Ong Seungwoo and Her

LIKE A RAIN - SEPERTI HUJAN

Diam-diam aku menatap gadis berbaju biru dari kejauhan. Dia nampak tersenyum ramah kepada satpam yang sepetinya mengucapkan selamat tinggal. Eunbiku memang sangatlah ramah. Tak hanya parasnya yang cantik namun hatinya juga rupawan.

Ada yang membuatku terus merasa jatuh cinta kepadanya adalah ketika malam itu aku pertama kali dipertemukan dengannya, dia mengajakku makan bakso dipinggir jalan. Padahal sebelumnya kami berada di Mall terbesar dikota kami. Tapi bukan karena itu yang membuatku jatuh cinta kepadanya. Eunbiku memanggil seorang anak penjual tissue dan membeli lima sekaligus tissue seharga 20000 rupiah saja dan kemudian mengajak anak penjual tissue itu makan bersamanya, disampingnya.

Eunbiku bahkan tanpa ragu mengusap peluh-peluh keringat dipelipis anak itu, yang kutatap, sepasang mata coklat hazel Eunbi berkaca-kaca menatap anak itu. Lalu senyumnya merekah saat anak itu berpamitan dengan wajah puas. Dan yang tak pernah kuduga, Eunbiku memeluk anak itu erat-erat seolah mereka adalah saudara yang baru bertemu setelah berpisah lama.

Got you! Kamu nampak sentimental saat makan bersama anak itu tadi. Seolah lupa kalau ada aku didepanmu.” ujarku saat itu, murni hanya menggodanya. Eunbiku tergelak dan menepuk-nepuk punggung tanganku. “Ah I am so sorry. Berasa sentimental aja kalau lihat anak kecil jualan. Jadi ingat Eunwoo, adikku.” ujarnya.

Aku tersenyum dan meraih jemarinya. Kami mendadak seolah menjadi dekat dan menembus ribuan tahun cahaya, memotong jeda yang sebelumnya tak mungkin kami lalui. Dari tidak mengenal mendadak jadi saling mengenal. Sebelum penjual tissue itu datang memanglah kami mengobrol banyak. Menemukan fakta bahawa kami sama-sama Gemini, sama-sama berasal dari universitas yang sama, dan bahkan mengenal orang yang sama. Tapi sungguh aku bersumpah, Eunbi yang berada didepanku malam itu membuatku terpukau dan membuatku merasakan apa yang dinamakan kepakan kupu-kupu.

Dulunya aku tak percaya ada perasaan yang begitu asing seperti kupu-kupu mengepak-kepakkan sayapnya dirongga perut. Aku rasa perempuan yang mengatakan padaku itu dulu sekali hanyalah membual belaka. Tapi nyatanya aku merasakannya malam ini.Dibawah remangnya kedai bakso pinggir jalan yang menyinari wajah eksostis Eunbi yang sangat cantik.

“Adikmu tinggal dimana?” tanyaku akhirnya sambil mengusap jemarinya dengan ibu jariku. Eunbi tersenyum kemudian melepaskan genggamanku. Lalu telunjuknya menunjuk ke satu arah. Langit.

“Disana. Bersama ibu.” ujarnya. Aku tercekat, Tuhan, kau disana? Boleh tidak aku memeluk gadis ini? Kalau sekalian aku menciumnya boleh tidak Tuhan? Kenapa dia terlihat baik-baik saja dibalik luka yang dia simpan? Apa ada luka lain yang dia sembunyikan? Aku benar-benar berteriak didalam hatiku. Bagaimana mungkin aku menyinggung topik sesensitif ini.

Omo. Mianhae, Eunbi. Aku tidak bermaksud.” Dia menggeleng cepat lalu tertawa kecil, “Bukan masalah, Seungwoo. Toh kita baru kenal malam ini. Kamu tentu belum tahu segalanya.  Belum tahu bahwa aku mengenakan topengku.” ujarnya sambil tersenyum.

Aku mengangguk, “Ceritakan padaku, kalau begitu.”

“Kau benar-benar mau mendengarnya?” matanya membulat saat itu, kaget mungkin. Aku mengangguk dengan mantap. “Ceritakan. Lepaskan topengmu jika bersamaku.” dan kemudian mengalirlah ceritanya.

Ibunya tidak terselamatkan saat melahirkan adiknya, risiko yang sudah diketahui semenjak pertama mengetahui kehamilannya di usia lebih dari 40 tahun. Dan beberapa jam kemudian, adik sematawayangnya juga ikut menyusul sang Ibu. Eunbi mengatakan saat itu dia masih kelas 1 SMA. Dan kemudian sejak hari itu Eunbi tinggal hanya berdua dengan ayahnya.

“Apalagi topengmu, Eunbi-ya?” tanyaku saat itu. Eunbi tersenyum, “Kau mau menemukannya?” tantangannya. Dan seolah terhipnotis, aku mengangguk dan mengecup keningnya. Pertemuan yang aneh tapi semenjak malam itu kami seolah tak terpisahkan.

Eunbi dan aku merajut cinta bersama. Dia seolah menjadi rumah untukku dan aku menjadi tak hanya sebagai kekasihnya tapi juga menjadi seorang kakak dan bahkan menjadi seorang ibu. Sering kali ketika kami berkencan aku dan Eunbi hanya duduk diapartemen atau mengolah masakan. Jangan salah, aku jago memasak. Terbiasa hidup sendirian di apartemen membuatku lebih mandiri dan terpaksa belajar memasak. Dan untungnya keahlian memasak ibu memang menurun kepadaku.

Aku dan Eunbi benar-benar bahagia. Sampai akhirnya, Eunbiku menemukan kotak pandoraku. Eunbi mengetahui bahwa aku bukanlah pria lajang, tapi seorang calon ayah dan juga suami. Eunbi menangis hebat hari itu, mulutnya terus menerus mengusirku, menyuruhku pergi, tapi jemari mungilnya menggenggam erat kemeja hitamku. Maka aku tak bisa menyingkir, karena aku tak pernah ingin meninggalkan Eunbi.

Eunbi menangis berjam-jam dan baru berhenti ketika lelah dan matanya membengkak. Dia memintaku untuk membuka rahasiaku. Dan hari itulah setelah dua bulan aku berkencan dengannya, di usia bulan kelima kehamilan istriku, aku menceritakan semuanya. Bagaimana aku menikah dengan istriku, bagaimana akhirnya aku justru jatuh cinta pada Eunbi, bagaimana akhirnya aku memutuskan tetap mencintai Eunbi.

Eunbi marah dan merasa dibohongi olehku. Dia merasa dibodohi, dan berkali-kali aku berusaha menjelaskan padanya bahwa aku benar-benar jatuh cinta padanya. Meski semua terjadi serba cepat.

Dengan jujur aku katakan pada Eunbiku bahwa aku jatuh hati saat pertama kali barista menyebutkan nama belakang kami, “Ong” dua bulan sebelumnya. Aku juga mengatakan padanya bahwa aku jatuh hati saat tahu kami duduk bersebelahan tanpa snegaja saat menonton film malam itu. Aku bahkan mengatakan padanya bahwa aku jatuh cinta karena kemuliaan hati Eunbi saat tanpa ragu menolong anak penjual tissue itu. Aku mengatakan semuanya.

Dan aku berhasil membuat Eunbi tetap tinggal. Menyediakan rumah lain untukku pulang. Menemaniku dan hanya dia yang tahu semua hal buruk dihidupku saat tak ada orang yang tahu betapa buruknya aku. Hanya Eunbiku yang tahu.

Sampai akhirnya Eunbiku merasa lelah. Dia menghindariku berminggu-minggu dan pesannya mulai terasa lebih singkat. Aku mulai merasa diabaikan. Dan akhirnya aku memaksa Eunbi untuk mengatakan semuanya.

Malam itu, satu minggu yang lalu, bulan keempat kami berkencan. Bulan ketujuh kehamilan istriku. Eunbi mengatakan dia ingin menyelesaikan hubungannya denganku. Dia mengatakan bahwa sejujurnya dia sudah dijodohkan dengan lelaki pilihan ayahnya. Dan dia tidak sampai hati menolak perjodohan itu. Eunbiku juga mengatakan bahwa sejak awal dia memang sudah tahu bahwa cepat atau lambat dia akan meninggalkanku, meski dia sangat mencintaiku.

Giliran aku yang marah besar padanya. Aku memeluk Eunbi erat malam itu, tak aku biarkan dia pergi begitu saja, dan merasa ini adalah hukuman yang tepat. Dan yang kuingat dengan jelas adalah kalimat panjang darinya malam itu, disela-sela isakannya yang berada dalam rengkuhanku.

“Sengwoo-ya, Mianhae. Aku tentu membuatmu kecewa. Tapi akupun jatuh cinta padamu. Tapi kamu harus ingat bahwa kebahagiaan yang aku dapatkan saat bersamamu adalah kebahagiaan yang aku curi dari istrimu dan calon anakmu. Bahwa cinta yang kita miliki selayaknya pelangi, indah namun hanyalah semu, cepat atau lambat pelangi akan pergi. Dan seperti aku, Seungwooi, aku akan meninggalkanmu. dan kamu akan kembali ke istrimu, meski kau membencinya sekalipun. Tapi kumohon ingatlah, bahwa aku benar-benar mencintaimu sangat. Aku berharap tak akan pernah ada penyesalan dariku ketika aku ingat bahwa aku pernah mencintaimu.”

Aku kehilangan banyak kata-kataku. Aku membiarkan dia terlelap dalam pelukanku dan aku berpikir. Lalu kemudian rasa takut mulai merayapiku. Aku takut akan semua kemungkinan hal buruk yang akan menghampiri orang-orang disekitarku terutama Eunbi, alih-alih karma yang menghampiriku. Maka aku mengecup Eunbi lamat-lamat. Meresapi aroma jasmine dan vanilla dari tubuhnya yang membuatku ketagihan. Mengisi penuh-penuh memoriku tentang Ong Eunbi. Gadis yang aku cinta.

Dan seperti yang Eunbi inginkan, paginya aku mengatakan padanya. Bahwa aku tetap mencintainya meski tak pernah lagi terkatakan, dan aku tak pernah menyesali pernah mengenal, mencintai, memeluk dan mengecup bibir merah Eunbi. Eunbi terisak pelan dan memanggilku untuk yang terakhir kalinya. Mencium ujung hidungku sebagai tanda perpisahan dan kemudian dia menghilang.

Lalu disinilah aku enam hari kemudian, mengamati Eunbi dari jauh, karena seperti inilah caraku tetap mencintainya. (*)

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
syazwa30
#1
Oh . Boleh tahan juga.