fin.

Feel So Blue

Hari itu hari yang cerah ketika ia terakhir kali datang kemari; terik matahari yang menyengat kulit, langit biru cemerlang dihiasi awan-awan seputih kapas, angin sepoi yang menerpa wajah, suara deburan ombak membentur karang, juga bau lautan yang asin. Dalam ingatannya—di tempat ia berdiri saat ini, ia melihat bocah lelaki berdiri terlalu dekat ke tepi jurang. Matanya yang sayu memandang pada horizon dengan bahu berguncang. Air matanya kian menderas walau angin tampak beberapa kali membelai surainya pelan seakan sedang menghibur, menjadi pelipur lara. Hari itu begitu indah, tapi entah ia mendapat firasat kalau si bocah ingin mati bagaimanapun juga.

Seokjin masih mengingat bagaimana ia memerhatikan si bocah dari kejauhan. Ia masih mengingat dengan jelas bagaimana gugupnya ia ketika melangkah mendekat.

Suara gemerisik ilalang yang timbul ketika ia menuju kearahnya ia harap tak akan alihkan perhatian si bocah, yang syukurnya memang tidak, karena deburan ombak terdengar lebih keras daripada suara apapun pada waktu itu—atau mungkin bocah itu hanya tidak awas pada sekitarnya?

Seokjin masih mengingat bagaimana mata si bocah membulat saat mendapati Seokjin tiba-tiba sudah berada disampingnya, ia bahkan sempat bertanya mungkinkah Seokjin malaikat; lalu menyuruhnya pergi setelah Seokjin mulai mengicau tentang filosofi-filosofi kehidupan dan memintanya untuk tidak bunuh diri. Setidaknya, bocah itu tidak mati hari itu.

.

Hari ini, hanya Seokjin sendiri lah yang berdiri di bibir jurang; menatap beradunya biru lautan dan biru langit dengan sendu mengingat kenangan tentang si bocah; mempertanyakan apakah mereka merasakan keputus-asaan yang sama ketika berdiri disana.

Seokjin menutup matanya, lalu membayangkan dirinya melompat, membentur karang, dan tergelung ombak. Apakah Taehyung tidak takut? Apakah dia tak memikirkan rasa sakit yang akan datang sebelum kematian?

“Jin, kau sedang apa sih?”

Seokjin tersadar dari lamunannya ketika mendengar seseorang memanggil namanya. Ia menoleh dan melihat Taehyung sedang merengut di kejauhan.

“Cepat! Nanti kita terlambat.” Taehyung melipat kedua tangannya sambil menyender ke samping mobil Ford Ranger double cabin milik kakek Seokjin yang hari ini khusus dipinjam untuk jalan-jalan. 

Seokjin mengangguk  sambil tersenyum, menatap pada lautan dan langit sekali lagi sebelum pergi menuju Taehyung—si bocah yang pernah ingin bunuh diri.

.

Taehyung tertidur ketika mereka melanjutkan perjalanan. Hanya suara sayup-sayup radio yang menemani Seokjin selama ia menyetir. Kadang ketika lagu favoritnya diputar di radio, Seokjin ikut bernyanyi dengan suara cukup keras berharap bisa membangunkan Taehyung agar akhirnya ia tak merasa sendirian, tapi rupanya bocah itu (baiklah Taehyung sebenarnya sudah bukan bocah lagi. Dia sudah berusia sembilan belas sekarang) terlalu lelap untuk menyadari ada suara-suara mengganggu disekitarnya.

Seokjin memarkirkan Ford-nya ketika ia sudah sampai digedung dimana sahabatnya Namjoon dan Yoongi tinggal. Taehyung menyernyitkan wajah ketika sinar matahari sore menembus kaca depan mobil karena Seokjin memang sengaja memarkirnya menghadap cahaya.

“Kita sudah sampai?” tanyanya dengan suara mengantuk sambil mengucek mata.

“Sudah sampai ditempat Namjoon.” Seokjin memutar bola mata sambil tersenyum menggoda ketika mengguncang tubuh Taehyung menyuruhnya agar bergerak turun. 

Taehyung mengomel-ngomel sesuatu yang tidak jelas tapi menurut juga. 

Gedung tempat tinggal Namjoon dan Yoongi tak berbeda jauh dari apa yang terakhir kali Seokjin ingat; senyap dan abu-abu. Langkah kaki miliknya dan Taehyung bahkan masih saja terdengar menggema dalam kesunyian, membuatnya menoleh kebelakang beberapa kali untuk memastikan kalau itu hanya bayangan suara langkah mereka dan tidak ada sesuatu apapun yang mengikuti. Seokjin heran, kenapa kedua sahabatnya tetap betah tinggal disini padahal mereka bisa pindah ke tempat yang lebih baik.

Seokjin menghela nafas ketika ia sampai didepan pintu yang ditujunya, ia mengerling pada Taehyung yang hanya mengangguk meyakinkan sebelum mengetuk. Ia merasa gugup karena ini akan menjadi yang pertama kalinya setelah hampir satu tahun.

Sesosok pemuda jangkung yang sudah lama dikenalnya membukakan pintu. Seokjin tersenyum. 

Namjoon terlihat lebih kurus dari apa yang pernah diingat Seokjin. Rambutnya sekarang pirang dan berantakan, ia yakin pasti rambutnya itu sudah tidak disisir selama beberapa hari atau mungkin kebiasaan Namjoon mengacak-acaknya masih berlaku hingga saat ini. Selebihnya, ia tampak sama dengan rokok yang teramit disela jari tengah dan telunjuknya, hanya saja ekspresi kelelahan yang hampir selalu tergurat diwajah Namjoon berangsur menguap kala ia melihat siapa yang datang.

 “Jin!”

Hoseok tiba-tiba menghambur kepelukan Seokjin sebelum Namjoon bisa mengatakan apapun. Entahlah, ia seperti tiba-tiba muncul dari dalam celah sempit diantara Namjoon dan bingkai pintu.

“Hey!”

Jin menepuk punggung Hoseok merasa benar-benar bahagia.

Seokjin juga melihat Yoongi, Jimin dan Jungkook berkerumun dibelakang Namjoon sambil tersenyum kecil memandangnya.

“Aku merindukanmu,” Hoseok berbisik sambil melepaskan Seokjin.

“Aku juga rindu kalian.” Jin berkata lirih sambil menatapi teman-temannya satu persatu.

“Jangan harap aku akan memelukmu Seokjin!”

Yoongi memutar bola matanya sambil melangkah keluar tanpa menoleh pada yang lain. Seokjin tersenyum hampir menitikan air mata haru melihat temannya yang satu itu begitu saja berlalu—Yoongi masih saja seperti dulu, sok cuek padahal Seokjin yakin Yoongi mau menangis saking senangnya bisa bertemu dia lagi. 

Setelah hampir setahun, semuanya terasa seperti mimpi.

“Hei, Yoongi tunggu aku!”

Hoseok menyusul langkah Yoongi. Pasti untuk pergi ke tempat favorit mereka di mobil kakek-nya Seokjin. 

“Ternyata benar, kau baik-baik saja Hyung.”

Jungkook menepuk bahu Seokjin ketika ia melaluinya. Jungkook menyapa Taehyung dan memanggil Jimin untuk bergabung.

Jimin hanya tersenyum ketika ia lewat.
Hanya tinggal Namjoon dan Seokjin yang tersisa. Kini Seokjin tak bisa menahan air matanya agar tidak terjatuh. Namjoon menghisap batang rokoknya lalu memuntahkan asap putih itu tak acuh. Ia mengawasi Seokjin dengan kening menyernyit dibalik gumpalan halus yang menyelubungi keduanya.

“Kau baik-baik saja?” Namjoon bertanya, melemparkan puntung rokok kedekat kakinya dan menginjaknya sampai percikan apinya padam. 

Ia mendekat pada Seokjin sambil menjulurkan tangan untuk merangkul. Keceriaan yang tadi sempat ditunjukannya kini tergantikan dengan sorot mata kekhawatiran.

“Aku baik-baik saja, ayo pergi.”

Disamping menceritakan bagaimana terharunya ia, Seokjin memilih membetot lengan baju Namjoon untuk segera bergabung dengan yang lainnya.

“Apa kau yakin ingin melakukan ini?”

Namjoon masih memandang Seokjin dengan khawatir ketika ia telah menutup pintu dan duduk disamping bangku kemudi di depan.

Taehyung rupanya memutuskan untuk mengambil tempat di bagian terbuka di belakang bersama Jimin dan Jungkook.

“Tentu saja.” Jin berkata yakin sambil memandangi spion tengah yang menampilkan teman-temannya yang sedang gaduh mengobrol. Ia tersenyum kecil, betapa ia sungguh merindukan saat-saat seperti ini.

“Benar, sekalian merayakan kebersamaan kita kembali. Aku kesepian tanpa kalian selama ini.” Hoseok menimpali.

“Kesepian? Padahal Jimin dan aku setia menemanimu terus di rumah sakit.” Yoongi memutar bola mata.

“Diam!” Hoseok merengut sambil menyikut Yoongi, seakan memperingatkan kalau dia tak ingin membahas hal itu lagi. 

Senyum Seokjin melemah mengingat kalau sahabatnya yang satu ini memang punya masalah dengan penggunaan dosis obat anti depresi dan sering keluar masuk rumah sakit karena itu. Ia merasa buruk karena tak bisa selalu menemani Hoseok di masa sulitnya. 
Hoseok tampaknya menangkap aura penyesalan dimata Seokjin kala ia melirik ke kaca spion, ia tersenyum seakan mengatakan kalau ia mengerti. Lalu Seokjin merasa lebih baik dan mulai melajukan mobilnya.

Dia menyalakan radio lagi ketika Namjoon dan yang lainnya tertidur. Seokjin ikut bernyanyi ketika radio tersebut memutar lagu favoritnya. Kali ini dia agak menjaga suaranya agar tidak mengganggu yang lain.

“Apa aku membangunkanmu?”

Seokjin mengecilkan volume radio sambil bertanya pada Yoongi yang sedang mengucek matanya sekarang. Anak itu hanya merengut lalu duduk tegak. Ia menatap ke luar jendela tanpa menanggapi pertanyaan Seokjin.

“Yoongi?” Jin memanggil, dan kali ini Yoongi berpaling pada Seokjin.

Dalam pantulan spion tengah, Seokjin bisa melihat sorot mata Yoongi tampak sedih dan melamun. Sorot mata itu mengingatkannya pada seseuatu yang tak jelas dan samar yang pernah terjadi mungkin di kehidupannya. Seokjin tak yakin, namun sorot mata itu membuatnya sedih dan gelisah, membuatnya merasa tak nyaman. Seokjin harus mencengkram setir mobilnya karena ia mulai merasa mual.

“Kau baik-baik saja?” kali ini Yoongi yang bertanya. Seokjin mengangguk dengan bibir terkatup rapat tapi menolak untuk melihat padanya.

Setelah beberapa saat keduanya tak saling bicara, Yoongi tiba-tiba bertanya lagi, kali ini dengan nada melamun yang terdengar samar dan jauh.

“Apakah kau hidup dengan baik Seokjin?”

Jin akhirnya melirikan mata pada spion untuk memandang Yoongi dengan kerut dikeningnya, tapi ia tak kunjung menjawab, sedangkan Yoongi terus terdiam seakan menanti jawaban yang akan diberikan Seokjin.

Tak lama, Seokjin membanting setir untuk berbelok kearah POM bensin, sepenuhnya mengabaikan pertanyaan Yoongi. Bantingan setirnya membangunkan Namjoon yang kepalanya terbentur kaca.

“Aw!” Namjoon mengeluh sambil memegang pelipisnya.

“Sorry.” Seokjin hanya nyengir, masih mengabaikan Yoongi dibelakangnya yang mungkin masih penasaran dengan jawaban yang ia punya. Tapi ketika Seokjin mencuri pandang melalui spion, Yoongi tampak mencoba untuk tidur lagi.

Namjoon ditugaskan untuk mengisi bahan bakar mobil, sedangkan Hoseok bilang ia akan beli makanan kecil di toko untuk mereka.

Saat menunggu tangki terisi,  Namjoon mendapati kalau Seokjin membawa kamera polaroid dan menawarkan diri untuk memotret Seokjin. Seokjin dengan senang hati bergaya, diikuti Yoongi yang muncul didetik terakhir penjepretan.

Namjoon nyengir melihat hasilnya, ia menunjukannya sekilas pada Seokjin kemudian menyiman foto itu kembali ke dashboard bersama kamera polaroid itu sendiri.

Setelah Hoseok kembali, mereka melanjutkan perjalanan.

.

Mereka sampai di tujuan pada waktu pagi dini hari, Jin memutuskan untuk tidur sebentar karena ia kelelahan. Lagian yang lain juga masih tertidur. Ia berencana akan bangun paling awal ketika matahari terbit beberapa jam lagi, namun rasanya baru saja ia memajamkan mata, kaca jendelanya sudah ada yang mengetuk. Ia melihat Yoongi di balik kaca mobil mengisyaratkan agar ia segera keluar.

Seokjin melihat yang lain sedang berjalan mendekati bibir pantai, hanya ia dan Namjoon yang masih berada di dalam mobil.

Seokjin sejujurnya masih mengantuk, tapi ia mengambil handycam dari dalam tasnya dengan mata masih merem-melek. Ia ingin merekam momen-momen indah mereka seperti yang terakhir kali ia lakukan.

Matahari sepertinya belum terbit karena diluar tampaknya masih agak gelap, jadi Seokjin memutuskan untuk tidak buru-buru dan menyalakan alat itu, melihat-lihat isinya kembali. Ia berhenti ketika mendapati tanggal saat terakhir kali mereka menghabiskan waktu bersama sambil bersenang-senang. Jin menekan tombol play, dan kegaduhan suara Hoseok dalam video sepertinya mengusik tidur damai Namjoon.

Namjoon menyernyit memandang Seokjin, tapi Seokjin mengabaikannya dan hanya tersenyum memandang pada layar.

Seokjin melihat teman-temannya bersenang-senang dalam rekaman, balap lari, adu panco, kejar-keraran, sesekali ia mendengar suaranya sendiri tertawa dan berteriak.

Tanpa sadar ia tersenyum dan tertawa ketika hal-hal lucu muncul dalam video, namun dimenit-menit terakhir, dadanya terasa sesak. Entahlah, mungkin hanya perasaan rindu yang terlalu meremas dirinya.

“Kau baik-baik saja?” Namjoon menepuk pundak Seokjin dan menatapnya khawatir. 

“Baik.” Seokjin menutup handycamnya dan bergegas untuk turun. Namjoon mengikutinya dengan langkah tak yakin.
Yang lain sudah berada di tepi dermaga, mengobrol. Hoseok melambai ketika Seokjin dan Namjoon mendekat.

“Hei, ku kira kalian terlalu lelah karena menyetir.”

“Sudah kubilang Namjoon tidak menyetir.” Yoongi merengut pada Namjoon sedangkan pemuda itu hanya cuek menanggapinya.

“Benar seharusnya kita bangunkan saja dia dari tadi. Dasar kebo.” Taehyung mencibir.

“Wow, kau bawa handycam?” Seokjin mengangguk dan berjalan untuk duduk disebelah Jungkook yang kelihatan sangat antusias menyambutnya.

“Boleh aku lihat rekaman yang terakhir kali kita kumpul bareng? Masih ada kan Hyung”
Seokjin mengangguk dan memutar kembali rekaman video itu. Taehyung, Jimin, dan Hoseok ikut berkerumun, sedangkan Yoongi hanya melirik sekilas tampak tidak tertarik.

“Wah, waktu itu benar-benar menyenangkan ya?” Jungkook kelihatannya begitu terhibur dengan apa yang barusan ia tonton.

“Benar, sungguh menyenangkan.”

Seokjin bergumam pelan menegadah memandang pada lautan sambil melamun. Lagi-lagi, saat melihat kearah lautan dan langit ia merasakan keputus-asaan tiba-tiba menyergapnya, entah bagaimana hatinya merasa tercelus ke dasar perut.

“Kenapa aku kerap gelisah memandang pada laut dan langit?” Jin bertanya dengan suara lirih diluar kesadarannya, ia kira ia hanya menyuarakan isi pikirannya.

“Karena lautan dan langit terlihat biru.” Namjoon menanggapi sembari memandang pada lautan juga. Air mukanya tampak setenang riak dihadapannya pagi itu, ia bahkan tampak santai memasukan kedua tangannya ke saku jaket sembari tersenyum kecil.

“Bukankah biru seharusnya menenangkan, Namjoon?”

“Biru memang dipercaya sebagai warna yang menyebabkan tubuh memproduksi rasa ketenangan, tapi biru juga berarti dingin dan depresi, biru, blue dalam bahasa Inggris bahkan benar-benar mempunyai arti sedih. Mungkin itulah sebabnya Jin, kau depresi atau sedang bersedih.” Namjoon sepertinya setengah bercanda karena ia tampak tersenyum menggoda.

“Atau kedinginan.” Jungkook terkikik.

Namjoon memandang pada lautan lagi lalu melanjutkan, “Entahlah, kedengarannya memang aneh. Tenang dan depresi sangat berlawanan, tapi biru bisa membuat kita merasakan salah satunya, atau mungkin juga keduanya. Tergantung pada suasana hati dan pikiran kita kurasa.”

Jimin memandang takjub Namjoon yang masih berdiri dibelakang mereka. “Wow, si Namjoon ini memang tidak berubah ya.”

“Aku juga kadang merasakannya. Aku merasa damai ketika memandang lautan atau langit, tapi lama-kelamaan aku akan begitu saja mengingat pada hal-hal yang tidak menyenangkan dan itu membuatku merasa sedih.”

Seokjin tempak merenung sebentar, mengerjap menatap ke hamparan biru didepannya sebelum mengalihkan perhatiannya pada sekeliling; memandang teman-temannya.

“Kenapa aku harus sedih padahal kalian ada disini?” Seokjin hampir memutar bola mata saat bangun dari duduknya. Ia mengangkat handycam yang ia pegang bersiap untuk merekam. 

Jimin, Hoseok, Taehyung dan Jungkook juga segera bangun setelah sadar apa yang akan Seokjin lakukan, mereka bahkan bersorak riang. Yoongi yang malas-malasan dipaksa berdiri oleh Taehyung yang kelewat bersemangat. Seokjin berjalan menjauhi tepi dan menyeret Namjoon untuk bergabung dengan yang lain. 

“Apa-apaan?” Hardiknya saat Seokjin menempatkan Namjoon diantara Hoseok dan Taehyung.

Ekspresi kebingungan Namjoon tampak sangat kontras ditengah wajah ceria teman-temannya yang lain, bahkan saat ini Yoongi tampak menunjukan senyum gusinya.

“Lihat! matahari akan terbit.” Seokjin menunjuk kearah semburat oranye digaris horizon.

“Kita akan abadikan momen langka ini, nah Namjoon diam disitu.” Jin melotot saat Namjoon hendak menghampirinya.
Seokjin ikut membelakangi laut supaya ia terekamam dalam gambar.

“Bagaimana hari ini, apa kalian bersenang senang?”

“Apa-apaan sih ini Jin?” Namjoon menggerutu diantara sorakan ‘ya’ dari yang lain.

“Aku tidak tahu apakah mataharinya sudah terbit, aku akan merekam kalian saja.”

Seokjin akhirnya meninggalkan frame video untuk merekam teman-temannya saja.

Namun, senyumnya langsung menghilang ketika ia hanya melihat Namjoon seorang dalam gambar dihandycamnya.

Tangannya sontak gemetar, matanya membulat memandangi layar namun keadaan tidak berubah. Teman-temannya yang lain tetap tidak berada disana.

“Namjoon, kemana yang lainnya?” Suaranya lirih dan bergetar. Namjoon yang kelihatan masih kebingungan menghampiri Seokjin yang sekarang sedang memandang kesekeliling mencari teman-temannya yang lain. Mereka tak mungkin pergi dalam waktu kejapan mata.

“Jin.” Namjoon menepuk bahu Seokjin, ia kelihatan khawatir sekarang alih-alih kebingungan.

“Kemana mereka Namjoon?” Seokjin mencengkram lengan Namjoon sambil berteriak, matanya mulai terasa perih dan Seokjin tak bisa menyangkal kenyataan lagi kali ini.

“Ayo kembali ke mobil.” Namjoon mengusap punggung tangan Seokjin ketika ia mulai merosot dan terduduk lemas dilantai kayu dermaga.

“Aku bersumpah mereka bersama kita.”
Jin masih celingukan dengan panik ke berbagai arah. Matanya berkilau oleh air mata yang memantulkan cahaya matahari pagi.

“Aku bersumpah Namjoon, kau tidak mendengar mereka? Taehyung bahkan mengejekmu tadi kau seharusnya marah padanya.”

“Jin, tidak ada Taehyung disini.” Namjoon berkata lirih, menghela nafas sambil menepuk pundak Seokjin dengan sabar.

“Jimin bahkan masih takjub mendengar penjelasan pintarmu tentang warna biru tadi, Yoongi bahkan berfoto denganku semalam aku bisa buktikan, Hoseok... Hoseok...”

Namjoon mendengus dan menarik Seokjin ke dalam pelukan.

“Hentikan Jin!” 
Seokjin tersedak air matanya dan melingkarkan tangannya ke punggung Namjoon.

“Jika mereka disini, kenapa aku tak melihat mereka? kenapa hanya kau? Kenapa hanya kau yang melihat mereka padahal aku juga rindu, aku juga merindukan mereka sampai rasanya aku juga ingin mati.”

Namjoon mencengkram Seokjin dalam pelukannya, ia mencoba sekuat tenaga untuk tidak meledak dalam emosi dan menangis; tapi membayangkan Seokjin melihat teman-temannya, membayangkan dia berbicara pada teman-temannya lagi membuatnya sedih. Kenapa Seokjin melihat mereka padahal mereka sudah melebur dalam ketiadaan? Apakah Seokjin baik-baik saja?

“Aku bersumpah Namjoon!”

“Hentikan Hyung, kumohon...” suara Namjoon memelan, terdengar lelah. Seokjin tersedu dibahunya dan itu membuatnya merasa biru.

.

Saat perjalanan pulang, Namjoon dan Seokjin tidak saling bicara. Namjoon menawarkan diri untuk menyetir dan menyuruh Seokjin istirahat saja. Alih-alih memutuskan untuk tidur, ia malah terjaga; melamun memandangi kaca spion yang menampilkan pemandangan laut diluar yang semakin lama semakin menjauh sembari memikirkan keanehan yang sempat terjadi tadi. 

Mata Seokjin beralih memandang spion tengah, memerhatikan wajah damai Hoseok dan Yoongi yang sedang terlelap. Samar-samar, ia juga mendengar suara tawa Jimin, Jungkook, dan Taehyung dibelakang. 

Kenapa Namjoon bersikeras mereka sudah tiada padahal mereka ada disini?

Seokjin menjulurkan tangannya untuk membuka dashboard depan dan mengambil foto polaroid hasil jepretan semalam. Ia masih penasaran, ia ingin membuktikan kalau dia masih waras dan mereka memang berada disini sejak kemarin. Ia ingin membuktikan kalau Namjoon yang salah. 

Seokjin bisa merasakan sudut mata Namjoon bergerak mengikuti setiap geriknya secara diam-diam. Menahan nafas, Seokjin meraih kertas persegi itu dan membaliknya untuk melihat secara lebih jelas. 

Awalnya, Seokjin hanya memandanginya dengan pandangan kosong. Ia melirik pada Namjoon yang sekarang sedang menatapnya secara terang-terangan dengan kening menyernyit. Seokjin mengabaikannya, ia juga mengabaikan detak jantung yang berdentum kian cepat dalam rongga dadanya. Dengan gerakan pelan, Seokjin menolehkan wajah kearah bangku belakang.

Kemudian, dia memandangi foto itu sekali lagi dan tersenyum.

END

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
byunlight #1
Chapter 1: huweeeee, sampe berkaca kaca ini bacanyaa. HYYH emang konsep paling bagus buat dibikin ff persahabtan ginii. good job ❤
Kiri_haerya #2
Keren~ Ga kepikiran, ternyata semua udah mati kecuali Jin sama Namjoon... Ceritanya bagus~!! Suka deh x3
hollyeu
#3
Chapter 1: Wow the plot twist had got me goosebumps XD Btw, such a beautiful story authornim!