-acak rambutku.

"Aku masih hidup oppa, kau tak perlu khawatir."

Ucapku menolehkan kepalaku menatapnya. Dia semakin terbahak mendengar ucapanku.

"Baboya"

Kali ini aku memilih untuk diam. Ku hembuskan napas ku. Ku rebahkan kepalaku dipangkuannya. Aku kembali menangis. Kakak laki-lakiku—Choi Minho—menatapku dan mengusap kepalaku lembut.

"Belum ada perubahan dari Chanyeol, eh?"

Please Subscribe to read the full chapter

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
moilady
Trying to make the english ver. but I am a lazy frog so- yeah.

Comments

You must be logged in to comment
omonaya
#1
Huhuhuhu. Can u pls make an english version? I want to read it so baaad /;cries lyk a retard;/
jinrifx #2
Chapter 1: Please make this in english version. I'm here to read but I can't read it. So plzzz author.