Final

My Precious Son

Aku masih berada di dapur—memanaskan tahu rebus kesukaannya—saat kudengar pintu unit apartemen kami terbuka. Bergegas kumatikan kompor dan berlari keluar dari dapur lantas kulihat Yoo Seonho sudah datang dan sedang melepas sepatunya. Aku tersenyum dan lekas menghampirinya. Dia terlihat sedikit kelelahan, sepertinya.


"Kau terlambat lagi, Sayang. Apa ada masalah, hm?" Lekas kuambil ransel Seonho dan menunggunya selesai melepas sepatu. Seonho hanya menggeleng setelah membalikkan badan dan menatapku selama beberapa saat. Beberapa sekon kemudian, dia sudah melangkah dan aku memilih untuk membuntutinya ke dalam kamarnya—oh, sepertinya ada yang tidak beres. Dia tidak pernah bersikap sedingin itu, omong-omong. Sesuatu yang buruk sudah pasti merusak mood-nya seharian ini.


"Yoo Seonho, ada apa?"


Selepas meletakkan ranselnya, aku duduk di tepi ranjangnya. Alih-alih menjawab, dia melangkah masuk ke dalam kamar mandi dan memilih untuk meninggalkanku terpaku di tengah kesangsian. Sebenarnya apa yang sedang terjadi, Seonho-ya? Kenapa kau mengabaikan Ibu seperti ini—apa Ibu melakukan kesalahan? Apa kau marah pada ibumu, Yoo Seonho?


Tungkaiku melangkah ke arah lemari pakaian Seonho lantas mengambil sebuah kaus dan meletakkannya di atas ranjang. Selanjutnya aku sudah berjalan mendekati pintu kamar mandi, berdiri di sana selama beberapa saat sebelum akhirnya aku mengetuk pintu tersebut. Entah sengaja atau tidak, kudengar Seonho sudah menyalakan keran kamar mandi sehingga bunyi kucuran air menggema dari dalam sana—semakin lama semakin keras. Aku menghela napas, lantas kuputuskan untuk meneriakkan beberapa pesan kepadanya sebelum melangkah keluar dari kamarnya.


"Seonho-ya, Ibu sudah menyiapkan kausmu di atas ranjang. Setelah mandi, segera pergi makan malam, oke? Ibu sudah menyiapkan tahu rebus kesukaanmu, Sayang."


Setelah menunggunya selama beberapa menit, aku tetap saja tidak mendengar sebuah jawaban. Aku mengembuskan napas berat, merasakan seolah sebuah beban berat menggantung di kepalaku tiba-tiba. Seonho tidak pernah terlihat semurung itu—dia adalah anak yang selalu ceria—aku sangat yakin itu. Yoo Seonho tidak akan menekuk wajahnya seperti itu kalau harinya berjalan sangat lancar. Seonho juga termasuk anak yang sangat kuat, dia bukan termasuk pemuda cengeng yang kerap mengumbar wajah lesu seperti itu. Seonho-ya, apa yang sebenarnya terjadi, Nak?


Saat aku baru saja selesai menyiapkan teh hangat di atas meja makan, tiba-tiba saja kurasakan seseorang memelukku dari belakang dengan begitu erat. Aku bahkan hampir menjatuhkan sebuah cangkir yang tengah kupegang. Oh Tuhan, tanpa membalikkan badan pun aku sudah tahu siapa yang tiba-tiba mengejutkanku seperti ini. Wangi karamel bercampur mint yang seketika mengisi ruangan semakin memperkuat tebakanku jika Seonho sudah selesai membersihkan diri.


"Sayang, kenapa tiba-tiba seperti ini?" Aku lekas membalikkan badan dan menatap sepasang maniknya yang berkilauan. Dia memandangku sejenak lantas menghambur ke dalam pelukanku beberapa sekon kemudian. Aku hanya tersenyum kecil dan mengusap-usap kepalanya penuh sayang. Oh, bayi kecilku sayang....


"Maafkan aku, Ibu. Aku mengabaikanmu tadi, aku sungguh minta maaf."


"Seonho-ya...."


"Ibu, aku sudah berusaha keras untuk menolongnya—aku menemaninya, mencoba mengajaknya bicara, memberikan tisu kepadanya saat dia sedang menangis—aku bersumpah sudah berusaha untuk tidak meninggalkannya, Bu. Aku tidak menjauhinya, aku mencoba untuk jadi temannya, tapi aku gagal, Bu." Seonho tiba-tiba meneteskan beberapa butir airmata, sebelum punggung tangannya lekas mengusapnya beberapa saat kemudian. Mungkin dia berharap aku tidak akan mengetahui kalau dirinya sedang menangis ... namun, aku sudah lebih dulu merasakannya. Aku menghela napas, sepertinya aku tahu dia akan menceritakan tentang apa, namun aku memilih untuk tetap diam—menunggunya menuntaskan semua yang ada di kepalanya—selagi berusaha mengusap-usap punggungnya penuh sayang.


"Tapi dia akhirnya tetap memilih untuk pergi, Bu. Dia—gadis penderita anxiety yang tempo hari kuceritakan kepadamu—bunuh diri di kamar mandi sekolah. Aku ... aku ...."


"Sst, Sayang, tenanglah." Anakku mulai menangis, airmatanya mengalir semakin derasㅡmeleleh menuruni pipinya lantas jatuh membasahi pundakku. Aku menepuk-nepuk punggungnya, sebisa mungkin untuk menenangkannya yang sejak tadi menyalahkan dirinya sendiri itu. Ya Tuhan, aku bahkan tidak mengerti kenapa Yoo Seonho semakin hari semakin membuatku bangga menjadi ibunya. Dia sungguh pemuda yang kuat—kau pasti tak akan percaya jika anakku masih berumur enambelas tahun namun sudah bersikap bak orang dewasa seperti itu dan aku begitu menyayanginya. Seonho masih terisak selagi memelukku semakin erat, aku tidak menolak meskipun kausku sudah sangat basah oleh airmatanya, well, aku hanya perlu mendengarnya sampai selesai.


"Kautahu, Bu? Kupikir aku sudah berhasil membantunya lepas dari bayang-bayang 'ingin mengakhiri hidupnya' setiap saat—dia sedikit tersenyum saat aku menceritakan beberapa pengalaman konyolku, membagi makan siangku—tapi nyatanya dia belum sembuh seperti dugaanku. Aku gagal, Bu."


"Tidak, Sayang. Ini bukan salahmu dan kau tidak gagal. Kau sudah melakukan yang terbaik, kau berusaha membahagiakannya—eum, setidaknya di saat-saat terakhir kehidupannya, Seonho. Kau tidak gagal, tapi mungkin takdirnya begitu kejam. Sudah, Sayang. Jangan selalu menyalahkan dirimu seperti ini. Kau membuat Ibu khawatir, tahu." Aku masih bertahan untuk mengusap-usap punggungnya sekadar untuk menenangkannya yang masih terisak. Yoo Seonho selalu seperti itu; dia selalu memikirkan orang lain lebih daripada dirinya sendiri. 


"Seonho-ya?"


"...."


"Kautahu kalau Ibu sangat sangat bangga kepadamu, 'kan? Ibu sangat menyayangimu dan Ibu tidak pernah bisa menyalahkanmu jika dirimu memang terlalu mengkhawatirkan orang lain. Tapi, sesekali kau juga perlu memikirkan dirimu, Sayang. Kau mengerti maksud Ibu, bukan?"


Seonho hanya mengangguk dan bergumam. Aku tersenyum kecil lantas melepas pelukannya. Jemariku bergerak mengusap wajahnya yang masih sedikit sembab—oh, Seonho-ku sayang. Sepersekon selanjutnya aku segera menyuruhnya untuk segera menyantap makan malamnya sebelum semuanya menjadi tidak hangat lagi. Dia masih bergeming—hanya menatap makanan yang sudah tersaji di meja makan. Aku yang duduk di hadapannya segera meraih jemari Seonho yang terletak di sebelah piringnya; mengusap-usapkan ibu jariku pada punggung tangannya lantas menitahnya untuk segera makan. Seonho menurut setelah aku mengatakan bahwa aku akan menyuapinya kalau dirinya tidak juga menyantap makan malamnya. 


Aku tersenyum melihatnya memasukkan makanan ke dalam mulutnya sesekali aku menambahkan tahu rebus ke atas mangkuknya dan dia tersenyum sebelum melahapnya kemudian. "Ah, sepulang sekolah besok, bisakah kau antar Ibu ke rumah gadis itu, hm? Ibu ingin melayat dan setidaknya mencoba untuk menguatkan keluarganya."


"Dia hanya tinggal dengan neneknya, Bu. Tapi, baiklah besok aku juga tidak memiliki jadwal pelajaran tambahan."


Aku mengusak-usak rambutnya pelan. "Well, besok Ibu akan menjemputmu sepulang sekolah, oke?"


Seonho mengangguk sembari tersenyum dan lekas menghabiskan makan malamnya. Selepas membantuku membersihkan dapur, aku menyuruhnya untuk segera mengerjakan tugas-tugasnya dan dia bilang hanya akan pergi tidur karena semua tugasnya sudah selesai dikerjakannya di perpustakaan sore tadi. Aku tidak memprotesnya lagi, hei aku cukup percaya dengan omongan anakku sendiri, kok. Maka, setelah memelukku dan mengecup pipiku malam itu, Seonho mengucapkan selamat malam dan melangkah masuk ke dalam kamarnya.


Selamat malam, Sayang. Semoga mimpimu menyenangkan dan kau akan menyambut hari yang sangat indah besok pagi.

.

.

.

-fin.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
k-hope
#1
Chapter 1: comel bangat cerita ni : )
saya dari malaysia. jadi saya faham sikit apa yang kamu tulis ni. ^^